Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Friday, November 16, 2007

GUBERNUR DKI, FAUZI BOWO MENANTANG TUHAN....

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=suara_publik&id=75
Pak Gubernur Nantang Tuhan?

SUARA PUBLIK
Jumat, 09 November 2007, 11:44:27 WIB

Pak Gubernur Nantang Tuhan?

REAKSI Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo terhadap protes masyarakat atas kemacetan lalu lintas Jakarta yang tambah menjengkelkan karena adanya proyek busway terasa betul amat berlebihan. Ketika membaca membaca berita yang mengutip ucapan Pak Gubernur itu saya sungguh merasa terganggu.

Jangan hanya lapor ke Polda, kalau perlu lapor juga ke Tuhan, begitulah kata Fauzi Bowo kepada wartawan, Selasa, 6 November 2007.Coba mari kita ganti kata Tuhan menjadi Presiden. Jangan hanya lapor ke Polda, kalau perlu lapor juga ke Presiden. Saya jamin (karena yakin), Pak Gubernur pasti tidak berani mengucapkan kalimat seperti itu. Mengapa? Ada kesan menantang. Orang tentu saja dapat berpendapat lain. Ucapan Jangan hanya lapor ke Polda, kalau lapor juga ke Tuhan bisa dianggap meremehkan Tuhan (semua pemeluk agama yang bertuhan). Apa urusannya Tuhan dengan kemacetan?

Saya hanya mengingatkan saja, tidak ada kepentingan lain. Juga tidak berminat untuk mendesak Pak Gubernur minta maaf. Terserah Pak Gubernur.

Fahreza Cahya Pahlevi,Cibubur II, Ciracas, Jakarta Timur.

ANAK INDONESIA SEKARANG

DAN
INDONESIA DI MASA DEPAN

Beberapa minggu terakhir ini hidup saya disibuki oleh 2 soal besar. Yang pertama adalah melakukan pekerjaan sehari-hari saya untuk mendapatkan sesuap nasi di sebuah perusahaan swasta. Yang kedua adalah membantu 2 orang keponakan saya yang sedang menjadi korban pertikaian keduaorangtuanya. Mereka kedua-duanya perempuan berumur 14 tahun dan 9 tahun. Hal yang pertama tentu memang soal besar karena saya tidak bisa meneruskan hidup jika tidak bekerja. Namun mungkin bagi kebanyakan orang akan terasa agak aneh, karena saya telah menjadikan ‘membantu keponakan’ menjadi soal besar dalam hidup saya, bahkan hingga meninggalkan pekerjaan sekunder saya yang lain seperti menulis dan yang lain.


Meski saya tidak memiliki anak sepanjang 15 tahun perkawinan saya dan meski saya sebelumnya tidak membaca UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Th.2004, UU Perlindungan Anak Th.2002, UU Kesejahteraan Anak Th.1979 (yang semuanya baru saja saya baca beberapa hari yang lalu), tetapi sejak lama saya memiliki kesadaran, bahwa anak-anak adalah masa depan sebuah bangsa atau sebuah komunitas besar manusia, bahkan masa depan umat manusia. Kesadaran saya ini hampir sama dengan apa yang sudah tulis dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya (http://jojor.blogspot.com/) mengenai Teknologi Informasi. Anak atau Teknologi Informasi begitu penting, karena akan menentukan atau mempengaruhi masa depan sebuah atau semua komunitas manusia.

Anak-anak tidak hanya membutuhkan tempat bernaung, pakaian, sekolah, makan dan minum, atau teman-temannya ketika terjadi pertikaian keduaorangtuanya. Anak-anak ternyata membutuhkan konselor atau pendamping pada saat-saat pertikaian itu berlangsung. Itu lah yang saya coba lakukan beberapa minggu terakhir ini. Sayang sekali, usaha saya itu tidak bisa menjadi maksimal karena saya pun akan memiliki masalah besar jika tidak melakukan pekerjaan sehari-hari saya, yaitu mencari sesuap nasi itu.

Saya adalah orang yang berada di lingkaran dekat kedua keponakan saya itu. Ada beberapa orang lain selain saya, misalnya kakek dan nenek mereka yang tidak memiliki pekerjaan lain selain menikmati hari-tua. Namun hanya saya sendiri yang menyediakan diri untuk menjadi pendamping dua keponakan saya itu. Tentu alasan orang-orang lain tidak bisa menjadi pendamping adalah karena sibuk atau alasan lain. Apa yang saya lakukan pun hanya pada waktu yang tersisa dari waktu bekerja saya. Bukan sepanjang hari. Lalu pertanyaan saya adalah, bagaimana peran pemerintah untuk menjadi konselor atau pendamping anak-anak yang menjadi korban pertikaian keduaorangtuanya ini (sebagaimana yang disebutkan dalam UU yang sudah saya sebut di atas)? Pertanyaan ini muncul, karena saya yakin banyak kasus pertikaian orang tua terjadi di sekitar kita.

Setelah beberapa minggu saya menjadi pendamping dua keponakan saya itu, mulai muncul masalah, yaitu perbedaan pandangan saya dengan orangtuanya dalam menangani dua keponakan saya itu. Bagi saya, dua keponakanan saya ini harus terus terlindungi atau dihindari dari suasana konflik yang sedang terjadi. Sehingga mereka memerlukan sebuah tempat lain yang bisa memberikan suasana yang tepat untuk meneruskan hidup dan menyembuhkan luka-luka jiwa mereka karena telah menyaksikan kekerasan keduaorangtuanya dan telah mengalami kekerasan yang yang dilakukan oleh ayah atau ibu pada mereka.

Karena perbedaan pandangan itu, akhirnya saya menyerah, saya berhenti menjadi pendamping dua keponakan saya, karena saya tidak atau belum memiliki hak asuh terhadap kedua keponakan saya itu. Belakangan saya membaca di UU Perlindungan Anak dan UU KDRT, bahwa penelantaran atau menempatkan anak dalam situasi yang tidak baik bisa membuat keduaorangtuanya kehilangan hak asuh pada anak-anaknya. Namun demikian, meski saya sudah membaca aturan-aturan itu, ini tetap soal yang sulit bagi saya untuk menyikapinya.

Tulisan ini saya buat hanya sekali ketik sebagai hasil perenungan selama beberapa hari ketika membantu dua keponakan saya itu. Semoga lebih banyak pihak yang tergugah untuk lebih menyadari pentingnya kesadaran tentang perlindungan bagi anak-anak dan pentingnya memberi situasi yang tepat bagi anak-anak agar berkembang menjadi pribadi yang sehat dan kompetitif di masa depan untuk memimpin Indonesia.

Ada soal-soal yang amat memprihatinkan ketika orang tua bertikai. Anak-anak dipertontonkan soal-soal yang membingungkan mereka. Ada soal-soal yang tidak konsisten yang bisa membuat anak tidak mampu belajar untuk tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mereka juga diajarkan untuk menjadi biasa pada prilaku-prilaku buruk seperti berteriak-teriak, berkata-kata kotor atau kasar, mengancam, bahkan memukul.

Dalam situasi pertikaian ini, saya pikir amat ideal jika ada konselor atau pendamping anak-anak yang datang, sebagaimana yang saya lakukan (meski gagal). Jangan berharap anak-anak atau keluarga yang bertikai itu yang datang ke konselor atau ke pusat konseling, karena saya yakin itu tidak akan mungkin dilakukan dalam suasana pertikaian. Berdasarkan laporan dari siapa saja, baik keluarga di lingkaran dekat, tetangga, atau teman dari keluarga yang bertikai itu, sebaiknya konselor (baik dari Pemerintah, Komnas Perlindungan Anak, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mendatangi anak-anak yang menjadi korban itu.

Hari-hari terakhir ini saya mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk soal-soal anak ini. Entah saya yang tidak tahu atau tidak peduli sebelumnya, saya tidak ingat banyak tentang apa yang sudah pemerintah lakukan untuk perlindungan anak ini. Saya hanya ingat ada Kak Seto yang Ketua Komnas Perlindungan Anak. Itu pun karena Kak Seto banyak muncul di TV dalam kasus pertikaian para artis TV, film, atau artis musik yang mengorbankan anak-anak mereka. Jika tidak ada kemunculan Kak Seto di TV mungkin saya tidak tahu adanya UU Perlindungan Anak, UU KDRT, atau Komnas Perlindungan Anak. Sehingga saya pikir, mungkin Kak Seto sebaiknya tidak hanya muncul saat membantu anak-anak artis itu, tetapi juga membuat kampanye yang lebih kuat dan giat untuk memberi kesadaran pada banyak orang tentang pentingnya melindungi anak-anak Indonesia.

Sebagaimana sudah disebut di dalam pembukaan UU Perlindungan Anak, bahwa anak adalah”anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan”. Bahkan saya ingin mengulangi lagi, bahwa masa depan Indonesia terletak pada anak-anak yang sekarang ini dibentuk oleh 4 soal, yaitu orangtuanya, sekolah, teman-teman yang dikenalnya (di sekolah, famili atau di sekitar rumah) dan acara-acara TV. Untuk soal yang terakhir, saya kira acara-acara TV adalah soal yang paling penting untuk diperhatikan, karena ini harus melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu. Acara TV tidak boleh (sebagaimana yang terjadi sekarang) menjadi ancaman bagi perkembangan kepribadian anak-anak di masa depan.

Orang tua tentu idealnya bisa menjadi pondasi yang kokoh dalam perkembangan pribadi anak. Soal-soal lain tentu akan menjadi mudah untuk diatasi jika anak-anak sudah memiliki orang tua yang ideal. Sayangnya pemerintah (setahu saya) tidak memiliki program untuk memberikan semacam bimbingan praktis tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi perkembangan pribadi anak-anak. Begitu juga Komnas Perlindugan Anak (http://www.komnaspa.or.id/) atau Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat belum saya dengar atau lihat ada yang memiliki program seperti ini.

Idealnya ada sebuah pusat ’bimbingan untuk para orangtua’ yang menyediakan program bimbingan singkat 2 minggu atau beberapa minggu untuk tiap-tiap sebuah periode umur anak. Misalnya program untuk balita (0-5 tahun), program untuk menghadapi masa penuh gejolak 10-18 tahun, dan lain-lain. Bahkan kalau bisa program bimbingan ini diwajibkan untuk diikuti para orangtua untuk menjamin Indonesia memiliki orang-orang dengan kepribadian yang sehat dan kompetitif di masa depan.

Bagaimana, Kak Seto?