Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Wednesday, March 24, 2010

GREEN ZONE VERSUS BOM BUNUH DIRI

filHollywood memang kadang mengejutkan. Sebuah film baru saja diedarkan awal Maret 2010 di seluruh dunia. Green Zone, begitu judul film baru itu, bercerita tentang apa yang selama ini menjadi perdebatan di seluruh dunia, yaitu alasan mengapa Amerika menginvasi Irak?

Film itu membeberkan kembali ingatan orang di seluruh dunia yang mungkin hampir lupa, mengenai tuduhan mantan presiden Amerika, Bush, bahwa Saddam Hussein memiliki senjata WMD (Weapons of Mass Destruction) yang disembunyikan di wilayah Irak ternyata tidak terbukti atau hanya isapan jempol Bush semata. Berdasarkan tuduhan ini lah Irak diserang dan diduduki oleh Amerika. Padahal seharusnya alasannya adalah karena Saddam adalah seorang tyran yang kejam terhadap rakyatnya sendiri.

Film yang justru dibuat oleh orang-orang Amerika sendiri ini, seakan menjebloskan bangsa Amerika menjadi bangsa pembohong dan haus perang. Karena itu, beberapa pihak memandang film ini sebagai film anti Amerika, sebagiamana seorang movie reviewer, Kyle Smith, menyebut film ini sebagai "appallingly anti-American." Namun film ini menyegarkan kembali ingatan kita tentang bagaimana PBB sendiri tidak dapat menemukan apa yang dituduhkan oleh Bush itu. Pasukan Amerika digambarkan selalu gagal menemukan di mana WMD disembunyikan di Irak.
Film ini bisa menjadi salah satu alasan yang amat kuat untuk mematahkan cara pandang para suicide bomber atau terorist, karena melalui film ini, terlihat perang Irak bukan perang antara Amerika dengan Irak, atau Amerika dengan umat Islam, atau juga perang bangsa barat dengan bangsa timur, tetapi sebuah perang yang dikobarkan oleh segelintir orang gila, yaitu Bush dan gerombolannya.

Di dalam film ini digambarkan seorang komandan pasukan Amerika yang tugasnya mencari di mana WMD disembunyikan. Pasukan ini bekerja berdasarkan informasi yang diberikan oleh intelejen yang anehnya informasi yang diberikan selalu salah, atau WMD tidak pernah ditemukan. Karena penasaran, penyelidikan komandan ini terhadap mengapa informasi yang diberikan ini selalu salah ternyata secara mengejutkan membawanya kepada sebuah jaringan kebohongan yang berujung di Pentagon hingga White House.

Film ini terinspirasi dari sebuah buku non-fiction berjudul “Imperial Life in the Emerald City” yang ditulis oleh seorang journalist dari The Washington Post, Rajiv Chandrasekaran. Sayang film ini kekurangan konflik kejiwaan yang seharusnya dialami oleh komandan ini karena harus membeberkan kebohongan pemerintahan Amerika ke seluruh dunia dengan menulis surat ke seluruh media terkenal di dunia. Sebagai komandan pasukan Amerika tentu saja ini tindakan penghianatan atau tidak patriotik. Konflik kejiwaan seperti ini tidak digambarkan di dalam film ini. Tapi itu menjadi tidak penting, karena mungkin film ini maksudnya memang sekedar ingin mempertontonkan kebohongan itu semata, bukan bermaksud untuk menjadi film yang bercerita dengan bagus mengenai profile seorang komandan pasukan Amerika.

Sutradara film ini, Paul Greengrass (Inggris) dan aktornya, Matt Damon (Amerika), tentu saja hanya wakil dari salah satu dari sekian juta orang Amerika dan Inggris, bahkan juga sekian ratus juta orang di seluruh dunia yang tidak menyukai atau tidak menyetujui perang di Irak. Tidak semua orang Amerika, atau tidak semua orang yang berkulit putih, atau beragama bukan Islam adalah musuh, karena ternyata mereka juga tidak berpihak pada Bush dan gerombolannya.

Film ini, sekali lagi, menjadi salah satu alasan yang tepat, bahwa bom bunuh diri yang selama ini dilakukan oleh orang-orang yang merasa berada di jalan Allah SWT adalah salah. Film ini pantas dijadikan alat untuk mengedukasi masyarakat kita yang mudah terjerumus pada radikalisme sempit atau terorisme.

Tulisan ini memang bermaksud untuk menggembosi terorisme yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku atau berkeyakinan berada di jalan Allah SWT. Mereka ini termasuk orang-orang yang mengiringi penguburan terorist yang tewas dengan memekikkan nama-nama Allah SWT dan menyebut terorist dengan sebutan mujahid (pejuang di jalan Allah SWT). Oleh karena itu saya menambahkan satu kisah di bawah ini yang diambil dari catatan sejarah Islam mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang pada periode awal pasca wafatnya Nabi Muhammad. Celakanya kelompok ini yakin berada di jalan Allah SWT ketika melakukan kekerasan itu. Kisah di bawah ini sebenarnya telah saya tulis untuk sebuah kerangka yang berbeda di tulisan yang lain.

ABDURRAHMAN IBN MULJAM, TERORIST YANG “BERADA DI JALAN ALLAH SWT”

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini sebenarnya didalangi oleh kelompok yang kemudian disebut sebagai Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding orang-orang yang mereka anggap musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi suicide bomber, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah SWT untuk berjuang di jalan Allah SWT dengan cara suicide bomber, berhati-hatilah, karena mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah contoh tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang dilakukannya kemudian.

Jojo Rahardjo

Monday, March 22, 2010

ABDURRAHMAN IBN MULJAM BERADA DI JALAN ALLAH SWT, BEGITU JUGA PARA PEMIMPIN INDONESIA ???

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini didalangi oleh kelompok Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding musuh-musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi “pengantin” atau pengebom bunuh diri, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah, berhati-hatilah, karena bagi saya atau orang-orang seperti saya, mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang saya maksud adalah pejabat negara yang bersumpah dengan nama Allah karena sedang dicurigai atau dituduh melakukan kejahatan terhadap negeri ini. Mereka juga sekaligus berkoar-koar, bahwa mereka lebih memiliki “kebenaran” dibanding siapa pun. Padahal bukan sumpah yang diharapkan keluar dari moncong mereka, karena mereka sesungguhnya pejabat negara yang dituntut sepanjang waktu untuk terbuka dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka juga dituntut untuk tidak arogan atau merasa sebagai orang yang tepat di tempatnya, karena bukan ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu agama yang mereka pelajari dan praktekkan bertahun-tahun yang menjadi ukuran baik atau benarnya apa yang mereka kerjakan, tapi moral yang berkembang di masyarakat lah yang menjadi ukuran.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah hanya sebuah contoh ekstrim tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang diduga dilakukannya.

Di bawah ini adalah contoh ucapan para pejabat negara yang ingin terlihat religius.

"Di segala zaman, Tuhan selalu pada pihak kebenaran," kata Wakil Presiden Boediono (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/04/10045551/Boediono.Tuhan.Selalu.Berpihak.pada.Kebenaran ).

Presiden Yudhoyono: "Kebenaran dan keadilan akan datang. Barangkali terlambat, tapi Insya Allah akan datang karena itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa" (http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38829&Itemid=1122 ).

"Demi Allah saya bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi petunjuk pada saya," demikian kata Sri Mulyani saat disumpah Ketua Pansus Century Idrus Marham (http://www.kabarbisnis.com/keuangan/nasional/288700-Sri_Mulyani_bersumpah__Demi_ALLAH_.html ).

Sekali lagi, “kebenaran”, entah apa pun artinya itu, ternyata tidak terletak pada orang-orang yang nampak religius, tapi terletak entah di mana….

Jojo Rahardjo

Monday, March 08, 2010

PEMBUNUHAN ANAK-ANAK JALANAN DAN ETIKA ANGGOTA PANSUS

Saturday, January 16, 2010

Indonesia kembali tidak gempar! Padahal beberapa hari terakhir ini banyak media memberitakan tentang seseorang yang bernama Baikuni alias Babeh yang mengaku telah membunuh 7 anak jalanan yang beberapa di antaranya dimutilasi. Selain dibunuh, korban-korban itu juga diperkosa atau disodomi.

Bahkan media juga mengungkapkan ternyata ada belasan anak kecil usia di bawah 12 tahun yang dibunuh dan dimutilasi di wilayah Jakarta dan Bekasi sepanjang 3 tahun terakhir ini. Ada bekas-bekas perkosaan sebelum dibunuh. Mereka semua anak jalanan yang berkeliaran antara lain menjadi pengamen atau penyemir sepatu. Mengapa kasus "Robot Gedek" terulang kembali? Ternyata kita tidak belajar dari peristiwa-peristiwa yang mengerikan dan memilukan itu. Pembunuhan anak-anak seharusnya menyadarkan kita, bahwa itu adalah hanya tanda atau gejala saja, bahwa kita tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Bukankah anak-anak akan mewarisi negeri ini dari tangan kita? Puluhan anak kecil dibunuh, namun presiden negeri ini malah sibuk berkomentar tentang etika anggota pansus DPR.

Dari apa yang saya simak dari media, saya mencoba menghitung-hitung. Jika Baikuni atau Babeh membunuh 7 anak jalanan, berapa kira-kira "anak asuh" yang dimilikinya? Jika yang dibunuhnya adalah 20%, berarti "anak asuh" atau anak jalanan yang "diasuhnya" atau dikenalnya adalah 35 anak jalanan. Itu di satu tempat saja. Jika ada 100 tempat di Jakarta, berarti ada 3500 anak jalanan di Jakarta yang "diasuh" atau tidak oleh psikopat atau begundal yang suka mengeksploitasi anak. Ternyata banyak jumlahnya, ya!

Lalu, jika 3500 anak jalanan itu menggambarkan 10% dari anak miskin atau yang tidak terurus (namun tidak semuanya di jalanan), maka berarti ada 35.000 anak miskin atau tidak terurus di Jakarta. Banyak jumlahnya, ya!

35.000 anak miskin dan tidak terurus di Jakarta itu 10 tahun kemudian jadi apa, ya? Lalu 20 tahun kemudian jadi apa? Apakah akan kita sebut mereka sebagai penduduk yang membebani negara atau sampah masyarakat?

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, bahwa 60 persen penduduk Indonesia adalah anak-anak. Seharusnya begitu banyak anggaran yang dibutuhkan untuk mengelola 60 persen dari penduduk negeri ini. Menurut Arist, anak sangat penting karena perannya sebagai penerus bangsa. "Kalau anak-anak yang jumlahnya sangat banyak itu tidak diatur sedemikian rupa, bagaimana bangsa kita kelak?" katanya lagi ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/20/brk,20070220-93738,id.html ). Namun apa yang terjadi di kabinet SBY jilid dua? Tidak ada menteri anak, yang ada adalah wakil menteri.

Bandingkan juga dengan data dari Pengamat masalah anak dari Universitas Indonesia, Purnianti yang mengatakan banyak kasus pelanggaran hak anak yang tak terungkap. Data 40,3 juta pelanggaran hak anak hanya angka yang berhasil didokumentasikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/02/brk,20080102-114560,id.html ). Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan sepanjang tahun 2007 sebanyak 4.370.492 anak putus sekolah SD, 18.296.332 anak putus sekolah SMP, dan 325.393 anak putus sekolah SMA. Sedangkan 11 juta anak sisanya buta huruf karena tidak sekolah.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) setiap tahunnya mendapat anggaran dari pemerintah melalui Departemen Sosial Rp 22 juta. Bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh Komnas PA dengan Rp 22 juta itu? Namun dengan anggaran yang terbatas itu, Komnas PA mampu melaksanakan banyak program khusus untuk anak ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/02/14/brk,20050214-16,id.html ). Sementara itu jumlah anggaran komnas perempuan adalah Rp4.561.620.125 pada 2008 dan Rp2.063.352.510 pada 2009. Saya harus menyebut pemerintah negeri ini sebagai pemerintahan gila, karena hanya menyediakan Rp 22 juta saja setahun untuk mengurus anak-anak di Indonesia!

Itu belum membayangkan perilaku menyimpang apa yang bakal dilakukan setelah dewasa oleh anak-anak jalanan yang telah menjadi korban perkosaan Baikuni dan Robot Gedek (pelaku perkosaan dan pembunuhan anak-anak jalanan beberapa tahun lalu). Perlu diingat Robot Gedek dan Baikuni waktu kecil pernah diperkosa atau disodomi yang kemudian mereka melakukan perkosaan dan menyodomi anak-anak juga setelah dewasa.

Prihatin pada pembunuhan anak-anak jalanan ini bukan sekedar kasihan pada nasib anak-anak, tetapi adalah juga keprihatinan pada nasib negeri ini di masa depan, jika kita mengabaikan dan menganggap pembunuhan ini adalah soal kecil atau soal biasa atau bahkan soal ketidakberuntungan belaka.

Pembunuhan anak-anak seharusnya menyadarkan kita, bahwa itu adalah hanya tanda atau gejala saja, bahwa kita tidak peduli dgn perlindungan & pengembangan potensi anak di negeri ini. Mereka dianggap cuma segelintir anak-anak jalanan yang tidak beruntung.... Padahal, merekalah yg akan mewarisi negeri ini dari tangan kita.

Sekali lagi ini soal masadepan yang harus diurus sejak sekarang.


WE ARE LIVING IN A GLOBAL VILLAGE NOW, BUDDY!

18 Desember 2009

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang teman yang dulu saya kenal dekat pada masa lebih dari dua puluh tahun lalu. Hampir lebih dari 6 tahun terakhir ini saya tidak bertemu dengan teman ini. Ia tentu bukan teman biasa. Ia salah satu teman yang secara significant mempengaruhi saya dalam memandang “Tuhan”. Sebelumnya seorang astronom dari Padang Panjang telah mempengaruhi saya dalam memiliki sebuah cara memandang yang cukup ajeg terhadap apa yang sering disebut orang sebagai agama, yaitu cara memandang agama dengan kacamata fisika dan astronomi. Maka teman saya ini pun menyempurnakannya dengan cara memandang “Tuhan”. Saya tanpa sungkan menyebutnya telah membuat saya berhutang budi padanya. Saya juga harus tanpa malu menyebutnya sebagai teman yang telah mempengaruhi jalan hidup saya.

Pertemuan itu juga membuat saya merenung tentang hidup yang ternyata mudah ditebak dan direncanakan. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu, ia dan saya sering membincangkan tentang masa depan yang bagaimana yang sebaiknya diraih. Dan lebih dari dua puluh tahun kemudian, ujung dari apa yang ingin kita raih nyaris tercapai sekarang. Tentu saya dan dia berbeda dalam menentukan apa yang akan diraih. Meski sama-sama ingin merubah “dunia” , namun ia cenderung pada cara-cara conservative yang lebih instant ( conservative dan instant menurut kacamata seorang yang tergila-gila pada IT) yaitu dengan memanfaatkan setumpuk teori-teori yang dibangun oleh para akademisi dan penulis buku terkenal kelas dunia (saya tidak mau be more specific karena saya tidak perlu menguak jati diri teman saya ini). Sedangkan saya memilih cara yang contemplative seorang seniman sinting yang tentu saja memerlukan waktu yang lebih panjang. Jangan salah! Saya bukan memilih cara dengan menjadi 'nabi edan' seperti Lia Eden misalnya, tetapi dengan cara menyelami dan memanfaatkan hasil dari perkembangan peradaban manusia, misalnya teknologi (Saya tentu tidak perlu menjelaskan tentang peran teknologi dalam mengubah “dunia”). Saya membayangkan kelak suatu hari nanti menjadi jelas, bahwa “wahyu” masih turun melalui teknologi.

Kembali ke teman saya tadi. Sebenarnya ia tidak banyak berubah. Memang apa yang dilakukannya sekarang sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya dulu. Sekarang ia sibuk mengumpulkan uang melalui usahanya yang beraneka macam. Tentu ia sudah membela diri dengan mengatakan uang adalah alat atau ‘sasaran-antara’ saja dari sebuah tujuan yang lebih besar dan tinggi. Ia pun menyebut apa yang dilakukannya sekarang adalah juga untuk menciptakan lapangan kerja. Di luar apa yang membuatnya sibuk sekarang ini, ia adalah sosok yang masih sama. Sosok yang bermimpi, dunia menjadi gerbongnya dan ia menjadi lokomotifnya. Meski begitu, saya belum bertanya kepadanya kemana gerbong-gerbong ini akan ia bawa? Saya pun kemudian menjadi kuatir, karena persoalan dunia begitu cepat bergerak, sementara itu ia pun semakin renta, exhausted dan tidak terasah lagi. Saya pesimis, ia bukan lagi jawaban bagi persoalan dunia yang sudah berubah dibanding lebih dari 20 tahun lalu itu. Dunia kini sudah berubah menjadi global village berkat teknologi dengan segala persoalan barunya. Global village yang tidak melulu sekedar persoalan sosial dan politik, tetapi dunia dengan persoalan barunya yang berakar pada persoalan environment yang kemudian melebar menjadi persoalan sosial dan politik.

Meski pesimis dan kuatir, namun saya bangga memiliki teman seperti dia, karena saya menganggapnya sebagai ayah yang baik bagi anaknya, meski saya tidak tahu apakah ia suami yang baik (hi..hi..hi..). Ada satu adegan waktu saya bertemu dengannya yang sungguh membawa ingatan saya kembali ke tahun-tahun 1983-1990, yaitu ketika ia berbicara dengan anaknya. Caranya berbicara dengan anaknya sama sekali tidak berbeda ketika ia berbicara dengan keponakannya dan keponakan saya di tahun-tahun 1983-1990 itu. Bagi kebanyakan orang tentu adegan berbicara dengan anak adalah adegan biasa, namun bagi saya adegan itu tidak biasa, karena ia memperlakukan anaknya sama seperti ia memperlakukan teman-temannya yaitu sederajat secara intelektual dan memberinya respect. Pemandangan yang jarang bisa saya nikmati di dunia yang jahil seperti ini.

Well, buddy, good luck with your new life!