Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Tuesday, April 19, 2005

RAMAI-RAMAI TERJUN BEBAS DI STASIUN TV LOKAL

KONSEP MEMBANGUN TV LOKAL
DARI PENGALAMAN MASYARAKAT AMERIKA

Musim durian telah tiba, demikian ungkapan yang bisa menggambarkan munculnya TV lokal di berbagai kota di Indonesia. Awalnya di satu tempat, lalu di tempat lain hingga di berbagai tempat. Namun demikian hanya beberapa yang menjual durian enak. Demikian juga hanya akan ada beberapa TV lokal yang bagus, baik dari segi tontonan atau dari segi bisnis.

Jika kita membaca buku-buku mengenai industri pertelevisian, misalnya hasil survey di Amerika yang berjudul Broadcasting in Amerika, maka mengamati dunia pertelevisian kita amat menarik karena pertelevisian kita bagai mengulang sejarah pertelevisian di Amerika. Kita memang tidak bisa melepaskan diri dari pengalaman masyarakat Amerika dalam membangun industri TV-nya. Di sana lah pertama kali stasiun TV dibangun dan di sana pula industri TV terbentuk. Memang, industri TV di Indonesia tidak langsung belajar dari pengalaman Amerika, tetapi banyak persoalan yang dialami masyarakat Amerika dulu kini dialami oleh masyarakat Indonesia. Contohnya adalah bagaimana Undang-undang Siaran dibentuk.


Yang paling menarik adalah data mengenai profile penonton TV di Amerika menurut Broadcasting in America itu. Data ini menarik karena ikut membentuk programming di pertelevisian. Penonton TV di Amerika terbanyak adalah penonton dengan kelas C, D, dan E, bukan kelas A dan B, juga berpendidikan rendah atau gabungan keduanya. Kita memang hanya melihat beberapa program-program bagus dari Amerika, tetapi sesungguhnya banyak program yang amat tidak cerdas dan tidak mendidik yang ditayangkan di negara-negara maju.

Begitu juga menurut survey AC Nielsen terhadap penonton televisi di Indonesia, makin rendah tingkat pendidikannya, makin tinggi jam menonton televisinya. Sebagai contoh, sepanjang bulan Maret 2005, menurut survey AC Nielsen pada jam 18:00-22:00 penonton televisi di Indonesia adalah lebih banyak penonton dari kelas C, D, dan E.

Demikian juga makin rendah kelas ekonominya makin tinggi jam menonton televisinya. Hal ini mungkin bisa dipahami, karena dengan pendidikan yang tinggi orang lebih menyukai mengisi waktunya untuk kegiatan lain seperti, membaca dari berbagai media atau berbagai sumber informasi. Juga dengan pendidikan yang lebih tinggi, tingkat kelas ekonominya pun bertambah, sehingga orang-orang ini memiliki pilihan dalam melakukan kegiatan yang lain dibanding menonton televisi, misalnya melakukan kegiatan ke luar rumah, surfing di Internet, atau menonton Pay TV (seperti televisi Satelite), menonton film dari VCD/DVD atau mengerjakan kegiatan lain seperti yang bersifat hobby.

Profile penonton seperti ini terlihat di tayangan serial drama baik lokal maupun asing yang tidak mungkin disukai oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Film lepas untuk profile penonton seperti itu lebih banyak film action yang ceritanya menghina intelektual penontonnya, yang penting ada gedebak-gedubuk, dar-der-dor, bum atau esek-esek. Tayangan seperti itu pasti mendapatkan jumlah penonton yang tinggi jika dibandingkan dengan tontonan lain misalnya talkshow.

Meski begitu, bukan berarti tayangan-tayangan yang mendidik atau memuaskan intelektual penonton (yang tidak bisa memperoleh jumlah penonton yang tinggi itu) tidak bisa menjadi tayangan yang menguntungkan secara bisnis. Karena dengan marketing strategy yang tepat sebuah talkshow dengan rating hanya 1 atau 2 bisa dijual kepada pemasang iklan yang cocok berdasarkan profile penontonnya. Marketing strategy yang lainnya adalah menjual slot iklan berdasarkan Cost Per Million (CPM) yang tidak banyak diterapkan oleh stasiun TV sehingga banyak TV yang memaksakan diri untuk memiliki program dengan rating tinggi meski pun dengan menayangkan me too program (program sejenis atau yang meniru program dari stasiun lain yang sukses). Dengan rating rata-rata yang tinggi di jam prime time, sebuah stasiun TV akan lebih mudah membuat paket iklannya, yaitu cukup menjual slot iklan di prime time. Slot iklan di jam-jam lainnya cukup dijadikan bonus dalam menjual slot di prime time.

Memang, stasiun tv yang berusaha membidik kelas menengah atas akan cuma bisa memperoleh rating yang sesuai dengan marketnya, karena penonton dengan profile seperti itu memang sedikit jumlahnya di banding penonton dengan profile lainnya. Tapi tentu saja bukan berarti tidak bisa jualan, karena banyak marketing strategy yang bisa diterapkan oleh sebuah stasiun TV yang segmented.

Banyak stasiun TV lokal di Amerika yang didirikan karena hobby semata atau untuk membangun citra dari grup bisnis seorang pengusaha sebagaimana sekarang terjadi di Indonesia.

All of the earliest television stations were necessarily local stations. Most began in an "experimental" status, non-commercial and sporadically scheduled. Applications for early stations had come from a range of potential participants, but many of the first to become truly operational were owned by radio networks or broadcast equipment manufacturers with strong financial reserves; costs for construction and research-and-development were high, and revenues were low or non-existent for many years and much of the television industry was developed by those who could withstand continuing financial losses. Encyclopedy of Television (The Encyclopedia of Television, http://www.museum.tv/archives/etv/Encyclopediatv.htm ).

Meski demikian sebaiknya TV Lokal baru pada 3 tahun pertamanya berorientasi pada revenue sebagai orientasi utamanya, baru Station Identity sebagai orientasi keduanya sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini. Jika ini disebut sebagai “konsep”, maka sebuah stasiun TV, misalnya, akan memperhitungkan tayangan yang akan dipasang berdasarkan berapa stasiun itu akan mendapat revenue, bukan terpaku pada station identity yang harus dipertahankan atau dibangun. Oleh karena itu stasiun TV yang memposisikan dirinya di segment yang lebih umum, bukan segment tertentu, akan lebih mudah melakukan manuver dalam business development strategy-nya. Meski demikian menurut Public Relations strategy, dibutuhkan public campaign yang menyatakan bahwa stasiun ini berorientasi pada kepentingan publik (misalnya).

Konsep membangun stasiun TV lokal ini dibawah ini diringkas dari buku Broadcasting in America. Konsep ini digambarkan berdasarkan department di sebuah stasiun TV yang paling penting beserta job description-nya. Di bawah ini adalah department yang penting menurut urutannya.

1. Research & Development  untuk merancang business development serta merancang brand (segmentasi) dan image.
i. Market Survey  audience profile:
a. Social Economic Status (Economic Class)
b. Sex (ini cukup penting dilihat dari kacamata pemasang iklan)
c. Age (ini juga penting dari kacamata pemasang iklan)
d. Education (paling belakang karena kadang meski berpendidikan tinggi tetapi SES-nya tinggi dan kurang dipandang penting oleh pemasang iklan)
ii. Market Survey  audience tendency terhadap program-program TV
iii. Major Audience Mapping  tiap-tiap jam bisa memiliki audience profile tertentu yang menonjol
iv. Menentukan Station Identity
v. Memberi rekomendasi dalam merancang programming untuk tiap-tiap jam yang berbeda berdasarkan hari, seperti, hari kerja, sabtu dan minggu
vi. Memberi rekomendasi untuk pembentukan perilaku penonton (audience tendency)
vii. Mensupport department lain, misalnya Promotion Department, bagaimana merancang promotion strategy untuk membentuk brand image atau awareness di benak audience.

2. Programming  Merancang programming strategy
i. Menciptakan program yang bisa memiliki multiplier effect, seperti reality program
ii. Bekerja sama dengan Production Department untuk merancang Local Program
iii. Menentukan dan merencanakan program yang harus dibeli dari pihak luar
iv. Membangun kerjasama atau networking dengan pihak luar dalam hal programming
v. Merancang budget untuk membeli dan memproduksi program
vi. Bersama dengan R&D mengevaluasi programming setiap bulan sekali atau setiap periode waktu yang ditentukan
vii. Mengantisipasi setiap perubahan situasi rating dari setiap stasiun TV yang ada
viii. Bekerja sama dengan Promotion Department dan Marketing Department untuk program yang akan datang

3. Promotion  untuk memperoleh rating juga untuk membangun brand image dan awareness.
i. Merancang off-air event  penting untuk kota kosmopolitan seperti Jakarta
a. Untuk memikat target audience yang sudah ditentukan
b. Untuk membangun brand image dan awareness
c. Untuk mempertahankan brand awareness dengan melakukan kegiatan sosial, misalnya sebagai menjadi fasilitator untuk bantuan kemanusiaan pada saat terjadi bencana
d. Merancang promotion tools, seperti souvenir, sticker, T-shirt, topi, pen, payung dan lain-lain.
ii. Bekerja sama dengan Programming Department merancang on-air promotion
a. Program promotion  mengingatkan atau menginformasikan tentang program yang sudah ada atau yang akan ditayangkan
b. Merancang promotion untuk target audience tertentu, misalnya berdasarkan usia atau audience dari kelompok masyarakat tertentu
iii. Merancang promotion melalui semua media yang ada; cetak dan elektronik
iv. Bekerja sama dengan Marketing Department membangun relationship dengan pemasang iklan; agency dan advertiser
v. Melakukan pekerjaan Public Relations (jadi PR di bawah Promotion Department)
a. Merancang PR Strategy
b. Mengumpulkan dan mengelola informasi atau profile perusahaan, serta menerapkannya seperti:
 Vision
 Mission
 Short and long term business development and plans
c. Membuat company profiles dalam berbagai format
d. Melakukan Publication
i. Regular: - Membuat dan mengelola company website
- Mengelola newsletter, in-house magazine
ii. Irregular: - Menulis articles atau press release.
- Mendorong pihak lain atau penulis lain untuk menulis artikel atau membuat exposure tertentu yang bisa ikut mendorong business development
e. Company analyses atau SWOT analyses
f. Menjadi juru bicara untuk media and pihak lain (media relations and spokesperson)

4. Marketing  Membuat strategy untuk mendapatkan revenue secara maksimal meskipun perolehan rating-nya rendah
i. Merancang Comprehensive Brochure yang berisi mengenai company profile dan programming strategy hingga beberapa tahun ke depan. Juga ada gambaran mengenai audience profile dan perolehan rating dan projection-nya.
ii. Merancang paket iklan berdasarkan
a. Social Economic Status
b. Age
c. Sex
d. Education
e. Gabungan dari beberapa atau semua audience profile category di atas
iii. Merancang paket iklan berdasarkan waktu tayang; Early Morning (7:00-10:00 A.M.), Daytime (10:00 A.M.-6:00 P.M.), Early Fringe (6:00-7:00 P.M.), Prime Access (7:00-8:00 P.M.), Prime Time (8:00-11:00), Late Fringe (11:00-11:30 P.M.), Late Night (11:30 P.M.-12:30 A.M.), Overnight (12:30-7:00 A.M.)
iv. Merancang paket iklan berdasarkan program type
v. Merancang marketing strategy untuk mendapatkan pemasang iklan pada program-program yang memiliki rating rendah.
vi. Menentukan pemasang iklan potensial dan mempersuasi untuk beriklan
vii. Membangun relationship dengan pemasang iklan; agency dan advertiser

5. Management & Technical support

Semua pekerjaan di atas tidak ada artinya jika tanpa management atau administrative support, seperti Traffic Section untuk mengelola penayangan iklan. Semua pekerjaan tersebut harus ada sistem untuk mengevaluasi dan mempertahankannya.

Sebuah stasiun TV dengan programming yang baik saja belum cukup tanpa didukung oleh technical support yang baik pula. Tidak mungkin sebuah program yang baik akan ditonton jika terus menerus ada gangguan dalam siarannya, baik itu gambar atau suaranya. Begitu juga ketepatan waktu dalam setiap tayangan, pergantian dari satu program ke program lain. Jeda lebih dari 2 detik akan terasa amat lama di mata penonton yang bisa berakibat pindahnya penonton ke channel lainnya.


Jejak Ted Turner; TV Lokal Menjadi Raksasa CNN

Pada tahun 1975, teknologi satelit komunikasi Amerika sampai pada tahap di mana orang dapat memancarkan siaran TV. Pada tahun itu Time, Inc. yang telah mendirikan HBO menyiarkan pertandingan tinju antara Muhammad Ali-Joe Frazier yang didistribusikan melalui satelit ke berbagai stasiun TV dan sukses.

Terinspirasi dari kesuksesan siaran pertandingan tinju itu, Ted Turner, pendiri CNN, yang saat itu masih menjalankan Turner Communication yaitu bisnis billboard dan stasiun-stasiun radio, melihat peluang untuk beriklan di TV secara nasional hanya dari sebuah stasiun TV lokal kecil bernama WTBS di Atlanta (My Beef With Big Media, How government protects big media--and shuts out upstarts like me. By Ted Turner. http://www.washingtonmonthly.com/features/2004/0407.turner.html ).
Ted menyewa sebuah saluran satelit yang sama dengan HBO untuk menerima dan memancarkan siaran TV WTBS, lalu Ted menginformasikan kepada seluruh perusahaan Pay TV di Amerika, seluruh bahwa program dari siaran WTBS boleh dipancar-ulangkan secara gratis. Ratusan Pay TV yang ada saat itu kemudian mendapat tambahan program baru, sehingga WTBS kini memiliki jutaan pemirsa yang tentu saja juga menarik perhatian para pemasang iklan TV. The charge to the cable companies did not cover the WTBS's own costs, but the station was now able to set higher advertising rates because its audience was spread over the entire country (Cable Networks, The Encyclopedia of Television, http://www.museum.tv/archives/etv/Encyclopediatv.htm )

Sudah lebih dari 10 tahun pertelevisian Indonesia. Kritik terhadap tayangan televisi kita semakin kuat saja, bahkan Komisi Penyiaran Indonesia (http://www.kpi.go.id) yang sudah dibentuk ”rajin” melayangkan protes dan kritik tentang acara-acara yang bisa memiliki akibat buruk. Seminar dan diskusi pun sudah digelar untuk mempertanyakan arah pertelevisian kita. Namun kelihatannya pertelevisian kita bakal terus berjalan dengan “tayangan-tayangan yang disukai penonton” sebagaimana yang ditunjukkan oleh survey AC Nielsen dalam bentuk “rating tinggi”. Industri televisi sampai kini hanya tunduk pada “rating”. Hanya “rating turun” yang dapat membuat sebuah stasiun TV merubah tayangannya. Meski pun demikian sebuah stasiun TV bisa saja membentuk prilaku menonton pemirsanya melalui beberapa strategi.

Tayangan “setan-setanan” adalah contoh tayangan yang dapat memberikan rating yang cukup untuk membuat sebuah stasiun bisa “jualan” dan bertahan hidup. Beberapa waktu yang lalu Indul Daratista pernah dieksploitasi oleh hampir semua stasiun TV untuk memperoleh untung. Meski tayangan seperti itu tidak cerdas dan tidak mendidik, kebanyakan stasiun TVternyata memang harus bertahan hidup dengan cara seperti. Entah, sampai kapan situasi ini berubah atau diubah. Barangkali kehadiran TV-TV Lokal baru akan memberi peluang baru untuk adanya perubahan itu melalui persaingan antar stasiun TV yang semakin ketat.

Jojo Rahardjo
Pengamat dan Praktisi Multimedia

jojor@hotmail.com