Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Friday, November 16, 2007

GUBERNUR DKI, FAUZI BOWO MENANTANG TUHAN....

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=suara_publik&id=75
Pak Gubernur Nantang Tuhan?

SUARA PUBLIK
Jumat, 09 November 2007, 11:44:27 WIB

Pak Gubernur Nantang Tuhan?

REAKSI Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo terhadap protes masyarakat atas kemacetan lalu lintas Jakarta yang tambah menjengkelkan karena adanya proyek busway terasa betul amat berlebihan. Ketika membaca membaca berita yang mengutip ucapan Pak Gubernur itu saya sungguh merasa terganggu.

Jangan hanya lapor ke Polda, kalau perlu lapor juga ke Tuhan, begitulah kata Fauzi Bowo kepada wartawan, Selasa, 6 November 2007.Coba mari kita ganti kata Tuhan menjadi Presiden. Jangan hanya lapor ke Polda, kalau perlu lapor juga ke Presiden. Saya jamin (karena yakin), Pak Gubernur pasti tidak berani mengucapkan kalimat seperti itu. Mengapa? Ada kesan menantang. Orang tentu saja dapat berpendapat lain. Ucapan Jangan hanya lapor ke Polda, kalau lapor juga ke Tuhan bisa dianggap meremehkan Tuhan (semua pemeluk agama yang bertuhan). Apa urusannya Tuhan dengan kemacetan?

Saya hanya mengingatkan saja, tidak ada kepentingan lain. Juga tidak berminat untuk mendesak Pak Gubernur minta maaf. Terserah Pak Gubernur.

Fahreza Cahya Pahlevi,Cibubur II, Ciracas, Jakarta Timur.

ANAK INDONESIA SEKARANG

DAN
INDONESIA DI MASA DEPAN

Beberapa minggu terakhir ini hidup saya disibuki oleh 2 soal besar. Yang pertama adalah melakukan pekerjaan sehari-hari saya untuk mendapatkan sesuap nasi di sebuah perusahaan swasta. Yang kedua adalah membantu 2 orang keponakan saya yang sedang menjadi korban pertikaian keduaorangtuanya. Mereka kedua-duanya perempuan berumur 14 tahun dan 9 tahun. Hal yang pertama tentu memang soal besar karena saya tidak bisa meneruskan hidup jika tidak bekerja. Namun mungkin bagi kebanyakan orang akan terasa agak aneh, karena saya telah menjadikan ‘membantu keponakan’ menjadi soal besar dalam hidup saya, bahkan hingga meninggalkan pekerjaan sekunder saya yang lain seperti menulis dan yang lain.


Meski saya tidak memiliki anak sepanjang 15 tahun perkawinan saya dan meski saya sebelumnya tidak membaca UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Th.2004, UU Perlindungan Anak Th.2002, UU Kesejahteraan Anak Th.1979 (yang semuanya baru saja saya baca beberapa hari yang lalu), tetapi sejak lama saya memiliki kesadaran, bahwa anak-anak adalah masa depan sebuah bangsa atau sebuah komunitas besar manusia, bahkan masa depan umat manusia. Kesadaran saya ini hampir sama dengan apa yang sudah tulis dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya (http://jojor.blogspot.com/) mengenai Teknologi Informasi. Anak atau Teknologi Informasi begitu penting, karena akan menentukan atau mempengaruhi masa depan sebuah atau semua komunitas manusia.

Anak-anak tidak hanya membutuhkan tempat bernaung, pakaian, sekolah, makan dan minum, atau teman-temannya ketika terjadi pertikaian keduaorangtuanya. Anak-anak ternyata membutuhkan konselor atau pendamping pada saat-saat pertikaian itu berlangsung. Itu lah yang saya coba lakukan beberapa minggu terakhir ini. Sayang sekali, usaha saya itu tidak bisa menjadi maksimal karena saya pun akan memiliki masalah besar jika tidak melakukan pekerjaan sehari-hari saya, yaitu mencari sesuap nasi itu.

Saya adalah orang yang berada di lingkaran dekat kedua keponakan saya itu. Ada beberapa orang lain selain saya, misalnya kakek dan nenek mereka yang tidak memiliki pekerjaan lain selain menikmati hari-tua. Namun hanya saya sendiri yang menyediakan diri untuk menjadi pendamping dua keponakan saya itu. Tentu alasan orang-orang lain tidak bisa menjadi pendamping adalah karena sibuk atau alasan lain. Apa yang saya lakukan pun hanya pada waktu yang tersisa dari waktu bekerja saya. Bukan sepanjang hari. Lalu pertanyaan saya adalah, bagaimana peran pemerintah untuk menjadi konselor atau pendamping anak-anak yang menjadi korban pertikaian keduaorangtuanya ini (sebagaimana yang disebutkan dalam UU yang sudah saya sebut di atas)? Pertanyaan ini muncul, karena saya yakin banyak kasus pertikaian orang tua terjadi di sekitar kita.

Setelah beberapa minggu saya menjadi pendamping dua keponakan saya itu, mulai muncul masalah, yaitu perbedaan pandangan saya dengan orangtuanya dalam menangani dua keponakan saya itu. Bagi saya, dua keponakanan saya ini harus terus terlindungi atau dihindari dari suasana konflik yang sedang terjadi. Sehingga mereka memerlukan sebuah tempat lain yang bisa memberikan suasana yang tepat untuk meneruskan hidup dan menyembuhkan luka-luka jiwa mereka karena telah menyaksikan kekerasan keduaorangtuanya dan telah mengalami kekerasan yang yang dilakukan oleh ayah atau ibu pada mereka.

Karena perbedaan pandangan itu, akhirnya saya menyerah, saya berhenti menjadi pendamping dua keponakan saya, karena saya tidak atau belum memiliki hak asuh terhadap kedua keponakan saya itu. Belakangan saya membaca di UU Perlindungan Anak dan UU KDRT, bahwa penelantaran atau menempatkan anak dalam situasi yang tidak baik bisa membuat keduaorangtuanya kehilangan hak asuh pada anak-anaknya. Namun demikian, meski saya sudah membaca aturan-aturan itu, ini tetap soal yang sulit bagi saya untuk menyikapinya.

Tulisan ini saya buat hanya sekali ketik sebagai hasil perenungan selama beberapa hari ketika membantu dua keponakan saya itu. Semoga lebih banyak pihak yang tergugah untuk lebih menyadari pentingnya kesadaran tentang perlindungan bagi anak-anak dan pentingnya memberi situasi yang tepat bagi anak-anak agar berkembang menjadi pribadi yang sehat dan kompetitif di masa depan untuk memimpin Indonesia.

Ada soal-soal yang amat memprihatinkan ketika orang tua bertikai. Anak-anak dipertontonkan soal-soal yang membingungkan mereka. Ada soal-soal yang tidak konsisten yang bisa membuat anak tidak mampu belajar untuk tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mereka juga diajarkan untuk menjadi biasa pada prilaku-prilaku buruk seperti berteriak-teriak, berkata-kata kotor atau kasar, mengancam, bahkan memukul.

Dalam situasi pertikaian ini, saya pikir amat ideal jika ada konselor atau pendamping anak-anak yang datang, sebagaimana yang saya lakukan (meski gagal). Jangan berharap anak-anak atau keluarga yang bertikai itu yang datang ke konselor atau ke pusat konseling, karena saya yakin itu tidak akan mungkin dilakukan dalam suasana pertikaian. Berdasarkan laporan dari siapa saja, baik keluarga di lingkaran dekat, tetangga, atau teman dari keluarga yang bertikai itu, sebaiknya konselor (baik dari Pemerintah, Komnas Perlindungan Anak, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mendatangi anak-anak yang menjadi korban itu.

Hari-hari terakhir ini saya mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk soal-soal anak ini. Entah saya yang tidak tahu atau tidak peduli sebelumnya, saya tidak ingat banyak tentang apa yang sudah pemerintah lakukan untuk perlindungan anak ini. Saya hanya ingat ada Kak Seto yang Ketua Komnas Perlindungan Anak. Itu pun karena Kak Seto banyak muncul di TV dalam kasus pertikaian para artis TV, film, atau artis musik yang mengorbankan anak-anak mereka. Jika tidak ada kemunculan Kak Seto di TV mungkin saya tidak tahu adanya UU Perlindungan Anak, UU KDRT, atau Komnas Perlindungan Anak. Sehingga saya pikir, mungkin Kak Seto sebaiknya tidak hanya muncul saat membantu anak-anak artis itu, tetapi juga membuat kampanye yang lebih kuat dan giat untuk memberi kesadaran pada banyak orang tentang pentingnya melindungi anak-anak Indonesia.

Sebagaimana sudah disebut di dalam pembukaan UU Perlindungan Anak, bahwa anak adalah”anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan”. Bahkan saya ingin mengulangi lagi, bahwa masa depan Indonesia terletak pada anak-anak yang sekarang ini dibentuk oleh 4 soal, yaitu orangtuanya, sekolah, teman-teman yang dikenalnya (di sekolah, famili atau di sekitar rumah) dan acara-acara TV. Untuk soal yang terakhir, saya kira acara-acara TV adalah soal yang paling penting untuk diperhatikan, karena ini harus melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu. Acara TV tidak boleh (sebagaimana yang terjadi sekarang) menjadi ancaman bagi perkembangan kepribadian anak-anak di masa depan.

Orang tua tentu idealnya bisa menjadi pondasi yang kokoh dalam perkembangan pribadi anak. Soal-soal lain tentu akan menjadi mudah untuk diatasi jika anak-anak sudah memiliki orang tua yang ideal. Sayangnya pemerintah (setahu saya) tidak memiliki program untuk memberikan semacam bimbingan praktis tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi perkembangan pribadi anak-anak. Begitu juga Komnas Perlindugan Anak (http://www.komnaspa.or.id/) atau Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat belum saya dengar atau lihat ada yang memiliki program seperti ini.

Idealnya ada sebuah pusat ’bimbingan untuk para orangtua’ yang menyediakan program bimbingan singkat 2 minggu atau beberapa minggu untuk tiap-tiap sebuah periode umur anak. Misalnya program untuk balita (0-5 tahun), program untuk menghadapi masa penuh gejolak 10-18 tahun, dan lain-lain. Bahkan kalau bisa program bimbingan ini diwajibkan untuk diikuti para orangtua untuk menjamin Indonesia memiliki orang-orang dengan kepribadian yang sehat dan kompetitif di masa depan.

Bagaimana, Kak Seto?

Friday, September 21, 2007

SALAH KAPRAH BUSWAY

Jumat, 21 September 2007,



Sejak pertama kali ide busway ini dilemparkan, sudah muncul salah kaprah yang mengganggu saya tapi tidak mengganggu kebanyakan orang di Jakarta ini. “BusWay” yang dalam bahasa Indonesia berarti “JalurBis” ini sebenarnya hanya diperuntukkan untuk bis TransJakarta semata. JalurBis ini bukan untuk seluruh bis umum yang beroperasi di Jakarta. Jadi mengapa sering disebut sebagai ”BusWay”, karena yang benar seharusnya disebut sebagai ”TransJakartaWay”. Salah kaprah ini juga termasuk penyebutan untuk bis TransJakarta yang selalu disebut dengan ”BusWay” juga.

Bis lain selain bis TransJakarta tidak boleh memanfaatkan JalurBis ini. Padahal konsep transportasi umum yang terbukti sudah berhasil di hampir di seluruh permukaan bumi ini, menerapkan semua bis untuk bisa menggunakan JalurBis yang disediakan pemerintah, termasuk di Singapura, Malaysia, Thailand dan negara-negara Asia lainnya. Meskipun konsep transportasi umum itu terbukti berhasil diterapkan di hampir seluruh permukaan bumi ini atau di hampir seluruh negara di dunia ini, tetapi Sutiyoso lebih memilih konsep transportasi umum dari sebuah kota jauh di Amerika latin sana, Bogota, Columbia.

Jakarta adalah sebuah kota yang situasi lalu-lintasnya begitu amburadul. Kemacetan begitu parah hampir di semua titik pada saat jam sibuk. Pemimpin negeri ini dan pemimpin kota Jakarta di masa lalu terlalu sibuk pada urusan-urusan yang entah apa, sehingga lupa memikirkan konsep transportasi umum di Jakarta ini. Lalu muncullah Sutiyoso, gubernur Jakarta. Bak pahlawan kesiangan melemparkan ide TransJakarta sebagai konsep transportasi umum di Jakarta. TransJakarta (atau sering disebut oleh semua orang dengan sebutan salah kaprah BUSWAY) harus diterapkan, harus diwujudkan, harus dijalankan, walau langit runtuh, walau setan menghalangi, walau dunia mencerca, walau anjing menggonggong, walau kemacetan bertambah amburadul dan bertambah parah!

Maka jalan-jalan di Jakarta pun diacak-acak untuk dibuatkan sebuah jalur tambahan lagi untuk melajunya bis TransJakarta. Padahal sudah ada satu jalur khusus bis sejak jaman Sutiyoso masih ingusan dulu. Akibatnya jalur untuk kendaran pribadi menjadi semakin kecil, maka kemacetan pun bertambah parah, lalu-lintas pun bertambah amburadul. Padahal lagi, transportasi umum yang layak, aman dan nyaman seperti bis TransJakarta itu belum tersedia jika pengguna kendaraan pribadi itu ingin menggunakan transportasi umum. Bukan kah itu konsep yang gila?

Seharusnya yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi dan layanan bis-bis yang sudah ada lebih dahulu. Ini dimaksudkan agar pengguna kendaraan pribadi memiliki pilihan jika “JalurBis Baru” dibangun (dan terjadi kemacetan yang parah) mereka bisa menggunakan bis-bis yang layak, nyaman dan aman yang sudah tersedia.

Namun demikian jika “JalurBis Baru” sudah selesai dibangun bukan berarti hanya satu perusahaan saja yang boleh menggunakannya, seperti TransJakarta saja, tetapi harus semua perusahaan bisa menggunakan “Jalur Bis Baru” itu. Tentu dengan menerapkan persyaratan yang ketat.

Oleh karena itu saya bisa memahami sikap warga Pondok Indah yang menolak dibangunnya TransJakartaWay di wilayahnya. TransJakarta itu bukan satu-satunya konsep transportasi umum yang tersedia. Lalu mengapa pemerintah kota Jakarta begitu membatu memaksakan konsep gila itu diterapkan di wilayah yang memang sudah macet itu? Padahal dialog dan saran sudah ditawarkan oleh warga Pondok Indah.

Apakah kita memerlukan satu gugatan class action baru untuk melawan pemerintah kota Jakarta?

Jojo Rahardjo

Tuesday, September 18, 2007

BEA METERAI PADA LEMBAR PENAGIHAN KARTU KREDIT

Tulisan ini penting untuk membiasakan konsumen Indonesia untuk “berpolemik” di media massa tentang aturan pemerintah yang “samar-samar” atau justru malah membingungkan. Melalui bea meterai pada lembar penagihan KK, perusahaan KK bisa menarik dana puluhan milyar rupiah per tahun untuk disetorkan kepada negara. Persoalannya adalah apakah negara memang bermaksud menarik itu dari masyarakat konsumen atau dari perusahaan KK? Persoalan kedua adalah apakah perusahaan KK dengan jujur menyetor semua dana yang dikumpulkannya itu?


Media Konsumen, 17 September 2007

Ada banyak permainan yang dijalankan oleh perusahaan Kartu Kredit (KK) untuk menjerat anda agar terus berada di dalam permainan mereka selama mungkin. Permainan ini sebagian legal alias tidak melanggar hukum dan sebagian lagi illegal. Kedua-duanya dapat merugikan anda dan dapat membuat anda menjadi penghutang sepanjang sisa hidup anda. Permainan ini tentu menguntungkan perusahaan KK. Anda bisa menghindari masuk ke dalam permainan ini, jika anda tahu kiatnya sebagaimana disarankan di banyak situs Internet tentang permainan KK atau dalam tulisan saya sebelumnya (http://www.mediakonsumen.com/Artikel350.html ). Biasanya di Internet kiat ini diberi judul “Winning the Credit Card Game.”

Apa pun yang bisa dilakukan untuk mengeruk keuntungan akan dilakukan oleh perusahaan KK, termasuk Citibank. Salah satu caranya adalah dengan membebankan bea meterai kepada konsumennya. Mengapa itu sebuah credit card game? Karena konsumennya tidak tahu, apakah bea meterai yang konsumen bayar (dengan maksud dibayarkan kepada Dirjen Pajak atau negara) melalui Citibank betul telah atau akan disalurkan oleh Citibank kepada negara? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Citibank, maka Citibank pun tidak mau menjawab pertanyaan ini atau menjawab dengan cara berbelit-belit dan membuat tidak nyaman konsumennya.

Soal bea meterai ini mencuat karena diawali oleh Hagus yang telah menjadi pemegang KK Citibank sejak tahun 1993 mempertanyakan bea meterai yang dibebankan pada setiap lembar penagihan (cari tulisan-tulisan Pak Hagus dengan fasilitas “Cari” yang ada di situs http://www.mediakonsumen.com/ ini). Bahkan pada beberapa lembar penagihan ada 2 bea meterai yang harus dibayar oleh Pak Hagus. Pak Hagus mempertanyakan beban bea meterai pada konsumen karena tidak ditemukan dasar hukumnya.

Memang ada sebuah pasal yang berbunyi seperti ini: MENGHIMBAU KEPADA PENERBIT DOKUMEN UNTUK SEGERA MENGENAKAN BEA METERAI ATAS DOKUMEN YANG DITERBITKAN. Himbauan itu tertulis dalam dalam SE Dirjen Pajak no 13 th 2001. Kata menghimbau dalam bahasa Indonesia berarti menganjurkan, tidak memaksa, menyarankan, tidak mewajibkan. Memang kalimat yang digunakan dalam pasal Dirjen Pajak ini kurang tegas dalam maksudnya dan bisa ditafsirkan atau dipelintir artinya. Jika peraturan itu menggunakan kata “mewajibkan” atau “mengharuskan”, tentu penafsirannya akan berbeda dan menjadi lebih tegas.

Meski bukan hanya Citibank yang menafsirkan pasal itu sebagai alasan untuk membebankan konsumennya dengan bea meterai atas dokumen (lembar penagihan) yang diterbitkan, namun itu bukan berarti Citibank bisa memaksakan konsumennya untuk membayar bea meterai dan tidak mau mengembalikannya ketika diminta oleh konsumennya.

Ini memang sebuah wacana publik tentang bea meterai yang dibebankan sebuah perusahaan kepada konsumen. Ini pembelajaran kepada masyarakat konsumen Indonesia agar tidak gampang menerima “pemelintiran” kebijakan Pemerintah oleh perusahaan swasta atau asing untuk mengeruk atau mengumpulkan dan memanfaatkan dana yang jumlahnya bisa Puluhan Milyar Rupiah per tahunnya untuk tujuan yang tidak diketahui oleh konsumennya.

Berdasarkan pada PPRI no 24/2000 dan SE Dirjen Pajak no 13/2001 itu, Pak Hagus berpendapat bahwa pemegang KK tidak diwajibkan untuk membayar bea meterai itu. Jika bukan pemegang KK yang diwajibkan untuk membayar bea meterai itu, maka tentu pembuat dokumen yang mendapat kewajiban itu. Oleh karena itu Pak Hagus mengajukan keberatan dan meminta pengembalian bea meterai itu yang sudah dikenakan sejak tahun 2000 itu. Keberatan itu diajukan dan dilakukan berulang-kali hingga membuat Pak Hagus kesal dan merasa amat tidak nyaman, meski pun akhirnya Citibank mulai mengembalikan sebagian kecil dari bea meterai yang telah ditagih Citibank pada periode bulan Juni 2005 hingga Oktober 2006. Itu pun Citibank tidak mengembalikan semua bea meterai yang sudah dibebankan kepada Pak Hagus. Bahkan Citibank telah secara sepihak memberikan laporan kepada Bank Indonesia, bahwa Pak Hagus memiliki tunggakan kepada Citibank sebesar sekian juta. Namun anehnya, Citibank tidak pernah menagih apalagi mengejar Pak Hagus untuk mendapatkan tunggakan itu.

Banyak ekses yang timbul atau terjadi dari proses pengajuan keberatan bea meterai yang dilakukan oleh Pak Hagus ini. Satu yang menonjol dan amat mengganggu rasa nyaman Pak Hagus adalah Citibank pernah menggunakan cara-cara yang menyinggung sara, yaitu Citibank pernah mempertanyakan apa agama Pak Hagus? Apakah Pak Hagus Muslim atau Nasrani? Rekaman pembicaraan itu masih disimpan oleh Pak Hagus. Karena Pak Hagus tidak menjawab pertanyaan Citibank itu, maka tidak diketahui apakah maksud dari pertanyaan itu. Apakah jika Pak Hagus menjawab bahwa ia menganut salah satu agama, itu akan mempengaruhi kualitas atau bentuk respon Citibank terhadap Pak Hagus? Meski didesak terus tentang maksud dari pertanyaan itu, Citibank hingga kini (pertemuan di Citibank Tower, 14 September) menolak menjawabnya. Cepat atau lambat, Pak Hagus akan memperkarakannya melalui jalur hukum.

Ekses yang lain adalah berbelit-belitnya Citibank dalam merespon Pak Hagus. Jika sebagian kecil bea meterai telah dikembalikan kepada Pak Hagus, mengapa tidak semua bea meterai yang pernah dibebankan kepada Pak Hagus dikembalikan? Bahkan ketika Pak Hagus, saya dan Pak Abdul Haris (yang juga pemegang KK Citibank) datang pada 14 September ke kantor pusat Citibank di Citibank Tower pun, Citibank yang diwakili oleh Hotman Simbolon dan Amalia Hutomo terus berputar-putar dan berbelit-belit dalam merespon permintaan Pak Hagus. Padahal Pak Hagus dan saya adalah pemegang KK Citibank sejak tahun 1993. Sedangkan untuk merespon permintaan saya dan Pak Abdul Haris, Citibank mencoba menolak dengan cara meminta kami untuk mengajukan permintaan ini secara tertulis. Ini sebuah langkah arogan Citibank yang menggambarkan betapa tidak pentingnya konsumen di mata Citibank. Atau ini hanya langkah salah dari 2 orang wakil Ctiibank, yaitu Hotman dan Amalia? Tentu banyak cara untuk meminta pengembalian bea meterai ini dan kami memilih memintanya secara terbuka di media massa dan atau melalui proses hukum yang ada.

Citibank pun menolak (tentu dengan cara berbelit-belit) permintaan Pak Hagus untuk memberikan bukti kepada Pak Hagus bahwa bea meterai yang telah dibayarkan kepada negara melalui Citibank memang telah dibayarkan oleh Citibank kepada negara. Penolakan ini tentu menjadi indikasi adanya kebusukan di Citibank. Jika tidak, tentu tidak akan sulit bagi Citibank untuk memberikan bukti itu, mengingat permintaan Pak Hagus itu adalah hak konsumen atas informasi yang seharusnya bisa dianggap permintaan yang mewakili seluruh konsumen Citibank.

Karena itu perlu adanya upaya pembuktian mengenai apakah Citibank telah menyetorkan bea meterai yang telah dibebankan kepada konsumennya kepada negara. Upaya ini seharusnya ini tidak sulit jika dilakukan di Dirjen Pajak, mengingat konsumen memiliki hak untuk mengetahui apakah Dirjen Pajak telah menerima uangnya atau tidak, betapa pun kecilnya itu.

Sekali lagi, ini memang baru sebuah wacana publik. Namun jika anda ingin bergabung dalam upaya mempersoalkan pembebanan bea meterai oleh Citibank kepada konsumennya, silahkan kunjungi situs Yahoo Groups: http://groups.yahoo.com/group/classactionforbetterindonesia . Mari bersama-sama mendiskusikan dan mempersoalkan ini dengan YLKI atau lembaga-lembaga lain yang memiliki kapasitas yang cocok. Mungkin saja kita bisa menyelamatkan uang puluhan milyar pertahun yang diduga telah “dirampok” oleh Citibank dari konsumennya. Jika “tuduhan” atau dugaan ini salah, tentu Citibank bisa menggunakan hak jawabnya di media ini dengan memberikan bukti-bukti yang menyakinkan konsumennya.

Jojo Rahardjo

Wednesday, September 12, 2007

SEPUTAR GUGATAN CLASS ACTION

SEBUAH ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT UNTUK IKUT BERPARTISIPASI DALAM MENGELOLA NEGERI INI.

Media Konsumen 11 September 2007

Sebagaimana sudah kita ketahui, karena permintaan banyak warga di seantero Jakarta, YLKI dan LBH saat ini sedang mengupayakan sebuah gugatan class action terhadap menteri PU dan Jasamarga karena telah menaikkan tarif tol seenaknya sehingga merugikan masyarakat (tidak hanya) pengguna jalan tol tetapi juga pengguna jalan raya secara umum. Rupanya arti jalan tol telah disederhanakan oleh pemerintah dan Jasamarga menjadi urusan iklim investasi jalan tol semata.

gambar dari Liputan 6 SCTV


Ketika beberapa bulan lalu terdengar kabar pemerintah SBY akan menaikkan tarif tol, banyak yang mengira bahwa niat pemerintah itu bakal tak ada yang bisa menghalangi. Komisi V DPR yang mengurus soal-soal antara lain perhubungan selain melempem, ternyata juga tidak memiliki martabat karena mau menerima fasilitas dari pemerintah dan Jasamarga untuk bisa menggunakan jalan tol secara gratis. Nama-nama mereka silahkan diingat-ingat agar tidak kita tidak tertipu lagi di Pemilu 2009 nanti ( http://www.dpr.go.id/dpr/komisi.php?kom=Komisi%20V ).

Situasi itu diperburuk lagi, karena ternyata ada Undang Undang No.38/2004 tentang Jalan yang menjadikan Komisi V DPR membusuk di gedung DPR yang megah itu karena terlalu banyak melongo tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif jalan tol atau terhadap kebijakan pemerintah dalam mengurus jalan tol yang amburadul.

Namun akhir bulan Agustus lalu, situasi suram masyarakat pengguna jalan tol dan jalan raya (yang ikut kebagian getahnya) tiba-tiba mendapatkan sedikit harapan setelah YLKI dan LBH bersedia membantu masyarakat untuk mengupayakan sebuah gugatan class action yang akan didaftarkan di pengadilan Jakarta Pusat tanggal 12 September ini. Akhir Agustus lalu itu, hanya dalam waktu beberapa hari saja setelah berita rencana gugatan class action itu, bermunculan berbagai dukungan untuk upaya ini. Gugatan class action ini bahkan juga akan diteruskan pada upaya untuk ke Mahkamah Konstitusi untuk memperkarakan UU tentang jalan yang dapat dan telah dapat ditafsirkan secara aneh oleh menteri PU dan Jasamarga.

Sebagaimana yang sudah ditulis oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tentang class action di situs ELSAM, www.elsam.or.id , bahwa “Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.” Harapan masyarakat pengguna jalan raya pun bertambah cerah. Bahkan apa yang disampaikan oleh ELSAM ini juga memberikan harapan pada seluruh lapisan masyarakat yang sering menjadi korban dari perilaku durjana para pejabat publik yang merasa jabatan yang dimilikinya membuat masyarakat tidak bisa mengkoreksi kebijakan yang diambilnya.

Class action ini akhirnya nanti bisa mendorong pejabat publik untuk melakukan apa yang sekarang populer dengan sebutan “konsultasi publik” sebelum mengambil sebuah kebijakan penting atau yang bisa berdampak luas pada masyarakat. Dalam kasus jalan tol, mungkin pejabat publik yang berkaitan tidak hanya bersifat durjana, tetapi juga sekaligus tolol dalam mengelola jalan tol sehingga selain mereka tidak bisa memberi iklim investasi yang baik bagi pengusaha jalan tol tetapi juga sekaligus tidak bisa memberi kepuasan bagi pengguna jalan tol (juga kerugian!).

Bahkan gugatan class action ini juga nanti bisa untuk menyeleksi pejabat-pejabat tolol yang memperoleh jabatannya hanya karena berkat partai politik yang memilihnya bukan karena rakyat yang memilihnya. Contoh yang paling anyar adalah jabatan gubernur Jakarta yang baru saja terpilih. Fauzi Bowo tidak dipilih oleh rakyat untuk bisa menduduki jabatan strategis itu, karena partai lah yang memiliki kesempatan pertama untuk memilih Fauzi Bowo atau calon gubernur lainnya. Setelah dipilih partai, baru lah rakyat memiliki kesempatan memilih. Sebuah cara berdemokrasi yang justru sebenarnya menjauhkan kita dari tujuan demokrasi.

Banyak pihak yang kuatir gubernur Jakarta yang baru ini akan menjalankan tugasnya dengan cara-cara membayar imbal-balik kepada partai-partai yang telah mengusungnya menjadi gubernur. Orientasi tugasnya dikuatirkan bukan pada kesejahteraan rakyat.

Di sinilah peran gugatan class action menjadi penting. Gugatan class action bisa digunakan untuk mengkoreksi gubernur yang baru nanti atau bahkan bisa digunakan untuk memaksa gubernur untuk selalu melakukan konsultasi publik ketika akan mengambil sebuah kebijakan publik yang penting atau bisa berdampak amat luas di masyarakat. Gugatan class action ini juga diharapkan bisa mendorong sebuah proses seleksi terhadap kapasitas atau kemampuan pejabat publik dalam bekerja. Jadi pejabat yang tolol silahkan dipinggirkan.

Contoh ketololan-ketololan pejabat publik sebenarnya banyak sekali terlihat atau dirasakan oleh masyarakat sehari-hari. Namun mungkin karena masyrakat sudah terlalu lama, puluhan tahun, ditololi, maka tidak seorang pun protes atau melakukan protes secara sungguh-sungguh atau secara efektif. Contoh sebuah ketololan pejabat publik adalah ketika memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang sudah macet adalah selalu dengan tidak memperdulikan kenyamanan atau kelancaran pengguna jalan. Mentang-mentang sedang memperbaiki jalan atau memperlebar jalan, maka jalan boleh dibikin macet parah berbulan-bulan lamanya. Ini menggambarkan tidak hanya ketololan pejabat publik tetapi juga sekaligus sifat durjana. Busway atau jalur khusus untuk (hanya) bis TransJakarta pun adalah sebuah contoh lain yang paling nyata dari ketololan dan kedurjanaan para pengelola kota Jakarta. Ketika tersedia contoh sistem transportasi umum lain yang terbukti baik dan telah diterapkan oleh banyak negara di Asia, Sutiyoso malah memilih sebuah sistem transportasi yang hanya digunakan di satu kota jauh di Amerika Latin, Bogota, Columbia. Lihat sekarang, jalur TransJakarta selain belum menunjukkan gunanya, jalur TransJakarta telah menghasilkan kemacetan baru di mana-mana karena belum dioperasikannya sistem transportasi umum ini secara penuh. Entah kapan beroperasi penuh…. TransJakarta yang menuntut jalur khusus itu kini ditolak di wilayah Pondok Indah karena dianggap akan merusak penghijauan dan akan menghasilkan keamburadulan jalan raya.

Contoh ketololan lainnya adalah bagaimana pemerintah daerah Jakarta menghadapi banjir di musim hujan yang bertambah parah setiap tahun. Pemerintah lebih suka berinvestasi dengan sangat besar pada banjir kanal yang banyak dikritik para ahli tata kota dan lingkungan hidup karena tidak akan maksimal mengatasi banjir di Jakarta. Konsep banjir kanal itu adalah warisan jaman Belanda yang situasi kota Jakarta di jaman sekarang sudah berubah sangat banyak. Semestinya sekarang Jakarta menyediakan banyak sumur-sumur resapan atau danau-danau (bukan puluhan mall) yang selain baik untuk lingkungan juga lebih murah dan efektif untuk mengatasi curah hujan yang tinggi di waktu musim hujan.

Contoh lain lagi adalah kegiatan penggusuran terhadap masyarakat miskin kota yang kian hari kian membuat kita ikut menjadi makhluk durjana, karena kian hari kita makin tidak peduli dengan keamburadulan rasa kemanusiaan orang-orang yang mengelola kota-kota besar kita ini. Pada banyak kasus, orang-orang miskin digusur justru setelah status tinggalnya diresmikan sendiri oleh pejabat di wilayah penggusuran itu dengan memberikan KTP, atau bahkan memungut retribusi atau Pajak Bumi dan Bangunan. Semestinya jika mereka digusur, maka berikan juga sangsi pada pejabat di wilayah itu yang telah membiarkan mereka bertahun-tahun tinggal bahkan bermatapencaharian di situ. Sekali lagi, barangkali gugatan class action bisa digunakan untuk persoalan seperti ini.

Class action juga bisa digunakan untuk menggugat perusahaan yang merugikan ribuan bahkan jutaan konsumennya seperti perusahaan kartu kredit di Indonesia. Sebagaimana bisa terlihat di http://www.mediakonsumen.com/ ini, kartu kredit adalah industri yang paling menguntungkan namun paling banyak menghasilkan keluhan dan kerugian finansial dan kerugiaan moril pada pemegang kartu kredit. Dengan berbagai cara perusahaan kartu kredit selalu lebih “cerdik” dalam menguras uang konsumennya. Salah satunya adalah dengan membebankan biaya meterai kepada pemegang KK pada setiap lembar penagihan. Padahal dasar hukumnya tidak ditemukan. Salah satu perusahaan KK yang melakukan ini adalah Citibank.

Hagus S. seorang warga Jawa Barat sebagaimana surat-suratnya di http://www.mediakonsumen.com/ ini telah dengan gigih mempertanyakan dan menolak untuk membayar bea meterai ini kepada Citibank. Salah satu alasannya adalah Citibank tidak bisa membuktikan biaya meterai itu sampai ke Dirjen Pajak atau Departemen Keuangan negeri ini. Sehingga tentu saja bea meterai yang dibebankan kepada pemegang KK bisa menguntungkan Citibank bermilyar-milyar Rupiah. Citibank akhirnya mengembalikan uang Hagus S. Sayang hanya Hagus S. saja yang dikembalikan. Bukan semua pemegang KK Citibank lainnya atau bahkan semua pemegang KK dari perusahaan lainnya.

Sekali lagi gugatan class action mungkin sebuah titik cerah bagi masyarakat yang butuh dan sudah saatnya lebih aktif ikut berpartisipasi dalam ikut mengelola negeri ini yang terlalu lama amburadul.

Jojo Rahardjo

Tuesday, August 28, 2007

MALAYSIA, NEGERI BIADAB DI UTARA

(gambar dari Media Indonesia Online)

Dalam beberapa tahun terakhir ini, tak terhitung sudah kebiadaban orang-orang Malaysia terhadap orang-orang Indonesia yang sedang berada di negeri bekas jajahan Inggris itu. Kebiadaban itu bahkan disokong oleh Pemerintah Malaysia dengan membuat kasus-kasus kebiadaban itu menggantung, tanpa proses hukum.

Jumat dini hari, tanggal 24 Agustus lalu, tak jauh dari hotel Nilai, di Negeri Sembilan, Malaysia, Donald Pieter Luther Kolopita Baru saja selesai memimpin rapat wasit Indonesia untuk pertandingan karate di sana. Ketika berjalan kaki untuk pulang menuju Hotel Alson Kelana Seremban, tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih berhenti di dekatnya. Lalu di tengah tatapan sekian pasang mata, 4 orang tanpa identifikasi yang jelas tiba-tiba langsung memukul dan mencoba meringkus Donald yang seorang karateka. Semua orang mengira sedang terjadi perampokan terhadap Donald yang secara reflex menangkis serangan pertama sambil berteriak minta tolong. Namun karena kalah jumlah, Donald akhirnya dipukul jatuh dan ditendangi di depan sekian pasang mata. Empat orang yang disangka perampok itu akhirnya mengaku sebagai polisi. Tak seorang pun yang percaya, bahwa kebiadaban yang baru saja dilihatnya itu dilakukan oleh 4 orang polisi. Empat orang biadab itu sama sekali tidak melakukan prosedur yang standar yang berlaku di seluruh dunia termasuk di dalam lobang tikus sekalipun dalam tindakannya, yaitu menyebutkan identitasnya sebagai polisi sehingga membuat Donald bereaksi melawan perampok, bukan melawan polisi. Bahkan setelah Donald diborgol dan dalam perjalanan ke kantor polisi pun 4 orang biadab itu terus memukuli Donald. Ternyata yang biadab bukan hanya 4 orang itu saja, di kantor polisi pun semuanya biadab dan gila karena tidak seorang polisi pun yang mau mengobati luka-luka Donald hingga 5 jam berada di kantor polisi itu dan meski berkali-kali Donald menyatakan bahwa ia seorang ketua wasit dari team Indonesia yang bertanding di Asia Karate Championship, di Seremban, Negeri Sembilan, bahkan setelah teman-teman wasit Indonesia datang sekali pun….

Akibat perbuatan polisi-polisi Malaysia biadab itu, Donald seperti yang dituturkan di www.kapanlagi.com/h/0000188344.html : Biji zakar saya berdarah mungkin pecah karena ditendang, tulang rusuk kanan saya mungkin patah karena ditendang, muka saya bengkak, pendengaran saya tidak begitu baik, bibir saya pecah, kaki kiri dipatahkan.

Menpora pun menyebut tindakan itu dengan keras, tegas, dan jelas sebagai tindakan biadab.

Namun berhari-hari setelah kejadian itu, belum ada permintaan maaf dan tindakan apa yang akan diambil pemerintah Malaysia atau kepolisian Malaysia terhadap 4 “alat” rusaknya itu. Mungkin Pemerintah Malaysia sedang sibuk berpikir-pikir secara seksama, bukankah setiap orang Indonesia yang berada di Malaysia adalah kucing kurap, anjing atau maling sehingga harus diperlakukan secara biadab? Lalu mengapa kita harus repot-repot minta maaf dan mengambil tindakan terhadap polisi-polisi kita yang memang telah dididik untuk berlaku biadab terhadap orang-orang Indonesia?

Apa yang sedang terjadi dengan negeri Indonesia, sehingga orang-orang Malaysia begitu memandang rendah bangsa ini, teutama jika anak-anak bangsa ini sedang berada di negeri sebesar upil itu?

Saturday, August 25, 2007

LAGI, KENAIKAN TARIF TOL

MediaKonsumen http://www.mediakonsumen.com/Artikel777.html

Sebagaimana yang sudah diberitakan di berbagai media sejak beberapa bulan lalu, bahwa tarif jalan tol akan dinaikkan, maka masyarakat pengguna jalan tol pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya menjadi dasar bagi kenaikan tarif tol ini? Jawabannya sebenarnya sudah tersedia juga diberbagai media.

Bahkan JORR (outer ring road) Cikunir akan menerapkan tarif terbuka atau jauh dekat bertarif sama sebagaimana tertulis di situs BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol), www.bpjt.net/index.php?id=11&itemid=56 . Meski di situs itu belum ditulis berapa tarif terbukanya, penerapan tarif terbuka ini tentu melukai hati dan rasa keadilan masyarakat pengguna jalan tol dalam kota, terutama yang setiap hari menggunakan jalan tol dalam kota untuk jarak yang pendek.

Meski jalan tol sedang sepi, tapi bis ini terus melenggang di lajur kanan (Jojo Rahardjo)


Betapa tidak bertanya-tanya, masyarakat pengguna jalan tol belum pernah mendapatkan penjelasan yang sungguh-sungguh mengenai hasil audit yang telah (?) dilakukan terhadap pengelolaan jalan tol dalam kota ini. Pengguna jalan tol hanya bisa pasrah berkali-kali dengan hasil keputusan menaikkan tarif tol yang dilakukan oleh “para wakil rakyat” di Komisi V DPR beserta Pemerintah dan pengelola jalan tol.

Menurut paparan berbagai media, pihak pengelola atau investor memiliki alasan utama dalam menaikkan tarif tol, yaitu pengembalian investasi dan untuk menutup biaya operasi. Kalau tarif tidak dinaikan, maka mereka akan rugi. Alasan lain yang dikemukakan adalah untuk memperbaiki layanan.


Meski jalan tol bukan diperuntukkan bagi sepeda motor, namun JasaMarga membiarkan pengantin baru ini dikawal oleh seekor sepeda motor konyol (Jojo Rahardjo)

Hisnu Pawenang, Kepala BPJT, dalam sebuah talkshow di radio di Jakarta 23 Agustus kemarin mengemukakan, bahwa kenaikan tarif tol yang akan diumumkan pemerintah bulan Agustus ini merupakan penyesuaian terhadap besarnya inflasi. Sayang BPJT tidak terlihat sungguh-sungguh mulai menegakkan Kepmen No 392 tentang Persyaratan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diterbitkan pada Juli 2005 yang harus dipenuhi oleh pengelola jalan tol.

Bahkan Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, mengecam kenaikan tarif tol yang berdasarkan pada besar inflasi. "Di negara lain, kenaikan tarif juga memperhitungkan mutu pelayanan operator dan efisiensi pengguna," kata Sudaryatmo. Menurutnya, kenaikan tarif berdasarkan inflasi justru tak mendorong operator untuk memberikan pelayanan prima kepada pengguna. Hasil audit BPJT Departemen Pekerjaan Umum atas Standar Pelayanan Minimum bisa digunakan untuk menunda kenaikan tarif pada ruas yang operatornya yang tak memenuhi standar. Operator jalan tol juga perlu membuka rencana bisnisnya kepada publik agar penetapan kenaikan tarif lebih transparan (www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/24/brk,20070624-102449,id.html).

Alasan kenaikan tarif untuk memperbaiki layanan adalah omong kosong yang sudah dilakukan sejak lama. Alasan ini adalah alasan yang menggelikan dan menyakitkan hati pengguna, karena dari sekian kali kenaikan tarif, ternyata mutu layanan tidak berubah. Pengelola jalan tol sering berkilah bahwa layanan yang diberikan sudah maksimal. Padahal misalnya jelas terlihat sering kemacetan bertambah parah di jalan tol karena layanan yang tidak maksimal.

Dalam Buletin Lintas Tol yang diterbitkan oleh pengelola di tahun 2005 lalu, ada tulisan yang amat menonjolkan soal menyalahkan pengguna dalam kesemrawutan lalu-lintas di jalan tol dalam Kota Jakarta. Misalnya dalam rubrik Kontak Layanan Tol disebutkan: “Sebenarnya kepedulian petugas terhadap pengemudi dan masyarakat pemakai jalan tol, sudah sejak lama direalisasikan termasuk melakukan tindakan tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi, namun yang menjadi permasalahan justru tingkat kesadaran pengemudi pada umumnya masih sangat rendah. Perlu kami tegaskan bahwa pada prinsipnya petugas jalan tol tidak akan pernah berhenti untuk menertibkan setiap bentuk pelanggaran yang terjadi melalui program penegakkan hukum seperti selama ini kami laksanakan. Sesuai data yang kami miliki pada 3 bulan pertama tahun 2003 tercatat sebanyak 1001 kasus pelanggaran yang dikenakan sangsi hukum berupa tilang.”

Kalimat-kalimat yang dituliskan di rubrik itu adalah “omong kosong”. Saya pengguna jalan tol dalam kota setiap pagi dan sore, yaitu pada saat tol dalam keadaan sibuk, tetapi tidak pernah melihat tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, apalagi program penegakan hukum yang disebutkan. Misalnya, kita masih melihat setiap hari dan setiap waktu adanya kendaraan yang menaikkan dan menurunkan penumpang tepat di depan hidung para “Orang Tol”. Kita juga masih melihat bus dan truk, atau kendaraan besar berada di jalur paling kanan, padahal mereka berjalan amat lambat. Dan pelanggaran yang paling sering adalah berjalan di atas bahu jalan, padahal kalau terjadi situasi darurat, mobil polisi, derek atau ambulan mau lewat mana lagi, kalau bahu jalan dipenuhi kendaraan “setan”. Jadi, soal penegakan hukum itu adalah omong kosong.

Bukan jumlah tilang yang banyak sudah dilakukan yang bisa menjadi ukuran bahwa pengelola sudah melakukan upaya untuk memperbaiki layanannya. Sebab jika jumlah itu dibandingkan dengan pelanggaran yang sebenarnya bisa menjadi upaya yang amat tidak berarti. Di mana-mana, di seluruh muka bumi ini, termasuk di negeri maju sekali pun, kalau tidak ada penegakan aturan, situasi lalu-lintasnya akan seperti di jalan tol dalam kota Jakarta. Tingkat kesadaran pengguna jalan tol amat bergantung dari pengelola dalam menegakkan aturan. Jadi jangan menyalahkan pengguna jalan tol, karena saya lihat pengelola belum memiliki fasilitas yang cukup untuk menegakkan aturan.

Berikut di bawah ini adalah rendahnya mutu pelayanan yang tercatat dalam pengamatan saya.

1.
Pengelola ternyata telah membiarkan kegiatan yang bisa membahayakan jalan tol. Sebagai contoh yang paling segar adalah kebakaran bangunan-bangunan liar di bawah jalan layang tol dalam kota di sekitar interchange Pluit Kilometer 24,8 Jembatan Tiga, Penjaringan. Ada banyak bangunan yang dibiarkan berdiri di bawah jalan tol di Jakarta ini. Pada kasus yang baru saja terjadi di Penjaringan itu mengakibatkan jalan tol harus diteliti seksama apakah masih layak digunakan atau harus dihancurkan dan dibangun kembali. Besar kemungkin jalan tol itu harus dibangun kembali. Kebakaran ini merupakan kebakaran kedua di ruas tol tersebut pada tahun ini. Kebakaran pertama terjadi pada 22 Mei lalu di sekitar simpang susun Pluit yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran terakhir. Jika ternyata harus dibangun kembali, siapa yang akan membiayai ketololan itu, tentu pengguna, bukan pengelola.

2.
Tidak ada penegakan aturan secara sungguh-sungguh. Misalnya jalur tidak digunakan oleh pengguna jalan tol dengan semestinya karena tidak ada sistem untuk menjaga agar pengguna patuh pada peraturan. Misalnya, kendaraan besar dan berat, seperti bis dan truk, tidak boleh berada di jalur tengah dan paling kanan. Kendaraan besar dan berat mengganggu kelancaran dan kenyamanan kendaraan lain jika berada di jalur tengah dan paling kanan karena akselerasinya lebih lambat. Kendaraan berat juga membahayakan kendaraan di depannya yang lebih kecil jika menabrak. Juga peraturan kecepatan kendaraan harus ditegakkan, yaitu kendaraan dengan kecepatan lebih rendah harus berada di jalur lebih kiri dari yang lebih cepat.

3.
Jalan tol adalah jalan bebas hambatan, tetapi coba hitung berapa banyak lubang yang tersedia, termasuk potongan kayu atau benda-benda lain di jalan tol. Menurut saya benda-benda itu terlalu banyak di jalan tol dalam kota. Ini menunjukkan kurangnya patroli atau buruknya sistem untuk menjaga jalan tol agar terus-menerus bebas hambatan. Padahal dengan kecepatan cuma 80 km/jam benda-benda itu menjadi sangat berbahaya, baik karena melindasnya atau karena menghindarinya.

4.
Meski pun sudah ada, tetapi saya kira, pengelola kurang serius menyediakan petunjuk tentang nomor telepon yang dapat dihubungi untuk situasi darurat, mengeluh atau melaporkan adanya ketidakberesan di jalan tol. Misalnya melaporkan adanya pengemudi ugal-ugalan, perampokan, benda-benda atau hal-hal yang mengganggu di jalan tol.

5.
Kurang lengkapnya jenis kendaraan petugas jalan tol. Semestinya petugas jalan tol tidak hanya dilengkapi dengan kendaraan roda empat, tetapi juga dengan kendaraan roda dua seperti di beberapa negara. Dengan kendaraan roda dua petugas dapat melaju di sela-sela kendaraan untuk memantau dan membereskan situasi jalan tol agar selalu nyaman dan aman bagi penggunanya yang telah ikut susah payah membiayai pembangunan jalan tol (bukan hanya investor saja yang membangun jalan tol!).

6.
Pelayanan di loket atau pintu tol kurang maksimal. Sebagai contoh loket layanan uang pas yang tidak pernah diberlakukan, padahal tertulis di atas gerbang, loket UANG PAS. Saya adalah salah satu dari sekian pengguna tol yang kerap menegur petugas loket Uang Pas agar memberlakukan aturan Uang Pas itu. Bahkan beberapa teman yang saya kenal menulis email ke Jasa Marga. Sering juga saya menemukan loket tol yang tidak dibuka semuanya pada pagi hari, padahal antrian sudah panjang. Saya menduga, petugas tol belum datang sehingga loket yang tersedia belum bisa dibuka. Contoh yang lain adalah tidak adanya tindakan yang pasti diambil untuk pengguna yang melakukan tindakan penyerobotan di dekat gerbang tol terutama pada saat terjadi antrian panjang. Seharusnya ada sistem yang disediakan untuk pengguna seperti ini, karena situasi ini selain mengacaukan antrian, juga amat tidak membuat nyaman atau bahkan melukai hati pengguna yang rela antri atau patuh pada aturan. Bahkan setelah kenaikan tarif berkali-kali ini, seharusnya pada saat jam macet setiap gerbang bisa memberlakukan lebih dari hanya 1 loket, misalnya 2 atau 3 loket sekaligus untuk mempercepat proses pembayaran. Bahkan menurut saya, karena jumlah pengguna semakin hari semakin bertambah sudah saatnya (mengapa terlambat?) untuk menerapkan pembayaran dengan sistem kartu voucher misalnya. Dengan kartu seperti itu, pengguna cukup menggesekkan kartunya di loket untuk mengurangi waktu berada di loket.

7.
Harus sudah dibuat sebuah sistem untuk memprediksi dan mengantisipasi kemacetan yang mungkin dan akan terjadi. Kamera mungkin adalah sebuah solusi yang gampang. Satu kendaraan yang mogok di jalan tol, apalagi kecelakaan, bisa mengakibatkan kemacetan yang parah di belakangnya. Juga, kamera ini bisa untuk menegakkan aturan dengan memberikan sangsi bagi pengguna yang mengganggu kelancaran atau mengganggu pengguna lain.

Sebenarnya masih ada bentuk pelayanan-pelayan lain yang jika disebutkan di sini akan terlalu panjang, misalnya bentuk-bentuk pelayanan yang tidak terlihat nyata, tetapi pelayanan itu yang bisa memunculkan rasa aman, rasa nyaman atau bahkan rasa bangga sebagai warga sebuah kota atau negeri yang menegakkan aturan. Sebenarnya berbagai persoalan pelayanan atau keluhan yang muncul sudah didata oleh PU sebagaimana tertulis di http://www.pu.go.id/Common/Notice/Ntc_070704142624.pdf .

DPR harus memikirkan bagaimana agar pemerintah juga terlibat secara maksimal dalam pengelolaan jalan tol, bukan hanya diserahkan pada pengelola itu yang sudah jelas tidak mampu memberikan layanan yang maksimal. Misalnya jika pengelola “tidak mampu” menyediakan kamera atau alat-alat pemantau lain, pemerintah seharusnya turun tangan untuk membiayai. Karena bukankah jalan tol erat kaitannya dengan kegiatan pertumbuhan ekonomi? Bahkan secara budaya saya percaya bahwa situasi jalan di sebuah kota menggambarkan pemimpinnya yang dari jenis baboon atau manusia. Sehingga seharusnya yang menjadi pertimbangan utama kenaikan tarif jalan tol adalah kelancaran kegiatan pertumbuhan ekonomi bukan mempertimbangkan kelangsungan berjayanya para investor jalan tol atau pengelolanya. Apa gunanya menggairahkan investasi jalan tol, jika menghambat kegiatan pertumbuhan ekonomi di sektor lainnya.

Kita akan melihat dalam beberapa hari mendatang, apakah DPR lebih mengutamakan kepentingan segelintir pengusaha atau lebih mengutamakan kepentingan jutaan pengguna yang mewakili sebuah kegiatan pertumbuhan ekonomi sebuah kota bahkan negeri. Komisi V DPR betul-betul diharapkan masyarakat untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya, terutama mengenai tarif terbuka itu. Jika tidak, maka kami akan mengingat nama-nama anda dalam Pemilu 2009 nanti.

Jojo Rahardjo


Thursday, June 07, 2007

NICE TRY!

gambar: Jojo Rahardjo


Sungguh saya suka sekali dua kata yang diucapkan oleh Sarwono baru-baru ini, nice try! Sebelumnya, saya sering mendengar dua kata itu di film-film Holywood dalam adegan di mana satu karakter dalam sebuah film bermaksud mengejek karakter lain yang telah mencoba sesuatu (biasanya buruk) namun gagal. Baru kali ini saya merasakan keindahan dua kata itu secara luar biasa!

Kata itu diucapkan oleh Sarwono ketika menghadapi “serangan” Sutrisno Bachir di sebuah stasiun TV yang “menasehati” Sarwono agar tidak emosional menyikapi PAN yang mencabut dukungannya kepada Sarwono sebagai calon Gubernur Jakarta dan kemudian mendukung Fauzi Bowo. Sutrisno selain nampak lebih emosional dibanding Sarwono, juga berusaha menjelaskan mengapa PAN mencabut dukungannya pada Sarwono, yaitu Sarwono tidak berhasil mendapatkan dukungan PKB. Padahal PKB, melalui Gus Dur mengajukan syarat dalam mendukung Sarwono yaitu mau bersanding dengan Rieke Diah Pitaloka yang ditolak oleh Sarwono karena tidak ingin diberi syarat dan apalagi telah berpasangan dengan Jeffrie Geovannie Bagi saya jika memang menurut PAN Sarwono tidak harus didukung dalam Pilkada Jakarta, berarti PAN memiliki 3 pilihan untuk diambil. Satu, adalah mendukung Adang Dorodjatun, dua, adalah tidak mendukung siapa pun alias abstain, dan tiga, adalah mendukung Fauzi Bowo. Ternyata PAN memilih Fauzi Bowo yang selama 30 tahun karirnya di Pemprov DKI adalah “salah urus Jakarta”.

PAN begitu? PAN begitu? PAN begitu? Begitu? Ya, itulah pertanyaan banyak orang ketika mendengar berita ditariknya dukungan PAN terhadap pasangan Sarwono- Jeffrie.

"Kita dikuasai oleh oligarki partai yang tidak mengindahkan pandangan kadernya dan juga opini publik. Saya tidak akan berdiplomasi lagi, dan juga tidak akan lagi menggunakan kata-kata bersayap," tutur Sarwono sebagaimana yang disampaikan RRI-Online http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=28447. Memprihatinkan memang nasib kita yang tinggal di kota-kota besar, karena sekali lagi kita tidak akan mendapatkan Gubernur yang paling dekat dengan pilihan kita. Gubernur yang akan maju ke Pilkada sudah diseleksi lebih dahulu oleh partai-partai durjana. Memang, Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) belum mengatur tentang adanya pasangan calon gubernur atau wakil gubernur yang menggunakan jalur pencalonan non-partai politik atau jalur independen. Kini Sarwono berupaya melalui Mahkamah Konstitusi untuk bisa maju sebagai calon Gubernur dari jalur independen. Semoga berhasil!

Kalau Sarwono punya dua kata yang begitu terdengar enak di kuping saya, maka saya ingin anda juga enak mendengar dua kata yang saya sering dengar dari film Holywood untuk menyebut para politisi di Indonesia yang beruntung berada di dunia politik tapi ogah memperbaiki negeri ini: Lucky bastard!

Jojo Rahardjo

Wednesday, May 30, 2007

Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

Media Konsumen 30 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel549.html

Saya bukan pakar politik atau pakar tata-negara, tetapi saya seperti sebagian besar rakyat Indonesia, saya cuma rakyat jelata. Karena itu logika rakyat jelata lah yang digunakan ketika melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini antara Rokhmin Dahuri, Amien Rais dan SBY. Menurut logika rakyat jelata saya adalah ternyata semua pemimpin negeri ini mudah terjerumus menjadi maling! Pantas saja negeri ini terus-menerus salah urus!

Banyak yang mengira, akhirnya kita memiliki presiden yang serius mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun ternyata, SBY, presiden sekarang hanya seolah-olah cukup banyak kasus korupsi yang dibongkar dan di bawa ke pengadilan. Seolah-olah bekas pejabat yang dulunya nampak tidak bisa disentuh oleh hukum sekarang meronta-ronta berkelit membela diri. Seolah-olah bagi rakyat ada perubahan yang terjadi. Seolah-olah tidak ada lagi celah untuk sembunyi bagi setiap pelaku korupsi yang terjadi di masa lalu. Seolah-olah pemerintahan SBY mengintai setiap saat pelaku korupsi untuk dijebloskan, bahkan anggota KPU sekali pun juga ikut dijebloskan ke dalam penjara. Semua itu nampaknya memang cuma seolah-olah saja. Seolah-olah pemerintah melihat praktek korupsi sebagai dosa besar yang harus dicuci bersih dari bumi Indonesia, baik dilakukan di masa lalu maupun di masa sekarang.

Namun jika melihat kasus keluarga Suharto yang tidak disentuh dengan mengatasnamakan hukum dan jika melihat kasus BLBI yang merugikan negara ratusan trilyun rupiah, tidak nampak keseriusan SBY. Padahal pemerintahannya sudah berjalan 2.5 tahun. Bagi rakyat jelata seperti saya, jika ada itikad baik, yaitu itikad untuk memberikan rasa keadilan rakyat, maka hukum atau aturan yang ada bisa digunakan untuk mengembalikan harta kekayaan rakyat. Bukan sebaliknya, hukum atau aturan yang ada justru digunakan agar keluarga Suharto bisa menikmati hidupnya dengan aman dan tenteram.

Betapa pun sulitnya mengejar kasus keluarga Suharto atau uang BLBI ini, tidak terlihat strategi yang bisa memuaskan rakyat. Padahal mereka inilah yang membangkrutkan Indonesia. Kasus-kasus ini cukup membuat rakyat kehilangan rasa aman pada masa depan mereka.

Di tengah-tengah rasa ketidakadilan ini, tiba-tiba muncul pengakuan Amien Rais yang telah menerima uang dari Rokhmin Dahuri di tahun 2004 lalu untuk biaya kampanye pasangan capres. Amien juga menegaskan bahwa capres lainnya pun menerima uang dari Rohmin ini. Pengakuan ini tentu mengejutkan rakyat. Meskipun sekaligus melegakan, karena ada pemimpin yang berani jujur dan mau menerima konsekwensinya, namun ada hal lain yang sangat melukai hati rakyat, yaitu ternyata Amien pun ikut-ikutan “mengkorupsi” uang rakyat melalui DKP. Meski saya tolol soal aturan pemilu atau aturan tata negara, tentu tidak mungkin bisa seorang calon presiden menerima uang yang seharusnya untuk mengurus Kelautan dan Perikanan Indonesia bukan untuk mengurus kampanye pasangan capres Amien Rais.

Apa yang sedang dan akan terjadi pada negeri ini, jika semua orang ternyata mudah menjadi maling atau menjadi bagian dari praktek-praktek - yang tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai - korupsi, sebagaimana yang dilakukan oleh Amien Rais itu? Apa yang sudah merasuki pikiran Amien Rais sehingga ia tidak melihat keganjilan asal uang itu dan begitu entengnya tanpa sembunyi-sembunyi menerima uang - yang bagi saya yang rakyat jelata adalah - milik rakyat di sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang masih morat-marit itu? Apa yang terjadi pada KPU dan Panwaslu Pemilu 2004 sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal untuk mengawasi dana kampanye yang digunakan oleh para pasangan capres. Apa yang terjadi pada departemen-departemen pemerintah sehingga bisa membagi-bagikan uang rakyat ke mana mereka suka? Bagaimana tanggung-jawab presiden waktu itu jika ada menterinya yang menghambur-hamburkan uang rakyat ke tempat yang tidak semestinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang membuat saya pesimis dengan masa depan Indonesia....

Kemarin, Amien Rais setelah pertemuannya dengan SBY di Halim PK sudah menegaskan bahwa persoalan uang DKP yang dihambur-hamburkan untuk kampanye para pasangan capres 2004 lalu adalah persoalan hukum, bukan politik. Kalau begitu, rakyat kini menunggu, apakah uang DKP itu akan ditelusuri untuk melihat capres mana saja yang menerimanya dan apakah rakyat akan tetap disuguhi dagelan nggak lucu tentang bagaimana negeri ini dipimpin oleh para pemimpin yang penuh tenggang rasa dan tidak suka berkelahi? Kalau yang satu korupsi, daripada ribut-ribut di tengah rakyat miskin dan di tengah berbagai persoalan bangsa lainnya, maka berkorupsi lah berramai-ramai supaya “adil” dan supaya negeri ini tetap memiliki “pemimpin”, meski pemimpin korup seperti mereka.

Jojo Rahardjo

Tuesday, May 22, 2007

TEROWONGAN AIR SENILAI 16,3 TRILIUN UNTUK MENGATASI BANJIR DI JAKARTA


Media Konsumen 22 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html

Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.

Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).

Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.

Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.

Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.

Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.

Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....

Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.

Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.

Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....

Jojo Rahardjo

Thursday, April 19, 2007

KARTINI, SANG PEMIKIR KEMERDEKAAN INDONESIA


Media Konsumen, 19 April 2007

Tidak banyak yang tahu dari mana berasal judul kumpulan surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ternyata di dalam surat-suratnya, Kartini sering menulis kata-kata itu berulang-ulang yang terinspirasi dari Minadz zhulumaati ilan Nur yang berarti Dari Gelap Kepada Cahaya (al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 257). Begitu pun E.C. Abendanon yang mengumpulkan, mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu yang kemudian diberi judul “Door Duisternis tot Licht” tentu saja tidak mengetahui bahwa judul itu berasal dari al-Qur'an (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).

Kartini bukan pejuang pergerakan wanita semata. Kartini adalah pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya. Ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya.

Kartini wafat dalam usia yang sangat muda, yaitu usia 25 tahun, sebelum usai pencariannya dan perjuangannya. Namun dalam usia yang singkat itu ia telah menorehkan jejak perjuangan yang panjang dan dalam. Perjuangan mencari “cahaya” amat melelahkannya, namun membuahkan hasil.

Dalam usianya begitu muda ia bahkan telah dapat menginspirasikan sebuah pekerjaan besar bagi umat Islam di tanah Jawa waktu itu, yaitu terjemahan atau intepretasi kandungan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa yang belum ada waktu itu kepada seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad Soleh bin Umar (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001). Berkat pertemuannya dengan Kartini, Kiai Soleh tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid ke I yang terdiri dari (hanya) 13 juz yang kemudian diberikannya sebagai hadiah pernikahan Kartini. Bayangkan sebuah hadiah perkawinannya adalah sebuah karya besar bagi sebuah komunitas besar manusia.. Sayang Kiai Soleh wafat sebelum menyelesaikan pekerjaan besar itu.

Sungguh menakjubkan, ternyata Kartini juga mempersoalkan persoalan mendasar umat Islam hampir di mana-mana hingga sekarang bahwa jika menjadi Muslim tidak perlu menguasai bahasa Arab. Cukup lah para ulama saja yang menguasai bahasa Arab, sehingga banyak Muslim yang tidak mengerti apa yang diucapkannya (dalam bahasa Arab) setiap hari. Lebih jauh lagi, hingga kini banyak Muslim yang tersesat karena selalu dan sering bertanya-tanya “apa hukum-nya mengenai sesuatu hal di dalam kehidupan sehari-harinya?”

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899,


Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan “home schooling” melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang. Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.

Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”. Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.”

Kartini pun tidak sekedar menulis tentang nasionalisme atau kesetiakawanan itu, tetapi juga mempraktekkannya dengan memberikan atau mengalihkan beasiswa ke Belanda yang seharusnya ia nikmati kepada seorang pemuda dari tanah Sumatra, yaitu Agus Salim. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Bahkan, ia pun menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan “orang Indonesia” lain yang tergambar dalam sebuah surat di tahun 1902 kepada Stella Zeehandelaar, tentang rencana Kartini: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."

105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda di tahun 1911, beberapa tahun setelah kematian Kartini di tahun 1904, dengan judul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini terbit di kota besar seperti Den Haag, Semarang atau Surabaya dan menjadi salah satu inspirasi bagi pemikir kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane lah yang pertama kali menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” di tahun 1922 sehingga buku ini bisa dibaca banyak orang dan menjadi lebih populer. Kemudian Pramoedya Ananta Toer dari tahun 1956 hingga 1961 mencoba menggali sejarah tokoh ini dan menjadi biografi Kartini yang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Seharusnya buku ini akan ditulis dalam 4 jilid. Namun Pemerintah Orde Baru yang ganas menuduhnya PKI, dan memusnahkan jilid ke 3 dan ke 4.

Kartini memang kalah bahkan mati muda. Kartini memang dipingit. Kartini memang menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme. Kartini memang cuma sekedar menjadi pemikir yang penulis bukan pembuat aksi. Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya yang ia tulis dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa.

Kartini hidup dalam masa kebijakan Tanam Paksa karena kebangkrutan Pemerintah Belanda akibat Perang Diponegoro. Yohannes Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan Tanam Paksa sekitar tahun 1835. Karena kebijakan itu, rakyat pribumi diwajibkan menanam seperlima dari ladangnya untuk menananm tanaman perdanganan dunia yang menempatkan Belanda pada peringkat teratas, yaitu tanaman nila, rempah, tebu, kopi, tembakau, kayu manis dan lada. Rakyat juga diwajibkan dalam setahun memberikan waktu bekerja untuk pemerintah penjajahan selama 66 hari secara suka rela.

Para operator Tanam Paksa adalah orang Belanda dibantu oleh kaki tangannya dari elite priyayi Pribumi yang bisa disebut sebagai para raja kecil, seperti ayah Kartini sendiri yang Bupati Jepara. Atas nama atau dengan mengusung nama Pemerintahan Negara, para raja kecil ini banyak yang berlaku keji dan korup kepada bangsanya sendiri. Perilaku ini ternyata sudah terbangun semasa Kartini hidup dan menjadi watak bangsa Indonesia hingga sekarang. Belanda dengan licik mempertahankan dan melindungi kekuasaan para raja kecil ini agar bisa terus menjadi kaki tangan dalam merampok hak-hak dan kemakmuran rakyat. Pendidikan hanya diberikan seperlunya saja, yaitu hanya kepada elite priyayi pribumi saja dan hanya laki-laki saja agar tradisi feodal yang tidak mencerdaskan bisa terus dilestarikan. Belanda yang menempatkan pusat pemerintahan Hindia Belanda di tanah Jawa sengaja melestarikan tradisi feodalisme Jawa itu agar aktivitas penjajahan bisa mulus berjalan. Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba memberontak dengan menggambarkan situasi feodalisme itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”

Posisi Belanda sekarang ini digantikan dengan negara-negara super power dan bahkan juga negara-negara tetangga (padahal negara kecil). Mereka sibuk menyedot dan mengangkuti kekayaan alam Indonesia mulai dari hutan, emas, minyak hingga pasir tanpa peduli pada global issues mengenai climate change atau global warming. Kesempatan rakyat untuk memberdayakan hidupnya dipangkas lewat berbagai kebijakan keji. Lihat misalnya kebijakan yang membuat Internet Murah menjadi sebuah mimpi di siang bolong (http://jojor.blogspot.com/2007/01/copy-paste-dari-internet.html), padahal Internet banyak diharapkan dapat mengakselerasi tingkat pendidikan atau pengetahuan. Sementara itu, Wakil Rakyat, para elite priyayi jaman modern ini gemar mangap menikmati berbagai suap dan tunjangan, seperti mesin cuci, laptop, studi banding dan lain-lain tanpa harus kerja membela rakyat. Watak korup dan keji itu juga menjadi selempang yang mengkilat pada para pejabat masa kini. Mereka tak pernah sibuk membela atau mengusung rakyat, tetapi sibuk tanpa takut dan malu sedikit pun untuk menjadi centeng, pelindung para bajingan. Mereka juga sibuk mencetak setan-setan berseragam coklat muda di IPDN (http://jojor.blogspot.com/2007/04/jejak-setan-di-ipdn.html) .

Ternyata kolonialisme di jaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini. Perempuan pun tak pernah dianggap utuh sebagai manusia. Apalagi perempuan miskin, yang karena tiadanya kesempatan untuk merubah nasib, akan menjadi manusia nista yang boleh dikirim oleh setan pengirim TKW ke kandang monster gila di luar negeri untuk dianiaya, diperkosa dan dibunuh. Jika tetap tinggal di negeri ini, mereka akan mencucurkan keringat darahnya di pabrik-pabrik busuk dan pengap, bukan menjalani salah satu tugas mulianya, yaitu mengasuh anak-anaknya agar-agar anak-anaknya tumbuh sehat dan menjadi calon warga terhormat dunia yang lebih baik. Sedangkan para laki-laki petani yang bercocok tanam di negeri ini dijerumuskan untuk menjadi pecundang yang tolol dan selalu miskin. Para priyayi lebih suka mereka menjadi robot dungu di kawasan-kawasan industri. Ini ‘kan jaman industri, kata mereka.

Sekali lagi, sejak jaman Kartini hingga sekarang, situasi itu lah yang kita hadapi dari hari ke hari. Lebih dari 100 tahun kemudian! Para pengusaha, yang jelmaan baru para penjajah, terus menguasai para raja-raja kecil di pemerintahan meski rakyat menjerit tersapu lumpur panas atau tersapu banjir bandang misalnya. Para penjajah pun dengan “kagum” terus menyeringai memandangi rakyat yang menjerit-jerit karena tempatnya mencari makan digusur tanpa diberi jalan keluar. Sementara itu penjajah di negeri seberang bertambah jaya dan makmur, sambil terus memberikan kita mainan perang-perangan melawan teroris atau mainan kebencian antar agama.

Jadi, jangan menyebut diri anda sebagai manusia Indonesia modern atau manusia Indonesia yang maju ketika ada perempuan di negeri ini yang sudah memperoleh kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya atau berkarier setinggi-tingginya atau menjadi pengusaha besar atau bahkan menjadi presiden perempuan di Indonesia, jika situasi penjajahan yang digambarkan oleh Kartini belum berubah....

Jojo Rahardjo

Thursday, April 12, 2007

AWAS IKLAN LOWONGAN PEKERJAAN GAMPANG DI INTERNET

http://www.mediakonsumen.com/Artikel465.html

Baru-baru ini ketika sedang melakukan searching, saya menemukan sebuah iklan lowongan pekerjaan di http://www.iklanbaris.co.id/. Bunyinya menarik, karena tidak memerlukan keahlian atau pendidikan khusus.

LOWONGAN PENGETIK DAN PEMASANG IKLAN; Dibuka kesempatan untuk bekerja di Global Komputindo sebagai project typist. Sebagai member anda akan mengerjakan beberapa tugas dari kami, dan lengkap dengan bonus. No sales No Mlm dengan mengerjakan tugas anda akan mendapatkan gaji. Untuk info lebih lengkap kunjungilah: Kunjungi web site : http://www.indonesiatypist.com/gk.php?a_aid=welly129

Iklan lowongan yang dibuat oleh Indonesia Typist. Ada beberapa iklan dengan bunyi hampir sama, termasuk iklan lain dengan bunyi berbeda seperti di bawah ini untuk mencari klien yang ingin memanfaatkan jasa Indonesia Typist dalam bidang Internet Marketing.

BINGUNG CARA MEMASARKAN PRODUK ATAU JASA?; Kenapa repot-repot pasang sendiri atau susah cari pembeli gunakan layanan indonesiatypist.com, produk/jasa anda akan kami iklankan ke berbagai penyedia iklan gratis dan yahoo group di internet, murah hasil memuaskan untuk informasi lengkap kunjungilah: Kunjungi web site : http://indonesiatypist.com/2.php?a_aid=auror4

Entah kapan Indonesia Typist dimulai, namun nampaknya baru saja, karena beberapa iklannya berkesan seperti itu dan juga nampak dari milis-milis di Yahoo Groups yang baru saja dibuatnya. Meski demikian Indonesia Typist mengklaim bisnisnya sudah berjalan sejak 2004 (http://indonesiatypist.com/index.php) .

Mengapa saya menulis tentang Indonesia Typist ini?

Indonesia Typist mengingatkan saya pada kasus Retire Quickly Program (RQP) di tahun 2004, sebuah perusahaan Internet Affiliate Marketing yang “katanya” telah mengangkat nama Anne Ahira, seorang mojang Bandung yang “katanya” berpenghasilan ribuan dollar sebulan dan “katanya-katanya” yang lain. Lihat http://jojor.blogspot.com/2004_10_01_archive.html
http://www.mediakonsumen.com/Artikel321.html
http://priyadi.net/archives/2004/09/10/anne-ahira-bukanlah-pahlawan/ dan lain-lain.

Retire Quickly Program ini tidak beroperasi terlalu lama, setelah ramai dibicarakan sebagai penipuan, pada Agustus 2005 ditutup dengan alasan yang tidak masuk akal bagi yang terbiasa dengan e-commerce. Padahal mungkin sudah banyak korban dari Program ini.

Internet sejak pertama kali dibangun, memang juga digunakan oleh beberapa orang untuk menawarkan program MLM, Affiliate Marketing, Money Game, Lowongan “Pekerjaan Gampang” dan lain-lain yang bisa merugikan. Tulisan di bawah ini adalah untuk memberi bahan pertimbangan bagi para netter (pengguna Internet) jika melihat atau mendapat tawaran seperti itu. Indonesia Typist hanya satu contoh dari sekian banyak spam http://www.sony-ak.com/articles/4/spam_part_1_overview.php yang banyak muncul atau di alamatkan ke berbagai situs iklan gratis, milis dan tentu juga mail-box anda. Ada tawaran yang dibuat dengan amat cerdas (meski belum tentu menguntungkan anda) seperti yang dilakukan oleh Anne Ahira. Ada juga yang sederhana seperti Indonesia Typist ini atau Maxgain http://priyadi.net/archives/2006/11/07/laporkan-maxgain-ke-polisi/#more-730 . Anne Ahira, MaxGain dan Indonesia Typist hanya contoh bagaimana Internet bisa menjadi perangkap yang berbahaya bagi yang tidak kritis.

Jika anda sudah membaca link yang saya tulis di atas mengenai RQP atau Anne Ahira anda akan setuju dengan perbedaan yang menonjol antara Anne Ahira dan Indonesia Typist, yaitu bahwa RQP dibuat dengan modal besar, sedangkan Indonesia Typist modal kecil atau asal jadi. RQP sudah melibatkan banyak media cetak dan elektronik besar seperti Kompas dan Metro TV untuk digunakan sebagai alat promosi. Target dari RQP adalah kelas menengah ke atas, sedangkan Indonesia Typist adalah kelas pengangguran yang ingin cepat dapat penghasilan hingga termasuk pekerja yang ingin memiliki other income secara gampang.

Karena targetnya lebih ke kelas bawah, maka saya membayangkan situasi di mana pelajar-pelajar tingkat SMP dan SMA, yang sekarang kerap menghabiskan waktunya di depan komputer di rumah atau warnet untuk chatting atau bermain game, bisa saja mereka tergiur untuk menjadi member Indonesia Typist ini. Padahal biaya pendaftarannya tidak sedikit yaitu mulai Rp.150.000 hingga Rp.350.000, sementara hasilnya tidak jelas dan tidak dijamin sebagaimana yang saya gambarkan di bawah ini.

Ketika membuka situsnya pertama kali, http://www.indonesiatypist.com/, tentu saya terlebih dahulu amat memperhatikan apa yang ada di halaman utamanya. Saya melihat di sana, Indonesia Typist menonjolkan peluang-peluang di bawah ini, meskipun di antara iklan-iklan yang disebarkan ada iklan yang menawarkan jasa Internet Marketing.

Peluang Bisnis Pengetik & Pemasang Iklan Di Internet
Peluang Bisnis Pay Per Click
Peluang Bisnis Resaler Ebooks
Peluang Bisnis Iklan
Peluang Bisnis Banner

Untuk menggambarkan keuntungan yang bisa diperoleh pengunjungnya, Indonesia Typist langsung memberikan informasi tentang 3 posisi yang bisa dipilih oleh siapa saja tanpa mempertimbangkan pengetahuan, skill, pengalaman atau pendidikan, yaitu:

Basic Typist
Internet Marketing
Supervisor.

Posisi yang dimaksud di sini adalah level, jika dilihat dari nama posisi yang dimulai dari Basic ke Supervisor. Tingkatan level ini juga terlihat dari pendapatan yang berbeda di tiap posisi.

Posisi Basic Typist mendapatkan Rp. 20.000,00 sampai Rp. 50.000,00 per tugas
Posisi Internet Marketing mendapatkan Rp. 20.000,00 sampai Rp. 60.000,00 per tugas
Posisi Supervisor mendapatkan Rp. 30.000,00 sampai Rp. 70.000,00 per tugas

Masing-masing posisi ini bisa mendapatkan tambahan pendapatan jika bisa merekrut member baru. Masing-masing adalah Rp. 50.000 untuk Basic Typist, Rp.75.000 untuk Internet Marketing dan Rp.100.000 untuk Supervisor. Pendapatan untuk merekrut member baru ini lebih besar dari pendapatan tiap tugas di masing-masing posisi.

Di halaman ini ada sebuah link berjudul “Informasi Lengkap” yang menuju sebuah halaman yang diberi judul “Peluang Bisnis Di Indonesia Typist.Com” yang berisi tentang job description dari 5 peluang bisnis yang disebut di halaman utama.

Di halaman ini, digambarkan, bahwa setiap peluang ada iming-iming komisi atau pendapatan. Nampaknya sebuah pekerjaan gampang dan tentu ini menggiurkan, sehingga siapa pun bisa menjadi tidak sabar untuk melihat bagaimana untuk bisa segera mendapat assignment (tugas).

Namun sial, ternyata untuk proses pendaftaran ada biayanya seperti tertulis di tahapan pertama dari proses pendaftaran, yaitu:

Tahapan order posisi. Dalam tahapan ini anda mengirimkan form order pada posisi yang anda inginkan, setelah itu anda akan menerima email dari kami yang berisikan tahapan cara mendaftar dan juga kami cantumkan url konfirmasi setelah anda mengirimkan biaya registrasi.

Berapa biaya pendaftarannya? Masing-masing adalah Rp.150.000 untuk posisi Basic Typist, Rp.200.000 untuk posisi Internet Marketing, dan Rp.350.000 untuk posisi Supervisor.

Memang, Indonesia Typist juga menawarkan anda untuk memanfaatkan jasa mereka dalam Internet Marketing (bukan lowongan pekerjaan), yaitu jasa untuk memasang iklan atau berpromosi melalui Internet. Sebagaimana tergambar dalam halaman Pasang Iklan http://indonesiatypist.com/pasangiklan.php . Di halaman ini Indonesia Typist menulis:

Apakah anda memiliki bisnis di Internet atau anda bergabung dengan affiliate program di Internet namun masih bingung cara memasarkan produk atau jasa anda?

Saat ini Indonesia Typist.Com mengediakan fasilitas bagi anda yang ingin memasarkan produk atau jasa anda melalui kami!

Namun Indonesia Typist hanya menawarkan 3 keunggulannya seperti ini:

Keunggulan Jasa Periklanan di Indonesia Typist.Com

1. Produk / jasa anda akan diiklankan di beberapa situs yang menyediakan fasilitas iklan gratis mencapai 100-200 situs serta Yahoo group mencapai 50-100 group.
2. Iklan anda akan kami cantumkan dalam Directory Indonesia Typist pada alamat berikut: http://link.indonesiatypist.com
3. Banner akan kami tempatkan pada bagian bawah halaman utama: http://indonesiatypist.com/index.html

Indonesia Typist tidak menawarkan keunggulan copy writing sebagaimana dipraktekkan di dunia periklanan. Apalagi Indonesia Typist cuma menawarkan memasang iklan kliennya di 100-200 situs iklan gratis yang tentu saja belum tentu efektif karena hanya beberapa situs saja yang banyak dikunjungi orang, selebihnya adalah alamat yang sangat kurang dikunjungi orang. Belum lagi soal target market yang tidak diperhitungkan terlebih dahulu.

Sedangkan beriklan di milis-milis, misalnya Yahoo Groups, membutuhkan keahlian khusus, karena iklan sudah begitu banyak membanjiri mail-box setiap orang. Sehingga dibutuhkan kemampuan tidak hanya copy writing, tetapi juga kemampuan seorang anggota sebuah milis untuk menjadi anggota yang postingnya layak untuk dibaca, sehingga ketika ia memposting sebuah iklan, maka anggota yang lain akan membacanya, bahkan “memakan” postingnya itu. Namun Internet Marketer amatir yang direkrut oleh Indonesia Typist tentu akan membanjiri Internet dengan spam yang bisa mengganggu. Artinya Indonesia Typist bisa memicu Spamming di Internet dengan membanjirnya iklan-iklan yang dipasang di situs iklan gratis dan iklan-iklan yang dialamatkan ke berbagai milis dan mail-box.

Sebagai tawaran atau iklan lowongan pekerjaan, Indonesia Typist bisa menjebak pelamarnya untuk melakukan pekerjaan menjual membership seperti tergambar dalam halaman http://prejoining.indonesiatypist.com/cara_merekrut_member.html, di mana salah satu dan pekerjaan utama dari member Indonesia Typist ini adalah menjual membership. Bayaran dari menjual membership lebih besar. Bagi kebanyakan orang atau yang ingin gampang, tentu yang dijual adalah membership, bukan melakukan pekerjaan Internet Marketing sebagaimana yang ditawarkan Indonesia Typist.

Contoh yang diberikan Indonesia Typist bagi anda (misalnya anda seorang member baru) adalah mengerjakan “Small Campaign Indonesia Typist” dengan komisi sebesar Rp.50.000 (http://prejoining.indonesiatypist.com/tugas_member_area.html). Tugas ini tentu membuat Indonesia Typist selalu dipromosikan oleh setiap member baru yang menghasilkan atau menambah member baru. Padahal untuk mendapat Rp.50.000 itu, anda paling tidak harus membayar terlebih dahulu Rp.150.000 (untuk posisi Basic) agar menjadi member baru Indonesia Typist. Sementara itu Indonesia Typist akan mendapat beberapa Rp.150.000 lagi dari setiap member baru yang dihasilkan dari “Small Campaign” yang anda lakukan.

Jika anda melamar (mendaftar menjadi member dengan membayar), saya cuma bisa berharap anda memang mendapatkan tugas dari Indonesia Typist sebagai Internet Marketer yang sebenarnya, bukan cuma menjual membership saja.

Saya tidak perlu membaca isi Indonesia Typist ini semua dan saya pun tidak perlu menjadi member Indonesia Typist ini terlebih dahulu untuk mengambil kesimpulan bahwa tawaran Indonesia Typist layak untuk diabaikan.

Di dalam websitenya, alamat Kantor Indonesia Typist ini tidak menyebutkan nomor bangunan di Jl. Solo kecuali keterangan berada di Km.12, Depok Sleman Yogyakarta dan juga tanpa nomor telepon.

Tuesday, April 10, 2007

JEJAK SETAN DI IPDN

Hampir semua agama dan kitab suci memperingatkan kita tentang bahaya setan yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam neraka.

Namun apakah setan itu atau bagaimana bentuk setan itu? Di sini semua agama memiliki perbedaan dalam menggambarkannya. Sehingga muncul berbagai cerita tentang setan yang sering kali lucu bahkan tidak berdasarkan pada apa yang disampaikan kitab-kitab suci. Sering setan digambarkan seperti tukang sulap, illusionist atau bahkan sebuah species, bukan sebuah makhluk spritual atau makhluk metafisika. Cerita tentang setan memang begitu banyak dan hampir semuanya tidak layak dicerna di zaman IT ini.

Setan seharusnya adalah sebuah konsep tentang sifat-sifat jahat yang ada dalam diri manusia. Sifat-sifat paling primitif yang masih dimiliki manusia dan memerlukan kekang, bahkan kerangkeng agar tidak terlepas. Keinginan untuk bereproduksi (berketurunan) dan bertahan hidup adalah sifat-sifat paling primitif yang memerlukan kekang dan kerangkeng. Agama telah banyak menginsipirasikan manusia dalam membuat norma atau aturan untuk menjadi kekang dan kerangkeng bagi sifat-sifat primitif itu.

Namun apa yang kita saksikan beberapa hari terakhir ini di IPDN, sungguh merupakan kebangkitan setan di Indonesia. Bagaimana tidak, lembaga itu yang dulunya bernama APDN, sudah menerapkan cara-cara setan sejak tahun 1991 dalam metoda pengajarannya, yaitu kekerasan, tewas atau pun tidak. Para calon pengelola negeri ini diajarkan untuk menebarkan ketakutan dibanding menggunakan ilmu-ilmu yang sudah dicapai peradaban manusia modern. Hanya calon dengan mental dan jasmani yang kuat saja boleh lulus dari IPDN. Yang tidak kuat, silahkan mampus seketika atau pelan-pelan. Itu berlangsung begitu lama sekali! belasan tahun!

Meski pun membuat jiwa gemetar, pilu, tidak percaya pada menggelindingnya kematian demi kematian di IPDN, namun tragedi itu telah mendentangkan lonceng peringatan tentang budaya kekerasan yang diam-diam dibangun di sebuah tempat tersembunyi yang juga bisa di mana saja. Tentu bukan hanya kematian dan luka-luka yang membuat kita prihatin, namun ditinggalkannya akal budi lah yang membuat kita amat gentar dan sempoyongan melihat masa depan Indonesia.

Itu lah setan yang diperingatkan oleh semua agama!

Tidak seorang pun atau sebuah kelompok manusia pun yang bisa menghalangi setan itu sejak awal kebangkitannya. Apalagi cuma SBY yang memang seorang yang lemah. Banyak yang kecewa dengan langkah-langkah melempem yang diambilnya baru-baru ini. Rektor yang seharusnya paling bertanggung-jawab dalam membangkitkan setan dibiarkan mengangkang berkacak-pinggang. Padahal setan itu bangkit di sebuah departemen pemerintah yang memiliki pengaruh pada cara-cara mengurus rakyat negeri yang dilanda sengsara berkepanjangan ini.

Di zaman yang sesungguhnya amat modern ini, di zaman di mana proses belajar menjadi begitu praktis, di zaman di mana informasi bisa diperoleh hanya dengan menjentikkan jari, ada sekelompok manusia yang justru dikendalikan oleh setan. Mereka, species manusia, dikendalikan oleh sifat-sifat paling primitif yang diturunkan dari nenek-moyangnya, species hewan. Ilmu bela-diri untuk kesehatan jasmani dan ilmu pengetahuan manusia yang telah dibangun untuk peradaban manusia yang begitu cemerlang dalam beberapa abad terakhir ini menjadi amat percuma di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. IPDN adalah kawah candradimuka tempat menetaskan setan-setan kecil untuk dijelmakan menjadi setan durjana di kemudian hari.

Tuan Presiden negeri ini, saya akan amat memuja tuan, jika tuan seorang yang lantang berkata sambil menepuk dada dengan amat keras di depan moncong-moncong setan: “Saya, Soesilo Bambang Yudoyono, adalah seorang yang anti kekerasan dan kalian adalah hewan.... oleh karena itu kalian harus kembali ke neraka....”

Namun ternyata tuan bukan orang yang seperti itu dan tuan pun tidak menunjukkan bahwa tuan anti kekerasan, kecuali seorang manusia yang melempem di depan moncong kekerasan yang menyeringai. Mohon tuan agar tidak berkilah sebagai seorang demokrat. Karena seorang demokrat tidak akan menyediakan jalan bagi kekerasan untuk tegak. Karena kekerasan adalah anti demokrasi. Karena kekerasan membariskan robot-robot kejam. Karena kekerasan membekukan daya cipta. Karena kekerasan memandegkan peradaban. Karena kekerasan hanya dimiliki oleh hewan....

Sekali lagi, ini jejak setan. Semua harus bersama menumpasnya. Apakah kita, bangsa Indonesia, cukup memiliki „adab” untuk menumpasnya?

Wednesday, March 14, 2007

MALAPETAKA TRANSPORTASI BANGSA YANG BEBAL

Dimuat di http://www.mediakonsumen.com/Artikel429.html

Sebuah pesawat Garuda terbakar kemarin pagi 7 Maret 2007, di bandara Adisutjipto Yogyakarta. Malapetaka udara, laut, kereta api yang terjadi akhir-akhir ini adalah potret lengkap kemalangan dunia transportasi bangsa ini. Rasa duka yang mendalam saya sampaikan pada para korban....

Mungkin sedikit yang masih ingat pada malapetaka terbakarnya pesawat Mandala di Medan pada September 2005 silam. Saat itu, pesawat Mandala yang terbakar itu ditangani secara seadanya, padahal Bandara Polonia Medan bukan Bandara yang kecil yang seharusnya memiliki Search and Rescue (SAR) yang memadai, sehingga mungkin jumlah korban dapat dikurangi secara signifikan. Kebakaran Mandala saat itu seharusnya menjadi tonggak besar peringatan tentang perlunya perbaikan yang fundamental pada dunia transportasi Indonesia serta pengembangan SAR di Bandara dan di pelabuhan laut Indonesia. Sayang, hingga kini tetap tidak nampak hasil perbaikan dalam dunia transportasi Indonesia dan SAR, meskipun Hatta Radjasa menyatakan sudah dan sedang dilakukan perbaikan dalam wawancara dengan sebuah TV Swasta kemarin pagi. Sebuah pernyataan yang kurang ajar!

Saya amat prihatin dengan perlengkapan SAR bandara Adisutjipto yang digunakan untuk memadamkan api dari sebuah pesawat jet hanya dengan satu selang air saja bukan dengan busa kimia. Api padam beberapa jam kemudian ternyata bukan karena dipadamkan, tetapi karena semua terbakar habis tidak bersisa. Begitu juga jumlah anggota team yang nampaknya sangat kurang. Itu pun saya belum menyebut kemampuan atau keahlian yang dimiliki SAR itu yang saya tidak tahu levelnya. Tentu yang salah bukan mereka, para anggota SAR itu, tetapi pemerintah yang tidak menempatkannya sebagai sebuah lembaga yang amat penting pada suatu situasi darurat.

Tulisan di bawah ini bukan tentang transportasi udara, laut atau kereta api, tetapi tentang infrastruktur transportasi darat atau kondisi jalan raya yang amburadul namun kurang dianggap sebagai sebuah kemalangan atau malapetaka oleh banyak orang. Mungkin karena tidak adanya drama berdarah-darah atau api yang menyala-nyala. Padahal sesungguhnya berita atau tulisan mengenai buruknya kondisi jalan raya, khususnya di sekitar wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, terutama Cilincing ke Cakung sudah sering muncul di berbagai media, bahkan di media-media besar dalam skala nasional. Meski tidak berdarah dan menyala, Bank Dunia dalam sebuah kajian mengenai pemulihan daya saing Indonesia menyebut, ekspor Indonesia bisa naik di atas 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara APEC. Artinya, jika pemerintah mampu mengelola jalan raya dari dan ke pelabuhan, maka pertumbuhannya bisa jauh di atas 18 persen. Angka 18 persen itu tentu besar artinya bagi bangsa ini. Yang lebih mengherankan lagi, saya tidak pernah mendengar menteri perekonomian menekan menteri perhubungan untuk soal jalan raya ini.

Meski rejim yang katanya korup sudah dijatuhkan, dan meski sudah digantikan dengan rejim yang katanya sudah direformasi, wilayah Tanjung Priok, terutama yang dari dan ke arah Cilincing dan Cakung (CaCing) nampaknya tidak akan lepas dari pemandangan kemacetan lalu-lintas karena rusaknya jalan raya yang terus menerus sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun. Beberapa bulan lalu, di kwartal ketiga tahun 2006, sebelum musim hujan datang, jalan-jalan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok ditinggikan. Peninggian jalan ini adalah untuk kesekian kalinya dalam 5 tahun terakhir ini. Sekarang, perbaikan jalan diteruskan hingga ke Cilincing.

Perbaikan itu bukan untuk memperbaiki kerusakan jalan yang ringan, namun kerusakan berat yang sebenarnya sudah rusak berat jauh sebelum musim hujan tiba. Perbaikan jalan di wilayah ini memang selalu dilakukan ketika jalan sudah rusak parah, bukan pada saat masih rusak ringan. Meski demikian Walikota Jakarta Utara baru-baru ini menyebut bahwa kerusakan jalan di Priok-Cilincing disebabkan oleh banjir atau musim hujan. Sayangnya, meski bermaksud memperbaiki, namun pekerjaan memperbaiki itu, sebagaimana selalu terjadi, tidak pernah dengan mempertimbangkan kenyamanan pengguna jalan atau mempertimbangkan kelancaran arus lalu-lintas. Padahal biasanya perbaikan jalan di sana bisa memakan waktu paling cepat 3 bulan dan sementara itu bagian lain dari jalan itu yang tidak diperbaiki sudah mengalami kerusakan, sehingga jalan di sekitar Pelabuhan – Cilincing – Cakung tidak akan pernah dalam keadaan baik.

Lalu-lintas yang selalu padat di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu ada bagian-bagian yang dipersempit karena pekerjaaan perbaikan atau peninggian jalan. Kendaraan harus berjalan melata, karena harus bergantian menggunakan jalan yang lebarnya tinggal hanya satu kendaraan saja. Jalan-jalan di sekitar Pelabuhan ini memang jalan yang rawan banjir pada setiap musim hujan. Barangkali Pemkot Jakarta ingin membuat jalan ini bebas banjir dengan meninggikannya. Bagaimanapun, peninggian jalan di sekitar Pelabuhan ini bukan solusi yang bijak, karena jika banjir datang kemana air akan pergi? Tentu saja ke wilayah di sekitar jalan itu, dan terutama wilayah perumahan di sekitar jalan itu yang dianggap mudah dan boleh saja “dibiadabi”.

Cara pekerjaan peninggian dan perbaikan jalan di wilayah Tanjung Priok ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus ditutup untuk ditinggikan atau diperbaiki separuhnya hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja dulu, mungkin tidak akan terlalu menghasilkan ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Perbaikan dan peninggian jalan ini biasanya dilakukan sambil tidur, bukan dilakukan dengan amat cepat agar tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas terlalu lama. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama dan satu-satunya di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan Bus Way bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, 4 tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini juga harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang terkesan amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” polisi atau aparat untuk membantu mengatur lalu-lintas agar tidak saling serobot.

Cara bekerja seperti ini sungguh amat bertentangan dengan harapan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan dan menegakkan hukum di Jakarta. Kalau becak ditertibkan, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?

Jakarta adalah kota yang jalan rayanya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Lalainya pemerintah ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.

Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Pemerintah tidak mungkin tidak mampu melakukan pemeliharaan jalan raya dengan baik, karena mereka yang duduk di pemerintahan pasti bukan sejenis baboon. Cara memelihara jalan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok itu adalah contoh cara memelihara jalan yang umum terjadi di semua wilayah di Jakarta yang bisa menjadi indikator dari pemerintahan yang bukan hanya kurang mampu berfungsi, tetapi juga tidak memiliki moral. Ini memang persoalan moral! Mungkin bukan karena para baboon itu memakan duit rakyat, tetapi karena secara moral mereka tidak peduli pada keselamatan orang lain, baik celaka atau kehilangan nyawa karena jalan rusak. Lebih jauh lagi, baboon itu pun juga tidak perduli dengan nasib bangsa ini jika negeri ini dipandang bukan tempat yang tepat untuk berinvestasi atau dipandang sebagai negeri dengan 200-an juta manusia bebal.

Jadi, Gubernur atau menteri apa pun yang akan datang seharusnya tidak hanya wajib memiliki leadership dan pintar, tetapi juga sekaligus memiliki moral. Sehingga Gubernur atau menteri ini bukan hanya bekerja untuk sebuah permainan politik atau untuk sebuah partai yang mengusungnya, tetapi juga bekerja untuk mempersiapkan masa depan bangsa ini, negeri ini dan bahkan peradaban manusia.

Jojo Rahardjo