Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Friday, September 21, 2007

SALAH KAPRAH BUSWAY

Jumat, 21 September 2007,



Sejak pertama kali ide busway ini dilemparkan, sudah muncul salah kaprah yang mengganggu saya tapi tidak mengganggu kebanyakan orang di Jakarta ini. “BusWay” yang dalam bahasa Indonesia berarti “JalurBis” ini sebenarnya hanya diperuntukkan untuk bis TransJakarta semata. JalurBis ini bukan untuk seluruh bis umum yang beroperasi di Jakarta. Jadi mengapa sering disebut sebagai ”BusWay”, karena yang benar seharusnya disebut sebagai ”TransJakartaWay”. Salah kaprah ini juga termasuk penyebutan untuk bis TransJakarta yang selalu disebut dengan ”BusWay” juga.

Bis lain selain bis TransJakarta tidak boleh memanfaatkan JalurBis ini. Padahal konsep transportasi umum yang terbukti sudah berhasil di hampir di seluruh permukaan bumi ini, menerapkan semua bis untuk bisa menggunakan JalurBis yang disediakan pemerintah, termasuk di Singapura, Malaysia, Thailand dan negara-negara Asia lainnya. Meskipun konsep transportasi umum itu terbukti berhasil diterapkan di hampir seluruh permukaan bumi ini atau di hampir seluruh negara di dunia ini, tetapi Sutiyoso lebih memilih konsep transportasi umum dari sebuah kota jauh di Amerika latin sana, Bogota, Columbia.

Jakarta adalah sebuah kota yang situasi lalu-lintasnya begitu amburadul. Kemacetan begitu parah hampir di semua titik pada saat jam sibuk. Pemimpin negeri ini dan pemimpin kota Jakarta di masa lalu terlalu sibuk pada urusan-urusan yang entah apa, sehingga lupa memikirkan konsep transportasi umum di Jakarta ini. Lalu muncullah Sutiyoso, gubernur Jakarta. Bak pahlawan kesiangan melemparkan ide TransJakarta sebagai konsep transportasi umum di Jakarta. TransJakarta (atau sering disebut oleh semua orang dengan sebutan salah kaprah BUSWAY) harus diterapkan, harus diwujudkan, harus dijalankan, walau langit runtuh, walau setan menghalangi, walau dunia mencerca, walau anjing menggonggong, walau kemacetan bertambah amburadul dan bertambah parah!

Maka jalan-jalan di Jakarta pun diacak-acak untuk dibuatkan sebuah jalur tambahan lagi untuk melajunya bis TransJakarta. Padahal sudah ada satu jalur khusus bis sejak jaman Sutiyoso masih ingusan dulu. Akibatnya jalur untuk kendaran pribadi menjadi semakin kecil, maka kemacetan pun bertambah parah, lalu-lintas pun bertambah amburadul. Padahal lagi, transportasi umum yang layak, aman dan nyaman seperti bis TransJakarta itu belum tersedia jika pengguna kendaraan pribadi itu ingin menggunakan transportasi umum. Bukan kah itu konsep yang gila?

Seharusnya yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi dan layanan bis-bis yang sudah ada lebih dahulu. Ini dimaksudkan agar pengguna kendaraan pribadi memiliki pilihan jika “JalurBis Baru” dibangun (dan terjadi kemacetan yang parah) mereka bisa menggunakan bis-bis yang layak, nyaman dan aman yang sudah tersedia.

Namun demikian jika “JalurBis Baru” sudah selesai dibangun bukan berarti hanya satu perusahaan saja yang boleh menggunakannya, seperti TransJakarta saja, tetapi harus semua perusahaan bisa menggunakan “Jalur Bis Baru” itu. Tentu dengan menerapkan persyaratan yang ketat.

Oleh karena itu saya bisa memahami sikap warga Pondok Indah yang menolak dibangunnya TransJakartaWay di wilayahnya. TransJakarta itu bukan satu-satunya konsep transportasi umum yang tersedia. Lalu mengapa pemerintah kota Jakarta begitu membatu memaksakan konsep gila itu diterapkan di wilayah yang memang sudah macet itu? Padahal dialog dan saran sudah ditawarkan oleh warga Pondok Indah.

Apakah kita memerlukan satu gugatan class action baru untuk melawan pemerintah kota Jakarta?

Jojo Rahardjo

Tuesday, September 18, 2007

BEA METERAI PADA LEMBAR PENAGIHAN KARTU KREDIT

Tulisan ini penting untuk membiasakan konsumen Indonesia untuk “berpolemik” di media massa tentang aturan pemerintah yang “samar-samar” atau justru malah membingungkan. Melalui bea meterai pada lembar penagihan KK, perusahaan KK bisa menarik dana puluhan milyar rupiah per tahun untuk disetorkan kepada negara. Persoalannya adalah apakah negara memang bermaksud menarik itu dari masyarakat konsumen atau dari perusahaan KK? Persoalan kedua adalah apakah perusahaan KK dengan jujur menyetor semua dana yang dikumpulkannya itu?


Media Konsumen, 17 September 2007

Ada banyak permainan yang dijalankan oleh perusahaan Kartu Kredit (KK) untuk menjerat anda agar terus berada di dalam permainan mereka selama mungkin. Permainan ini sebagian legal alias tidak melanggar hukum dan sebagian lagi illegal. Kedua-duanya dapat merugikan anda dan dapat membuat anda menjadi penghutang sepanjang sisa hidup anda. Permainan ini tentu menguntungkan perusahaan KK. Anda bisa menghindari masuk ke dalam permainan ini, jika anda tahu kiatnya sebagaimana disarankan di banyak situs Internet tentang permainan KK atau dalam tulisan saya sebelumnya (http://www.mediakonsumen.com/Artikel350.html ). Biasanya di Internet kiat ini diberi judul “Winning the Credit Card Game.”

Apa pun yang bisa dilakukan untuk mengeruk keuntungan akan dilakukan oleh perusahaan KK, termasuk Citibank. Salah satu caranya adalah dengan membebankan bea meterai kepada konsumennya. Mengapa itu sebuah credit card game? Karena konsumennya tidak tahu, apakah bea meterai yang konsumen bayar (dengan maksud dibayarkan kepada Dirjen Pajak atau negara) melalui Citibank betul telah atau akan disalurkan oleh Citibank kepada negara? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Citibank, maka Citibank pun tidak mau menjawab pertanyaan ini atau menjawab dengan cara berbelit-belit dan membuat tidak nyaman konsumennya.

Soal bea meterai ini mencuat karena diawali oleh Hagus yang telah menjadi pemegang KK Citibank sejak tahun 1993 mempertanyakan bea meterai yang dibebankan pada setiap lembar penagihan (cari tulisan-tulisan Pak Hagus dengan fasilitas “Cari” yang ada di situs http://www.mediakonsumen.com/ ini). Bahkan pada beberapa lembar penagihan ada 2 bea meterai yang harus dibayar oleh Pak Hagus. Pak Hagus mempertanyakan beban bea meterai pada konsumen karena tidak ditemukan dasar hukumnya.

Memang ada sebuah pasal yang berbunyi seperti ini: MENGHIMBAU KEPADA PENERBIT DOKUMEN UNTUK SEGERA MENGENAKAN BEA METERAI ATAS DOKUMEN YANG DITERBITKAN. Himbauan itu tertulis dalam dalam SE Dirjen Pajak no 13 th 2001. Kata menghimbau dalam bahasa Indonesia berarti menganjurkan, tidak memaksa, menyarankan, tidak mewajibkan. Memang kalimat yang digunakan dalam pasal Dirjen Pajak ini kurang tegas dalam maksudnya dan bisa ditafsirkan atau dipelintir artinya. Jika peraturan itu menggunakan kata “mewajibkan” atau “mengharuskan”, tentu penafsirannya akan berbeda dan menjadi lebih tegas.

Meski bukan hanya Citibank yang menafsirkan pasal itu sebagai alasan untuk membebankan konsumennya dengan bea meterai atas dokumen (lembar penagihan) yang diterbitkan, namun itu bukan berarti Citibank bisa memaksakan konsumennya untuk membayar bea meterai dan tidak mau mengembalikannya ketika diminta oleh konsumennya.

Ini memang sebuah wacana publik tentang bea meterai yang dibebankan sebuah perusahaan kepada konsumen. Ini pembelajaran kepada masyarakat konsumen Indonesia agar tidak gampang menerima “pemelintiran” kebijakan Pemerintah oleh perusahaan swasta atau asing untuk mengeruk atau mengumpulkan dan memanfaatkan dana yang jumlahnya bisa Puluhan Milyar Rupiah per tahunnya untuk tujuan yang tidak diketahui oleh konsumennya.

Berdasarkan pada PPRI no 24/2000 dan SE Dirjen Pajak no 13/2001 itu, Pak Hagus berpendapat bahwa pemegang KK tidak diwajibkan untuk membayar bea meterai itu. Jika bukan pemegang KK yang diwajibkan untuk membayar bea meterai itu, maka tentu pembuat dokumen yang mendapat kewajiban itu. Oleh karena itu Pak Hagus mengajukan keberatan dan meminta pengembalian bea meterai itu yang sudah dikenakan sejak tahun 2000 itu. Keberatan itu diajukan dan dilakukan berulang-kali hingga membuat Pak Hagus kesal dan merasa amat tidak nyaman, meski pun akhirnya Citibank mulai mengembalikan sebagian kecil dari bea meterai yang telah ditagih Citibank pada periode bulan Juni 2005 hingga Oktober 2006. Itu pun Citibank tidak mengembalikan semua bea meterai yang sudah dibebankan kepada Pak Hagus. Bahkan Citibank telah secara sepihak memberikan laporan kepada Bank Indonesia, bahwa Pak Hagus memiliki tunggakan kepada Citibank sebesar sekian juta. Namun anehnya, Citibank tidak pernah menagih apalagi mengejar Pak Hagus untuk mendapatkan tunggakan itu.

Banyak ekses yang timbul atau terjadi dari proses pengajuan keberatan bea meterai yang dilakukan oleh Pak Hagus ini. Satu yang menonjol dan amat mengganggu rasa nyaman Pak Hagus adalah Citibank pernah menggunakan cara-cara yang menyinggung sara, yaitu Citibank pernah mempertanyakan apa agama Pak Hagus? Apakah Pak Hagus Muslim atau Nasrani? Rekaman pembicaraan itu masih disimpan oleh Pak Hagus. Karena Pak Hagus tidak menjawab pertanyaan Citibank itu, maka tidak diketahui apakah maksud dari pertanyaan itu. Apakah jika Pak Hagus menjawab bahwa ia menganut salah satu agama, itu akan mempengaruhi kualitas atau bentuk respon Citibank terhadap Pak Hagus? Meski didesak terus tentang maksud dari pertanyaan itu, Citibank hingga kini (pertemuan di Citibank Tower, 14 September) menolak menjawabnya. Cepat atau lambat, Pak Hagus akan memperkarakannya melalui jalur hukum.

Ekses yang lain adalah berbelit-belitnya Citibank dalam merespon Pak Hagus. Jika sebagian kecil bea meterai telah dikembalikan kepada Pak Hagus, mengapa tidak semua bea meterai yang pernah dibebankan kepada Pak Hagus dikembalikan? Bahkan ketika Pak Hagus, saya dan Pak Abdul Haris (yang juga pemegang KK Citibank) datang pada 14 September ke kantor pusat Citibank di Citibank Tower pun, Citibank yang diwakili oleh Hotman Simbolon dan Amalia Hutomo terus berputar-putar dan berbelit-belit dalam merespon permintaan Pak Hagus. Padahal Pak Hagus dan saya adalah pemegang KK Citibank sejak tahun 1993. Sedangkan untuk merespon permintaan saya dan Pak Abdul Haris, Citibank mencoba menolak dengan cara meminta kami untuk mengajukan permintaan ini secara tertulis. Ini sebuah langkah arogan Citibank yang menggambarkan betapa tidak pentingnya konsumen di mata Citibank. Atau ini hanya langkah salah dari 2 orang wakil Ctiibank, yaitu Hotman dan Amalia? Tentu banyak cara untuk meminta pengembalian bea meterai ini dan kami memilih memintanya secara terbuka di media massa dan atau melalui proses hukum yang ada.

Citibank pun menolak (tentu dengan cara berbelit-belit) permintaan Pak Hagus untuk memberikan bukti kepada Pak Hagus bahwa bea meterai yang telah dibayarkan kepada negara melalui Citibank memang telah dibayarkan oleh Citibank kepada negara. Penolakan ini tentu menjadi indikasi adanya kebusukan di Citibank. Jika tidak, tentu tidak akan sulit bagi Citibank untuk memberikan bukti itu, mengingat permintaan Pak Hagus itu adalah hak konsumen atas informasi yang seharusnya bisa dianggap permintaan yang mewakili seluruh konsumen Citibank.

Karena itu perlu adanya upaya pembuktian mengenai apakah Citibank telah menyetorkan bea meterai yang telah dibebankan kepada konsumennya kepada negara. Upaya ini seharusnya ini tidak sulit jika dilakukan di Dirjen Pajak, mengingat konsumen memiliki hak untuk mengetahui apakah Dirjen Pajak telah menerima uangnya atau tidak, betapa pun kecilnya itu.

Sekali lagi, ini memang baru sebuah wacana publik. Namun jika anda ingin bergabung dalam upaya mempersoalkan pembebanan bea meterai oleh Citibank kepada konsumennya, silahkan kunjungi situs Yahoo Groups: http://groups.yahoo.com/group/classactionforbetterindonesia . Mari bersama-sama mendiskusikan dan mempersoalkan ini dengan YLKI atau lembaga-lembaga lain yang memiliki kapasitas yang cocok. Mungkin saja kita bisa menyelamatkan uang puluhan milyar pertahun yang diduga telah “dirampok” oleh Citibank dari konsumennya. Jika “tuduhan” atau dugaan ini salah, tentu Citibank bisa menggunakan hak jawabnya di media ini dengan memberikan bukti-bukti yang menyakinkan konsumennya.

Jojo Rahardjo

Wednesday, September 12, 2007

SEPUTAR GUGATAN CLASS ACTION

SEBUAH ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT UNTUK IKUT BERPARTISIPASI DALAM MENGELOLA NEGERI INI.

Media Konsumen 11 September 2007

Sebagaimana sudah kita ketahui, karena permintaan banyak warga di seantero Jakarta, YLKI dan LBH saat ini sedang mengupayakan sebuah gugatan class action terhadap menteri PU dan Jasamarga karena telah menaikkan tarif tol seenaknya sehingga merugikan masyarakat (tidak hanya) pengguna jalan tol tetapi juga pengguna jalan raya secara umum. Rupanya arti jalan tol telah disederhanakan oleh pemerintah dan Jasamarga menjadi urusan iklim investasi jalan tol semata.

gambar dari Liputan 6 SCTV


Ketika beberapa bulan lalu terdengar kabar pemerintah SBY akan menaikkan tarif tol, banyak yang mengira bahwa niat pemerintah itu bakal tak ada yang bisa menghalangi. Komisi V DPR yang mengurus soal-soal antara lain perhubungan selain melempem, ternyata juga tidak memiliki martabat karena mau menerima fasilitas dari pemerintah dan Jasamarga untuk bisa menggunakan jalan tol secara gratis. Nama-nama mereka silahkan diingat-ingat agar tidak kita tidak tertipu lagi di Pemilu 2009 nanti ( http://www.dpr.go.id/dpr/komisi.php?kom=Komisi%20V ).

Situasi itu diperburuk lagi, karena ternyata ada Undang Undang No.38/2004 tentang Jalan yang menjadikan Komisi V DPR membusuk di gedung DPR yang megah itu karena terlalu banyak melongo tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif jalan tol atau terhadap kebijakan pemerintah dalam mengurus jalan tol yang amburadul.

Namun akhir bulan Agustus lalu, situasi suram masyarakat pengguna jalan tol dan jalan raya (yang ikut kebagian getahnya) tiba-tiba mendapatkan sedikit harapan setelah YLKI dan LBH bersedia membantu masyarakat untuk mengupayakan sebuah gugatan class action yang akan didaftarkan di pengadilan Jakarta Pusat tanggal 12 September ini. Akhir Agustus lalu itu, hanya dalam waktu beberapa hari saja setelah berita rencana gugatan class action itu, bermunculan berbagai dukungan untuk upaya ini. Gugatan class action ini bahkan juga akan diteruskan pada upaya untuk ke Mahkamah Konstitusi untuk memperkarakan UU tentang jalan yang dapat dan telah dapat ditafsirkan secara aneh oleh menteri PU dan Jasamarga.

Sebagaimana yang sudah ditulis oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tentang class action di situs ELSAM, www.elsam.or.id , bahwa “Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.” Harapan masyarakat pengguna jalan raya pun bertambah cerah. Bahkan apa yang disampaikan oleh ELSAM ini juga memberikan harapan pada seluruh lapisan masyarakat yang sering menjadi korban dari perilaku durjana para pejabat publik yang merasa jabatan yang dimilikinya membuat masyarakat tidak bisa mengkoreksi kebijakan yang diambilnya.

Class action ini akhirnya nanti bisa mendorong pejabat publik untuk melakukan apa yang sekarang populer dengan sebutan “konsultasi publik” sebelum mengambil sebuah kebijakan penting atau yang bisa berdampak luas pada masyarakat. Dalam kasus jalan tol, mungkin pejabat publik yang berkaitan tidak hanya bersifat durjana, tetapi juga sekaligus tolol dalam mengelola jalan tol sehingga selain mereka tidak bisa memberi iklim investasi yang baik bagi pengusaha jalan tol tetapi juga sekaligus tidak bisa memberi kepuasan bagi pengguna jalan tol (juga kerugian!).

Bahkan gugatan class action ini juga nanti bisa untuk menyeleksi pejabat-pejabat tolol yang memperoleh jabatannya hanya karena berkat partai politik yang memilihnya bukan karena rakyat yang memilihnya. Contoh yang paling anyar adalah jabatan gubernur Jakarta yang baru saja terpilih. Fauzi Bowo tidak dipilih oleh rakyat untuk bisa menduduki jabatan strategis itu, karena partai lah yang memiliki kesempatan pertama untuk memilih Fauzi Bowo atau calon gubernur lainnya. Setelah dipilih partai, baru lah rakyat memiliki kesempatan memilih. Sebuah cara berdemokrasi yang justru sebenarnya menjauhkan kita dari tujuan demokrasi.

Banyak pihak yang kuatir gubernur Jakarta yang baru ini akan menjalankan tugasnya dengan cara-cara membayar imbal-balik kepada partai-partai yang telah mengusungnya menjadi gubernur. Orientasi tugasnya dikuatirkan bukan pada kesejahteraan rakyat.

Di sinilah peran gugatan class action menjadi penting. Gugatan class action bisa digunakan untuk mengkoreksi gubernur yang baru nanti atau bahkan bisa digunakan untuk memaksa gubernur untuk selalu melakukan konsultasi publik ketika akan mengambil sebuah kebijakan publik yang penting atau bisa berdampak amat luas di masyarakat. Gugatan class action ini juga diharapkan bisa mendorong sebuah proses seleksi terhadap kapasitas atau kemampuan pejabat publik dalam bekerja. Jadi pejabat yang tolol silahkan dipinggirkan.

Contoh ketololan-ketololan pejabat publik sebenarnya banyak sekali terlihat atau dirasakan oleh masyarakat sehari-hari. Namun mungkin karena masyrakat sudah terlalu lama, puluhan tahun, ditololi, maka tidak seorang pun protes atau melakukan protes secara sungguh-sungguh atau secara efektif. Contoh sebuah ketololan pejabat publik adalah ketika memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang sudah macet adalah selalu dengan tidak memperdulikan kenyamanan atau kelancaran pengguna jalan. Mentang-mentang sedang memperbaiki jalan atau memperlebar jalan, maka jalan boleh dibikin macet parah berbulan-bulan lamanya. Ini menggambarkan tidak hanya ketololan pejabat publik tetapi juga sekaligus sifat durjana. Busway atau jalur khusus untuk (hanya) bis TransJakarta pun adalah sebuah contoh lain yang paling nyata dari ketololan dan kedurjanaan para pengelola kota Jakarta. Ketika tersedia contoh sistem transportasi umum lain yang terbukti baik dan telah diterapkan oleh banyak negara di Asia, Sutiyoso malah memilih sebuah sistem transportasi yang hanya digunakan di satu kota jauh di Amerika Latin, Bogota, Columbia. Lihat sekarang, jalur TransJakarta selain belum menunjukkan gunanya, jalur TransJakarta telah menghasilkan kemacetan baru di mana-mana karena belum dioperasikannya sistem transportasi umum ini secara penuh. Entah kapan beroperasi penuh…. TransJakarta yang menuntut jalur khusus itu kini ditolak di wilayah Pondok Indah karena dianggap akan merusak penghijauan dan akan menghasilkan keamburadulan jalan raya.

Contoh ketololan lainnya adalah bagaimana pemerintah daerah Jakarta menghadapi banjir di musim hujan yang bertambah parah setiap tahun. Pemerintah lebih suka berinvestasi dengan sangat besar pada banjir kanal yang banyak dikritik para ahli tata kota dan lingkungan hidup karena tidak akan maksimal mengatasi banjir di Jakarta. Konsep banjir kanal itu adalah warisan jaman Belanda yang situasi kota Jakarta di jaman sekarang sudah berubah sangat banyak. Semestinya sekarang Jakarta menyediakan banyak sumur-sumur resapan atau danau-danau (bukan puluhan mall) yang selain baik untuk lingkungan juga lebih murah dan efektif untuk mengatasi curah hujan yang tinggi di waktu musim hujan.

Contoh lain lagi adalah kegiatan penggusuran terhadap masyarakat miskin kota yang kian hari kian membuat kita ikut menjadi makhluk durjana, karena kian hari kita makin tidak peduli dengan keamburadulan rasa kemanusiaan orang-orang yang mengelola kota-kota besar kita ini. Pada banyak kasus, orang-orang miskin digusur justru setelah status tinggalnya diresmikan sendiri oleh pejabat di wilayah penggusuran itu dengan memberikan KTP, atau bahkan memungut retribusi atau Pajak Bumi dan Bangunan. Semestinya jika mereka digusur, maka berikan juga sangsi pada pejabat di wilayah itu yang telah membiarkan mereka bertahun-tahun tinggal bahkan bermatapencaharian di situ. Sekali lagi, barangkali gugatan class action bisa digunakan untuk persoalan seperti ini.

Class action juga bisa digunakan untuk menggugat perusahaan yang merugikan ribuan bahkan jutaan konsumennya seperti perusahaan kartu kredit di Indonesia. Sebagaimana bisa terlihat di http://www.mediakonsumen.com/ ini, kartu kredit adalah industri yang paling menguntungkan namun paling banyak menghasilkan keluhan dan kerugian finansial dan kerugiaan moril pada pemegang kartu kredit. Dengan berbagai cara perusahaan kartu kredit selalu lebih “cerdik” dalam menguras uang konsumennya. Salah satunya adalah dengan membebankan biaya meterai kepada pemegang KK pada setiap lembar penagihan. Padahal dasar hukumnya tidak ditemukan. Salah satu perusahaan KK yang melakukan ini adalah Citibank.

Hagus S. seorang warga Jawa Barat sebagaimana surat-suratnya di http://www.mediakonsumen.com/ ini telah dengan gigih mempertanyakan dan menolak untuk membayar bea meterai ini kepada Citibank. Salah satu alasannya adalah Citibank tidak bisa membuktikan biaya meterai itu sampai ke Dirjen Pajak atau Departemen Keuangan negeri ini. Sehingga tentu saja bea meterai yang dibebankan kepada pemegang KK bisa menguntungkan Citibank bermilyar-milyar Rupiah. Citibank akhirnya mengembalikan uang Hagus S. Sayang hanya Hagus S. saja yang dikembalikan. Bukan semua pemegang KK Citibank lainnya atau bahkan semua pemegang KK dari perusahaan lainnya.

Sekali lagi gugatan class action mungkin sebuah titik cerah bagi masyarakat yang butuh dan sudah saatnya lebih aktif ikut berpartisipasi dalam ikut mengelola negeri ini yang terlalu lama amburadul.

Jojo Rahardjo