Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Monday, August 18, 2008

MUSIM PANEN BAGI KONSULTAN POLITIK DAN MEDIA

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2991.html

Majalah Fortune memperkirakan total dana kampanye di Amerika tahun ini akan mencapai USD 3 miliar. Itu sebabnya seorang konsultan politik Indonesia, Rizal Malarangeng di Jawa Pos, 25 Mei 2008 menegaskan: “Demokrasi memang mahal, bung!”

Lalu, berapa besar biaya kampanye di Indonesia?

Jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah 500 Juta Rupiah, maka per bulan adalah 15 Milyar Rupiah. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh 2 calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, Internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya. Kampanye tahap awal ini hanya sekedar untuk menciptakan awareness. Tahap berikutnya adalah adalah tahap komunikasi nilai-nilai dan platform. Biaya ratusan milyar rupiah ini hanya habis dalam beberapa bulan saja, bukan 1 tahun. Jadi bayangkan dalam 1 tahun berapa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon pemimpin di negeri ini, dan berapa biaya yang dikeluarkan oleh beberapa orang calon, misalnya 5 orang calon. Lebih dari 1 trilyun rupiah!

Soal seperti ini, memang soal yang baru dan telah menjadi wacana beberapa tahun terakhir ini. Sudah banyak tulisan dan diskusi dibuat mengenai ini. Kebanyakan sudut pandangnya adalah ilmu, misalnya ilmu komunikasi, marketing, manajemen, politik, psikologi atau gabungan dari semua ilmu itu. Tulisan di bawah ini juga dari sebuah sudut pandang, yaitu ‘sudut pandang hati’ yang mencoba mewakili hati kebanyakan masyarakat dari golongan bawah.

Besarnya biaya kampanye calon presiden yang dipertontonkan belakangan ini, mungkin tidak mengganggu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik. Tapi di tengah morat-maritnya negeri ini, pertunjukan itu sungguh tidak elegan. Apalagi seperti terjadi di negara mana pun, sumber dana kampanye seringkali dari korporasi atau dari kelompok-kelompok yang ingin memiliki pengaruh di pemerintahan yang akan terpilih nanti. Di Indonesia, Kampanye tahap awal sudah dimulai, meski tidak resmi. Pada tahap inilah sering sumber dana kampanye yang berjumlah sangat besar justru tidak memiliki asal-asul yang jelas. Padahal kita harus prihatin karena beberapa soal di bawah ini.

1. Penyumbang siluman itu (sebenarnya tidak cukup siluman, karena biasanya mereka adalah korporasi atau kelompok) akan meminta balas jasa jika si calon terpilih. Ini tentu bisa menjadi praktek pemerintahan atau legislasi yang korup.
2. Calon adalah seorang yang tidak cukup dikenal di masyarakat tetapi memaksakan diri.
3. Uang ratusan milyar rupiah tidak dimanfaatkan untuk menjadi solusi bagi persoalan mendasar negeri ini, yakni membuka lapangan kerja atau membantu membiayai pendidikan.
4. Calon adalah seorang yang sejak awal tidak peka dengan persoalan-persoalan besar masyarakat.
5. Calon adalah seorang kerbau yang mau dicocok-hidungnya oleh para konsultan politik.
6. Calon tidak memilih cara yang meski lebih panjang, tetapi lebih murah, elegan, natural dan bermanfaat agar dikenal oleh masyarakat, misalnya dengan menulis selama bertahun-tahun sebelumnya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tahun 2008 ini adalah tahap awal bagi para calon pemimpin, tahap menanamkan awareness, sehingga kita belum bisa melihat kampanye platform atau program para calon pemimpin itu. Tapi justru itu lah “pameran” kelemahan para calon pemimpin itu sudah dilangsungkan. Hampir semua calon yang menghambur-hamburkan uangnya di TV itu adalah orang yang sebelumnya sudah cukup dikenal melalui media TV, namun bukan sebagai pahlawan atau memiliki prestasi menonjol sebagai pemimpin di negeri ini.

Wiranto, Bachir, Prabowo, Rizal, Sutiyoso dan lain-lain yang sibuk memoles citranya adalah orang-orang yang sebelumnya atau sepanjang hidup mereka tidak diberitakan sebagai orang yang concern dengan persoalan sehari-hari masyarakat di bawah, misalnya penciptaan lapangan kerja. Padahal di mana-mana, di seluruh dunia, di negeri mana pun, sering ukuran keberhasilan seorang pemimpin negeri diukur dari keberhasilannya dalam menciptakan lapangan kerja. GeorgeW. Bush di negeri yang dikenal makmur, ternyata dianggap gagal sebagai pemimpin bahkan memalukan rakyatnya karena menyuburkan pengangguran berkat politik luar negerinya yang haus perang.

Mengapa lapangan kerja? Karena rakyat butuh kesejahteraan, apalagi di Indonesia. Jika rakyat sejahtera, pemimpin mungkin boleh “melenggang” sebagai penguasa. Kalau tidak memiliki catatan yang baik sebagai insan yang menyejahterakan rakyat, apakah bisa dipercaya menjadi pemimpin yang akan memberikan kesejahteraan? Meski demikian, konstituen biasanya terlalu bodoh dan ilmu politik serta ilmu komunikasi sudah sedemikian maju hingga seorang calon tanpa rapor bagus pun bisa terus maju hingga menjadi pemimpin.

Jika praktek demokrasi di Amerika sering menjadi acuan para konsultan politik Indonesia, maka saya pun ingin mengajukan Obama sebagai acuan saya. Tetapi itu jika Obama bisa terlepas dari keraguan banyak pihak di dunia ketiga mengenai tekanan military industrial complex, karena salah satu sumber dana Obama berasal dari perusahaan-perusahaan minyak seperti Exxonmobile (Amien Rais, DetikNews.com). Obama, dalam masa kampanye pendahuluan atau primary sudah menyampaikan program-programnya. Salah satu programnya yang menunjukkan “kejeliannya” pada soal-soal yang aktual, adalah mengenai krisis energi karena kaitannya dengan beberapa soal dunia lainnya, seperti global warming, climate change, investasi usaha dan lapangan kerja baru dan di sektor baru pula. Di dalam satu programnya, Obama menegaskan akan menanamkan investasi lebih besar dari pemerintah sebelumnya di sektor energi yang berasal dari sumber alternatif yang bukan berasal dari fosil, seperti minyak bumi, batubara, gas alam dan uranium. Energi dari sumber alternatif yang juga disebut renewal energy atau tidak bisa habis ini bisa berasal dari berbagai sumber, seperti angin, gelombang laut, panas bumi, hingga sinar matahari. Penanaman modal di sektor ini selain untuk mengatasi persoalan mahalnya minyak dunia, sekaligus juga akan membantu mencegah global warming dan membuka lapangan kerja baru dan di sektor yang baru pula.

Karena saya seorang blogger, maka melalui riset kecil yang tentu dengan Google (ha…ha…ha…), saya menemukan informasi tentang perusahaan-perusahaan di berbagai belahan dunia yang mengembangkan pemanfaatan energi dari sumber alternatif. Salah satunya dan yang paling menonjol adalah pemanfaatan sinar matahari untuk menjadi energi listrik dengan menggunakan Solar Panel atau Solar Cell. Salah satu perusahaan yang mengembangkan itu adalah Ameco, perusahaan solar energy di Selatan California sejak tahun 1974. Ameco, menjadi salah satu perusahaan energi swasta komersial yang menjual peralatan solar panel dan juga menjual jasa penyediaan listrik yang berasal dari sinar matahari (www.solarexpert.com/pvbasics2.html).

Sekarang, beberapa perusahaan listrik matahari di Amerika itu menawarkan sekitar 5 Juta Rupiah untuk sebuah solar panel yang bisa menghasilkan listrik 500 watt di rumah-rumah. Peralatan ini mampu bertahan paling tidak selama 10 tahun biaya dengan perawatan yang minimal. PhotoVoltaic (solar panel) systems have no moving parts, require virtually no maintenance, and have cells that last for decades (www.solarexpert.com/pvbasics2.html). Jika rata-rata rumah dengan 1300 watt di Indonesia menghabiskan 300 ribu rupiah perbulan untuk tagihan listrik, setidaknya bisa dihemat 150 Ribu Rupiah perbulan dan 15 Juta Rupiah selama 100 bulan (8 tahun lebih). Kemudian kalikan lagi dengan jutaan rumah di seluruh Indonesia. Perusahaan Amerika ini juga menyediakan solar panel untuk kawasan pemukiman (residential), apartemen, gedung perkantoran dan niaga atau kawasan industri.

Teknologi ini sebenarnya bukan teknologi tinggi lagi di masa ini. Teknologi ini ditemukan puluhan tahun yang lalu. Solar panel yang paling kecil dan dimanfaatkan secara komersial sebenarnya sudah kita kenal sejak tahun 70-an, yaitu pada peralatan calculator. Bahkan Indonesia pun sudah akrab dengan teknologi Solar Panel dan pemanfaatannya pada skala yang tidak main-main. PLN sudah pernah dan berhasil menyediakan listrik matahari ini di daerah-daerah terpencil. Sejumlah instansi dan lembaga pemerintah, seperti BPPT pun sudah akrab dengan pemanfaatan teknologi ini. Tetapi mengapa pemerintah tidak memaksimalkan pemanfaatan teknologi ini? Jawabannya tentu berputar-putar di sekitar lingkaran setan dunia usaha dan praktek korup para pemimpin negeri ini.

Krisis energi adalah persoalan dunia. Artinya persoalan ini terjadi di mana-mana. Bukan hanya karena persediaan energi fosil menipis dan menjadi mahal, atau karena praktek setan industri minyak dunia, tetapi juga karena eksplorasi dan penggunaannya mengakibatkan global warming. Di Indonesia, masyarakat kelas bawah sudah lama merasakan mahalnya tagihan listrik dan mahalnya transportasi dan tentu juga mahalnya barang-barang karena bergantung pada minyak sebagai sumber energi dalam melakukan kegiatan usaha dan kegiatan sehari-hari.

Apa yang dinyatakan Ameco dalam situsnya www.solarexpert.com/pvbasics2.html seharusnya bisa membuat hidung investor di sektor energi kembang kempis: Siemens Solar alone has shipped over 130 megawatts of modules since its inception, and the use of solar power is projected to grow at 10-15% per year from now until the year 2010. This is over three to five times the rate of growth of the Gross National Product of the United States!

Sayangnya hingga hari ini belum ada calon pemimpin atau politikus yang dengan cepat atau lebih dini menyebut energy crisis sebagai salah satu program mereka. Bahkan harapan saya, untuk mewakili kalangan bawah, adalah munculnya calon yang sudah memiliki solusi saat ini juga pada persoalan ini. Salah satu solusi seperti ini bisa dijadikan model berkampanye yang tidak menghambur-hamburkan uang di tengah kemelaratan rakyat saat ini. Sayangnya juga adalah para konsultan politik Indonesia tidak atau belum menawarkan model kampanye seperti ini yang sesungguhnya lebih cocok di Indonesia.

Penerapan solar panel di Indonesia bahkan bisa memberi citra bagi calon pemimpin sebagai pemberi solusi pada beberapa persoalan seperti di bawah ini:

1. keluar dari jerat monopoli PLN sebagai satu-satunya penyedia listrik
2. menghemat uang masyarakat yang dikeluarkan dalam membeli listrik
3. menggiatkan penggunaan kendaraan (alat transportasi) listrik
4. ikut mencegah kerusakan lingkungan
5. menciptakan lapangan kerja baru di sektor penyediaan energi matahari.

Ini hanya salah satu contoh tentang pilihan dari bentuk atau cara-cara berkampanye bagi para calon legislatif atau pemimpin di Indonesia. Berinvestasi di sektor energi matahari ini tentu akan diliput oleh media, sehingga calon itu bisa menghemat biaya dalam melakukan kampanye untuk membangun awareness. Tentu masih ada pilihan-pilihan lain, jika memang para colon legislatif dan pemimpin itu mau dipandang sebagai pemberi solusi, bukan bagian dari masalah yang berkepanjangan di Indonesia.

Saya tentu percaya, bahwa konsultan politik memang sudah saatnya diperlukan di negeri ini. Paling tidak untuk membentuk politikus atau pemimpin yang lebih elegan. Terutama kita memerlukan pemimpin yang dibentuk oleh konsultan politik untuk memiliki kepekaan terhadap situasi atau persoalan yang berkembang dan yang akan datang. Pemimpin yang dibentuk untuk tidak menggunakan kekerasan tetapi menggunakan komunikasi, bukan seperti para gubernur yang giat menghalau kaum urban dan kaum miskin kota. Pemimpin yang mengandalkan pada hasil riset ilmiah dalam mengelola wilayahnya, bukan seperti membangun Banjir Kanal Timur di Jakarta. Pemimpin yang memiliki satu tim ahli besar yang terdiri dari para profesional di bidangnya. Pemimpin yang mampu mengembangkan sistem untuk menyerap berbagai aspirasi dari masyarakat. Semua ini memang bisa dibentuk oleh konsultan politik.

Tetapi jika konsultan politik bekerja dengan orientasi uang, maka konsultan politik akan mengusung seorang calon durjana untuk menjadi pemimpin. Konsultan politik akan tidak peduli sebesar apa pun biaya yang dikeluarkan calon durjana untuk membeli semua slot di berbagai jenis media untuk memoles citra seorang calon incompeten, busuk, bahkan jahat untuk maju ke pemilihan. Bahkan konsultan politik akan mampu memanipulasi citra korup pemimpin yang menjadi kliennya agar terus bertahan berkuasa.

Sebuah contoh dari perusahaan konsultan politik adalah perusahaan Lingkaran Survey Indonesia yang dipimpin oleh teman saya semasa kuliah dulu, Denny JA. LSI sebagai perusahaan konsultan politik meski baru beberapa tahun didirikan telah menjadi ‘king maker’ (mengutip majalah Men’s Obsession). Ada 12 gubernur serta 23 bupati dan walikota yang berhasil lolos Pilkada dengan bantuan Denny. Apakah Denny JA sebagai salah satu king maker bisa menjadi sebuah langkah awal nan besar menuju Indonesia yang lebih baik? Itu pertanyaan gatal yang bisa terjawab di tahun-tahun mendatang.

Sekarang memang musim durian. Sayang duriannya terlalu mahal buat masyarakat kecil. Indonesia memiliki 33 provinsi ditambah 440 kabupaten dan kota. Maka ada sekitar 473 musim durian di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Belum lagi pemilihan anggota legislatif pusat dan daerah. Demokrasi ternyata bukan hanya mahal, tetapi hanya sebuah permainan berebut pengaruh di antara yang punya duit…. Rakyat kecil memangnya tahu apa?

Dirgahayu Republik Indonesia!

Penulis pernah bekerja sebagai Marketing Research Executive di sebuah stasiun TV