Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Wednesday, January 31, 2007

COPY & PASTE DI INTERNET

Internet masuk ke Indonesia di tahun 1995. Artinya itu lebih dari 10 tahun yang lalu. Saya ingat sebab ketika Internet Provider mempromosikan layanannya di tahun itu, saya dan teman-teman di tempat saya bekerja waktu itu, di sebuah broadcast TV, langsung melanggannya. Tak lama setelah bisa mengakses Internet itu lah saya mulai lebih giat menulis dibanding sebelumnya, karena saya mulai dapat mengakses informasi yang beraneka-ragam dan seluas-luasnya. Saya mulai memiliki reference yang cukup sebagai bahan tulisan saya. Tidak seperti sebelum Internet ada, yakni saya harus pergi ke perpustakaan untuk mendapatkan reference.

Selain menjadi anggota milis Indonesia-L yang diasuh oleh John MacDougal, saya mulai rajin mempelajari cara membuat halaman web dan terus membaca situs-situs mengenai perkembangan multimedia di seluruh dunia. Satu website yang saya buat waktu itu, yang saya beri nama Indonesia Raya disebut dalam laporan harian Kompas di tahun 1996. Website itu saya buat di situs penyedia website gratis AngelFire. Sayang ketika AngelFire.com crashed, website saya pun ikut crashed.

Saya begitu terkesima melihat perkembangan teknologi multimedia di berbagai negara lain. Saya pun senang dan antusias ketika mulai melihat atau membayangkan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang berkat perkembangan multimedia. Saya sudah memperkirakan bahwa pasti ada pengaruhnya terhadap politik di Indonesia atau penyelenggaraan negara.

Awal tahun 1997 sebenarnya diwarnai oleh munculnya berbagai perusahaan multimedia baru Indonesia, setelah didahului oleh Indovision (Peter Gontha), Multimedia Nusantara (Sudwikatmono), PT Media Citra Indostar (satelit Cakrawarta-1), PT Indonusa Telemedia, PT Multi Media Asia Indonesia, PT Yasawirya Tama Cipta dan lain-lain. Semua perusahaan multimedia itu mungkin, seperti saya juga, tidak menyangka jika tidak lama setelah itu nilai tukar Rupiah anjlok secara dahsyat sehingga beberapa perusahaan itu batal untuk diteruskan. Indovision, meski tidak ditutup, namun harus menunda sebagaian besar dari marketing strategynya.

Meski semua mengakui bahwa jatuhnya Suharto adalah berkat semangat para teman-teman mahasiswa waktu itu dan juga semangat berkorban Amien Rais yang waktu itu yang menjadikan dirinya contoh bahwa Suharto bukan soal yang perlu ditakuti. Namun gelombang informasi yang menjadi lebih bebas berkat Internet juga menjadi faktor yang ikut mempengaruhi sikap banyak orang untuk ikut dalam barisan penggulingan Suharto waktu itu. Saya ingat berbagai informasi politik berupa print-out dari Internet pun menyebar ke mana-mana hingga supir mikrolet pun ikut menikmatinya, apalagi mahasiswa. Saya memang sebelumnya tidak pernah melihat heroisme yang aneh dari para mahasiswa itu untuk sebuah masa yang amat represif. Mereka rela kekurangan makan dan minum, bahkan dipukuli tentara dan polisi, atau kepanasan dan kehujanan dari pagi hingga pagi lagi. Mereka pasti sudah gila, pikir saya waktu itu, karena mana mungkin bisa menang melawan Suharto.

Namun di awal tahun 1998, saya mulai yakin dengan kemenangan people power ini, setelah saya melihat perubahan cara berpikir kebanyakan orang yang saya kenal selama ini. Saya melihat “Tangan Tuhan” melalui multimedia yang dalam hal ini adalah Internet untuk merubah apa yang selama ini dianggap tak mungkin dirubah. Saya melihat keyakinan akan adanya perubahan itu pada hampir setiap orang dan mereka pun amat optimis dengan masa depan Indonesia. Padahal ketika itu nilai tukar Rupiah sedang anjlok amat parah.

Itulah ilustrasi situasi masa itu yang membuat saya begitu antusias untuk menjadi bagian yang ikut mengembangkan industri multimedia di Indonesia. Sayang pada saat itu sangat sedikit orang yang menulis dengan semangat mengenalkan multimedia di media cetak Indonesia. Roy Suryo adalah salah satunya yang rajin mengenalkan dunia multimedia melalui harian Media Indonesia di mana saya juga sering menulis mengenai industri multimedia.

Tulisan saya di harian Media Indonesia waktu itu biasanya menggambarkan tentang prospek sebuah aplikasi multimedia di masa depan dan apa pengaruhnya bagi sebuah masyarakat. Format seperti ini berhubungan dengan semangat saya yang mengharapkan perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik setelah datangnya multimedia. Misalnya tumbuhnya banyak stasiun TV swasta akan membuat masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mencerdaskan dirinya. TV mungkin menjadi media persahabatan dan perdamaian karena bisa lebih mengenalkan sebuah kelompok masyarakat yang satu kepada yang lain yang mungkin sebelumnya dicurigai atau dimusuhi.

Begitu juga Interenet sebagai tempat mencari informasi yang sebelumnya sulit diakses oleh orang-orang biasa. Pemeluk sebuah agama pun ramai-ramai mencoba memahami cara berpikir pemeluk agama lain melalui diskusi yang tidak memiliki resiko kerusuhan. Itu sebabnya tulisan saya yang berjudul “Situs tentang Multimedia di Indonesia” menghasilkan banyak respon yang baik waktu itu. Tulisan ini menggambarkan datangnya dunia baru yang lebih baik.

Dari berbagai tulisan saya nampak usaha saya, misalnya untuk mengenalkan aplikasi yang tersedia dari berkembangnya teknologi satelit, yaitu mengenai apa yang sedang berkembang di negara lain dan segera akan dikembangkan waktu itu oleh Indovision melalui Pay-TV-nya. Juga ada tulisan mengenai teknologi baru di dunia broadcast TV (terrestrial TV), yaitu wireless system yang membuat stasiun TV swasta bisa menghemat investasi yang dikeluarkannya untuk mendirikan seubah TV lokal dan sekaligus bisa menarik bayaran Pay-TV). Ada juga tulisan mengenai ibu rumah tangga yang akan semakin akrab dengan Internet di dapurnya melalui pesawat TV (Web-TV). Bahkan ada tulisan mengenai sisi marketing dari broadcast TV.

Semua tulisan itu muncul karena semangat atau idealisme untuk membawa Indonesia berada di tengah masyarakat multimedia Internasional. Termasuk juga semangat Indonesia untuk memasuki era “global-village”, di mana tidak ada lagi batas-batas wilayah dan waktu. Semua menjadi setara, semua menjadi sama, semua menjadi real-time.

Karena kebanjiran tawaran kerja baru di awal tahun 1998 yang jauh lebih baik dan semakin banyak penulis-penulis baru yang juga menulis tentang multimedia, pelan-pelan saya mulai surut. Tulisan-tulisan saya mulai beralih tema, apalagi pekerjaan saya menuntut untuk menulis yang lain. Saya mulai mendapat pesanan pekerjaan PR melalui Internet atau Internet marketing dan content provider, semuanya sedikit menjauhkan saya dari menulis perkembangan industri multimedia, meski saya tetap dekat dengan aplikasi multimedia.

Namun di awal tahun 2007 ini, lebih dari 10 tahun kemudian, saya menjadi sedih setelah mendapat informasi dari seorang teman tentang tulisan saya di sebuah blog milik seorang yang cukup dikenal di dunia IT Indonesia. Tulisan saya diletakkan seolah-olah itu tulisan penulis blog itu. meski kemudian setelah ditanyakan kepada penulisnya, lalu diakui oleh penulisnya, bahwa itu adalah sebuah keteledoran. Yang menyedihkan lagi adalah ternyata tulisan di blog itu adalah kutipan dari edisi cetakan (buku) yang ditulis oleh penulis blog itu yang baik di blog atau di buku sama-sama tidak menyebutkan asal tulisan itu.

Sebagaimana yang sudah diakui oleh penulis blog itu kepada teman saya, bahwa itu adalah sebuah keteledoran, namun keteledoran itu sebenarnya memiliki implikasi hukum juga moral. Secara moral, keteledoran itu bisa menjadi contoh buruk di dunia Internet yang terus berkembang, bahwa copy and paste adalah sebuah hal yang lumrah. Jika mau punya nama bagus, cetak lah buku, cukup 10 atau 20 eksemplar saja dan buat situsnya di Internet. Isinya? Copy and paste saja dari situs orang....

Secara intelektual copy and paste membuat penulisnya tidak menguasai tulisannya secara keseluruhan. Tulisan itu juga tidak memiliki jiwa atau idealisme yang membuat sebuah tulisan dapat memberi kontribusi yang baik bagi peradaban. Karena itu tulisan copy and paste tidak akan memiliki gaung karena semangatnya adalah sekedar memiliki tulisan untuk reference yang sempit.

Ada satu hal yang saya ingin ingatkan kepada semua orang di zaman informasi ini adalah jejak anda tidak akan menghilang dengan mudah, kemana pun anda melangkah....

Jojo Rahardjo

-----------------------------------

http://thegadget.wordpress.com/2001/08/20/koreksi-sumber-buku/

Koreksi Sumber Buku

20, August, 2001

Terdapat kesalahan dalam buku saya, Imperium Digital: Pusaran Budaya Abad 21 (Padang: Pustaka Mimbar Minang, Juli 2001), khususnya dalam penyebutan sumber referensi.

Pada Bab “Kolaborasi Yang Seksi: Internet dan Multimedia”, khususnya sub bab “Multimedia dan Peradaban Manusia” dan “Multimedia di Indonesia” (hal. 31-33), seharusnya ada catatan kaki berbunyi: “Bagian ini ditulis berdasarkan tulisan Jojo Rahardjo (Media Indonesia, 18 Desember 1997)”.

Karena ketaksengajaan — atau lebih tepatnya keteledoran — informasi penting tersebut tak tercantum dan baru disadari setelah buku selesai dicetak. Saya menghaturkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Sdr Jojo Rahardjo dan para pembaca.

Namun, atas dasar kejujuran ilmiah, mengingat buku tersebut sudah beredar (meskipun secara terbatas), dengan ini dua sub bab tersebut saya nyatakan dicabut dari buku Imperium Digital.
Terimakasih atas perhatiannya.

Salam,

Budi Putra

----------------------------------------------

http://thegadget.wordpress.com/2002/10/


Kolaborasi Yang Seksi: Internet dan Multimedia

10, October, 2002

INTERNET adalah surga media, dan pemanfaatan teknologi multimedia adalah cara pintar untuk mewujudkannya. Bisnis media di dunia dewasa ini berkembang amat cepat, sejalan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi. Solusi teknologi satelit, serat optik, dan peranti nirkabel akan menjadi katalisator penting untuk menuju apa yang disebut cyber-society (masyarakat maya) hingga paperless society (masyarakat tanpa kertas). Benarkah teknologi tidak harus diidentikkan lagi dengan kata rumit dan mahal?

Ada dua kata kunci yang menandai revolusi mutakhir TI dunia dewasa ini: Internet dan multimedia. Internet kini dibicarakan di mana-mana: dan seandainya orang tidak membicarakan Internet, kemungkinan besar yang mereka perbincangkan adalah multimedia.
Hingga saat ini, perbedaan antara keduanya masih cukup jelas. Internet adalah information superhighway, wilayah global elektronik di mana setiap orang dapat berkomunikasi dan saling bertukar informasi dengan siapapun juga di seluruh dunia – suatu wilayah kemampuan jelajah yang diistilahkan world wide web (www). Sebelum tahun 1980, Internet masih kecil, hanya terdiri dari 200 komputer di seluruh dunia dan digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi militer. Tetapi saat ini, karena dipacu oleh PC yang semakin murah, modem yang semakin cepat, dan permintaan dasar konsumen, Internet telah menjadi satu sumber informasi terbesar di dunia. Dari segi “fisik”, Internet tak lebih dari kumpulan kotak plastik, chip silikon, dan beragam kabel tembaga dan serat optik. Itulah yang membuat Internet terkenal dan disukai.

Sebaliknya, multimedia memadukan video, animasi dan suara, dengan unsur interaksi pribadi. Dengan banyaknya produksi paket hiburan, pendidikan dan iptek dalam bentuk CD-ROM misalnya, maka para keluarga tidak perlu lagi mencari unsur hiburan dan pendidikan ke mana-mana, selain di komputer mereka di rumah.

Bagaimana seandainya Anda dapat memadukan keduanya? Bagaimana seandainya Anda dapat berkunjung ke Internet untuk mendapatkan perangkat lunak yang memungkinkan Anda menyunting dan membuat sendiri game serta cerita interaktif? Merekam proses kelahiran bayi Anda dengan handycam, lalu menyuntingnya sendiri dan memformatnya ke dalam VCD? Atau, bagaimana seandainya Anda dapat pergi ke Internet untuk mencari video klip dari grup musik favorit Anda, soundtrack dari film kesukaan Anda, atau foto dari fotografer kesukaan Anda, untuk digunakan bersama perangkat lunak Anda?

Sebenarnya Anda dapat melakukan semua itu, dan bisa mempelajarinya sendiri dengan cepat dan mudah. Jika begitu banyak orang ingin melakukan dan menikmati semua ini, dengan memanfaatkan keunggulan Internet dan multimedia, bukankah ini merupakan peluang bisnis yang sangat prospektif dan menguntungkan?

Dari sinilah berangkat pemikiran bahwa era multimedia adalah sebuah potensi dan peluang pasar baru yang cukup dahsyat dengan lifetime yang diperkirakan akan sangat panjang, apalagi setelah dipadukan dengan keunggulan Internet.

Untuk menyiasati dan mengantisipasi semua itu, lembaga Litbang semacam W3C (World Wide Web Consortium) sedang mengembangkan teknologi Internet multimedia. Ketatnya bisnis Internet multimedia belakangan ini memaksa perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis itu kian gencar memamerkan kecanggihan teknologi andalannya untuk menarik minat calon pelanggan.

Hanya saja keterbatasan kemampuan teknologi Internet multimedia yang ada selama ini masih dirasakan sebagai kendala utama dalam menghantar kesuksesan pada lahan yang satu ini. Sebagai satu solusi atas permasalahan itu, baru-baru ini W3C memperkenalkan sebuah standar aplikasi multimedia integrasi yang berbasiskan bahasa XML (Extensible Markup Language).Standar aplikasi yang diberi nama Syncrhonized Multimedia Language (SMIL) atau dipopulerkan dengan nama SMIL Boston itu menawarkan satu paket integrasi pada alur kerja (workflow) dalam sebuah jaringan komputer perusahaan multimedia secara keseluruhan. Aplikasi ini merupakan pengembangan dari aplikasi multimedia SMIL 1.0 yang telah direkomendasikan W3C sebelumnya. Hanya saja pada standar aplikasi multimedia yang baru ini, telah ditambah beberapa kelebihan serta kemampuan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada pada versi sebelumnya.

Kelebihan yang menonjol yang dimiliki oleh aplikasi mutakhir ini adalah berkemampuan menyuguhkan siaran televisi seutuhnya ke dalam jaringan Internet tanpa membutuhkan sistem akses ke Internet yang berkecepatan tinggi.

Di samping itu dengan penerapan bahasa XML dalam aplikasi ini, W3C berkeyakinan bahwa keberadaan SMIL Boston ini nantinya akan mempermudah para multimedia profesional dalam merancang dan mendistribusikan berbagai produk multimedia seperti audio-video presentasi, animasi maupun pengintegrasian siaran televisi dan radio ke dalam jaringan Internet.

Multimedia: Gagasan dan Konsep

Dewasa ini, promosi dan antusias media atas multimedia hampir sama dengan yang dialami oleh Internet dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari game CD-ROM, VCD, DVD film-film terbaru hingga komputer supercepat yang dapat memainkan dan merekam video serta musik, multimedia terus-menerus menjadi berita.

Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan multimedia?

Jawabannya bergantung pada siapa yang Anda tanya. Pada dasarnya multimedia dapat didefinisikan sebagai teknologi yang mengkombinasikan video, suara, grafik dan teks interaktif. Di luar itu, banyak interpretasi atau penafsiran tentang multimedia.

Misalnya, pembuat komputer mungkin mendefinisikan multimedia berdasarkan kemampuan perangkat keras suara dan video dari komputer. Perusahaan perangkat lunak sebaliknya mungkin mendefinisikan multimedia sebagai kemampuan menciptakan dunia di mana pengguna dapat berinteraksi dengan komputer untuk menyampaikan gagasan atau untuk menyampaikan suatu cerita. Pihak lain mungkin memusatkan perhatian pada media, ketimbang perangkat keras atau isi, dan mereka berkata multimedia hanya dapat diwujudkan apabila menggunakan CD-ROM (compact disc-read only memory).

Kalangan teater mungkin menerjemahkan multimedia sebagai kombinasi media-media yang bisa digunakan untuk mendukung pertunjukan teater macam alat musik, tata cahaya, seni instalasi hingga panggung.

Sementara, kalangan pendidikan menyebut multimedia sebagai “sebuah program instruksional yang di dalamnya termasuk berbagai sumber-sumber integral yang digunakan dalam instruksi belajar” (Schwier dan Misanchuk, Interactive Multimedia Instruction, 1994, hal. 325).

Dalam bukunya Multimedia di Internet, Damon A. Dean, kolomnis di Multimedia World, mengungkapkan secara praktis multimedia mencakup dua jenis pengalaman dan kegiatan, menggunakan dan menciptakan, di mana keduanya telah menjadi pasar yang terus berkembang. Dalam menggunakan, Anda membeli suatu judul dan menggunakannya sesuai dengan tujuan rancangan, baik itu berupa game atau piranti pendidikan. Dalam menciptakan, Anda selaku pengguna, menyatukan (splice) video, menyunting suara, dan memadukan semuanya ke dalam suatu format interaktif. Apapun fokusnya, definisi dasar kombinasi suara, video, teks dan grafik dalam suatu paket interaktif tetaplah sama.

Pengamat multimedia lain, Jojo Rahardjo mengungkapkan bahwa multimedia merupakan keterpaduan teknologi informasi (misalnya komputer) dengan teknologi komunikasi (misalnya jaringan kabel coaxial atau satelit) (Media Indonesia, 18 Desember 1997). Dalam makalah sebuah seminar Indosat yang berjudul ”Perkembangan Teknologi Multimedia dan Implementasinya” Wahyu Wijayadi mengemukakan, multimedia terdiri dari (1) unsur suara, (2) unsur gambar atau video, (3) unsur teks/data, (4). terpadu dalam satu media penyampaian, (5). Interaktif/bukan informasi satu arah. Sedangkan jenis jasa multimedia terdiri dari dua, yaitu berdiri sendiri (stand alone/off line), dan terhubung dengan jaringan telekomunikasi (network-online).

Ada tiga bidang multimedia yang paling cepat perkembangannya: (1) CD-ROM Multimedia, (2) Piranti Authoring untuk menciptakan isi dan (3) Multimedia Real-Time (yang kemudian juga didukung oleh Real-Video dan Real-Audio).

Multimedia dan Peradaban Manusia (*)

Sepuluh tahun yang lalu misalnya kebutuhan terhadap alat telekomunikasi seperti telepon belum seperti sekarang. Ketika jalan-jalan di kota besar semakin macet dan waktu terasa semakin pendek, komunikasi melalui telepon menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Padahal sepuluh tahun yang lalu itu, sedikit yang menyadari bahwa telepon adalah kebutuhan mutlak pada 10 tahun mendatang di kota-kota besar.

Demikian juga keberadaan personal computer (PC) yang sekarang seperti peralatan audio system atau TV berwarna di rumah-rumah pada 10 tahun yang lalu. Atau sekarang kebutuhan akses ke Internet untuk mendapatkan layanan e-mail yang mulai menggantikan mesin faks.

Perlahan tapi pasti layanan interractive data communication seperti Internet ini akan mengulang sejarah yang sama bagi telepon atau PC beberapa tahun lampau. Itu memang sudah nampak dari usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengembangkan layanan ini. Contohnya adalah Web TV yang sekarang sudah dipasarkan. Web TV adalah layanan Internet melalui pesawat TV, bukan melalui PC. Dengan menambahkan beberapa peralatan tambahan, modem, remote control atau keyboard dan dihubungkan dengan telephone line atau antena microwave atau satelit maka jadilah pesawat TV biasa sebagai layar monitor untuk menjelajahi jaringan informasi seluruh dunia Internet.

Multimedia di Indonesia (**)

Era multimedia di Indonesia mulai muncul menyusulnya masuknya Internet ke wilayah nusantara ini. Pada awal tahun 1993, Satelindo meluncurkan Satelit Palapa C1. Satelit Palapa C1 dan lalu C2 bakal berumur hingga 14 tahun. Satelit-satelit ini telah digunakan secara luas oleh beberapa negara di ASEAN. Indonesia antara lain menggunakannya untuk layanan komunikasi yang dikelola oleh Telkom dan Indosat, juga untuk layanan siaran televisi 5 TV swasta dan TVRI. Bahkan digunakan untuk 5 channel siaran langsung TV Satelit Indovision (Direct Broadcasting Satelite) yang sudah berkualitas digital (19 channel).

Bahkan pada November 1997, PT. Media Citra Indostar telah meluncurkan satelit Cakrawarta-1 menggantikan kerja Satelit Palapa C2 dalam mengudarakan siaran Indovision. Dengan satelit ini Indovision kelak akan menyelenggarakan layanan yang bisa disebut layanan interaktif, karena akan tersedia antara lain layanan teleconference, Video on Demand (VoD), home shopping, home banking dan komunikasi data (Internet).

Ada dua perusahaan multimedia baru lainnya yang beroperasi dengan jaringan kabel serat optik, yaitu PT Indonusa Telemedia dan Multimedia Nusantara. Perusahaan-perusahaan multimedia lainnya adalah: PT Multi Media Asia Indonesia, PT Yasawirya Tama Cipta. Sehingga Indonesia boleh disebut sekarang telah memasuki era industri multimedia. Banyak perkembangan baru setelah diluncurkannya Satelit Palapa C1 & C2. Seperti ditaburkannya satelit komunikasi di atas langit Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing di mana banyak pengusaha Indonesia terlibat dalam kepemilikan saham di dalamnya, di antaranya adalah PT. Bakri Communication Corporation pada Irridium Project, sebuah proyek telepon satelit dunia untuk memecahkan masalah blank spot pada telepon selular biasa, AMPS atau GSM. Indosat pun masuk menjadi salah satu pemodal pada konsorsium ICO Global Communication (ICO-GC), sebuah telepon satelit setelah Irridium.

Namun, harus diakui, tidak sedikit pula kendala yang dihadapi pengelola industri multimedia di Indonesia. Sebagai contoh kasus adalah layanan televisi satelit Indovision. Bisnis ini di Indonesia kurang menajamkan kekuatan marketingnya, sehingga layanan Indovision ini menjadi sangat eksklusif. Ada 1 juta antena parabola yang bertebaran di seluruh Indonesia yang diharapkan beralih ke Indovision pada saat peluncuran pertama Indovision.

Namun perilaku pemirsa belum mengenal kebiasaan membayar siaran TV dan acara-acara yang 100% asing, khususnya berbahasa Inggris. Akibatnya, Indovision hingga sekarang masih membutuhkan upaya yang lebih keras untuk mendapatkan pelanggan sebanyak yang diharapkannya.

Meski pertumbuhan pelanggan Indovision ini tergolong lambat, namun Indovision telah membuka jalan bagi perusahaan TV Berbayar lain untuk terjun di industri ini.

Perkembangan multimedia memang sangat dipengaruhi dan diuntungkan oleh kemajuan Internet yang didukung infrastruktur teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat. Keduanya — multimedia dan Internet — tentu akan makin sulit untuk dipisahkan: sehingga kaitan interaktif dan integratif keduanya menjadi “satu” kekuatan besar, dan saling melengkapi satu sama lain. Jika tak ada Internet misalnya, belum tentu perkembangan multimedia akan sepesat sekarang ini: ceritanya tentu akan lain.***

Catatan Referensi:

Buku:Damon A Dean, Multimedia di Internet (Jakarta: PT Elexmedia Komputindo, 1996)Schwier dan Misanchuk, Interactive Multimedia Instruction (London: 1994)

Artikel:(*) (**) Bagian ini ditulis berdasarkan tulisan Jojo Rahardjo (Media Indonesia, 18 Desember 1997).

Tulisan ini merupakah salah satu bab dari buku saya “Imperium Digital: Pusaran Budaya Abad 21” (Padang: Pustaka Mimbar Minang, Juli 2001).

Friday, January 19, 2007

INTERNET MURAH? MIMPI DI SIANG BOLONG?

MediaKonsumen Januari 2007

Mungkin benar pendapat yang mengatakan bahwa muasal Internet dari komunikasi data di jaringan komputer militer di Amerika. Namun pengembangan Internet hingga menjadi seperti sekarang dilakukan oleh jaringan komputer universitas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Internet sebagai mana disebut www.utas.edu.au/library/etutor/main/webzglos.htm ,
adalah terhubungnya berbagai jaringan komputer melalui berbagai tata-cara (protocol). Jaringan itu awalnya adalah beberapa komputer di Universitas besar di America, Canada, dan Inggris, Australia untuk keperluan komunikasi data.

Indonesia adalah salah satu negara yang telah mengembangkan Internet di seluruh dunia. Pada waktu itu (tahun 80-an akhir) Internet adalah sebuah jaringan diskusi melalui e-mail (disebut mailing list seperti yang kita kenal sekarang) antara berbagai Universitas di berbagai negara melalui infrastruktur kabel telepon dan satelit. Mereka berdiskusi untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang sedang dipelajarinya sambil juga mengembangkan media dan jaringannya untuk melakukan diskusi elektronik itu. Onno W. Purbo yang saat itu sedang menyelesaikan S3 di University of Waterloo, Canada juga aktif di dalam diskusi-diskusi itu. Dengan latar belakang ilmu dan pengalaman membangun jaringan komputer ITB melalui gelombang radio di Bandung, Onno membuat ITB Bandung terhubung dengan jaringan Universitas di seluruh dunia itu dengan memanfaatkan gelombang radio.

Belakangan, Onno W. Purbo, Michael S. Sunggiardi - tokoh Internet dari Bogor - dan kawan-kawan di Indonesia menjadi kelompok yang paling gigih dalam mengembangkan Wireless Internet (akses Internet tanpa kabel) untuk rakyat. Wireless Intenet yang dimaksud bukan termasuk yang disediakan oleh perusahaan komunikasi seluler, GSM dan CDMA, atau perusahaan penyedia wireless Internet lain (WiFi, hotspot), tetapi wireless Intenet murah buat rakyat. Pengguna wireless Internet ini bahkan sudah membentuk asosiasi, IndoWLI (Wireles LAN Internet). Dengan asosiasi ini mereka membuat kesepakatan-kesepakatan dalam memanfaatkan gelombang radio untuk infrastruktur Internet.

Jadi, Internet awalnya adalah sebuah jaringan komunikasi data untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, meski sekarang Internet berkembang menjadi media untuk kepentingan yang lebih luas, seperti perdagangan, bisnis, politik, bahkan pornograpi. Namun sebagaimana setiap pencapaian peradaban manusia, selalu ada sisi buruk dari sisi baik yang lebih besar.

Apa yang dilakukan oleh IndoWLI dalam mengembangkan akses Internet murah bagi rakyat bukan sebuah pekerjaan mudah,. Mereka menghadapi raksasa bernama Telkom dan Indosat yang selama ini mabuk oleh racun duopoli yang diberikan pemerintah Indonesia. Bersama pemerintah yang “korup” dua raksasa itu sejak dulu terus menghalangi bahkan menebas semua pencapaian yang luar biasa IndoWLI. Bagi raksasa itu, jika wireless Internet dibiarkan beroperasi di mana saja, terutama di lingkungan rumah-tangga (perumahan), maka Telkom dan Indosat akan kehilangan kesempatan untuk menjual pulsanya kepada netter (pengakses Internet) yang berada di rumah-rumah. Apalagi kemudian raksasa itu juga ikut menyediakan akses Internet seperti TelkomNet Instant yang bisa diakses dari sambungan telpon Telkom di seluruh Indonesia.

Proteksi pemerintah itu menjawab pertanyaan mengapa IndoWLI amat gigih mengembangkan wireless Internet murah? Tidak lain karena tarif telpon yang teramat mahal sehingga tidak mungkin untuk digunakan oleh semua kelas di Indonesia dalam mengakses Internet. Padahal Internet adalah sebuah media yang bisa mencerdaskan dan memajukan bangsa ini, lalu mengapa harus terganjal oleh tarif mahal telpon di Indonesia? Sebuah survey di tahun 2004 yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia) menunjukkan netter di Indonesia didominasi oleh pekerja kantor (saat jam kantor) dan netter dari warung Internet. Artinya sangat sedikit sekali netter yang mengakses Internet dari rumahnya sendiri (menggunakan telpon sendiri).

Namun mungkin karena bangsa ini sudah dikutuk (?) untuk tetap tertinggal dan diberi pemerintah yang bebal, pemerintah bukannya mencari jalan untuk menyediakan akses Internet murah, tetapi justru menghambat para pejuang yang gigih mencari dan berhasil menyediakan jalan itu. Beberapa kasus penting untuk menunjukkan bahwa pemerintah memang bebal telah membuat Onno ”mengamuk” melalui surat-surat terbukanya di media massa, seperti:
Surat Onno W. Purbo kepada DIRJEN POSTEL tanggal 2 Maret 2001
Surat INDOWLI kepada negara tanggal 8 Mei 2002
Surat Onno W. Purbo kepada negara tanggal 14 Juni 2002
Artikel "POSTEL harus mundur, rapor anda merah berdarah!!" Januari 2004.

Hingga sekarang di awal tahun 2007 ini, belum ada langkah-langkah penting pemerintah, yang sekarang dikomandani oleh MenKomInfo, dan apalagi belum ada hasil penting pemerintah dalam menyediakan akses Internet murah di Indonesia. Onno dan Michael setelah bertahun-tahun menjelaskan dan menuntut agar diberikan legalitas untuk menggunakan gelombang radio untuk wireless Internet, akhirnya legalitas itu diberikan di bulan Januari 2005. Itu pun dengan tidak dipenuhi semua tuntutan yang juga sangat penting yang berarti ditutupnya berbagai kesempatan bagi rakyat dan pengusaha kecil untuk menjadi penyedia akses Internet di wilayah yang terbatas karena berbagai syarat atau regulasi.

Teknologi Internet tanpa kabel menjadi menarik karena diluar negeri frekuensi 2.4 GHz, maupun 5-5.8 GHz dibebaskan dari ijin frekuensi, akibatnya peralatan komunikasi data pada frekuensi tersebut dapat diperoleh dengan mudah, murah selain mudah dioperasikan (user-friendly). Bayangkan sebuah card Internet tanpa kabel pada kecepatan 11-22Mbps dapat di peroleh seharga Rp. 350-500.000 per buah, tinggal dibuatkan antenna parabola kecil, atau antenna kaleng susu cukup menjangkau jarak jauh 3-5 km. Di Indonesia, perjuangan untuk membebaskan 2.4 GHz & 5-5.8 GHz dari penindasan aparat telah menelan banyak korban, berakibat dibebaskannya frekuensi 2.4GHz untuk penggunaan Internet sejak January 2005. Sayangnya, hingga hari di tahun 2006 penggunaan 5-5.8GHz hanya dapat dinikmati dengan membayar setoran sekitar Rp 20-25 juta / tahun / node kepada pemerintah. Itupun hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai ijin ISP / operator telekomunikasi, akibatnya rakyat kecil, yang bermodal kecil tidak mungkin untuk memperoleh ijin frekuensi tsb ( http://wikihost.org/wikis/indonesiainternet ).

Sebenarnya ada banyak argumen penting yang bisa dijadikan dasar, sebagaimana yang disampaikan oleh Onno Onno bersama dengan IndoWLI, Asosiasi Warnet, Pendidikan Menengah Kejuruan dan VoIP Merdeka dalam melakukan protes dan tuntutan pembebasan frekwensi 2.4GHz & 5GHz untuk pemanfaatan akses Internet pada November 2004 (sebelum Hatta Radjasa mengeluarkan PerMen pahitnya di Januari 2005). Namun 3 di berikut ini bisa mewakili banyak argumen itu jika pemerintah mau mempelajari isi dan jujur pada nuraninya.
Ketetapan MPR No.17 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia
Janji SBY-JK dalam Visi, Misi dan Program pasangan ini.
World Summit on Information Society; Declaration of Principles dan Plan of Action

Onno menyebutkan pembebasan 2.4GHz & 5GHz band tidak akan effektif dalam kerangka memberikan akses Internet kepada 110 juta bangsa Indonesia di tahun 2015, tanpa didampingi dengan pembebasan / kemudahan / pemberian legalitas infrastruktrur lainnya, seperti, WARNET, RT/RW-net, Perkantoran-Net, Jaringan Informasi Sekolah. Kompetisi di sisi backbone, apakah itu, serat optik dari XL atau PLN, akses satelit VSAT, DVB, DVB-FTDMA, DVB-RCS, maupun pembebasan / legalitas di tingkat aplikasi, seperti, VoIP Merdeka (H.323), VoIP Rakyat (SIP), alokasi nomor telepon VoIP Merdeka & VoIP Rakyat, maupun legalitas interkoneksi, khususnya untuk incoming call dari PSTN atau selular ke alokasi nomor telepon VoIP tersebut.

Yang penting untuk direnungkan oleh semua orang adalah teknologi wireles Internet pada pita frekuensi 2.4GHz dan 5GHz memungkinkan percepatan pembangunan infrastruktur Internet luar ruang secara swadaya masyarakat Indonesia tanpa ketergantungan pembiayaan dari pihak luar.

Onno juga memperkirakan yang akan diperoleh pemerintah dengan pembebasan 2.4GHz & 5GHz band dalam 3-4 tahun mendatang adalah:
Lonjakan netter 2.4GHz band dari satu (1) juta menjadi 17.8 juta user.
Kenaikan BHP Jasa Internet menjadi Rp. 21 Milyard/Tahun.
Kenaikan PPh Jasa menjadi Rp. 128 Milyard/tahun.
Masukan PPN dari Investasi peralatan sekitar Rp. 600 Milyard.
Lonjakan tambahan kebutuhan komputer yang mendekati 2 juta unit.
Lonjakan tambahan kebutuhan peralatan 2.4GHz band yang mendekati 130.000 unit.
Justifikasi migrasi industri antenna & tower menjadi manufaktur peralatan 2.4GHz band senilai US$4.5 juta dengan nilai komponen US$650.000 saja.

Wireless Internet, RTRWNet dan VoIP Rakyat

Di perkantoran atau di gedung perkantoran dan bisnis bahkan tempat-tempat perbelanjaan, wireless Intenet ini sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa (WiFi, Hotspot), meski pun menggunakan cara yang berbeda-beda. Wireless Internet adalah sebuah feature atau perkembangan lebih lanjut dari Local Area Network (LAN). Kemudian akses wireless Internet ini menjadi populer dengan sebutan RTRWNet, karena memang dimanfaatkan banyak oleh netter di sebuah Rukun Tetangga hingga Rukun Warga. Banyak yang ikut barisan ini untuk mengembangkan RTRWNet dengan menyediakan petunjuknya di berbagai situs di Internet (silahkan search dengan Google!). Beberapa perusahaan IT di berbagai situs pun menawarkan jasanya membuatkan RTRWNet bagi sebuah komunitas yang malas mempelajari cara membuat RTRWNet.

Istilah RT/RW-net pertama kali digunakan sekitar tahun 1996-an oleh para mahasiswa di Universitas Muhammadyah Malang (UMM), seperti Nasar, Muji yang menyambungkan kos-kos-an mereka ke kampus UMM yang tersambung ke jaringan AI3 Indonesia melalui GlobalNet di Malang dengan gateway Internet di ITB. Sambungan antara RT/RW-net di kos-kosan ke UMM dilakukan menggunakan walkie talkie di VHF band 2 meter pada kecepatan 1200bps. Namun Implementasi yang serius dari RT/RW-net dilakukan pertama kali oleh Michael Sunggiardi di perumahannya di Bogor sekitar tahun 2000-an. ( http://wikihost.org/wikis/indonesiainternet ).

Dari sudut legalitas, sebenarnya RTRWNet juga tidak legal karena ada beberapa peraturan pemerintah yang memberi izin hanya pada operator telekomunikasi untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Peraturan ini lebih nampak lebih banyak menguntungkan perusahaan telekomunikasi besar.

Mengapa repot-repot membuat RTRWNet? Bukankah warung Internet (warnet) sejak pertama Internet masuk ke Indonesia sudah menyediakan akses Internet ”murah” dengan cara membagi-bagi satu akses Internet ke beberapa komputer sekaligus. Tarif warnet sebenarnya belum murah, karena warnet mengambil keuntungan. Maka itu akses Intenet di warnet sebenarnya belum murah jika dibandingkan dengan RTRWNet yang tidak mencari untung, tetapi dari gotong-royong menyediakan akses Internet. Melalui RTRWNet ini bisa diperoleh tarif murah hingga RP 150.000 per bulan untuk mengakses Internet 24 jam setiap hari, bahkan di Bandung di sebuah wilayah kos-kosan tarif ini mencapai RP 50.000 saja sebulan. Dengan pembatasan waktu atau jumlah bytes di download atau upload setiap harinya, bisa diperoleh tarif yang lebih murah lagi.

Apakah akses Internet itu begitu penting, sehingga pemerintah harus menyediakan ke seluruh lapisan masyarakat? Tentu maha penting, karena pertama tidak akan membebani anggaran belanja negara jika caranya menggunakan cara IndoWLI yang amat murah dan mudah sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Namun pemerintah terus melindungi kepentingan yang lebih sempit daripada memajukan bangsa ini melalui akses Internet murah. Kedua adalah kita harus terus-menerus bekerja menjadikan informasi sebagai aspek penting dalam membangun ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Internet adalah satu media untuk mencapai itu.

Bahkan masih dalam kerangka memajukan bangsa ini, Onno bersama dengan Michael Sunggiardi pada tahun 2003 mulai mempopulerkan VoIP Merdeka, yaitu berkomunikasi suara gratis melalui Internet. VoIP atau Voice over Internet Protocol ini sudah ada sejak tahun 1995-1997 di Internet dengan kualitas suara yang tidak sebaik dengan komunikasi dengan menggunakan PSTN (telpon biasa). Menurut http://wikihost.org/wikis/indonesiainternet, adalah Izak Jeni, orang Indonesia yang membuat VoIP Free World Dial Up bersama Jeff Parvour di New York. Antara tahun 1995-1997 Izak mengubah program untuk soundcard menjadi VoIP (Voice over Internet Protocol). VoIP ini banyak dimanfaatkan untuk komunikasi antar kota dan antar negara untuk menghemat biaya telpon. Bahkan perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak kantor cabang di berbagai kota telah menjadikan VoIP sebagai standar berkomunikasi yang efisien saat ini.

Beberapa pengusaha yang jeli sebelum tahun 2000 telah memanfaatkan peluang menjual komunikasi murah ini. Lagi-lagi pemerintah tidak rela bersaing dengan pengusaha-pengusaha komunikasi ”liar” ini. Dirjen Postel menganggap ada pelanggaran peraturan tentang penyelenggaraan multimedia. Pemerintah hanya menerbitkan izin hanya kepada lima penyelenggara VoIP yang disebut sebagai Internet Telefoni untuk Keperluan Publik (ITKP). Di luar lima penyelenggara ini dilarang menyediakan jasa VoIP ini. Legalitas penyelenggaraan VoIP yang bisa berguna untuk menyediakan telekomunikasi murah bagi rakyat memang masih diperdebatkan hingga sekarang.

Kemudian di tahun 2005, VoIP Rakyat yang dipimpin oleh Anton Raharja dan kawan-kawan mulai dipopulerkan karena telah memiliki kualitas suara lebih baik karena menggunakan SIP (Session Initiation Protocol). VoIP rakyat ini (http://voiprakyat.or.id/) bisa menjadi saingan berat perusahaan telekomunikasi jika RTRWNet telah dimiliki banyak komunitas pemukiman terutama di wilayah terpencil, karena selain membayar murah iuran bulanan RTRWNet, netter bisa melakukan komunikasi suara (menelpon) dengan gratis kemana saja di seluruh permukaan bumi ini.

Apa Yang Pemerintah Bisa Bantu?

Ada banyak cara untuk membuat RTRWNet sebagaimana banyak dijelaskan di berbagai situs Internet, dari yang murah hingga yang handal. Investasi yang dibutuhkan untuk mendirikan pertama kali sebuah RTRWNet yang handal bisa puluhan juta Rupiah yang tentu tidak mudah untuk diperoleh di lapisan kelas menengah apalagi bawah. Meski terkesan mahal, investasi ini bisa kembali hanya dalam beberapa tahun saja yaitu dari iuran anggotanya. Namun demikian dari pengalaman beberapa orang yang telah membangun RTRWNet ini, kesulitan utama adalah meyakinkan para calon anggota pada saat RTRWNet akan dibangun. Mereka sulit untuk memulai atau mau berinvestasi di RTRWNet. Padahal ketika sudah berjalan dan nampak jelas layanan yang diberikan, mendapatkan anggota baru bukan persoalan lagi.

Sehingga pemerintah selain mengabulkan tuntutan yang dibuat oleh IndoWLI, pemerintah juga bisa membantu untuk memberikan kemudahan bagi komunitas netter di lingkungan perumahan ini dalam memperoleh pinjaman bank untuk membuat RTRWNet (Onno tidak pernah meminta bantuan pinjaman biaya ini, namun menurut penulis, ini baik untuk percepatan). Sekali lagi, ini jika Pemerintah sungguh-sungguh ingin mencerdaskan bangsa ini atau membangun Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan melalui akses Internet murah.

Jojo Rahardjo

Thursday, January 11, 2007

KARTU KREDIT, GAYA HIDUP MODERN & INDUSTRI PENGHISAP DARAH

Di muat di Media Konsumen (www.mediakonsumen.com), Januari 2007

Sejak bertahun-tahun lalu hingga kini, untuk memiliki Kartu Kredit (KK) semakin hari semakin mudah saja. KK yang saat pertama kali diterbitkan di Amerika oleh Diners Club (1950), dan dua kartu selanjutnya di tahun 1958, American Express dan Americard (Visa) adalah alat pembayaran tanpa uang tunai, telah berubah menjadi alat untuk berhutang dibanding alat pembayaran tanpa uang tunai.

Memang, di tengah kehidupan yang menuntut serba cepat ini, semakin lumrah saja hidup dengan kredit atau hutang. Semakin mudah anda bisa berhutang, semakin “modern” hidup anda. Lihat saja di tahun 2002 orang-orang Amerika sekalipun memiliki total hutang senilai hampir 1 trilyun Dollar Amerika atau USD 979 kepada perusahaan pemberi hutang (bank, perusahaan KK dan perusahaan pemberi hutang lainnya). Mereka yang hidup di Amerika sama dengan Indonesia, mereka banyak yang memiliki rumah bagus, mobil bagus, perabotan dan peralatan rumah yang bagus namun sehari-hari hidup miskin, karena penghasilannya setiap bulan habis untuk membayar berbagai cicilan yang seakan tidak pernah lunas.

Di luar soal kredit atau pinjaman dengan berbagai bank, tulisan ini adalah mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam industri KK sebagaimana yang dilaporkan oleh Frontline (seperti “60 minutes” dari CBSNews), sebuah acara televisi investigasi dari PBS di Amerika yang terkenal sejak 1983. Judul laporan itu memancing keinginantahu, yaitu “Secret History of the Credit Card,” dan subjudulnya: “FRONTLINE and New York Times join force to investigate an industry few American fully understand.” Frontline menyebut Industri ini sebagai industri yang selalu untung namun industri yang customernya paling banyak kecewa, mengeluh, merasa tidak nyaman dan dirugikan.

Banyak soal yang tidak dimengerti oleh pemegang KK di mana-mana, karena memang dibuat untuk sulit dimengerti oleh perusahaan penerbit KK. Sedikit sekali pemegang KK yang mau dan mampu membaca agreement yang dikeluarkan oleh perusahaan KK, juga ketentuan yang biasanya dicetak dengan huruf kecil dan abu-abu di belakang tagihan bulanan. Di dalam agreement selalu ada klausul bahwa agreement itu dapat dirubah kapan saja dengan pemberitahuan 15 hari sebelumnya. Perubahan itu biasanya menyangkut soal yang paling dapat merugikan pemegang KK, yaitu bunga dan denda (biaya keterlambatan, biaya over-limit atau kadang disebut sebagai biaya administrasi). Bunga dan denda ini bisa menjadi berapa saja, terserah perusahaan KK. Meski anda selalu membayar tagihan KK anda tepat waktu, perusahaan KK bisa atau selalu menaikkan bunga terutama karena berbagai hal, misalnya setelah periode promosi berakhir, 1 tahun setelah anda apply misalnya (kadang hanya 3 bulan saja), terlambat bayar di KK dari perusahaan lain, terlambat bayar tagihan telepon, listrik, kredit mobil, rumah atau karena perusahaan KK menganggap anda terlalu banyak pinjaman di sana dan sini. Praktek ini disebut klausul “universal default” yang menjadi klausul standar dalam agreement antara pemegang KK dan perusahaan KK.

Los Angeles Times, tahun 1999 lalu memberitakan adanya perusahaan KK di Amerika, yaitu Providian dan First USA ketahuan telah membebankan denda keterlambatan kepada pemegang KK-nya untuk pembayaran yang sebenarnya dilakukan pada waktunya (on time). Para pemegang KK tersebut kemudian memperkarakan kedua perusahaan ini dan jutaan dolar telah dikembalikan kepada para pemegang KK ini. Menurut dua perusahaan KK ini, kesalahan terletak pada processing systems. Padahal ini bukanlah suatu kesalahan tetapi telah mereka lakukan dengan sengaja yang mungkin juga dilakukan di Indonesia, namun tidak ketahuan.

Banyak orang, tanpa disadari, menjadikan KK sebagai jerat hutang seumur hidup, yaitu mereka yang membayar tagihan KK mereka hanya sejumlah minimum payment yang tercantum atau sedikit lebih besar dari minimum payment karena berbagai hal, terutama karena ada hutang lain seperti kredit rumah, kendaraan, peralatan rumah tangga atau kredit lainnya. Minimum payment yang biasanya ditetapkan oleh perusahaan KK hanya 2% dari jumlah total tagihan inilah yang menjadi jerat hutang seumur hidup. Berapa pun tagihan anda, jika anda membayar hanya sejumlah minimum payment itu, maka anda akan baru bisa melunasi tagihan KK anda dalam 30 tahun sebagaimana juga disebutkan oleh Frontline atau Oprah.com dalam edisinya yang berjudul “Debt Diet.” Itu pun jika bunga yang dikenakan pada anda sebesar tidak lebih dari 18% setahun. Sialnya perusahaan KK di mana-mana sering menetapkan bunga hingga 48% setahun. Gila bukan? Artinya jangka waktu pembayaran anda jika anda membayar hanya minimum payment bisa lebih jauh dari 30 tahun! Kecuali anda membayar lebih dari minimum payment, misalnya sebesar 10% dari total tagihan setiap bulan.

Semakin baik anda menyelesaikan tagihan KK anda, itu berarti anda semakin sedikit perusahaan KK mendapatkan untung. Karena itu ada banyak permainan yang dijalankan oleh perusahaan KK untuk menjerat anda agar terus berada di dalam permainan mereka selama-lamanya. Permainan ini legal alias tidak melanggar hukum, namun bisa membuat anda menjadi penghutang sepanjang sisa hidup. Anda bisa menghindari masuk ke dalam permainan ini, jika anda tahu kiatnya sebagaimana disarankan di banyak situs Internet tentang permainan KK. Biasanya di Internet kiat ini diberi judul “Winning the Credit Card Game.”

1. Baca dengan amat teliti seluruh formulir, agreement atau apa pun yang dikirimkan ke anda oleh perusahaan KK.

Baca apa yang dikirimkan kepada anda bersama dengan tagihan karena perusahaan KK berhak untuk merubah kesepakatan apa pun dengan pemberitahuan hanya 15 hari sebelumnya. Celakanya pemberitahuan itu sering dibuat agar anda tidak membacanya, misalnya dengan huruf kecil dan berwarna abu-abu. Juga di sinilah perusahaan KK menjebak anda untuk berbagai hal yang tidak anda perlukan, seperti misalnya membeli asuransi KK, asuransi jiwa, atau asuransi lain

2. Jangan terlambat membayar tagihan.

Anda akan terkejut dengan dendanya yang biasanya mereka menyebut dengan sebutan yang halus, misalnya biaya administrasi atau biaya keterlambatan. Besar tagihan akan membengkak dan minimum payment juga tentu akan membengkak. Karena satu denda, perusahaan KK akan menjadikannya alasan untuk menaikkan bunga hingga lebih dari 40%, padahal saat pertama kali anda ditawarkan KK hanya sebesar misalnya 16%.

3. Jangan menjadi Revolver.

Yaitu pemegang KK yang mempertahankan tagihan KKnya dengan membayar tagihan hanya sebesar minimum pembayaran yang tertera di tagihannya. Jadilah seorang Freeloader, yaitu orang yang selalu membayar seluruh tagihannya setiap bulan dalam grace-period (periode antara penggunaan KK dan jatuh tempo tagihan). Freeloader tidak akan terjebak dalam situasi “membayar bunga”. Intinya adalah jangan menjadikan KK sebagai alat untuk berhutang, tetapi sebagai alat pembayaran tanpa uang tunai. Segeralah membayar apa yang anda sudah bayar sebelumnya dengan KK anda agar anda tidak perlu membayar bunga dan terjatuh di dalam lubang hutang yang dalam. Oleh karena itu, anda juga sangat dianjurkan untuk tidak memiliki KK lebih dari satu untuk menghindari resiko terkena bunga, denda keterlambatan dan denda over limit serta iuran tahunan lebih dari satu kali.
4. Jangan ragu-ragu untuk menyerang perusahaan KK dengan segala cara yang legal.

Apakah perusahaan KK anda menghisap darah anda? Bikin complain dan bahkan serang mereka melalui berbagai media, cetak, TV, radio, dan Internet. Persaingan di antara perusahaan KK membuat mereka kadang harus melemah oleh tuntutan seorang customer yang agresif. Denda bisa saja diminta untuk dihapus atau bunga diturunkan jika anda minta dengan keras, misalnya dengan alasan bahwa anda.sudah menjadi customer yang baik selama 1 tahun terakhir ini atau bahkan hanya 6 bulan terakhir ini.

5. Buat perbandingan antar perusahaan KK.

Jangan berpegang pada ”luar-negeri minded”. Meski anda juga sering berpergian ke luar negeri, jangan jadikan alasan anda untuk menjadi pemegang KK dari perusahaan luar-negeri yang berbunga tinggi. Karena banyak cara untuk keluar-negeri tanpa uang cash selain dengan KK, misalnya travel-check dan lain-lain. Atau jika anda merasa lebih nyaman ketika di luar negeri dengan KK luar negeri, anda bisa apply KK luar negeri dan mendapatkan KK hanya dalam waktu 2 hari paling lama jika anda menyetorkan uang sejumlah yang anda pikir akan dibelanjakan di luar negeri. Sesudah pulang kembali ke Indonesia atau jika anda tidak memerlukan KK itu lagi, segera tutup kembali KK itu.

6. Minta perusahaan KK agar memberi reward secara teratur (6 bulan sekali) kepada anda berupa catatan atau rekomendasi bahwa anda adalah seorang pemegang KK yang baik.

Jarang sekali perusahaan KK yang tanpa diminta berbaik hati untuk membuat catatan tentang aktivitas pembayaran yang baik (tidak pernah mangkir). Mungkin ini ada gunanya ketika anda berencana untuk mengajukan pinjaman pada sebuah bank.

7. Yang paling penting dari semuanya adalah jangan termakan dengan bunyi-bunyi iklan perusahaan KK, seperti ini “don’t leave home without it.”

Oprah.com dalam edisi ”Debt Diet” menganjurkan anda untuk meninggalkan KK anda di rumah, karena sebaiknya anda membawa KK hanya setelah anda merencanakan untuk berbelanja atau melakukan transaksi. Anda cukup membawa uang tunai sebesar 3 kali uang yang biasanya anda perlukan setiap hari. Apalagi hampir setiap orang sekarang memiliki tabungan di Bank dengan kartu ATM-nya yang sama artinya anda memiliki uang tunai di tangan (ATM ada di mana-mana). Jika anda ingin berhutang, gunakan fasilitas pinjaman yang tersedia di banyak bank. Meskipun prosesnya panjang (maksimum 14 hari kerja), jangan sekali-kali menggunakan KK sebagai jalan untuk berhutang. KK pada awalnya adalah alat pembayaran tanpa uang tunai, namun perusahaan KK sekarang telah membengkokkannya menjadi alat untuk berhutang yang sialnya bisa menjerat orang untuk seumur hidupnya.

Jangan juga termakan dengan bunyi iklan mereka lainnya yang muluk-muluk, seperti hidup yang lebih baik, praktis, nyaman dan kemewahan dengan berbagai barang. Memang, hidup di jaman yang waktu menjadi amat sempit ini, maka efisiensi sering menjadi pertimbangan yang pertama ketika anda membeli sesuatu, kendaraan misalnya. Anda pikir jika membeli kendaraan baru, maka anda terbebas dari persoalan perawatan kendaraan yang ruwet atau resiko rusak di jalan pada saat-saat penting. Padahal dengan kendaraan bekas yang betul-betul anda rekondisi di bengkel yang anda percayai, segala keruwetan itu bisa diatasi dengan mudah dan dengan harga di bawah harga uang muka pembelian kendaraan secara kredit. Bahkan sejumlah uang (rata-rata 4 juta rupiah) per bulan yang biasanya disetorkan ke perusahaan kredit kendaraan bisa digunakan untuk keperluan yang lebih produktif atau untuk rekreasi setiap bulannya.

Wednesday, January 10, 2007

MASYARAKAT FILM INDONESIA DAN EGO YANG MEMBENGKAK

Tulisan ini dimuat di MediaKonsumen.com
10 Januari 2007

Tulisan ini saya buat sebagai respon seorang konsumen film Indonesia terhadap para sineas yang sedang berpolemik mengenai penyelenggaraan FFI dari tahun 2004-2006. Tulisan ini juga bermaksud menyeimbangkan gebyar pernyataan tentang penyelenggaraan FFI yang beberapa hari terakhir ini didominasi oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI).

Misalnya seputar tidak adanya transparansi juri dalam menilai sebuah film. Ternyata menurut para juri FFI, mereka telah mengikutsertakan sineas muda yang tergabung dalam MFI itu, namun karena mereka sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak bisa menjadi juri FFI sebagaimana dikutip dari KafeGaul.com: “Mengenai tidak masuknya sineas muda dalam daftar dewan juri, Adi Soerya Abdi (Ketua Pelaksana FFI 2006) menjelaskan bahwa sebelum dewan juri ditetapkan, pihaknya sudah menjaring dua ratus nama dan sudah didaftar, termasuk para sineas muda tersebut. Tapi mereka tidak ada yang bersedia dengan alasan sibuk syuting dan sedang berada di luar negeri” ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Juga menurut MFI, dasar penilaian dewan juri tidak jelas. Padahal juri yang beranggotakan Noorca M. Massardi, Embi C. Noer, Eddy D. Iskandar, Remy Silado, dan W.S. Rendra menyatakan memiliki dasar pertimbangan yang jelas untuk lebih memilih Ekskul sebagai film terbaik 2006. Di situs Gatra.com: “Menurut Noorca, kelima film itu punya nilai sama dari sisi teknis. Maka, penilaian dari sisi tema jadi pertimbangan pertama. "Film ini mengandung pesan moral anti-kekerasan yang saat ini menjadi pemandangan umum dalam kehidupan kita," ujar Noorca ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=100979 )”. Meski demikian Denias, Senandung di Atas Awan (DSDAA) juga memiliki pesan moral untuk selalu berjuang mendapatkan pendidikan yang layak.

Jika pertimbangannya bukan karena pesan moral, tetapi pertimbangan kategori yang dimenangkan sebuah film, DSDAA, bisa memenangkan kategori film terbaik, terutama karena penulis skenario cerita asli berada di DSDAA dan begitu juga kategori sinematografi yang bisa membuat sebuah film lebih dihargai dibanding sekedar disutradarai dan diberi musik atau diedit sebagaimana kategori yang digondol oleh Ekskul.

Beberapa pernyataan serius memang telah dikeluarkan oleh MFI, terutama dalam protes mereka yang diberi nomor 1: “Terhadap penyelenggaraan dan hasil penjurian FFI 2006: protes ini didasarkan pada fakta Film 'Ekskul' produksi PT Indika Entertainment yang memenangi piala citra sebagai film, terbaik, menurut kami telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik film. Situasi ini membuktikan, buruknya kualitas penyelenggaraan FFI dan rendahnya kompetensi pihak penyelenggara FFI yang antara tahun 2004-2006 diselenggarakan secara tidak transparan, baik dalam sisi pelaksanaan dan finansial.”

Tuduhan pelanggaran hak cipta yang dilemparkan MFI tentu akan mendatangkan implikasi hukum, termasuk tuduhan tidak transparan dalam pelaksanaan dan finansial (mungkin maksudnya korupsi). Sedangkan pernyataan tentang rendahnya kompetensi juri FFI, sebaiknya ada rincian dan argumen yang mendukungnya, agar pernyataan ini bukan pernyataan asal bunyi.

Dalam sebuah wawancara dengan media TV, sutradara terbaik 2004 Rudi Soedjarwo, mengatakan bahwa ada penjiplakan karya musik orang lain di dalam Ekskul, sehingga tidak pantas untuk dijadikan film terbaik. Sementara itu menurut salah satu juri, Remy Silado, berdasarkan undang-undang, harus ada kesamaan minimal 8 bar baru sebuah karya musik disebut menjiplak. Musik di dalam Ekskul tidak menjiplak, karena kurang dari 8 bar. Persoalan penjiplakan ini menunjukkan MFI kurang menggunakan sudut pandang hukum yang justru bisa menjadi bumerang. Tuduhan penjiplakan ini mungkin ada babak lanjutannya, karena Noorca Masardi, salah satu dewan juri FFI, mengatakan agar masalah ini akan diselesaikan lewat makanisme hukum. ”Harus ada bukti, karena tuduhan itu termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan.” (http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Sedangkan tuntutan lain dari MFI: “Melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaraan sensor film dengan mengganti LSF menjadi sebuah lembaga klasifikasi film,” adalah kurang logis, karena pekerjaan Sensor Film tentu berbeda dengan pekerjaan Klasifikasi Film. Kecuali maksud MFI adalah cuma melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaran sensor film sebagaimana disebut di awal tuntutan ini.

Protes dan tuntutan MFI ditutup dengan kalimat yang menurut saya agak menggelikan:
”Sikap ini kami ambil sebagai wujud tanggung jawab kami kepada masyarakat yang selama ini mendukung keberadaan kami dan menjadi salah satu alasan utama mengapa kami terus bekerja dan berkarya.”

Apakah betul masyarakat mendukung keberadaan MFI yang sudah bekerja dan berkarya di dunia perfilman? Karena menurut kacamata industri perfilman, film Indonesia kurang ditonton dibandingkan dengan film-film dari luar, Holywood misalnya. Silahkan berhitung dengan angka-angka, bukankah ini industri? Itu sebabnya film Indonesia beberapa tahun terakhir ini dibuat untuk pasar orang muda yang belum lagi melek film, meski ada juga (hanya beberapa saja) yang dibuat secara serius untuk target yang lebih bisa mengapresiasi film bermutu baik. Atau dengan kalimat yang lain lagi film Indonesia belum menjadi tuan besar di negeri ini. Jadi dukungan masyarakat kepada MFI masih menjadi mimpi besar yang akan menjadi kenyataan beberapa tahun lagi atau beberapa puluh tahun lagi, bukan sekarang.

Mereka memang bermaksud memajukan dunia film Indonesia, tapi dengan cara yang meletup-letup, kontroversial atau asal “geber” aja. Sayangnya, MFI tidak ingin membuat FFI tandingan. Padahal dengan membuat FFI tandingan atau sekedar membuat penilaian tandingan yang jurinya mereka sendiri, justru amat penting dalam perjuangan MFI dan mungkin akan lebih efektif dan simpatik. Namun sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh sutradara terbaik 2005, Riri Reza, MFI tidak akan menyelenggarakan FFI tandingan. Namun anehnya, Riri menyatakan “...ingin membentuk organisasi independen, bukan dari pemerintah yang mengurusi soal perfilman Indonesia, sebuah komisi film yang diinisiasi oleh kalangan perfilman, kalangan profesional yang punya kepedulian, punya kesadaran bahwa kita harus melindungi diri kita ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Sekali lagi, kenapa tidak bikin FFI tandingan? Padahal sejarah FFI sendiri awalnya berasal dari kalangan film sendiri. Kemudian berbagai kekuatan politik, mulai dari Lekra hingga Orde Baru membuat FFI dicampuri atau penyelenggaraannya menjadi tidak independen. Pemerintah mulai menangani FFI lewat Penetapan Presiden No 1/1964, dan tahun 1974, Pemerintah memberi nama Citra sebagai anugrah untuk sebuah karya film.

Memang aneh, jika tidak mau membuat FFI tandingan, karena MFI Indonesia justru saat ini sedang merengek, mendesak Pemerintah untuk segera membantu atau “meneteki” MFI yang sedang belajar melompat ke depan. Seharusnya, jika MFI bermaksud independen, tentu tidak perlu minta bantuan Pemerintah ketika tidak menyukai penyelenggaraan FFI.

Kecuali maksud MFI datang kepada menteri Kebudayaan dan Pariwisata adalah untuk mendapat perhatian yang lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat terhadap persoalan perundangan perfilman, tentu langkah ini boleh disebut lumayan. Tetapi ini adalah sebuah langkah yang amat panjang seperti yang dikatakan oleh Sophan Sophian, yang pernah berada di DPR, bahwa MFI tidak tahu betapa panjangnya proses untuk sebuah revisi undang-undang. Bahkan Menteri Jero Wacik pun ketika didatangi oleh MFI menghimbau: “Saya mengajak semua insan film, menghadap ke DPR, karena di sanalah penggodokan UU.”

Meski bakal menjadi perjalanan yang panjang MFI, menurut Riri Reza, akan membentuk kelompok-kelompok kerja yang akan merumuskan usulan, tatanan pengelolaaan film Indonesia yang baru, dan mendesak perubahan serta kebijakan pemerintah tentang film Indonesia. Riri menjanjikan bahwa MFI bakal melaporkan pekerjaan mereka tersebut kepada masyarakat ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=101101 ). Ok, deh....

Cara MFI ini memang boleh disebut kasar, jika dibandingkan dengan jika mereka membuat FFI tandingan. Mungkin ini disebabkan ego mereka yang merasa industri film Indonesia telah hidup kembali berkat para sineas muda ini. Meski demikian, sutradara Garin Nugroho menegaskan: “sudah saatnya masyarakat perfilman Indonesia mereformasi lembaga perfilman yang selama ini masih carut-marut” ( http://www.tribunkaltim.com/viewweb.php?id=10854 ).

Namun apa pun gaya atau cara MFI ini dalam mengekspresikan idealismenya, saya yakin, memang merekalah yang akan menentukan industri film Indonesia ke arah mana.... baik atau buruk....

Jojo Rahardjo

DUNIA TRANSPORTASI INDONESIA DAN HARGA SEBUAH KECELAKAAN?

http://www.mediakonsumen.com/Artikel338.html 7 Januari 2007

Rasa prihatin saya yang sedalam-dalamnya untuk para korban kecelakan laut dan udara yang baru saja berjatuhan di Indonesia.

Banyak yang menyebut pada masa pemerintahan SBY banyak bencana dan kecelakaan terjadi yang merenggut banyak korban jiwa. Bencana dan kecelakaan adalah Tuhan yang menentukan, siapa pun pemerintahannya. Jadi bukan karena ini masa SBY atau bukan. Juga bukan karena ini masa Hatta Radjasa atau bukan. Namun demikian usaha kita dalam mengatasi atau menghadapi bencana dan kecelakaan, dan bahkan kesiapan kita dalam menghadapi bencana dan kecelakaan yang mungkin atau kita perkirakan akan muncul adalah menunjukkan kualitas kita sebagai manusia atau bangsa....

Banyak yang masih ingat bagaimana KM Lampung akhir November 2006 lalu di selat Sunda terbakar.... Para awak kapal kocar-kacir menyelamat diri sendiri dan lupa dengan peralatan keselamatan bagi penumpang di kapal itu. Itupun kalau bisa digunakan jumlahnya amat sedikit. Lebih parah lagi, ternyata unit-unit penyelamatan penumpang dari pelabuhan Merak bekerja amat tidak maksimal, padahal kebakaran itu masih dekat dengan pelabuhan, bagaimana kalo sudah jauh? Maka sekarang yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan di hari-hari terakhir ini pada kapal Senopati di laut Jawa. Para penumpang dipersilahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri-sendiri.... Yang nggak bisa berenang, silahkan mati, dan yang bisa berenang, silahkan capek menunggu diselamatkan sampai keriput dimakan air laut....

Sejak dulu saya berpikir, ada satu hal yang bisa dijadikan ukuran bagi sebuah kapal yang layak laut, yaitu toilet. Jika tidak mampu menyediakan toilet yang baik, maka bisa dipastikan awak kapal juga tidak mampu menyediakan fasilitas penting lainnya, terutama fasilitas untuk situasi darurat, seperti pelampung, sekoci termasuk penguasaan terhadap standard operational procedure-nya. Jika anda pernah menyeberangi selat Sunda atau Bali, toiletnya sangat jorok. Meski kapal ferynya bagus, dan toiletnya bersih, silahkan tunggu sampai 30 menit, nanti baunya akan luar biasa karena air untuk membilas biasanya akan cepat habis setelah dipakai beberapa orang saja.

Setelah malapetaka KM Lampung itu, departemen perhubungan sudah dikritik dengan amat keras dan berkali-kali, ternyata departemen yang dipimpin oleh orang dari salah satu partai politik di Indonesia itu tidak melakukan apa-apa yang berarti untuk keselamatan penumpang (apalagi kenyamanan). Rakyat kecil yang biasa menggunakan kapal laut atau kapal penyeberangan mungkin cepat lupa pada malapetaka di Selat Sunda itu (karena nggak punya pilihan), tapi seharusnya departemen Perhubungan tidak boleh cepat lupa hingga tiba-tiba malapetaka kapal Senopati menyeruak ke hadapan kita. Rakyat yang tidak memiliki pilihan akan terus menaiki kapal-kapal itu buruk atau baik, nyaman atau seperti penggorengan, indah atau bau, bahkan pencabut nyawa atau bukan....
Menteri perhubungan ini memang sedang mendapat “tugas maut” untuk mempertontonkan kebegoannya sejak pertama kali menjabat dan terutama beberapa hari terakhir ini. Ketika korban kapal Senopati belum lagi tertolong, hilang pula pesawat Adam Air dari Surabaya ke Menado. Proses pencarian pesawat Adam Air ini terus diberitakan oleh berbagai media termasuk mengenai langkah-langkah ngawur menteri perhubungan yang menimbulkan tanda-tanya banyak orang, misalnya mengenai bagaimana mungkin menteri perhubungan begitu gampang mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan hal-hal yang belum dikonfirmasi, yaitu mengenai penemuan letak jatuhnya pesawat Adam Air 2 hari setelah jatuh (ternyata salah). Kok, kayak para artis Indonesia yang gemar tampil diwawancara untuk soal-soal nggak penting.... Ini kan soal negara yang nggak mungkin dipimpin oleh seorang yang amat tidak cermat terhadap informasi yang ada dan langkah yang harus diambil dalam situasi darurat, kecuali keselamatan dan nyawa bukan soal penting bagi Pak Menteri.

Menteri Perhubungan pun sempat berpolemik di media dengan pihak menara kontrol di Makasar tentang radar yang katanya rusak, padahal pihak menara kontrol mati-matian membantahnya. Entah dapat informasi dari mana Menteri ini tentang radar yang rusak....
Mungkin, sudah banyak yang lupa dengan kecelakaan pesawat Mandala yang terjadi di Bandara Polonia Medan, September 2005 silam. Lepas dari penyebab kecelakaan (yang juga human error), ada pelajaran yang amat menonjol dari kecelakaan itu, yaitu sebuah kecelakaan udara (dan di sekitar Bandara pula) ditangani oleh orang-orang yang tidak dilatih dan tidak memiliki pengetahuan untuk menghadapi sebuah pesawat yang celaka. Mereka juga tentu tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Akibatnya korban jatuh sebanyak 101 penumpang tewas dan 42 orang penduduk tewas.... yang menurut saya jumlah korban tewas dan celaka bisa dikurangi jika ada sebuah resque team yang sebenarnya di setiap bandara di Indonesia. Resque team, mahal? Mewah? Mungkin itu yang ada di dalam pikiran departemen perhubungan sehingga resque team bukan menjadi prioritas untuk dipikirkan. Padahal setiap terjadi kecelakaan pesawat berapa banyak sumber daya kita yang terkuras ke sana, belum lagi waktu yang terbuang.... Eddy Budi Setiawan, pemerhati dunia penerbangan, Alumni Teknik Penerbangan – ITB mengatakan bahwa mengenai hal keselamatan penerbangan : "If you think safety is too costly, try an accident !" ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/08/cakrawala/utama01.htm )
Sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan oleh menteri perhubungan setelah malapetaka yang beruntun terjadi ini?

Saya kira amat sederhana dan klise, yaitu menerapkan aturan dan undang-undang yang sudah ada. Ya, memangnya apa lagi yang harus dilakukan kalau bukan itu? Misalnya, bagaimana mencegah penumpang yang over-capacity adalah sebuah contoh penerapan aturan yang sudah ada. Kalau itu tidak bisa dilakukan, berarti sekali lagi dan satu departemen lagi telah mempertontonkan adanya korupsi.

Korupsi adalah hambatan terbesar departemen perhubungan untuk bekerja maksimal. Contoh korupsi di departemen perhubungan adalah lihat saja di jalan-jalan raya terutama di jalan-jalan kecil.... Mengapa jajaran departemen perhubungan yang terbawah diberi kesempatan untuk menjadi tukang palak bagi truk, kendaraan umum termasuk kendaraan bak terbuka. Mereka menyetop kendaraan umum itu untuk meminta bayaran tanpa memberikan karcis. Bukankah sudah ada pajak kendaraan yang dibayar setiap tahun? Mengapa mereka harus membayar pajak lagi? Apalagi pajak itu hanya akan masuk ke kantong para sontoloyo di departemen perhubungan.

Satu pesan penting saya untuk menteri perhubungan dan menteri lain, termasuk presiden agar jangan melakukan sidak-sidak, karena itu seharusnya bukan pekerjaannya. Menteri seharusnya adalah seorang konseptor atau panglima perang yang berada di markas besar untuk menentukan strategi, bukan selebriti yang senang melakukan sidak untuk tampil di media.

Jojo Rahardjo