Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Monday, November 01, 2004

PESAING LAYANAN DBS (DIRECT BROADCASTING SATELITE)

Media Indonesia, 11 Desember 1997
Oleh: JoJo Rahardjo, bekerja di stasiun TV

ASPACTEL atau Asia Pasific Telecommunication di arena PRJ banyak juga menampilkan perusahaan-perusahaan yang menyediakan infrastruktur multimedia di samping perusahaan penyedia layanan telekomunikasi. Beberapa perusahaan asing yang memproduksi kabel fibre optic muncul di arena ini untuk pertama kali di Indonesia. Menurut mereka pameran ini saat yang tepat untuk menjajagi pasar Indonesia. Memang, Indonesia kini tengah membentang jaringan telekomunikasi dengan menggunakan kabel serat optik. Pay TV yang disiarkan dengan cara pendistribusian lewat kabel pun sekarang marak ditawarkan oleh beberapa perusahaan.

Dari Pameran ini juga tersaji seluk-beluk penyiaran telivisi satelit, misalnya lewat stand PT. Pasifik Satelit Nusantara. Sayang Matahari Lintas Cakrawala pengelola televisi satelit Indovision tidak ikut dalam pameran ini.

Namun ada sistem baru dalam penyiaran TV dan komunikasi data yang teknologinya berkembang pesat di belahan bumi yang lain, terutama Amerika yang tidak muncul dalam pameran kali ini, yakni Wireless Cable. Cuma ada satu perusahaan di Indonesia yang sudah menawarkan teknologi ini untuk akses ke internet, yaitu Ratelindo dari Bakri Communication. Itu pun juga dengan kecepatan yang hanya 19.2 kbps. Layanan baru ini menarik karena di masa depan Ratelindo bisa menawarkan kecepatan yang lebih tinggi. Karena teknologi ini sangat prospektif saya ingin mengulasnya untuk mengiringi pameran yang sedang berlangsung hingga 3 Desember ini.

Wireless Cable TV atau Wireless Cable saja di Amerika juga disebut MMDS (Multi-point Multi-channel Distribution Service) kini adalah industri yang bernilai sebesar lebih dari dua milyar Dollar Amerika setahun. Wireless Cable lebih dikenal sebagai jenis perusahaan jasa yang menyediakan layanan siaran TV Bayar (Pay TV). Namun Wireless Cable memiliki layanan yang lebih luas seperti yang biasa ditawarkan oleh Direct Broadcasting Satelite (DBS), yakni juga untuk komunikasi data (internet atau file transfer) dan layanan interactive, Pay Per View atau Video on Demand. Awalnya, system ini digunakan untuk komunikasi data bisnis yang sekarang masih digunakan oleh sistem komunikasi data oleh kebanyakan Bank, untuk ATM misalnya. Wireless Cable juga digunakan secara luas oleh operator telephone selular dan pager. Wireless Cable menggunakan pemancaran gelombang mikro atau microwave transmission, sehingga sistem ini membutuhkan alat tambahan pada pesawat TV untuk menerima siaran MMDS atau Wireless Cable TV ini.

Banyak perusahaan elektronik yang telah terjun ke dalam industri peralatan Wireless Cable ini. Di antaranya adalah : People's Choice TV, PacTel, NYNEX, Thomson (RCA), Zenith, Powertel, SK Telecom, Videotron, General Instruments dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan ini sekarang melayani lebih dari 250 perusahaan penyedia layanan Wireless Cable di 90 negara di seluruh dunia. Dari 90 negara itu tidak terdapat nama Indonesia. Demikian juga pada Pameran ASPACTEL ’97 baru-baru ini.
Satu perusahaan Wireless Cable pada tahun 1984 di Amerika sudah bisa menyediakan 33 channel (kanal) analog. Karena itu industri ini tumbuh begitu pesat. Pada 1997 ini Wireless Cable telah memiliki pelanggan berjumlah 9 juta pelanggan di 90 negara di dunia. Sementara itu pelanggan Direct Broadcasting Satelite (DBS) baru berjumlah 5,8 juta pelanggan.

Wireless Cable bisa menjawab mahalnya peralatan pemancar dan penerima siaran DBS yang harus dibeli oleh pelanggan (lihat tulisan saya Di Era Siaran DBS, TV Swasta Tergusur? Media Indonesia 6 Juni 1996). Wireless Cable dapat dijadikan sarana untuk meneruskan siaran TV satelit yang peralatannya penerimanya masih terasa mahal. Wireless Cable juga menjawab tidak praktisnya membangun siaran TV yang didistribusikan lewat jaringan kabel fibre optic atau coaxial, seperti yang dilakukan Indovision beberapa waktu yang lalu di beberapa perumahan di Jabotabek (lihat Era Pay TV di Indonesia) yang kini belum terdengar lagi kabarnya. Namun sayangnya Sistem yang mahal, tidak praktis ini dan kelihatannya bakal ditinggalkan oleh Peter Gontha itu, sekarang juga digunakan oleh perusahaan Multimedia Nusantara yang baru saja berdiri untuk mendistribusikan kanal-kanal siaran TV-nya melalui kabel-kabel di beberapa daerah elite di Jakarta.

Layanan Baru yang Ditawarkan Wireless Cable TV

Satu stasiun Wireless Cable dapat menyediakan 33 kanal siaran analog atau 100 hingga 300 kanal siaran digital. Selain bisa digunakan untuk kanal-kanal siaran TV, kanal ini juga bisa digunakan untuk membangun Interactive TV (pay-per-view atau video on demand), atau kanal untuk access ke Internet dengan kecepatan mengirim data sebesar 36 Megabit per detik (lewat jalur telepon paling tinggi cuma 28,8 kilobit per detik).

Di Amerika, di mana kompetisi begitu ketatnya, jumlah kanal yang ditawarkan sebuah stasiun Pay TV menjadi faktor kunci untuk memenangkan persaingan. Karena itu digital compression sudah menjadi standar yang digunakan untuk mendapatkan jumlah kanal yang banyak dan kualitas gambar dan suara yang tinggi. Di Indonesia siaran Pay TV dengan banyak kanal itu sudah dimulai oleh Indovision lewat satelit Palapa C2. Bahkan Satelit Cakrawarta telah diluncurkan tengah bulan Novembar lalu, rencananya awal tahun 1998 kanal yang tersedia akan bertambah menjadi 40 kanal. Setelah melalui DBS, TV dengan banyak kanal tahun lalu telah dicoba oleh satu perusahaan yang dikelola oleh Peter Gontha di beberapa perumahan di Jabotabek dengan menggunakan distribusi melalui kabel. Bulan Desember ini menyusul satu perusahaan lagi yaitu Multimedia Nusantara juga akan mendistribusikan 30 kanalnya lewat kabel.

Pada pameran Asia Pasific Telecommunication 29 November - 3 December 1997 di arena PRJ baru-baru ini, bahkan PT Pasifik Satelit Nusantara juga sedang berencana untuk menyediakan layanan siaran TV banyak channel seperti Indovision, yakni siaran DBS juga.

"It’s a great concern to me because the intent of the Telecommunications Reform Act of 1996 was to do what you’re doing, and that is to provide more competition". Demikian dikatakan oleh Senator John McCain pada 12 Agustus 1997 untuk menyambut 10 tahun Wireless Cable Association. Dari pernyataan itu nampak di Amerika persaingan dalam industri ini begitu perlu untuk didorong. Mereka percaya semakin banyak perusahaan yang terjun dan semakin banyak teknologi yang digunakan di Industri ini akan semakin baik layanan yang diterima pelanggan. Bagitu juga dengan Indonesia?

JoJo Rahardjo

Teknologi Wireless System untuk Membangun Industri Siaran TV di Indonesia

Media Indonesia, Kamis 15 Mei 1997
Oleh: Jojo Rahardjo, bekerja di stasiun TV


Wireless System bisa membantu penetrasi lima TV swasta di Indonesia dengan biaya investasi yang lebih murah. Penetrasi yang luas (ke desa-desa) selain menjadi tambahan income dari iklan juga barangkali bisa menumbuhkan secara tidak langsung industri production house (rumah produksi). Acara-acara lokal bisa diproduksi dengan melibatkan, secara lebih jauh, sumber daya lokal di daerah-daerah (karena tersedia banyak kanal dengan murah). Jika ini terjadi industri siaran TV di Indonesia bisa diharapkan untuk berkembang seperti di Amerika yang acara produksi lokalnya bisa berkembang seperti acara yang diproduksi oleh sebuah network TV. Artinya proses produksi dari industri TV di Indonesia tidak akan terpusat di Jakarta saja, tetapi proses produksi juga terjadi di lokal daerah. Ini juga berarti mengurangi pengeluaran devisa negara karena membeli acara-acara dari luar. Dari persaingan antar lokal itu akan muncul acara lokal yang baik dan laku diekspor ke negara lain, seperti impor sinetron ke Indonesia dari negara-negara Asia, seperti Philipina, Singapore, Malaysia atau dari negara-negara Amerika Latin.

Paling tidak pada saat itu kita bisa bilang: nah, Indonesia sekarang sudah bisa menjual otaknya seperti negara-negara lain, tidak hanya mengobral sumber daya alamnya saja seperti hutan, emas dan lain-lain.

KOMPRESI DIGITAL

Setelah dibicarakan tentang apa dan bagaiamana wireless system, ada baiknya bila diketahui juga bagaimana sebenarnya gambar digital dibuat dan apa itu kompresi digital.

Pada dasarnya gambar analog dibagi dalam ratusan ribu elemen gambar (pixel) berbentuk segi empat sangat kecil. Setiap pixel memiliki kode angka untuk mengidentifikasikan warna, intensitasnya (tingkat keterangan cahaya) dan letaknya.
Contohnya kode 1110011 mengidentifikasikan sebuah pixel yang berada 4 kotak dari kiri, dan 3 kotak dari bawah, berwarna merah dan tingkat intensitas medium.

Jika seluruh pixel dari sebuah gambar telah seluruhnya di-convert (dicatat), gambar itu dapat diwakili dalam sebuah string berisi catatan yang terdiri dari karakter (1) dan nol (0). Sebagai gambaran mengenai besarnya string ini, biasanya setiap pixel membutuhkan delapan digit karakter 1 dan 0. Sebuah gambar dengan 300.000 pixel membutuhkan 2.400.000 bit (karakter 1 dan 0) atau 2.4 Megabit. Sebagai perbandingan, sebuah disket kecil cuma bisa menampung 1.5 Megabit informasi.

Ini merupakan sebuah informasi dengan data yang banyak sekali, terutama jika informasi ini adalah infomasi video (gambar bergerak) yang harus disimpan sebanyak 60 gambar atau frame setiap detik (rata-rata sebuah informasi video terdiri dari 60 frame per detiknya). Sehingga setiap detiknya harus disimpan sebanyak 140.000.000 bit atau 140 Megabit.

Namun dari 140 Megabit itu, banyak dari informasi dari sebuah frame yang sama dengan frame yang lain. Dengan membandingkan satu frame dengan frame lainnya didapatkan informasi dari pixel yang berbeda, sehingga hanya pixel yang berbeda yang dicatat. Pixel yang sama tidak dicatat dan akan muncul dengan bentuk yang tetap. Sehingga jumlah informasi dari satu detik video dapat dikurangi. Contoh paling mudah adalah gambar video dari sebuah pidato presiden. Kalau latar belakang dari presiden adalah sebuah dinding, maka informasinya akan tetap sama, sedangkan kepala, mata dan mulut presiden saja yang berubah-ubah. Pixel yang berubah-ubah inilah yang dicatat.

Terobosan teknologi digital compressed inilah yang membuat kita bisa menikmati video di CD ROM, Video Compact Disc. Sedangkan Wireless System, Digital Broadcast Satelite bisa mengirimkan lebih banyak gambar yang hasilnya adalah kemampuan memancarkan sekaligus puluhan bahkan ratusan channel (kanal) TV dan dengan kualitas yang luar biasa.

Jojo Rahardjo

WIRELESS SYSTEM, Teknologi Paling Aplikatif pada Industri Informasi.

Media Indonesia, Kamis, 1 Mei 1997
Oleh: Jojo Rahardjo, bekerja di stasiun TV

Beberapa waktu yang lalu di harian ini saya menulis mengenai Era Pay TV di Indonesia (Media Indonesia tanggal 18 April 1996). Di dalamnya saya menggambarkan teknologi baru yang telah dikembangkan untuk memancarkan siaran TV dan juga sebagai sarana untuk data communication, yaitu Wireless System. Karena ekonomis, teknologi ini sekarang diakui telah mencatat sejarah baru sistem penyiaran TV di Amerika. Apalagi setelah disempurnakan dengan teknologi MPEG2 atau digital compression (lihat box) telah menjadikan Wireless System bisa memancarkan hingga sekaligus ratusan kanal dan dengan kualitas penerimaan yang tinggi.

Aplikasi untuk Industri TV di Indonesia

Jika diterapkan di Indonesia teknologi ini sebenarnya menjawab kebutuhan lima TV swasta Indonesia yang terus berlomba-lomba menambah areal liputan siarannya di daerah-daerah. Setiap stasiun TV swasta terus menambah jumlah stasiun relay di daerah-daerah, karena penetrasi yang luas menjadi penting untuk menjaring iklan sebanyak-banyaknya. Kendati stasiun relay kini dibangun dengan bekerja sama antar lima stasiun, satu stasiun relay membutuhkan investasi sebesar kira-kira lima milyar Rupiah. Belum ditambah dengan biaya pengoperasiannya setiap bulan. RCTI misalnya, berencana untuk memiliki 300 stasiun relay. Padahal dengan Wireless System biaya untuk membangun stasiun Wireless System cukup dengan USD 200.000.
Heartland Wireless Communications, Inc., yang mengaku perusahaan Pay TV dengan Wireless System terbesar di Amerika, hanya menawarkan USD 50 untuk mulai berlangganan yang termasuk didalamnya sewa peralatan dan biaya instalasi ditambah gratis iuran bulan pertama.

Wireless System

Wireless System yang di Amerika yang mulanya disebut MMDS (Multi-point Multi-channel Distribution Service) kini adalah industri yang bernilai sebesar dua milyar Dollar Amerika setahun. Awalnya, system ini digunakan untuk komunikasi data bisnis. Sekarang pun masih digunakan oleh sistem komunikasi data oleh kebanyakan Bank, untuk ATM misalnya. Wireless System juga digunakan secara luas oleh operator telephone selular dan pager. Wireless System menggunakan pemancaran gelombang mikro atau microwave transmission, sehingga sistem ini membutuhkan alat tambahan pada pesawat TV untuk menerima siaran MMDS atau Wireless System ini.

Banyak perusahaan elektronik yang telah terjun ke dalam industri peralatan Wireless System ini. Di antaranya adalah : People's Choice TV, PacTel, NYNEX, Thomson (RCA), Zenith, dan General Instruments. Sedangkan Pasific Monolithics, yang terletak di jantung Lembah Silicon di Amerika adalah perusahaan yang terbesar dalam memproduksi peralatan Wireless System. Pasific Monolithics melayani lebih dari 150 perusahaan penyedia siaran Wireless System di 40 negara di seluruh dunia.

Wireless System sebenarnya sudah ada sejak tahun 1984 di Amerika. Waktu itu Wireless System sudah bisa menyediakan 33 channel (kanal) analog. Industri ini tumbuh begitu pesatnya sejak dihapuskannya pembatasan bagi Wireless System pada 1992 untuk ikut menyiarkan acara-acara top dari jaringan TV broadcast biasa. Dari hanya 200.000 pelanggan tiba-tiba tumbuh sebesar 250% menjadi 750.000 pelanggan pada akhir tahun 1994. Menurut Presiden Wireless Cable Association International, Andrew Kreig, Wireless System saat ini telah mencapai 5 juta pelanggan tersebar di 80 negara di dunia.

Wireless System adalah sistem yang paling ekonomis yang pernah dikembangkan untuk pemancaran siaran TV. Wireless System bisa menjawab mahalnya peralatan pemancar dan penerima siaran DBS yang harus dibeli oleh pelanggan (lihat tulisan saya Di Era Siaran DBS, TV Swasta Tergusur? Media Indonesia 6 Juni 1996, juga Mengukur Bisnis TV Digital Peter Gontha, SWA 5 Maret 1997). Wireless System menjawab mahalnya investasi yang dikeluarkan jaringan TV broadcast biasa untuk mendirikan sebuah satu stasiun relay di daerah supaya areal cakupannya meluas (seperti lima TV swasta di Indonesia). Atau Wireless System juga menjawab tidak praktisnya membangun siaran TV yang didistribusikan lewat jaringan kabel coaxial, seperti yang dilakukan Indovision di beberapa perumahan di Jabotabek (lihat Era Pay TV di Indonesia).

Layanan Baru yang Bisa ditawarkan TV Swasta

Satu stasiun Wireless System dapat menyediakan 33 kanal siaran analog atau 100 hingga 300 kanal siaran digital! Selain bisa digunakan untuk kanal-kanal siaran TV, kanal ini juga bisa digunakan untuk membangun Interactive TV (pay-per-view), atau kanal untuk access ke Internet dengan kecepatan mengirim data sebesar 36 Megabit per detik (lewat kabel telepon paling tinggi cuma 28,8 kilobit per detik).

Interactive TV sebenarnya sudah diaplikasikan oleh beberapa stasiun TV swasta Indonesia, namun untuk aplikasi yang sederhana yakni sebagai sarana bermain game, seperti Jitu, Gol Gol Gol dan lain-lain. Dengan Wireless System dapat disediakan interactive TV yang lebih menarik, yaitu menyediakan acara (biasanya film) yang bisa dipilih (pay-per-view). Pelanggan hanya akan membayar film yang dipesannya saja. Di Amerika, pay-per-view ini telah menurunkan pendapatan usaha rental film (Laser Disk dan Kaset) karena melalui pay-per-view, orang tidak perlu ke luar rumah untuk meminjam dan mengembalikan film dengan harga yang sama.

Untuk membangun Pay-per-view di Indonesia cukup bekerjasama dengan misalnya dengan DirecTV di Amerika yang telah memiliki perlengkapan pay-per-view. Film yang dipesan dapat ditransfer dari DirectTV melalui satelit kemudian dipancarkan ke rumah pemesan melalui Wireless. Kendati secara teknologi hal ini memungkinkan, namun di Indonesia barangkali pay-per-view ini akan terbentur pada soal peraturan, karena ini menyangkut soal serbuan "budaya asing" ke Indonesia yang sebenarnya juga sudah terjadi lewat serbuan "budaya asing" lewat Laser Disc, kaset dan terakhir lewat murahnya Video CD bajakan. Padahal lewat pay-per-view, "serbuan" ini lebih bisa dikontrol atau diseleksi dibanding menyeleksi dan mengontrolnya lewat rental dan pasar gelap.

Meski demikian Wireless System ini memiliki kekurangan, yaitu siarannya tidak boleh terhalang oleh gedung atau bukit untuk mendapatkan mutu siaran yang maksimal. Juga radius siarannya hanya 75 sampai 90 miles atau sekitar 130 km. Namun demikian kekurangan itu bisa diatasi dengan dengan peralatan repeater untuk memperbaiki siaran di daerah yang terhalang (daerah bayangan).

Di Amerika, di mana kompetisi begitu ketatnya, jumlah kanal yang ditawarkan sebuah stasiun Pay TV menjadi faktor kunci untuk memenangkan persaingan. Karena itu digital compression (lihat box) sudah menjadi standar untuk mendapatkan jumlah kanal yang banyak. Di Indonesia siaran Pay TV dengan banyak kanal itu sudah dimulai oleh Indovision lewat satelit Palapa C2. Nanti, setelah satelit Indostar diluncurkan, kanal yang tersedia dan kualitas akan bertambah lebih dari 19 kanal yang sekarang sudah tersedia. Indovision saat ini sebagai perusahaan siaran Pay TV lewat satelit (DBS) memang belum menjadi ancaman bagi lima TV swasta jika melihat target pemirsanya yang jauh berbeda. Juga besarnya harga peralatan penerima siaran Indovision (antena, receiver dan decoder). Meski demikian sebagai bisnis, Indovision adalah bisnis yang prospektif karena memang memiliki target penonton yang sangat jelas, yaitu golongan dengan status ekonomi menengah ke atas. Apalagi harga peralatan penerima siaran TV digital lewat satelit Indostar akan lebih murah dari yang tersedia sekarang.

Jojo Rahardjo