Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Monday, August 18, 2008

MUSIM PANEN BAGI KONSULTAN POLITIK DAN MEDIA

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2991.html

Majalah Fortune memperkirakan total dana kampanye di Amerika tahun ini akan mencapai USD 3 miliar. Itu sebabnya seorang konsultan politik Indonesia, Rizal Malarangeng di Jawa Pos, 25 Mei 2008 menegaskan: “Demokrasi memang mahal, bung!”

Lalu, berapa besar biaya kampanye di Indonesia?

Jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah 500 Juta Rupiah, maka per bulan adalah 15 Milyar Rupiah. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh 2 calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, Internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya. Kampanye tahap awal ini hanya sekedar untuk menciptakan awareness. Tahap berikutnya adalah adalah tahap komunikasi nilai-nilai dan platform. Biaya ratusan milyar rupiah ini hanya habis dalam beberapa bulan saja, bukan 1 tahun. Jadi bayangkan dalam 1 tahun berapa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon pemimpin di negeri ini, dan berapa biaya yang dikeluarkan oleh beberapa orang calon, misalnya 5 orang calon. Lebih dari 1 trilyun rupiah!

Soal seperti ini, memang soal yang baru dan telah menjadi wacana beberapa tahun terakhir ini. Sudah banyak tulisan dan diskusi dibuat mengenai ini. Kebanyakan sudut pandangnya adalah ilmu, misalnya ilmu komunikasi, marketing, manajemen, politik, psikologi atau gabungan dari semua ilmu itu. Tulisan di bawah ini juga dari sebuah sudut pandang, yaitu ‘sudut pandang hati’ yang mencoba mewakili hati kebanyakan masyarakat dari golongan bawah.

Besarnya biaya kampanye calon presiden yang dipertontonkan belakangan ini, mungkin tidak mengganggu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik. Tapi di tengah morat-maritnya negeri ini, pertunjukan itu sungguh tidak elegan. Apalagi seperti terjadi di negara mana pun, sumber dana kampanye seringkali dari korporasi atau dari kelompok-kelompok yang ingin memiliki pengaruh di pemerintahan yang akan terpilih nanti. Di Indonesia, Kampanye tahap awal sudah dimulai, meski tidak resmi. Pada tahap inilah sering sumber dana kampanye yang berjumlah sangat besar justru tidak memiliki asal-asul yang jelas. Padahal kita harus prihatin karena beberapa soal di bawah ini.

1. Penyumbang siluman itu (sebenarnya tidak cukup siluman, karena biasanya mereka adalah korporasi atau kelompok) akan meminta balas jasa jika si calon terpilih. Ini tentu bisa menjadi praktek pemerintahan atau legislasi yang korup.
2. Calon adalah seorang yang tidak cukup dikenal di masyarakat tetapi memaksakan diri.
3. Uang ratusan milyar rupiah tidak dimanfaatkan untuk menjadi solusi bagi persoalan mendasar negeri ini, yakni membuka lapangan kerja atau membantu membiayai pendidikan.
4. Calon adalah seorang yang sejak awal tidak peka dengan persoalan-persoalan besar masyarakat.
5. Calon adalah seorang kerbau yang mau dicocok-hidungnya oleh para konsultan politik.
6. Calon tidak memilih cara yang meski lebih panjang, tetapi lebih murah, elegan, natural dan bermanfaat agar dikenal oleh masyarakat, misalnya dengan menulis selama bertahun-tahun sebelumnya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tahun 2008 ini adalah tahap awal bagi para calon pemimpin, tahap menanamkan awareness, sehingga kita belum bisa melihat kampanye platform atau program para calon pemimpin itu. Tapi justru itu lah “pameran” kelemahan para calon pemimpin itu sudah dilangsungkan. Hampir semua calon yang menghambur-hamburkan uangnya di TV itu adalah orang yang sebelumnya sudah cukup dikenal melalui media TV, namun bukan sebagai pahlawan atau memiliki prestasi menonjol sebagai pemimpin di negeri ini.

Wiranto, Bachir, Prabowo, Rizal, Sutiyoso dan lain-lain yang sibuk memoles citranya adalah orang-orang yang sebelumnya atau sepanjang hidup mereka tidak diberitakan sebagai orang yang concern dengan persoalan sehari-hari masyarakat di bawah, misalnya penciptaan lapangan kerja. Padahal di mana-mana, di seluruh dunia, di negeri mana pun, sering ukuran keberhasilan seorang pemimpin negeri diukur dari keberhasilannya dalam menciptakan lapangan kerja. GeorgeW. Bush di negeri yang dikenal makmur, ternyata dianggap gagal sebagai pemimpin bahkan memalukan rakyatnya karena menyuburkan pengangguran berkat politik luar negerinya yang haus perang.

Mengapa lapangan kerja? Karena rakyat butuh kesejahteraan, apalagi di Indonesia. Jika rakyat sejahtera, pemimpin mungkin boleh “melenggang” sebagai penguasa. Kalau tidak memiliki catatan yang baik sebagai insan yang menyejahterakan rakyat, apakah bisa dipercaya menjadi pemimpin yang akan memberikan kesejahteraan? Meski demikian, konstituen biasanya terlalu bodoh dan ilmu politik serta ilmu komunikasi sudah sedemikian maju hingga seorang calon tanpa rapor bagus pun bisa terus maju hingga menjadi pemimpin.

Jika praktek demokrasi di Amerika sering menjadi acuan para konsultan politik Indonesia, maka saya pun ingin mengajukan Obama sebagai acuan saya. Tetapi itu jika Obama bisa terlepas dari keraguan banyak pihak di dunia ketiga mengenai tekanan military industrial complex, karena salah satu sumber dana Obama berasal dari perusahaan-perusahaan minyak seperti Exxonmobile (Amien Rais, DetikNews.com). Obama, dalam masa kampanye pendahuluan atau primary sudah menyampaikan program-programnya. Salah satu programnya yang menunjukkan “kejeliannya” pada soal-soal yang aktual, adalah mengenai krisis energi karena kaitannya dengan beberapa soal dunia lainnya, seperti global warming, climate change, investasi usaha dan lapangan kerja baru dan di sektor baru pula. Di dalam satu programnya, Obama menegaskan akan menanamkan investasi lebih besar dari pemerintah sebelumnya di sektor energi yang berasal dari sumber alternatif yang bukan berasal dari fosil, seperti minyak bumi, batubara, gas alam dan uranium. Energi dari sumber alternatif yang juga disebut renewal energy atau tidak bisa habis ini bisa berasal dari berbagai sumber, seperti angin, gelombang laut, panas bumi, hingga sinar matahari. Penanaman modal di sektor ini selain untuk mengatasi persoalan mahalnya minyak dunia, sekaligus juga akan membantu mencegah global warming dan membuka lapangan kerja baru dan di sektor yang baru pula.

Karena saya seorang blogger, maka melalui riset kecil yang tentu dengan Google (ha…ha…ha…), saya menemukan informasi tentang perusahaan-perusahaan di berbagai belahan dunia yang mengembangkan pemanfaatan energi dari sumber alternatif. Salah satunya dan yang paling menonjol adalah pemanfaatan sinar matahari untuk menjadi energi listrik dengan menggunakan Solar Panel atau Solar Cell. Salah satu perusahaan yang mengembangkan itu adalah Ameco, perusahaan solar energy di Selatan California sejak tahun 1974. Ameco, menjadi salah satu perusahaan energi swasta komersial yang menjual peralatan solar panel dan juga menjual jasa penyediaan listrik yang berasal dari sinar matahari (www.solarexpert.com/pvbasics2.html).

Sekarang, beberapa perusahaan listrik matahari di Amerika itu menawarkan sekitar 5 Juta Rupiah untuk sebuah solar panel yang bisa menghasilkan listrik 500 watt di rumah-rumah. Peralatan ini mampu bertahan paling tidak selama 10 tahun biaya dengan perawatan yang minimal. PhotoVoltaic (solar panel) systems have no moving parts, require virtually no maintenance, and have cells that last for decades (www.solarexpert.com/pvbasics2.html). Jika rata-rata rumah dengan 1300 watt di Indonesia menghabiskan 300 ribu rupiah perbulan untuk tagihan listrik, setidaknya bisa dihemat 150 Ribu Rupiah perbulan dan 15 Juta Rupiah selama 100 bulan (8 tahun lebih). Kemudian kalikan lagi dengan jutaan rumah di seluruh Indonesia. Perusahaan Amerika ini juga menyediakan solar panel untuk kawasan pemukiman (residential), apartemen, gedung perkantoran dan niaga atau kawasan industri.

Teknologi ini sebenarnya bukan teknologi tinggi lagi di masa ini. Teknologi ini ditemukan puluhan tahun yang lalu. Solar panel yang paling kecil dan dimanfaatkan secara komersial sebenarnya sudah kita kenal sejak tahun 70-an, yaitu pada peralatan calculator. Bahkan Indonesia pun sudah akrab dengan teknologi Solar Panel dan pemanfaatannya pada skala yang tidak main-main. PLN sudah pernah dan berhasil menyediakan listrik matahari ini di daerah-daerah terpencil. Sejumlah instansi dan lembaga pemerintah, seperti BPPT pun sudah akrab dengan pemanfaatan teknologi ini. Tetapi mengapa pemerintah tidak memaksimalkan pemanfaatan teknologi ini? Jawabannya tentu berputar-putar di sekitar lingkaran setan dunia usaha dan praktek korup para pemimpin negeri ini.

Krisis energi adalah persoalan dunia. Artinya persoalan ini terjadi di mana-mana. Bukan hanya karena persediaan energi fosil menipis dan menjadi mahal, atau karena praktek setan industri minyak dunia, tetapi juga karena eksplorasi dan penggunaannya mengakibatkan global warming. Di Indonesia, masyarakat kelas bawah sudah lama merasakan mahalnya tagihan listrik dan mahalnya transportasi dan tentu juga mahalnya barang-barang karena bergantung pada minyak sebagai sumber energi dalam melakukan kegiatan usaha dan kegiatan sehari-hari.

Apa yang dinyatakan Ameco dalam situsnya www.solarexpert.com/pvbasics2.html seharusnya bisa membuat hidung investor di sektor energi kembang kempis: Siemens Solar alone has shipped over 130 megawatts of modules since its inception, and the use of solar power is projected to grow at 10-15% per year from now until the year 2010. This is over three to five times the rate of growth of the Gross National Product of the United States!

Sayangnya hingga hari ini belum ada calon pemimpin atau politikus yang dengan cepat atau lebih dini menyebut energy crisis sebagai salah satu program mereka. Bahkan harapan saya, untuk mewakili kalangan bawah, adalah munculnya calon yang sudah memiliki solusi saat ini juga pada persoalan ini. Salah satu solusi seperti ini bisa dijadikan model berkampanye yang tidak menghambur-hamburkan uang di tengah kemelaratan rakyat saat ini. Sayangnya juga adalah para konsultan politik Indonesia tidak atau belum menawarkan model kampanye seperti ini yang sesungguhnya lebih cocok di Indonesia.

Penerapan solar panel di Indonesia bahkan bisa memberi citra bagi calon pemimpin sebagai pemberi solusi pada beberapa persoalan seperti di bawah ini:

1. keluar dari jerat monopoli PLN sebagai satu-satunya penyedia listrik
2. menghemat uang masyarakat yang dikeluarkan dalam membeli listrik
3. menggiatkan penggunaan kendaraan (alat transportasi) listrik
4. ikut mencegah kerusakan lingkungan
5. menciptakan lapangan kerja baru di sektor penyediaan energi matahari.

Ini hanya salah satu contoh tentang pilihan dari bentuk atau cara-cara berkampanye bagi para calon legislatif atau pemimpin di Indonesia. Berinvestasi di sektor energi matahari ini tentu akan diliput oleh media, sehingga calon itu bisa menghemat biaya dalam melakukan kampanye untuk membangun awareness. Tentu masih ada pilihan-pilihan lain, jika memang para colon legislatif dan pemimpin itu mau dipandang sebagai pemberi solusi, bukan bagian dari masalah yang berkepanjangan di Indonesia.

Saya tentu percaya, bahwa konsultan politik memang sudah saatnya diperlukan di negeri ini. Paling tidak untuk membentuk politikus atau pemimpin yang lebih elegan. Terutama kita memerlukan pemimpin yang dibentuk oleh konsultan politik untuk memiliki kepekaan terhadap situasi atau persoalan yang berkembang dan yang akan datang. Pemimpin yang dibentuk untuk tidak menggunakan kekerasan tetapi menggunakan komunikasi, bukan seperti para gubernur yang giat menghalau kaum urban dan kaum miskin kota. Pemimpin yang mengandalkan pada hasil riset ilmiah dalam mengelola wilayahnya, bukan seperti membangun Banjir Kanal Timur di Jakarta. Pemimpin yang memiliki satu tim ahli besar yang terdiri dari para profesional di bidangnya. Pemimpin yang mampu mengembangkan sistem untuk menyerap berbagai aspirasi dari masyarakat. Semua ini memang bisa dibentuk oleh konsultan politik.

Tetapi jika konsultan politik bekerja dengan orientasi uang, maka konsultan politik akan mengusung seorang calon durjana untuk menjadi pemimpin. Konsultan politik akan tidak peduli sebesar apa pun biaya yang dikeluarkan calon durjana untuk membeli semua slot di berbagai jenis media untuk memoles citra seorang calon incompeten, busuk, bahkan jahat untuk maju ke pemilihan. Bahkan konsultan politik akan mampu memanipulasi citra korup pemimpin yang menjadi kliennya agar terus bertahan berkuasa.

Sebuah contoh dari perusahaan konsultan politik adalah perusahaan Lingkaran Survey Indonesia yang dipimpin oleh teman saya semasa kuliah dulu, Denny JA. LSI sebagai perusahaan konsultan politik meski baru beberapa tahun didirikan telah menjadi ‘king maker’ (mengutip majalah Men’s Obsession). Ada 12 gubernur serta 23 bupati dan walikota yang berhasil lolos Pilkada dengan bantuan Denny. Apakah Denny JA sebagai salah satu king maker bisa menjadi sebuah langkah awal nan besar menuju Indonesia yang lebih baik? Itu pertanyaan gatal yang bisa terjawab di tahun-tahun mendatang.

Sekarang memang musim durian. Sayang duriannya terlalu mahal buat masyarakat kecil. Indonesia memiliki 33 provinsi ditambah 440 kabupaten dan kota. Maka ada sekitar 473 musim durian di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Belum lagi pemilihan anggota legislatif pusat dan daerah. Demokrasi ternyata bukan hanya mahal, tetapi hanya sebuah permainan berebut pengaruh di antara yang punya duit…. Rakyat kecil memangnya tahu apa?

Dirgahayu Republik Indonesia!

Penulis pernah bekerja sebagai Marketing Research Executive di sebuah stasiun TV

Saturday, July 26, 2008

PENERIMAAN SISWA BARU SMA DI JAKARTA,REALTIME ONLINE SYSTEM?

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2785.html

Meski Penerimaan Siswa Baru (PSB) SMA di Jakarta sudah lewat, namun laporan di bawah ini masih relevan untuk menyambut datangnya Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli nanti.

Hari Senin, 30 Juni 2008, jam 09:00, saya datang ke SMA 68, di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat untuk mengantarkan seorang keponakan saya baru saja lulus SMP di luar Jakarta. Ia ingin bersekolah di satu SMA Negeri di Jakarta. Sebagaimana disyaratkan oleh Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta (Dinas Dikmenti) di dalam websitenya, http://www.dikmentidki.psb-online.or.id/ , calon siswa dari luar Jakarta harus melakukan proses pra-pendaftaran terlebih dahulu di beberapa sekolah yang ditentukan. Untuk keponakan saya, pra-pendaftaran dilakukan di SMA 68 di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.

Di dekat pintu masuk saya diberikan nomor urut oleh panitia PSB. Setelah itu saya melihat beberapa kerumunan orang yang jumlahnya kira-kira beberapa ratus orang. Karena saya tidak melihat petunjuk mengenai langkah-langkah proses pra-pendaftaran selanjutnya, terpaksa saya bertanya sana-sini mengenai di mana saya bisa mendapatkan formulir untuk saya isi. Itu kekisruhan pertama.

Ketika mencari dimana letak formulir disediakan, ternyata sedang terjadi keributan antara orangtua para calon siswa dengan panitia PSB. Mereka sedang protes kepada panitia, karena panitia menolak Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang mereka bawa. Panitia menetapkan SKHUN yang harus diberikan adalah yang dikeluarkan oleh Dinas Dikmenti, padahal Dinas Dikmenti tidak atau belum mengeluarkan SKHUN kepada siswa SMP di luar Jakarta yang baru lulus. Hanya siswa lulusan SMP Jakarta saja yang sudah menerima SKHUN dari Dinas Dikmenti. Di luar Jakarta, pihak sekolah lah yang mengeluarkan SKHUN. Memang aneh, jika Dinas Dikmenti membuat jadwal pra-pendaftaran pada tanggal 30 Juni, 1, 2 dan 3 Juli, serta mensyaratkan adanya SKHUN, tetapi ternyata pihak Dinas Dikmenti belum mengeluarkan atau mengirimkan SKHUN kepada siswa-siswa yang akan mendaftar ke SMA. Para orang tua siswa ini bersikeras agar panitia mau menerima SKHUN yang dikeluarkan dari sekolah yang mereka bawa. Jika SKHUN dari Diknas belum mereka terima, itu bukan salah para siswa. Apalagi, di dalam petunjuk pendaftaran dari Dinas Dikmenti tidak disebutkan SKHUN adalah dari Dinas Dikmenti. Apakah mereka harus pulang ke kota-kota asal mereka, atau pergi beramai-ramai ke Dinas Dikmenti untuk meminta SKHUN? Suasana jadi lebih panas, karena pihak panitia PSB di SMA 68 itu harus bertanya lebih dahulu ke Dinas Dikmenti. Pukul 10:00 lewat akhirnya Dinas Dikmenti memperbolehkan proses pra-pendaftaran dilanjutkan tanpa SKHUN dari Dinas Dikmenti.

Proses PSB SMA di Jakarta sudah beberapa tahun terakhir ini menggunakan online system. Biasanya istilah online system digunakan untuk menunjukkan terpadunya sebuah sistem dengan memanfaatkan jaringan komputer, sehingga data yang sudah disimpan dan ‘data baru’ yang akan diproses berlangsung terpadu. Proses terpadu itu membuat sistem ini juga disebut realtime karena proses berlangsung seketika dan hasilnya dapat diakses seketika dan dari komputer mana saja dalam jaringan itu.

Namun anehnya pada PSB online ini, proses pra-pendaftaran (sekali lagi, proses pra-pendaftaran ini hanya untuk siswa lulusan SMP dari luar Jakarta) harus dengan menunjukkan SKHUN, padahal bukankah data siswa lulusan SMP (termasuk data SKHUN) sudah ada di Dinas Dikmenti? Nampaknya panitia PSB memasukkan kembali (mengetik lagi) data yang ada pada SKHUN yang diterimanya pada saat proses pra-pendaftaran ke komputer, lalu mengirim data itu ke pusat…. Setelah itu baru diproses. Itu namanya kerja dua kali dan tidak online yang sebenarnya dan buang-buang waktu juga tenaga.

Menurut saya, seharusnya pra-pendaftaran atau pendaftaran sekali pun hanya dengan menggunakan Nomor Ujian Nasional, karena nomor ujian ini sudah ada di Dinas Dikmenti. Jadi dengan memasukkan nomor ujian, panitia PSB bisa melihat semua informasi calon siswa, termasuk nilai NEM dan nilai-nilai 4 mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional, sehingga proses pendaftaran bisa dilakukan secara online dalam arti sebenarnya. Bukankah sebagaimana yang disebut oleh Dikmenti sendiri proses seleksi siswa dalam PSB ini berdasarkan nilai-nilai Ujian Nasional yang dimiliki oleh calon siswa dan sudah disimpan oleh Dikmenti? Dengan begitu tidak perlu ada proses memasukkan kembali data siswa.

Kekisruhan cara kerja panitia PSB bertambah setelah nomor urut yang diterima pada saat pertama kali datang menjadi tidak berlaku. Ini terjadi setelah ribut-ribut soal SKHUN seperti yang sudah disebutkan di atas. Akhirnya saya baru bisa menyelesaikan proses pra-pendaftaran itu pada jam 15:00, hanya untuk mendapatkan nomor registrasi pra-pendaftaran. Luar biasa online!

Kekisruhan seputar SKHUN ini ternyata terjadi juga di tempat pra-pendaftaran lain, yaitu di SMA 54, Jatinegara, Jakarta Timur. Anehnya, dua sekolah yang saya sebutkan ini adalah dua sekolah yang terkenal dengan kualitasnya yang baik. Nampaknya kekisruhan ini terjadi di semua tempat pra-pendaftaran. Di dua tempat ini tidak ada informasi mengenai langkah-langkah pra-pendaftaran yang diletakkan pada tempat yang mudah terbaca. Begitu juga informasi-informasi penting yang harus diketahui oleh para pendaftar. Akibatnya banyak orang berkerumun di depan loket atau di depan meja panitia, karena takut ketinggalan informasi. Kerumunan ini menyulitkan para pendaftar yang baru datang untuk mendekati panitia. Suasana ini mirip di pasar ayam tradisional.

Untungnya kekisruhan tidak terjadi pada saat proses pendaftaran tanggal 4,5 dan 7 Juli, meski nampaknya juga ada proses pengetikan data siswa kembali (dua kali kerja). Proses pendaftaran berlangsung cukup cepat dan hasilnya langsung muncul di jaringan komputer Dikmenti DKI yang bisa diakses melalui Internet.

Saya prihatin, karena keponakan saya pada usianya yang masih dini harus menyaksikan dan mengalami sebuah sistem pendaftaran sekolah yang lagi-lagi masih amburadul, padahal katanya pendaftaran yang online dan realtime. Menurut website Dinas Dikmenti, sistem online dan realtime ini dibuat dengan bekerja sama dengan Telkom Solution.

Saya sarankan agar di tahun depan proses pendaftaran PSB menggunakan sistem yang online dan realtime yang sesungguhnya. Jika prosesnya online, tentu proses pendaftaran bisa dilakukan melalui website Dinas Dikmenti dan dengan menggunakan satu identifikasi saja, yaitu Nomor Ujian Nasional misalnya. Proses pendaftaran tidak harus atau tidak perlu dengan mendatangi tempat pendaftaran. Dengan begitu para calon siswa SMA ini sudah diajarkan bagaimana menggunakan energi dan waktunya secara efisien dan sekaligus terbiasa dengan apa yang disebut atau dinamakan online yang sesungguhnya.

Sunday, June 29, 2008

KENAIKAN BBM DAN KEJAKSAAN AGUNG

http://www.mediakonsumen.com/Artikel2630.html

Penolakan kenaikan BBM masih terus digelar di mana-mana. Bahkan semakin emosional dan semakin dibarengi dengan kekerasan, bahkan kekisruhan sebagaimana sudah saya duga sebelumnya di MediaKonsumen ini beberapa waktu yang lalu (http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html , http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html).

Ini disebabkan oleh antara lain karena gagalnya program komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Namun demikian, bagaimana mungkin rakyat dapat memahami sebuah komunikasi yang tidak masuk akal mengenai alasan dinaikkannya BBM. Komunikasi yang buruk ini ditambah lagi dengan minimnya upaya pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikkan BBM ini, bahkan Badan Intelejen Negara pun beberapa hari terakhir ini ikut memperkeruh situasi dengan menebar tuduhan sana-sini.

Tulisan ini adalah untuk mengingatkan, bahwa kenaikan BBM berhubungan dengan adanya konspirasi jahat orang-orang di Kejaksaan Agung dengan konglomerat hitam. Ini menjadi salah satu penyebab pemerintah akhirnya kedodoran APBN dan menaikkan BBM sebagai solusi gampang dan gila sehingga membuat negeri ini semakin compang-camping dan boroknya terlihat.

Kejagung sebelumnya menjadi tumpuan harapan rakyat agar bisa mengembalikan dana BLBI sebesar ratusan trilyun rupiah yang dirampok konglomerat hitam. Sayangnya setelah jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap sedang disuap oleh Artalita Suryani, sejumlah jaksa agung muda lainnya justru juga “tertangkap” melakukan “telpon-ria” dengan Artalita, kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI. Jaksa Urip adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Ia diburu KPK dan tertangkap di rumah Sjamsul Nursalim sedang menerima uang sebesar lebih dari 6 milyar rupiah dari Artalita hanya beberapa hari setelah jaksa agung muda pidana khusus Kemas Yahya Rahman mengeluarkan SP3 untuk kasus BLBI Syamsul Nursalim dan Anthony Salim.

Kasus terbongkarnya borok kejagung ini mungkin juga sekaligus membongkar borok TNI yang tidak tahu ada anggotanya yang “magang” bertahun-tahun menjadi “ajudan” Artalita di Sjamsul Nursalim “Syndicate”.

Kejadian ini sudah menjadi keprihatinan kita bersama, karena ini seperti sering disebut orang adalah “gunung es” dari berbagai carut-marut di negeri morat-marit ini. Sebelum soal Urip, sang borok kejaksaan ini, di awal tahun 2007, seorang jenderal polisi dijebloskan ke penjara karena korupsi dalam kasus Andrian Woworunto. Kemudian KPK juga memenjarakan Irawadi Yoenus, salah seorang komisioner Komisi Yudisial di tangkap di akhir tahun 2007 lalu karena melakukan korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial yang baru. Baru beberapa bulan lalu di bulan Januari 2008 ini, KPK menahan mantan Kapolri Rusdihardjo, karena diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dubes RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Juga bulan April 2008 lalu seorang anggota DPR telah membuat geram para aktivis lingkungan hidup. Al-Amin Nasution tertangkap menerima suap dari pejabat kabupaten Bintan di Jakarta. Al-Amin Nasution sudah lama dibidik KPK terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan.

Meski pun mereka yang disebut di atas hanya beberapa orang saja, namun mereka sudah mewakili hampir semua lembaga negara yang penting di negeri ini yang seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat dalam mengelola negeri morat-marit ini. Ada yang mewakili kepolisian, Mahkamah Agung, pemerintah, DPR dan terakhir kejagung. Mereka yang tertangkap itu, seperti yang disebut oleh Permadi SH adalah sedang bernasib sial. Masih banyak bajingan-bajingan lain yang belum tertangkap.

Di mana-mana di seluruh dunia ini, termasuk di lobang tikus sekali pun, berlaku aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, bahwa penegak hukum tidak boleh berkomunikasi atau bertemu muka dengan bajingan dan kaki-tangannya yang sedang ditanganinya di tempat atau waktu yang tidak seharusnya. Meski jaksa-jaksa itu telah melakukan kesalahan yang amat memalukan dan merendahkan dirinya dan lembaganya, namun demikian Jaksa Agung Hendarman Supandji nampaknya masih akan sangat terlambat untuk menggunakan nuraninya dalam memperbaiki lembaga yang dipimpinnya.

Bukan berapa Rupiah suap yang diterima para jaksa agung itu yang menjadi persoalan kita, tetapi betapa mudahnya kita menyerahkan kepentingan rakyat banyak pada orang-orang durjana yang tidak peduli dengan masa depan negeri ini. Hanya dengan beberapa milyar rupiah saja, kejagung sudah bisa dengan mudah dibuntungi, padahal kasus yang BLBI ditanganinya adalah puluhan trilyun rupiah. Kita tidak bisa membayangkan negeri macam apa Indonesia ini jika SP3 untuk Sjamsul dan Anthony ini menjadi patokan untuk memberikan SP3 juga bagi kasus-kasus BLBI lainnya yang ratusan trilyun rupiah.

Murah sekali harga jiwa para jaksa itu….

Jojo Rahardjo

Tuesday, June 10, 2008

BBM dan Ideologi Kekerasan Di Negeri Morat-Marit

http://www.mediakonsumen.com/Artikel2470.html

Apa yang terjadi setelah BBM dinaikkan? Yang paling gampang terlihat, karena sering menjadi berita di berbagai media, adalah mengeluhnya pengemudi kendaraan umum dan penumpangnya. Salah satu keluhan para pengemudi angkutan umum itu adalah dilema dalam menaikkan tarifnya, karena kuatir penumpang berkurang. Jika tidak mereka naikkan, maka penghasilan mereka yang sebelum BBM dinaikkan sudah kurang dari layak akan semakin berkurang.

Misalnya di salah satu TV swasta, seorang pengemudi taxi mengungkapkan, sekarang ia hanya bisa pulang ke rumah dengan mengantongi uang maksimal RP20.000,- setiap harinya, padahal sebelumnya bisa mencapai RP50.000,-. Dengan uang RP50.000 sehari saja, saya sulit membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka bersama keluarganya untuk bisa hidup layak, sehat dan apalagi untuk membangun masadepan keluarga mereka yang kompetitif. Saya sulit membayangkan bagaimana membiayai anak-anak mereka supaya tetap sehat dan bagaimana membiayai pendidikan yang cukup supaya bisa bersaing di masa depan nanti.

Itu sebabnya para pengemudi ini memiliki alasan yang tidak terhindari untuk saling serobot, melanggar rambu lalu-lintas, tidak perlu santun, dan lain-lain perilaku buruk di jalan. Demo sudah mereka lakukan sejak hari pertama BBM dinaikkan. Beberapa demo mereka sangat emosional. Tetapi akhirnya mereka menyadari demo tidak bisa mereka teruskan karena mereka bukan pada posisi untuk dapat berdemo, karena ketika mereka berdemo, mereka tidak menghasilkan uang, padahal tabungan pun tidak punya juga. Betapa takdir hidup mereka di tangan pemerintah, bukan di tangan Tuhan….

Apa pun yang terjadi, tarif angkutan umum akhirnya dinaikkan secara resmi oleh pemerintah. Namun berapa pun kenaikan tarif angkutan umum itu, apakah kenaikannya bisa mengatasi kesulitan hidup para pengemudi itu? Tentu tidak, karena daya beli mereka sudah berkurang karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kesulitan hidup mereka tentu bertambah, sehingga yang paling gampang mereka lakukan adalah tetap menjadi setan jalanan, bahkan dengan tingkat yang lebih parah lagi agar uang yang mereka bawa pulang bertambah. Polisi pun tetap berada dalam situasi yang gamang, antara menertibkan dengan menegakkan hukum dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan sepihak. Situasi jalanan yang tanpa hukum ini, tentu juga berpengaruh pada pengemudi kendaraan pribadi yang akhirnya juga ikut-ikutan menjadi biadab. Maka, akhirnya jalan raya kota-kota besar di Indonesia akan terus menjadi potret morat-maritnya sebuah negeri. Siapa pun yang datang ke Indonesia akan langsung menyaksikan kebiadaban para pengemudi kendaraan, baik yang umum maupun pribadi. Sebuah situasi yang konyol dan memalukan.

Kritik saya di atas bukan tanpa tawaran solusi atau saran. Menurut saya, sudah saatnya pemerintah memberikan tunjangan kepada para pengemudi angkutan umum ini. Meski pun langkah ini sesaat dan menyerderhanakan persoalan, tetapi itu lebih baik dibanding tidak melakukan apa pun untuk mengurangi dampak kenaikan BBM pada sektor transportasi umum di perkotaan. Tunjangan itu terutama diberikan untuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Supaya kesempatan mereka untuk berubah nasib menjadi lebih besar. Jika orangtuanya hanya pengemudi angkutan umum, maka berilah kesempatan pada anak-anaknya untuk menjadi lebih baik dari itu, dengan memberikan mereka kesehatan yang baik dan pendidikan yang cukup. Selebihnya orang tua tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya.

Kemudian jika mau lebih jauh lagi menangani angkutan umum di kota-kota besar, tentu harus juga memikirkan konsep yang lebih terpadu. Misalnya di dalam konsep yang lebih terpadu itu diperhitungkan penggunaan BBM secara efisien. Misalnya, jenis kendaraan yang digunakan dalam transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan tipe kecil dengan kapasitas 10 atau 12 orang (seperti angkot atau mikrolet) tentu harus dipertimbangkan karena lebih boros BBM dibandingkan kendaraan dengan kapasitas lebih besar (seperti type Isuzu Elf). Dengan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar ini tentu juga bisa sekaligus mengurangi jumlah kendaraan umum yang berada di jalanan, sehingga jumlah kendaraan umum yang harus berlomba-lomba mendapatkan penumpang pun berkurang. Berkurangnya jumlah kendaraan umum ini bisa mengurangi kesemrawutan lalu-lintas dan tentu mengurangi penyebab gangguan jiwa atau gangguan prilaku bagi rakyat, bahkan mungkin juga bisa mendorong rakyat di lapis bawah untuk tidak mudah tertarik pada ideologi kekerasan.

Apa yang saya tulis di atas hanya contoh saja dari berbagai persoalan hidup di tingkat bawah yang tidak kunjung dicarikan jalan keluarnya sejak dulu hingga sekarang. Padahal persoalan hidup yang meracuni nurani ini bisa menjerumuskan orang untuk mengidap ideologi kekerasan.

Perasaan tidak diperlakukan dengan adil tidak hanya dirasakan oleh pengemudi angkutan umum, tetapi di berbagai sektor. Misalnya pekerja di sektor industri juga paling rentan terhadap ideologi kekerasan. Terutama karena pengusaha sekarang diberi “kehormatan” dan “kemuliaan” yang amat tinggi untuk memberangus masa depan para pekerja Indonesia agar tetap menjadi “kuli kontrak” sejak tahun pertama bekerja hingga tua-renta karena memikul hidup yang berat. Mereka adalah orang-orang yang kurang memiliki kesempatan untuk menambah skill kerjanya dan pendidikannya, namun sayang pemerintah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Mereka telah diberi “takdir” untuk selama-lamanya menjadi “budak” yang angka penghasilannya hanya ditentukan oleh pemerintah dan pengusaha melalui apa yang disebut “upah minimum” setiap beberapa tahun sekali saja.

Belum lagi persoalan-persoalan masyarakat miskin kota yang salah satu pembelanya adalah Wardah Hafidz. Persoalan mereka misalnya, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja atau berpenghasilan, mereka menciptakan usaha kaki-lima untuk memiliki penghasilan. Tapi sayang usaha kaki-lima ini begitu mudah dipandang oleh pemerintah sebagai musuh negara yang pantas diburu dan dimusnahkan dari pemandangan kota-kota besar. Mereka yang bukan karena pilihan bebasnya telah menjadi pengusaha kaki-lima itu tidak diberikan pilihan lain atau solusi jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki-lima. Barangkali pemerintah memang bermaksud untuk menjebak mereka untuk menjadi pencoleng atau penjahat. Atau menjerumuskan mereka ke dalam kelompok yang menyebarkan atau menanam ideologi kekerasan.

Jika persoalan-persoalan kelas bawah seperti itu bisa diminimalkan, tentu kita bisa lebih giat berdoa atau berharap, agar masyarakat bawah tidak mudah tertarik pada para penyebar ideologi kekerasan yang ditawarkan individu, kelompok, organisasi, atau aliran agama apa pun. Meniti kehidupan yang lebih baik atau membangun masa depan yang lebih baik tentu lebih menarik dibandingkan masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang di dalamnya diajarkan kebenaran mutlak hanya miliknya sendiri. Sayangnya kelompok seperti ini sering berlatarbelakang agama.

Kepercayaan kepada Tuhan atau agama sebelum datangnya para nabi yang “samawi” menurut ilmu psikologi dan sosiologi tumbuh karena ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kehidupan ini atau misteri munculnya kehidupan ini dan kemana kehidupan ini berakhir. Pemahaman tentang Tuhan dan agama kemudian terus berkembang lebih jauh menjadi jawaban bagi persoalan bertahan hidup hingga menjadi arah perkembangan peradaban manusia. Agama, bahkan menurut sains, amat dibutuhkan umat manusia. Betapa banyak sekali arah peradaban manusia terinspirasi dari agama. Begitu juga banyak aturan hidup sehari-hari atau aturan hidup bernegara yang berasal atau terinspirasi dari ajaran agama, termasuk larangan untuk melakukan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Bahkan secara individual, kepercayaan kepada Tuhan memberi kepuasan bathin tiada terkira bagi para pencari kebenaran tentang hidup.

Sayangnya sebagian dari kita telah menjadikan pemahaman terhadap agamanya atau keyakinannya sebagai kebenaran mutlak. Dunia ini dianggap hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Orang-orang yang tidak mengikuti mereka atau menghalangi akan dianggap kafir atau musuh yang pantas dilenyapkan. Persoalan berkeyakinan seperti ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak pertama kali manusia mulai mempercayai adanya pencipta, penguasa, dan pengatur kehidupan manusia atau alam semesta. Persoalan ini juga dialami oleh pengikut agama apa pun, di Eropa, Arab, Afrika, Asia atau di mana saja. Tanpa bermaksud menjadi pesimistis terhadap perkembangan peradaban manusia, sejarah umat manusia sebenarnya di berbagai tempat di permukaan Bumi penuh dengan pertumpahan darah beratasnama agama.

Ada pertanyaan besar yang sudah sejak lama ditanyakan banyak orang, yaitu (jika begitu) apakah agama mengajarkan kekerasan? Tentu saya tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena memancing diskusi panjang dan sekaligus memprovokasi adanya kekerasan terhadap diskusi itu. Tulisan ini hanya mencoba mengindentifikasi atau menggambarkan apa-apa yang di luar agama tetapi bisa memicu kekerasan di sekitar kita dengan beratasnama agama.

Namun tulisan ini, akhirnya terpaksa menyinggung sebuah persoalan yang sedang menjadi “hantu perpecahan” di Indonesia akhir-akhir ini dan persoalan ini muncul karena situasi morat-marit yang saya gambarkan di atas. Front Pembela Islam (FPI) disebut telah melakukan kekerasan sepanjang keberadaannya selama 10 tahun terakhir ini dan terutama kekerasan di Monas.

Apakah FPI harus dibubarkan? Begitulah wacana ini menjejali seluruh media akhir-akhir ini. Tentu pembubaran FPI tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya sebagaimana sudah saya gambarkan di atas. Akar persoalan tentu saja bukan Ahmadiyah, sebagaimana dijadikan pembenaran pada kekerasan yang dilakukan FPI di Monas. Ahmadiyah hanya menjadi picu bagi FPI yang terlanjur sering merasa pemerintah tidak mengakomodasikan aspirasi mereka tentang negeri yang saleh tanpa maksiat, tanpa kebobrokan moral, tanpa pertunjukan aurat atau pornography, atau tanpa penodaan agama.

Persoalan Ahmadiyah yang dianggap sesat, menyimpang dan menodai Islam sebaiknya diselesaikan dengan memberi cap bahwa Ahmadiyah sesat. menyimpang dan menodai. Pembubaran Ahmadiyah nampaknya bukan penyelesaian yang baik jika mengambil contoh sikap Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak pernah menggunakan kekerasan ketika menghadapi kelompok lain yang berbeda keyakinan. Saya tidak ingin lebih jauh berargumen mengenai apakah Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, karena itu bukan porsi saya. Tetapi saya yakin porsi saya adalah untuk mengatakan, bahwa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan apa pun termasuk untuk berkeyakinan adalah menyalahi aturan apa pun. Itu berlaku juga untuk orang-orang yang mendorong atau menginspirasikan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi pengikutnya untuk melakukan kekerasan.

Kesalahan pemerintah SBY yang utama adalah bukan karena tidak membubarkan Ahmadiyah, tetapi karena tidak mampu mengurus negeri morat-marit ini. Jadi mari bantu mereka yang menjadi korban kebijakan kenaikan tarif BBM. Mereka adalah misalnya para pengemudi angkutan umum, pekerja yang terus-menerus dikontrak, pengusaha kaki-lima yang diburu seperti musuh negara, atau masyarakat miskin di kota-kota besar yang hidupnya terombang-ambing para gubernur yang terus menerus ingin “membasmi” mereka. Jadi jangan membuang-buang waktu untuk bertengkar satu sama lain dengan menggunakan omong-kosong soal agama.

Jojo Rahardjo

Thursday, May 29, 2008

DEMO MENGGILA, PEMERINTAH MASA BODOH

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html

BBM sudah dinaikkan pada 24 Mei 2008 oleh pemerintahan SBY. Apa boleh buat. Meski “ocehan” pemerintah tentang menyelamatkan APBN cukup membingungkan, namun rakyat terpaksa menerimanya. Namun sayang, apa yang ditunggu rakyat dari Pemerintah SBY tak kunjung muncul. Apa yang ditunggu rakyat?

Sejak beberapa hari terakhir ini di beberapa stasiun TV (mungkin semua?) menayangkan sebuah program komunikasi yang dibuat oleh "Save Our Nation" mengenai “mengapa harga BBM dinaikan”. Kampanye itu dibuka dengan munculnya Sri Mulyani, sang menteri keuangan negeri ini. Untuk kapasitasnya sebagai seorang akademisi dan menteri dari sebuah negeri morat-marit, sungguh Sri Mulyani ini amat mengecewakan, karena mau menjadi bagian dari sebuah program komunikasi dari pemerintah SBY yang terlambat dan nampak ragu-ragu arahnya, sehingga hasilnya hanya menambah luka rakyat. Mengapa begitu?

Sri Mulyani, Marie Pangestu, Andi Malarangeng, Aburizal Bakrie dalam program komunikasi itu mengatakan hal-hal yang lebih tepat digolongkan atau diklasifikasikan sebagai "curhat". Bukan sebuah wejangan seorang pemimpin kepada rakyatnya yang sedang gundah, panik, bingung, putus harapan, dan merasa dianiaya. Rakyat tentu berharap wejangan seorang pemimpin akan kira-kira seperti ini: "Tunggu dalam waktu yang tidak lama lagi, kami akan segera mengeluarkan pengumuman mengenai rincian program-program kami untuk membantu rakyat agar rakyat bisa melalui dengan selamat kebijakan pahit yang telah kami putuskan." Tapi apa yang diberikan dalam program komunikasi itu? Hanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menonjol, selebihnya hanya kalimat-kalimat normatif. Kosong. Tak ada janji yang pasti untuk membantu rakyat.

Apakah negeri ini harus menaikkan harga BBM? Itu memang debatable. Apakah kenaikan harga BBM menimbulkan dampak? Itu pasti. Namun demikian, ternyata cuma BLT yang bisa dimuntahkan pemerintahan SBY setelah 4 tahun diberi kesempatan mengelola negeri ini. Padahal kenaikan harga BBM sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga seharusnya sudah ada strategi jitu untuk meredam gonjang-ganjingnya dengan misalnya memberdayakan rakyat, bukan dengan hanya BLT. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ini sudah muncul dampak buruk dari BLT sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Ternyata meski kenaikkan BBM sudah diprediksi sebelumnya, ternyata pemerintah SBY masih juga tidak siap dengan pelaksanaan BLT.

Sebenarnya program komunikasi ini adalah kesempatan bagus untuk menunjukkan, bahwa pemerintah SBY sungguh-sungguh membela rakyat, bukan cuma tunduk kepada kepentingan asing, menambah hutang dan menjual ratusan trilyun rupiah harta kekayaan negeri ini serta tidak mampu mengejar ratusan trilyunan rupiah yang dibawa kabur konglomerat hitam.

Sri Mulyani dan yang lain-lain di dalam program komunikasi itu, meski bergelar Doctor sebagaimana orang-orang di sekitar SBY, memang hanya seorang menteri keuangan yang mungkin hanya mampu memenuhi selera ringan SBY dalam memasak resep pengelolaan negeri ini. Malah kebijakan menaikkan BBM telah membuat menteri-menteri lainnya menyeringai lebar karena seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan kenaikkan BBM ini. Lihat misalnya menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang membuat minyak Indonesia menguap entah kemana.. Juga menteri pekerjaan umum yang tidak pernah mampu menyediakan infrastruktur jalan yang baik. Atau menteri perhubungan yang malah menyuburkan pungli di jalan-jalan.

Mereka memang bukan ratu adil seperti yang ditulis oleh Joyoboyo yang akan membawa rakyat keluar dari kubangan sepanjang puluhan tahun berdirinya republik ini. Bahkan nampaknya semangat kebangkitan nasional yang pertama kali diikrarkan 100 tahun lalu masih terus hanya menjadi omong-kosong belaka, meski republik telah dibangun di negeri ini, meski Soeharto telah digulingkan, meski reformasi telah digelar, meski 2 kali pemilu yang katanya "demokratis" telah dilemparkan ke rakyat.

Rakyat menunggu janji yang lebih dari sekedar BLT, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bukan hanya sekedar mengundang investor dari luarnegeri untuk membangun pabrik. Tapi juga menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru atau peluang-peluang usaha baru. Rakyat sendiri sudah sejak lama menciptakan peluang-peluangnya sendiri, misalnya dengan menjadi pengusaha kaki lima. Sayang upaya mandiri mereka ini dianggap sebagai pekerjaan kriminal. Mereka dikejar, diburu, ditumpas sebagaimana musuh berbahaya bagi negara. Jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki lima, tetapi mengapa mereka tidak pernah diberi solusi untuk mendapat kesempatan berusaha atau berpenghasilan?

Sekali lagi program komunikasi ini terlambat. Seharusnya itu dibuat sejak gonjang-ganjing kenaikan BBM pertama kali dilemparkan beberapa minggu lalu. Kini demo-demo anti kenaikan BBM sudah menjadi menggila, amat emosional, kehilangan akal sehat dan menyedihkan di mana-mana. Para aparat keamanan yang juga terkena dampak dari kenaikan BBM ini harus dijadikan garda rapuh yang menyedihkan oleh pemerintahan SBY. Padahal para aparat keamanan ini juga memiliki anak, adik, keponakan, saudara, tetangga, teman yang menjadi mahasiswa pendemo. Sungguh sebuah situasi kebangsaan yang sebenarnya amat memilukan kita sebagai bangsa yang terus-menerus harus berkubang (bukan menggeliat bangun atau bangkit) di dalam soal-soal yang sialnya bukan soal-soal yang digdaya atau soal-soal yang bermartabat, seperti bagaimana ikut menyelamatkan planet Bumi ini bagi anak cucu di masa depan. Bukan soal-soal menciptakan perdamaian. Bukan soal-soal membantu korban bencana. Bukan juga soal-soal bagaimana menciptakan hidup yang lebih mulia dengan teknologi, misalnya. Semua persoalan bau ketek ini sekali lagi (atau lagi-lagi) dilemparkan oleh pemenang pemilu yang diselenggarakan dengan biaya mahal dari keringat dan darah rakyat.

Bangsa ini atau negeri ini menjadi rusak bukan karena bangsa ini bangsa yang disebut indon sebagaimana disebut beberapa orang Malaysia untuk merendahkan kita. Juga bukan karena kita memang bangsa kere atau bangsa budak, tetapi karena kita secara sial telah memilih manusia-manusia tempe (karena kedelainya diimport dari Cina atau Amerika). Kita telah memilih para pemimpin amoral karena mereka tidak mau bekerja keras sampai titik darah penghabisan untuk mengelola negeri ini.


Jojo Rahardjo

Tuesday, May 20, 2008

BBM NAIK, LALU APA?

Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html

Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun katanya negeri ini sudah direformasi.


gerombolan ini lewat... dan bikin macet rakyat.... Ingat BBM mahal, nyong.... (photo: Jojo R.)

Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada negeri ini sekarang dan di masa depan.

Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan bermuara pada kekacauan lagi.

Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu “maju kena, mundur kena” juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari gonjang-ganjing.

Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM ini diambil?

Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan pro rakyat
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk tidak akan menaikkan BBM.

Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang percuma setiap harinya di seantero jabodetabek.

Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama ini simpang siur alias misterius.

Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban terbesar APBN.

Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah.

Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut John S. Karamoy, Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas Association dan president director PT. Medco Energy International
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung kecil yang biasa digunakan di rumah tangga.

Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat masyarakat menjadi jelas.

Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat saja pada 14 Mei lalu
( http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif semacam ini: “kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk menyelamatkan APBN dan negeri ini”. Padahal tentu rakyat tidak mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini hampir separuh dari APBN.

Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?

Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon dalam pemilu 2004 lalu.

Jojo Rahardjo

Thursday, April 17, 2008

NEGARA GAGAL?

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.03.00493523&channel=2&mn=158&idx=158
Kamis, 3 April 2008 00:49 WIB

Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.
Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?

Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.

Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.

Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan sebelum permasalahannya diakui.

Inefisien

Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya, inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?

Apakah negara gagal? Apakah ”negara” itu: apakah pemerintah saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan peradilan. Apakah makna ”gagal”: bukankah tidak terjadi kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi pengunjung?

Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk. Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.
Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau menjatuhkan.

Keriuhan arena publik

Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian? Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD. Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.

Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua, dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan merusak moralitas ekonomi bangsa.

Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat hubungan baru (eksklusivisme), profesionalisme yang tidak berkembang, dan sebagainya.
Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur. Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).

Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas Indonesia

Friday, March 28, 2008

Negara Gagal Berdayakan Masyarakat

http://kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.28.01062497&channel=2&mn=154&idx=154

KOMPAS, Jumat, 28 Maret 2008 01:06 WIB


Jakarta, Kompas - Kemunculan sejumlah kasus ibu yang membunuh anaknya, jika dicermati, terkait pula dengan kegagalan negara memberdayakan komunitas lokal di masyarakat. Kondisi itu diperparah dengan mencairnya ikatan sosial sehingga tercipta ”kesendirian” di tengah susah dan beratnya beban kehidupan.


Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, B Herry-Priyono, Kamis (27/3) di Jakarta, mengatakan, desentralisasi yang diterapkan belum mampu memberdayakan komunitas lokal untuk terciptanya daya dukung sosial yang lebih baik. ”Padahal, komunitas yang kuat merupakan jaring pengaman sosial yang efektif,” ujarnya.


Diwartakan sebelumnya terjadi beberapa kasus pembunuhan anak oleh ibunya dalam satu bulan terakhir, seperti di Bekasi, Jawa Barat, dan Pekalongan, Jawa Tengah. Kasus serupa terjadi di Malang, Jawa Timur. Pembunuhan tersebut antara lain didasari oleh kesulitan ekonomi.
Menurut Herry-Priyono, pembunuhan anak oleh ibunya tidak dapat digeneralisasi motifnya. Hanya saja, dalam sejarah dan tradisi pemikiran manusia memang ada pembunuhan yang dilandasi dengan cara berpikir bahwa lebih baik tiada, tetapi dengan kehormatan daripada hidup tanpa kehormatan. ” Kehormatan itu dapat berupa kesehatan dan kesejahteraan,” ujarnya
Menurut Herry-Priyono, secara konstitusional, pemerintah seharusnya bertugas menciptakan kesejahteraan dan keamanan. Namun, kenyataannya, situasi politik mendorong pemerintah tidak merasa bertanggung jawab dan menyerahkan masalah kepada masyarakat. Masyarakat dituntut dapat mengurus dirinya sendiri. ”Tanggung jawab negara tersebut dilepaskan satu per satu sehingga bebannya berada di masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga keamanan,” ujarnya.


Majelis taklim hingga PKK


Dalam kondisi beban masyarakat yang sangat berat, komunitas lokal sesungguhnya menjadi tumpuan. Termasuk dalam komunitas lokal ini adalah kelompok-kelompok pengajian atau majelis taklim hingga pemberdayaan kesejahteraan keluarga yang perannya mulai pudar.
Persoalannya, pemberdayaan terhadap komunitas lokal tidak menjadi perhatian serius pemerintah. ”Departemen Dalam Negeri dapat berperan besar dalam pemberdayaan komunitas tersebut,” ujarnya.


Sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, berpendapat senada. Menurut dia, banyaknya kasus pembunuhan anak oleh ibunya menunjukkan betapa lemahnya daya kohesi atau ikatan sosial dalam masyarakat. Dia meyakini, kalau individu masih mempunyai tempat bergantung dan mendapatkan solusi, keputusasaan yang berujung pada pembunuhan tidak akan terjadi.


”Saat ini sepertinya orang sudah kehilangan harapan dan tempat mencari bantuan sehingga memilih menyelesaikan masalah sendiri dalam keputusasaannya,” ujarnya.

Karena itu, mengoptimalkan peran komunitas sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. (INE)

Sunday, March 02, 2008

KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA

photo Yusran Pare dari Tribun Jabar


Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.

Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?

Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.

Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.

Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?

Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.

Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.

Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.

Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.

Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.

Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.

Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”

Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”

Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”

Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”

Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”

Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?