Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Thursday, May 29, 2008

DEMO MENGGILA, PEMERINTAH MASA BODOH

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html

BBM sudah dinaikkan pada 24 Mei 2008 oleh pemerintahan SBY. Apa boleh buat. Meski “ocehan” pemerintah tentang menyelamatkan APBN cukup membingungkan, namun rakyat terpaksa menerimanya. Namun sayang, apa yang ditunggu rakyat dari Pemerintah SBY tak kunjung muncul. Apa yang ditunggu rakyat?

Sejak beberapa hari terakhir ini di beberapa stasiun TV (mungkin semua?) menayangkan sebuah program komunikasi yang dibuat oleh "Save Our Nation" mengenai “mengapa harga BBM dinaikan”. Kampanye itu dibuka dengan munculnya Sri Mulyani, sang menteri keuangan negeri ini. Untuk kapasitasnya sebagai seorang akademisi dan menteri dari sebuah negeri morat-marit, sungguh Sri Mulyani ini amat mengecewakan, karena mau menjadi bagian dari sebuah program komunikasi dari pemerintah SBY yang terlambat dan nampak ragu-ragu arahnya, sehingga hasilnya hanya menambah luka rakyat. Mengapa begitu?

Sri Mulyani, Marie Pangestu, Andi Malarangeng, Aburizal Bakrie dalam program komunikasi itu mengatakan hal-hal yang lebih tepat digolongkan atau diklasifikasikan sebagai "curhat". Bukan sebuah wejangan seorang pemimpin kepada rakyatnya yang sedang gundah, panik, bingung, putus harapan, dan merasa dianiaya. Rakyat tentu berharap wejangan seorang pemimpin akan kira-kira seperti ini: "Tunggu dalam waktu yang tidak lama lagi, kami akan segera mengeluarkan pengumuman mengenai rincian program-program kami untuk membantu rakyat agar rakyat bisa melalui dengan selamat kebijakan pahit yang telah kami putuskan." Tapi apa yang diberikan dalam program komunikasi itu? Hanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menonjol, selebihnya hanya kalimat-kalimat normatif. Kosong. Tak ada janji yang pasti untuk membantu rakyat.

Apakah negeri ini harus menaikkan harga BBM? Itu memang debatable. Apakah kenaikan harga BBM menimbulkan dampak? Itu pasti. Namun demikian, ternyata cuma BLT yang bisa dimuntahkan pemerintahan SBY setelah 4 tahun diberi kesempatan mengelola negeri ini. Padahal kenaikan harga BBM sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga seharusnya sudah ada strategi jitu untuk meredam gonjang-ganjingnya dengan misalnya memberdayakan rakyat, bukan dengan hanya BLT. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ini sudah muncul dampak buruk dari BLT sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Ternyata meski kenaikkan BBM sudah diprediksi sebelumnya, ternyata pemerintah SBY masih juga tidak siap dengan pelaksanaan BLT.

Sebenarnya program komunikasi ini adalah kesempatan bagus untuk menunjukkan, bahwa pemerintah SBY sungguh-sungguh membela rakyat, bukan cuma tunduk kepada kepentingan asing, menambah hutang dan menjual ratusan trilyun rupiah harta kekayaan negeri ini serta tidak mampu mengejar ratusan trilyunan rupiah yang dibawa kabur konglomerat hitam.

Sri Mulyani dan yang lain-lain di dalam program komunikasi itu, meski bergelar Doctor sebagaimana orang-orang di sekitar SBY, memang hanya seorang menteri keuangan yang mungkin hanya mampu memenuhi selera ringan SBY dalam memasak resep pengelolaan negeri ini. Malah kebijakan menaikkan BBM telah membuat menteri-menteri lainnya menyeringai lebar karena seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan kenaikkan BBM ini. Lihat misalnya menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang membuat minyak Indonesia menguap entah kemana.. Juga menteri pekerjaan umum yang tidak pernah mampu menyediakan infrastruktur jalan yang baik. Atau menteri perhubungan yang malah menyuburkan pungli di jalan-jalan.

Mereka memang bukan ratu adil seperti yang ditulis oleh Joyoboyo yang akan membawa rakyat keluar dari kubangan sepanjang puluhan tahun berdirinya republik ini. Bahkan nampaknya semangat kebangkitan nasional yang pertama kali diikrarkan 100 tahun lalu masih terus hanya menjadi omong-kosong belaka, meski republik telah dibangun di negeri ini, meski Soeharto telah digulingkan, meski reformasi telah digelar, meski 2 kali pemilu yang katanya "demokratis" telah dilemparkan ke rakyat.

Rakyat menunggu janji yang lebih dari sekedar BLT, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bukan hanya sekedar mengundang investor dari luarnegeri untuk membangun pabrik. Tapi juga menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru atau peluang-peluang usaha baru. Rakyat sendiri sudah sejak lama menciptakan peluang-peluangnya sendiri, misalnya dengan menjadi pengusaha kaki lima. Sayang upaya mandiri mereka ini dianggap sebagai pekerjaan kriminal. Mereka dikejar, diburu, ditumpas sebagaimana musuh berbahaya bagi negara. Jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki lima, tetapi mengapa mereka tidak pernah diberi solusi untuk mendapat kesempatan berusaha atau berpenghasilan?

Sekali lagi program komunikasi ini terlambat. Seharusnya itu dibuat sejak gonjang-ganjing kenaikan BBM pertama kali dilemparkan beberapa minggu lalu. Kini demo-demo anti kenaikan BBM sudah menjadi menggila, amat emosional, kehilangan akal sehat dan menyedihkan di mana-mana. Para aparat keamanan yang juga terkena dampak dari kenaikan BBM ini harus dijadikan garda rapuh yang menyedihkan oleh pemerintahan SBY. Padahal para aparat keamanan ini juga memiliki anak, adik, keponakan, saudara, tetangga, teman yang menjadi mahasiswa pendemo. Sungguh sebuah situasi kebangsaan yang sebenarnya amat memilukan kita sebagai bangsa yang terus-menerus harus berkubang (bukan menggeliat bangun atau bangkit) di dalam soal-soal yang sialnya bukan soal-soal yang digdaya atau soal-soal yang bermartabat, seperti bagaimana ikut menyelamatkan planet Bumi ini bagi anak cucu di masa depan. Bukan soal-soal menciptakan perdamaian. Bukan soal-soal membantu korban bencana. Bukan juga soal-soal bagaimana menciptakan hidup yang lebih mulia dengan teknologi, misalnya. Semua persoalan bau ketek ini sekali lagi (atau lagi-lagi) dilemparkan oleh pemenang pemilu yang diselenggarakan dengan biaya mahal dari keringat dan darah rakyat.

Bangsa ini atau negeri ini menjadi rusak bukan karena bangsa ini bangsa yang disebut indon sebagaimana disebut beberapa orang Malaysia untuk merendahkan kita. Juga bukan karena kita memang bangsa kere atau bangsa budak, tetapi karena kita secara sial telah memilih manusia-manusia tempe (karena kedelainya diimport dari Cina atau Amerika). Kita telah memilih para pemimpin amoral karena mereka tidak mau bekerja keras sampai titik darah penghabisan untuk mengelola negeri ini.


Jojo Rahardjo

Tuesday, May 20, 2008

BBM NAIK, LALU APA?

Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html

Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun katanya negeri ini sudah direformasi.


gerombolan ini lewat... dan bikin macet rakyat.... Ingat BBM mahal, nyong.... (photo: Jojo R.)

Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada negeri ini sekarang dan di masa depan.

Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan bermuara pada kekacauan lagi.

Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu “maju kena, mundur kena” juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari gonjang-ganjing.

Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM ini diambil?

Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan pro rakyat
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk tidak akan menaikkan BBM.

Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang percuma setiap harinya di seantero jabodetabek.

Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama ini simpang siur alias misterius.

Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban terbesar APBN.

Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah.

Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut John S. Karamoy, Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas Association dan president director PT. Medco Energy International
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung kecil yang biasa digunakan di rumah tangga.

Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat masyarakat menjadi jelas.

Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat saja pada 14 Mei lalu
( http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif semacam ini: “kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk menyelamatkan APBN dan negeri ini”. Padahal tentu rakyat tidak mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini hampir separuh dari APBN.

Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?

Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon dalam pemilu 2004 lalu.

Jojo Rahardjo