Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Friday, March 28, 2008

Negara Gagal Berdayakan Masyarakat

http://kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.28.01062497&channel=2&mn=154&idx=154

KOMPAS, Jumat, 28 Maret 2008 01:06 WIB


Jakarta, Kompas - Kemunculan sejumlah kasus ibu yang membunuh anaknya, jika dicermati, terkait pula dengan kegagalan negara memberdayakan komunitas lokal di masyarakat. Kondisi itu diperparah dengan mencairnya ikatan sosial sehingga tercipta ”kesendirian” di tengah susah dan beratnya beban kehidupan.


Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, B Herry-Priyono, Kamis (27/3) di Jakarta, mengatakan, desentralisasi yang diterapkan belum mampu memberdayakan komunitas lokal untuk terciptanya daya dukung sosial yang lebih baik. ”Padahal, komunitas yang kuat merupakan jaring pengaman sosial yang efektif,” ujarnya.


Diwartakan sebelumnya terjadi beberapa kasus pembunuhan anak oleh ibunya dalam satu bulan terakhir, seperti di Bekasi, Jawa Barat, dan Pekalongan, Jawa Tengah. Kasus serupa terjadi di Malang, Jawa Timur. Pembunuhan tersebut antara lain didasari oleh kesulitan ekonomi.
Menurut Herry-Priyono, pembunuhan anak oleh ibunya tidak dapat digeneralisasi motifnya. Hanya saja, dalam sejarah dan tradisi pemikiran manusia memang ada pembunuhan yang dilandasi dengan cara berpikir bahwa lebih baik tiada, tetapi dengan kehormatan daripada hidup tanpa kehormatan. ” Kehormatan itu dapat berupa kesehatan dan kesejahteraan,” ujarnya
Menurut Herry-Priyono, secara konstitusional, pemerintah seharusnya bertugas menciptakan kesejahteraan dan keamanan. Namun, kenyataannya, situasi politik mendorong pemerintah tidak merasa bertanggung jawab dan menyerahkan masalah kepada masyarakat. Masyarakat dituntut dapat mengurus dirinya sendiri. ”Tanggung jawab negara tersebut dilepaskan satu per satu sehingga bebannya berada di masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga keamanan,” ujarnya.


Majelis taklim hingga PKK


Dalam kondisi beban masyarakat yang sangat berat, komunitas lokal sesungguhnya menjadi tumpuan. Termasuk dalam komunitas lokal ini adalah kelompok-kelompok pengajian atau majelis taklim hingga pemberdayaan kesejahteraan keluarga yang perannya mulai pudar.
Persoalannya, pemberdayaan terhadap komunitas lokal tidak menjadi perhatian serius pemerintah. ”Departemen Dalam Negeri dapat berperan besar dalam pemberdayaan komunitas tersebut,” ujarnya.


Sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, berpendapat senada. Menurut dia, banyaknya kasus pembunuhan anak oleh ibunya menunjukkan betapa lemahnya daya kohesi atau ikatan sosial dalam masyarakat. Dia meyakini, kalau individu masih mempunyai tempat bergantung dan mendapatkan solusi, keputusasaan yang berujung pada pembunuhan tidak akan terjadi.


”Saat ini sepertinya orang sudah kehilangan harapan dan tempat mencari bantuan sehingga memilih menyelesaikan masalah sendiri dalam keputusasaannya,” ujarnya.

Karena itu, mengoptimalkan peran komunitas sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. (INE)

Sunday, March 02, 2008

KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA

photo Yusran Pare dari Tribun Jabar


Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.

Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?

Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.

Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.

Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?

Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.

Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.

Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.

Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.

Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.

Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.

Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”

Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”

Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”

Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”

Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”

Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?