Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Wednesday, September 12, 2007

SEPUTAR GUGATAN CLASS ACTION

SEBUAH ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT UNTUK IKUT BERPARTISIPASI DALAM MENGELOLA NEGERI INI.

Media Konsumen 11 September 2007

Sebagaimana sudah kita ketahui, karena permintaan banyak warga di seantero Jakarta, YLKI dan LBH saat ini sedang mengupayakan sebuah gugatan class action terhadap menteri PU dan Jasamarga karena telah menaikkan tarif tol seenaknya sehingga merugikan masyarakat (tidak hanya) pengguna jalan tol tetapi juga pengguna jalan raya secara umum. Rupanya arti jalan tol telah disederhanakan oleh pemerintah dan Jasamarga menjadi urusan iklim investasi jalan tol semata.

gambar dari Liputan 6 SCTV


Ketika beberapa bulan lalu terdengar kabar pemerintah SBY akan menaikkan tarif tol, banyak yang mengira bahwa niat pemerintah itu bakal tak ada yang bisa menghalangi. Komisi V DPR yang mengurus soal-soal antara lain perhubungan selain melempem, ternyata juga tidak memiliki martabat karena mau menerima fasilitas dari pemerintah dan Jasamarga untuk bisa menggunakan jalan tol secara gratis. Nama-nama mereka silahkan diingat-ingat agar tidak kita tidak tertipu lagi di Pemilu 2009 nanti ( http://www.dpr.go.id/dpr/komisi.php?kom=Komisi%20V ).

Situasi itu diperburuk lagi, karena ternyata ada Undang Undang No.38/2004 tentang Jalan yang menjadikan Komisi V DPR membusuk di gedung DPR yang megah itu karena terlalu banyak melongo tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif jalan tol atau terhadap kebijakan pemerintah dalam mengurus jalan tol yang amburadul.

Namun akhir bulan Agustus lalu, situasi suram masyarakat pengguna jalan tol dan jalan raya (yang ikut kebagian getahnya) tiba-tiba mendapatkan sedikit harapan setelah YLKI dan LBH bersedia membantu masyarakat untuk mengupayakan sebuah gugatan class action yang akan didaftarkan di pengadilan Jakarta Pusat tanggal 12 September ini. Akhir Agustus lalu itu, hanya dalam waktu beberapa hari saja setelah berita rencana gugatan class action itu, bermunculan berbagai dukungan untuk upaya ini. Gugatan class action ini bahkan juga akan diteruskan pada upaya untuk ke Mahkamah Konstitusi untuk memperkarakan UU tentang jalan yang dapat dan telah dapat ditafsirkan secara aneh oleh menteri PU dan Jasamarga.

Sebagaimana yang sudah ditulis oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tentang class action di situs ELSAM, www.elsam.or.id , bahwa “Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.” Harapan masyarakat pengguna jalan raya pun bertambah cerah. Bahkan apa yang disampaikan oleh ELSAM ini juga memberikan harapan pada seluruh lapisan masyarakat yang sering menjadi korban dari perilaku durjana para pejabat publik yang merasa jabatan yang dimilikinya membuat masyarakat tidak bisa mengkoreksi kebijakan yang diambilnya.

Class action ini akhirnya nanti bisa mendorong pejabat publik untuk melakukan apa yang sekarang populer dengan sebutan “konsultasi publik” sebelum mengambil sebuah kebijakan penting atau yang bisa berdampak luas pada masyarakat. Dalam kasus jalan tol, mungkin pejabat publik yang berkaitan tidak hanya bersifat durjana, tetapi juga sekaligus tolol dalam mengelola jalan tol sehingga selain mereka tidak bisa memberi iklim investasi yang baik bagi pengusaha jalan tol tetapi juga sekaligus tidak bisa memberi kepuasan bagi pengguna jalan tol (juga kerugian!).

Bahkan gugatan class action ini juga nanti bisa untuk menyeleksi pejabat-pejabat tolol yang memperoleh jabatannya hanya karena berkat partai politik yang memilihnya bukan karena rakyat yang memilihnya. Contoh yang paling anyar adalah jabatan gubernur Jakarta yang baru saja terpilih. Fauzi Bowo tidak dipilih oleh rakyat untuk bisa menduduki jabatan strategis itu, karena partai lah yang memiliki kesempatan pertama untuk memilih Fauzi Bowo atau calon gubernur lainnya. Setelah dipilih partai, baru lah rakyat memiliki kesempatan memilih. Sebuah cara berdemokrasi yang justru sebenarnya menjauhkan kita dari tujuan demokrasi.

Banyak pihak yang kuatir gubernur Jakarta yang baru ini akan menjalankan tugasnya dengan cara-cara membayar imbal-balik kepada partai-partai yang telah mengusungnya menjadi gubernur. Orientasi tugasnya dikuatirkan bukan pada kesejahteraan rakyat.

Di sinilah peran gugatan class action menjadi penting. Gugatan class action bisa digunakan untuk mengkoreksi gubernur yang baru nanti atau bahkan bisa digunakan untuk memaksa gubernur untuk selalu melakukan konsultasi publik ketika akan mengambil sebuah kebijakan publik yang penting atau bisa berdampak amat luas di masyarakat. Gugatan class action ini juga diharapkan bisa mendorong sebuah proses seleksi terhadap kapasitas atau kemampuan pejabat publik dalam bekerja. Jadi pejabat yang tolol silahkan dipinggirkan.

Contoh ketololan-ketololan pejabat publik sebenarnya banyak sekali terlihat atau dirasakan oleh masyarakat sehari-hari. Namun mungkin karena masyrakat sudah terlalu lama, puluhan tahun, ditololi, maka tidak seorang pun protes atau melakukan protes secara sungguh-sungguh atau secara efektif. Contoh sebuah ketololan pejabat publik adalah ketika memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang sudah macet adalah selalu dengan tidak memperdulikan kenyamanan atau kelancaran pengguna jalan. Mentang-mentang sedang memperbaiki jalan atau memperlebar jalan, maka jalan boleh dibikin macet parah berbulan-bulan lamanya. Ini menggambarkan tidak hanya ketololan pejabat publik tetapi juga sekaligus sifat durjana. Busway atau jalur khusus untuk (hanya) bis TransJakarta pun adalah sebuah contoh lain yang paling nyata dari ketololan dan kedurjanaan para pengelola kota Jakarta. Ketika tersedia contoh sistem transportasi umum lain yang terbukti baik dan telah diterapkan oleh banyak negara di Asia, Sutiyoso malah memilih sebuah sistem transportasi yang hanya digunakan di satu kota jauh di Amerika Latin, Bogota, Columbia. Lihat sekarang, jalur TransJakarta selain belum menunjukkan gunanya, jalur TransJakarta telah menghasilkan kemacetan baru di mana-mana karena belum dioperasikannya sistem transportasi umum ini secara penuh. Entah kapan beroperasi penuh…. TransJakarta yang menuntut jalur khusus itu kini ditolak di wilayah Pondok Indah karena dianggap akan merusak penghijauan dan akan menghasilkan keamburadulan jalan raya.

Contoh ketololan lainnya adalah bagaimana pemerintah daerah Jakarta menghadapi banjir di musim hujan yang bertambah parah setiap tahun. Pemerintah lebih suka berinvestasi dengan sangat besar pada banjir kanal yang banyak dikritik para ahli tata kota dan lingkungan hidup karena tidak akan maksimal mengatasi banjir di Jakarta. Konsep banjir kanal itu adalah warisan jaman Belanda yang situasi kota Jakarta di jaman sekarang sudah berubah sangat banyak. Semestinya sekarang Jakarta menyediakan banyak sumur-sumur resapan atau danau-danau (bukan puluhan mall) yang selain baik untuk lingkungan juga lebih murah dan efektif untuk mengatasi curah hujan yang tinggi di waktu musim hujan.

Contoh lain lagi adalah kegiatan penggusuran terhadap masyarakat miskin kota yang kian hari kian membuat kita ikut menjadi makhluk durjana, karena kian hari kita makin tidak peduli dengan keamburadulan rasa kemanusiaan orang-orang yang mengelola kota-kota besar kita ini. Pada banyak kasus, orang-orang miskin digusur justru setelah status tinggalnya diresmikan sendiri oleh pejabat di wilayah penggusuran itu dengan memberikan KTP, atau bahkan memungut retribusi atau Pajak Bumi dan Bangunan. Semestinya jika mereka digusur, maka berikan juga sangsi pada pejabat di wilayah itu yang telah membiarkan mereka bertahun-tahun tinggal bahkan bermatapencaharian di situ. Sekali lagi, barangkali gugatan class action bisa digunakan untuk persoalan seperti ini.

Class action juga bisa digunakan untuk menggugat perusahaan yang merugikan ribuan bahkan jutaan konsumennya seperti perusahaan kartu kredit di Indonesia. Sebagaimana bisa terlihat di http://www.mediakonsumen.com/ ini, kartu kredit adalah industri yang paling menguntungkan namun paling banyak menghasilkan keluhan dan kerugian finansial dan kerugiaan moril pada pemegang kartu kredit. Dengan berbagai cara perusahaan kartu kredit selalu lebih “cerdik” dalam menguras uang konsumennya. Salah satunya adalah dengan membebankan biaya meterai kepada pemegang KK pada setiap lembar penagihan. Padahal dasar hukumnya tidak ditemukan. Salah satu perusahaan KK yang melakukan ini adalah Citibank.

Hagus S. seorang warga Jawa Barat sebagaimana surat-suratnya di http://www.mediakonsumen.com/ ini telah dengan gigih mempertanyakan dan menolak untuk membayar bea meterai ini kepada Citibank. Salah satu alasannya adalah Citibank tidak bisa membuktikan biaya meterai itu sampai ke Dirjen Pajak atau Departemen Keuangan negeri ini. Sehingga tentu saja bea meterai yang dibebankan kepada pemegang KK bisa menguntungkan Citibank bermilyar-milyar Rupiah. Citibank akhirnya mengembalikan uang Hagus S. Sayang hanya Hagus S. saja yang dikembalikan. Bukan semua pemegang KK Citibank lainnya atau bahkan semua pemegang KK dari perusahaan lainnya.

Sekali lagi gugatan class action mungkin sebuah titik cerah bagi masyarakat yang butuh dan sudah saatnya lebih aktif ikut berpartisipasi dalam ikut mengelola negeri ini yang terlalu lama amburadul.

Jojo Rahardjo

31 comments:

Anonymous said...

BbCTfF Very good blog! Thanks!

Anonymous said...

HNK4CJ Please write anything else!

Anonymous said...

Magnific!

Anonymous said...

Good job!

Anonymous said...

Hello all!

Anonymous said...

Magnific!

Anonymous said...

Hello all!

Anonymous said...

Thanks to author.

Anonymous said...

Thanks to author.

Anonymous said...

Good job!

Anonymous said...

Please write anything else!

Anonymous said...

sLYqe4 write more, thanks.

Anonymous said...

Good job!

Anonymous said...

actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.

Anonymous said...

Wonderful blog.

Anonymous said...

actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.

Anonymous said...

Magnific!

Anonymous said...

Good job!

Anonymous said...

Wonderful blog.

Anonymous said...

Wonderful blog.

Anonymous said...

actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.

Anonymous said...

Please write anything else!

Anonymous said...

Wonderful blog.

Anonymous said...

Wonderful blog.

Anonymous said...

actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.

Anonymous said...

actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.

Anonymous said...

Nice Article.

Anonymous said...

When there's a will, I want to be in it.

Anonymous said...

All generalizations are false, including this one.

Anonymous said...

Thanks to author.

Anonymous said...

Save the whales, collect the whole set