Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Tuesday, June 10, 2008

BBM dan Ideologi Kekerasan Di Negeri Morat-Marit

http://www.mediakonsumen.com/Artikel2470.html

Apa yang terjadi setelah BBM dinaikkan? Yang paling gampang terlihat, karena sering menjadi berita di berbagai media, adalah mengeluhnya pengemudi kendaraan umum dan penumpangnya. Salah satu keluhan para pengemudi angkutan umum itu adalah dilema dalam menaikkan tarifnya, karena kuatir penumpang berkurang. Jika tidak mereka naikkan, maka penghasilan mereka yang sebelum BBM dinaikkan sudah kurang dari layak akan semakin berkurang.

Misalnya di salah satu TV swasta, seorang pengemudi taxi mengungkapkan, sekarang ia hanya bisa pulang ke rumah dengan mengantongi uang maksimal RP20.000,- setiap harinya, padahal sebelumnya bisa mencapai RP50.000,-. Dengan uang RP50.000 sehari saja, saya sulit membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka bersama keluarganya untuk bisa hidup layak, sehat dan apalagi untuk membangun masadepan keluarga mereka yang kompetitif. Saya sulit membayangkan bagaimana membiayai anak-anak mereka supaya tetap sehat dan bagaimana membiayai pendidikan yang cukup supaya bisa bersaing di masa depan nanti.

Itu sebabnya para pengemudi ini memiliki alasan yang tidak terhindari untuk saling serobot, melanggar rambu lalu-lintas, tidak perlu santun, dan lain-lain perilaku buruk di jalan. Demo sudah mereka lakukan sejak hari pertama BBM dinaikkan. Beberapa demo mereka sangat emosional. Tetapi akhirnya mereka menyadari demo tidak bisa mereka teruskan karena mereka bukan pada posisi untuk dapat berdemo, karena ketika mereka berdemo, mereka tidak menghasilkan uang, padahal tabungan pun tidak punya juga. Betapa takdir hidup mereka di tangan pemerintah, bukan di tangan Tuhan….

Apa pun yang terjadi, tarif angkutan umum akhirnya dinaikkan secara resmi oleh pemerintah. Namun berapa pun kenaikan tarif angkutan umum itu, apakah kenaikannya bisa mengatasi kesulitan hidup para pengemudi itu? Tentu tidak, karena daya beli mereka sudah berkurang karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kesulitan hidup mereka tentu bertambah, sehingga yang paling gampang mereka lakukan adalah tetap menjadi setan jalanan, bahkan dengan tingkat yang lebih parah lagi agar uang yang mereka bawa pulang bertambah. Polisi pun tetap berada dalam situasi yang gamang, antara menertibkan dengan menegakkan hukum dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan sepihak. Situasi jalanan yang tanpa hukum ini, tentu juga berpengaruh pada pengemudi kendaraan pribadi yang akhirnya juga ikut-ikutan menjadi biadab. Maka, akhirnya jalan raya kota-kota besar di Indonesia akan terus menjadi potret morat-maritnya sebuah negeri. Siapa pun yang datang ke Indonesia akan langsung menyaksikan kebiadaban para pengemudi kendaraan, baik yang umum maupun pribadi. Sebuah situasi yang konyol dan memalukan.

Kritik saya di atas bukan tanpa tawaran solusi atau saran. Menurut saya, sudah saatnya pemerintah memberikan tunjangan kepada para pengemudi angkutan umum ini. Meski pun langkah ini sesaat dan menyerderhanakan persoalan, tetapi itu lebih baik dibanding tidak melakukan apa pun untuk mengurangi dampak kenaikan BBM pada sektor transportasi umum di perkotaan. Tunjangan itu terutama diberikan untuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Supaya kesempatan mereka untuk berubah nasib menjadi lebih besar. Jika orangtuanya hanya pengemudi angkutan umum, maka berilah kesempatan pada anak-anaknya untuk menjadi lebih baik dari itu, dengan memberikan mereka kesehatan yang baik dan pendidikan yang cukup. Selebihnya orang tua tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya.

Kemudian jika mau lebih jauh lagi menangani angkutan umum di kota-kota besar, tentu harus juga memikirkan konsep yang lebih terpadu. Misalnya di dalam konsep yang lebih terpadu itu diperhitungkan penggunaan BBM secara efisien. Misalnya, jenis kendaraan yang digunakan dalam transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan tipe kecil dengan kapasitas 10 atau 12 orang (seperti angkot atau mikrolet) tentu harus dipertimbangkan karena lebih boros BBM dibandingkan kendaraan dengan kapasitas lebih besar (seperti type Isuzu Elf). Dengan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar ini tentu juga bisa sekaligus mengurangi jumlah kendaraan umum yang berada di jalanan, sehingga jumlah kendaraan umum yang harus berlomba-lomba mendapatkan penumpang pun berkurang. Berkurangnya jumlah kendaraan umum ini bisa mengurangi kesemrawutan lalu-lintas dan tentu mengurangi penyebab gangguan jiwa atau gangguan prilaku bagi rakyat, bahkan mungkin juga bisa mendorong rakyat di lapis bawah untuk tidak mudah tertarik pada ideologi kekerasan.

Apa yang saya tulis di atas hanya contoh saja dari berbagai persoalan hidup di tingkat bawah yang tidak kunjung dicarikan jalan keluarnya sejak dulu hingga sekarang. Padahal persoalan hidup yang meracuni nurani ini bisa menjerumuskan orang untuk mengidap ideologi kekerasan.

Perasaan tidak diperlakukan dengan adil tidak hanya dirasakan oleh pengemudi angkutan umum, tetapi di berbagai sektor. Misalnya pekerja di sektor industri juga paling rentan terhadap ideologi kekerasan. Terutama karena pengusaha sekarang diberi “kehormatan” dan “kemuliaan” yang amat tinggi untuk memberangus masa depan para pekerja Indonesia agar tetap menjadi “kuli kontrak” sejak tahun pertama bekerja hingga tua-renta karena memikul hidup yang berat. Mereka adalah orang-orang yang kurang memiliki kesempatan untuk menambah skill kerjanya dan pendidikannya, namun sayang pemerintah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Mereka telah diberi “takdir” untuk selama-lamanya menjadi “budak” yang angka penghasilannya hanya ditentukan oleh pemerintah dan pengusaha melalui apa yang disebut “upah minimum” setiap beberapa tahun sekali saja.

Belum lagi persoalan-persoalan masyarakat miskin kota yang salah satu pembelanya adalah Wardah Hafidz. Persoalan mereka misalnya, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja atau berpenghasilan, mereka menciptakan usaha kaki-lima untuk memiliki penghasilan. Tapi sayang usaha kaki-lima ini begitu mudah dipandang oleh pemerintah sebagai musuh negara yang pantas diburu dan dimusnahkan dari pemandangan kota-kota besar. Mereka yang bukan karena pilihan bebasnya telah menjadi pengusaha kaki-lima itu tidak diberikan pilihan lain atau solusi jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki-lima. Barangkali pemerintah memang bermaksud untuk menjebak mereka untuk menjadi pencoleng atau penjahat. Atau menjerumuskan mereka ke dalam kelompok yang menyebarkan atau menanam ideologi kekerasan.

Jika persoalan-persoalan kelas bawah seperti itu bisa diminimalkan, tentu kita bisa lebih giat berdoa atau berharap, agar masyarakat bawah tidak mudah tertarik pada para penyebar ideologi kekerasan yang ditawarkan individu, kelompok, organisasi, atau aliran agama apa pun. Meniti kehidupan yang lebih baik atau membangun masa depan yang lebih baik tentu lebih menarik dibandingkan masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang di dalamnya diajarkan kebenaran mutlak hanya miliknya sendiri. Sayangnya kelompok seperti ini sering berlatarbelakang agama.

Kepercayaan kepada Tuhan atau agama sebelum datangnya para nabi yang “samawi” menurut ilmu psikologi dan sosiologi tumbuh karena ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kehidupan ini atau misteri munculnya kehidupan ini dan kemana kehidupan ini berakhir. Pemahaman tentang Tuhan dan agama kemudian terus berkembang lebih jauh menjadi jawaban bagi persoalan bertahan hidup hingga menjadi arah perkembangan peradaban manusia. Agama, bahkan menurut sains, amat dibutuhkan umat manusia. Betapa banyak sekali arah peradaban manusia terinspirasi dari agama. Begitu juga banyak aturan hidup sehari-hari atau aturan hidup bernegara yang berasal atau terinspirasi dari ajaran agama, termasuk larangan untuk melakukan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Bahkan secara individual, kepercayaan kepada Tuhan memberi kepuasan bathin tiada terkira bagi para pencari kebenaran tentang hidup.

Sayangnya sebagian dari kita telah menjadikan pemahaman terhadap agamanya atau keyakinannya sebagai kebenaran mutlak. Dunia ini dianggap hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Orang-orang yang tidak mengikuti mereka atau menghalangi akan dianggap kafir atau musuh yang pantas dilenyapkan. Persoalan berkeyakinan seperti ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak pertama kali manusia mulai mempercayai adanya pencipta, penguasa, dan pengatur kehidupan manusia atau alam semesta. Persoalan ini juga dialami oleh pengikut agama apa pun, di Eropa, Arab, Afrika, Asia atau di mana saja. Tanpa bermaksud menjadi pesimistis terhadap perkembangan peradaban manusia, sejarah umat manusia sebenarnya di berbagai tempat di permukaan Bumi penuh dengan pertumpahan darah beratasnama agama.

Ada pertanyaan besar yang sudah sejak lama ditanyakan banyak orang, yaitu (jika begitu) apakah agama mengajarkan kekerasan? Tentu saya tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena memancing diskusi panjang dan sekaligus memprovokasi adanya kekerasan terhadap diskusi itu. Tulisan ini hanya mencoba mengindentifikasi atau menggambarkan apa-apa yang di luar agama tetapi bisa memicu kekerasan di sekitar kita dengan beratasnama agama.

Namun tulisan ini, akhirnya terpaksa menyinggung sebuah persoalan yang sedang menjadi “hantu perpecahan” di Indonesia akhir-akhir ini dan persoalan ini muncul karena situasi morat-marit yang saya gambarkan di atas. Front Pembela Islam (FPI) disebut telah melakukan kekerasan sepanjang keberadaannya selama 10 tahun terakhir ini dan terutama kekerasan di Monas.

Apakah FPI harus dibubarkan? Begitulah wacana ini menjejali seluruh media akhir-akhir ini. Tentu pembubaran FPI tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya sebagaimana sudah saya gambarkan di atas. Akar persoalan tentu saja bukan Ahmadiyah, sebagaimana dijadikan pembenaran pada kekerasan yang dilakukan FPI di Monas. Ahmadiyah hanya menjadi picu bagi FPI yang terlanjur sering merasa pemerintah tidak mengakomodasikan aspirasi mereka tentang negeri yang saleh tanpa maksiat, tanpa kebobrokan moral, tanpa pertunjukan aurat atau pornography, atau tanpa penodaan agama.

Persoalan Ahmadiyah yang dianggap sesat, menyimpang dan menodai Islam sebaiknya diselesaikan dengan memberi cap bahwa Ahmadiyah sesat. menyimpang dan menodai. Pembubaran Ahmadiyah nampaknya bukan penyelesaian yang baik jika mengambil contoh sikap Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak pernah menggunakan kekerasan ketika menghadapi kelompok lain yang berbeda keyakinan. Saya tidak ingin lebih jauh berargumen mengenai apakah Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, karena itu bukan porsi saya. Tetapi saya yakin porsi saya adalah untuk mengatakan, bahwa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan apa pun termasuk untuk berkeyakinan adalah menyalahi aturan apa pun. Itu berlaku juga untuk orang-orang yang mendorong atau menginspirasikan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi pengikutnya untuk melakukan kekerasan.

Kesalahan pemerintah SBY yang utama adalah bukan karena tidak membubarkan Ahmadiyah, tetapi karena tidak mampu mengurus negeri morat-marit ini. Jadi mari bantu mereka yang menjadi korban kebijakan kenaikan tarif BBM. Mereka adalah misalnya para pengemudi angkutan umum, pekerja yang terus-menerus dikontrak, pengusaha kaki-lima yang diburu seperti musuh negara, atau masyarakat miskin di kota-kota besar yang hidupnya terombang-ambing para gubernur yang terus menerus ingin “membasmi” mereka. Jadi jangan membuang-buang waktu untuk bertengkar satu sama lain dengan menggunakan omong-kosong soal agama.

Jojo Rahardjo

1 comment:

Anonymous said...

Faham kenabian pasca Muhammad saw, yang dianut oleh Ahmadiyah, boleh saja diperdebatkan atau tidak disetujui. Tetapi perdebatan itu terlalu jauh dari yang utama, karena yang paling mendasar dalam keberimanan adalah pengakuan tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasulullah. Ahmadiyah bukan saja tidak lari dari prinsip tersebut, tetapi banyak beramal untuk membina ketauhidan itu.
Amal shaleh Ahmadiyah telah terbukti banyak memperluas pengaruh Islam di daratan Eropa. Sehingga suara adzan telah menembus masyarakat yang terkenal sekuler dan modern. Tidak terhitung berapa banyak orang-orang yang berkehidupan sekuler dan modern di barat yang terpanggil masuk Islam. Masjid-masjid didirikan di sejumlah kota, dan buku-buku tuntunan Islam pun disebar dalam berbagai bahasa. Dan mereka yang masuk Islam berkat dakwah Ahmadiyah bukanlah Muslim yang bersaksi Mirza sebagai rasulullah menggantikan Muhammad, melainkan mereka yang bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasulullah. Bukankah itu suatu amal shaleh yang memang melekat dengan keberimanannya?
Marilah kita jujur dalam menilai Ahmadiyah. Terhadap sesuatu yang berbeda atau menganggap “sesat” sekalipun sejauh disertai dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, silahkan. Namun tidak tepat, kalau ketidaksukaan atau ketidaksesuai paham, kemudian menutup kebaikan yang telah dilakukan oleh Ahmadiyah. Tuhan mengingatkan: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. ( Al Maidah/5: 8).
Klaim kenabian atas Mirza Ghulam Ahmad boleh diperdebatkan. tetapi bisakah dijelaskan bahwa Mirza terbukti hendak menggelincirkan iman para pengikutnya, atau membelokkan persaksian atas diri Muhammad sebagai Rasul, atau membelokkan pengikutnya untuk lari dari al Qur’an, misalnya.
Menyedihkan memang, sementara para penganut aliran Ahmadiyah, dan juga aliran lainnya dalam Islam, mereka itu bisa hidup bebas di negara non Muslim, terutama di negara-negara Eropa, tetapi justru tidak aman hidup di negara Muslim. Kenapa negara-negara non Muslim lebih toleran, dan menghargai hak kebebasannya untuk mengespkresikan agamanya. Padahal pemberian hak pula yang sejak awal diajarkan oleh Allah, seperti tersirat dari firman-Nya:
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan… …“ (Q.S. al-Maidah/5: 48):
Perbedaan paham, tampaknya atas kehendak-Nya, dan kalau itu sudah kehendak Allah, maka adanya umat yang bergolong-golong itu adalah sebuah keniscayaan. Dan bukan untuk berhujatan satu sama lain. Sepanjang antara golongan itu terjadi perlombaan untuk berbuat kebajikan, sepanjang itu pula absyahlah perbedaan itu.

wallahu'alam