Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Thursday, December 07, 2006

MEGAPOLITAN, MEGALOPOLITAN, MEGAPOLONTOS, MEGAL-MEGAL ATAU “KETERPADUAN-WILAYAH”

Jalan di depan Pintu IX Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas menuju ke Cilincing sedang diperbaiki (ditinggikan). Begitu juga di beberapa bagian jalan di Cilincing dari dan ke Tanjung Priok. Sebagaimana sudah terjadi bertahun-tahun, perbaikan jalan ini sering berjalan amat lambat atau terhenti entah karena apa, padahal jalan yang diperbaiki dalam keadaan hanya separuh dapat digunakan hingga mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang panjang. Yang aneh jalan di depan pintu 9 Pelabuahan Tg. Priok ini sudah pernah ditinggikan sebelumnya. Sebelum ditinggikan jalan ini adalah jalan yang rawan banjir. Sekarang jalan itu memang tidak banjir lagi, tetapi jika hujan air akan membanjiri daerah sekitar jalan itu yang sebagian adalah perumahan penduduk. Sebuah strategi mengatasi banjir yang “luar biasa”.

Cara pekerjaan perbaikan atau peninggian jalan ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus sekarang ditutup separuh untuk ditinggikan hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja, akan bisa mengurangi ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Bukankah wilayah itu adalah wilayah kegiatan ekonomi yang amat penting, paling tidak di pulau Jawa ini, karena lalu-lintas barang datang dan pergi melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di Tanjung Priok dan di tempat-tempat lain di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan BusWay bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, beberapa tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” hukum atau kesantunan untuk tidak saling serobot.

Cara bekerja yang serampangan ini sungguh amat bertentangan dengan keinginan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan Jakarta. Kalau becak dulu ditertibkan, kakilima digusur, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Pintu IX dan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?

Pemeliharaan jalan ini sungguh menggambarkan bobroknya pengelolaan Jakarta oleh Pemerintah Daerah. Jakarta adalah kota yang jalannya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta tidak memiliki sistem pemeliharaan jalan yang memberi jaminan jalan hanya memiliki lubang minimal. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi bahkan lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Situasi ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.

Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit. Biasanya perbaikan jalan dilakukan dengan cara memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Saya pikir pemeliharaan jalan yang bukan jalan protokol akan lebih baik dibagi-bagi kepada tiap kecamatan setempat. Karena wilayahnya lebih sedikit, kecamatan dapat lebih baik memantau dan memberikan pekerjaan perbaikan kepada remaja atau pemuda yang menginginkan pekerjaaan sambilan atau pekerjaan ini diberikan kepada tuna karya di kecamatan itu. Dengan lubang yang masih kecil tentu tidak diperlukan peralatan-peralatan besar seperti mesin giling jalan dan lain-lainnya, cukup dengan mesin penumbuk aspal yang dapat dioperasikan dengan tangan oleh satu orang. Uang ratusan juta setiap bulannya dapat dicegah untuk masuk ke dalam kantung para kontraktor perbaikan jalan dan dialokasikan ke pembangunan sarana olah raga atau kegiatan produktif lainnya bagi para remaja atau hal-hal lainnya.

Situasi lalu-lintas atau jalan di Jakarta ini atau apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola jalan Jakarta ini membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud orang-orang yang sedang mencoba meluncurkan proyek Megapolitan. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin memikul proyek yang kelihatan (dari namanya) besar itu (megapolitan) jika mengelola jalan saja amat tidak efisien dan sekaligus buruk. Sepanjang pertama kali kata megapolitan itu menjadi wacana, saya belum melihat pemaparan megapolitan yang memuaskan hingga saya membaca presentasi Sarwono Kusumaatmadja dalam sebuah diskusi di Jakarta bulan April 2006 lalu.

Penggunaan kata “megapolitan” adalah salah kaprah, menurut Sarwono. Mungkin itu dibuat secara gampangan dengan meniru kata “metropolitan” yang disangka dari 2 buah kata “metro” dan “politan”. Sarwono yang salah satu tokoh yang mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Jakarta berikutnya ini juga mempertanyakan konsep megapolitan: “konsep apa yang ada dalam pemikiran Gubernur Sutiyoso?”

Lebih lanjut Sarwono menjelaskan: “Karena yang pernah terdengar sebelumnya adalah megalopolitan, yaitu salah satu gejala di sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa kota besar yang jauh dihubungkan melalui sistem transportasi terpadu dalam menunjang berbagai aktivitas warga masyarakat antarkota tersebut termasuk dengan kota-kota kecil yang berdekatan. Penghubung antarkota melalui jalur jalan bebas hambatan, jaringan rel kereta api bahkan kereta bawah tanah (subway) termasuk jalur udara. Dengan demikian akan membentuk satu kesatuan ekonomi antarwarga antarwilayah bersangkutan”.

Apa pun namanya megapolitan, megalopolitan, megapolontos, megal-megal atau “keterpaduan-wilayah”, yang penting adalah konsepnya apa, sebagaimana dipertanyakan Sarwono.

No comments: