Tulisan ini dimuat di MediaKonsumen.com
10 Januari 2007
Tulisan ini saya buat sebagai respon seorang konsumen film Indonesia terhadap para sineas yang sedang berpolemik mengenai penyelenggaraan FFI dari tahun 2004-2006. Tulisan ini juga bermaksud menyeimbangkan gebyar pernyataan tentang penyelenggaraan FFI yang beberapa hari terakhir ini didominasi oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI).
Misalnya seputar tidak adanya transparansi juri dalam menilai sebuah film. Ternyata menurut para juri FFI, mereka telah mengikutsertakan sineas muda yang tergabung dalam MFI itu, namun karena mereka sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak bisa menjadi juri FFI sebagaimana dikutip dari KafeGaul.com: “Mengenai tidak masuknya sineas muda dalam daftar dewan juri, Adi Soerya Abdi (Ketua Pelaksana FFI 2006) menjelaskan bahwa sebelum dewan juri ditetapkan, pihaknya sudah menjaring dua ratus nama dan sudah didaftar, termasuk para sineas muda tersebut. Tapi mereka tidak ada yang bersedia dengan alasan sibuk syuting dan sedang berada di luar negeri” ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).
Juga menurut MFI, dasar penilaian dewan juri tidak jelas. Padahal juri yang beranggotakan Noorca M. Massardi, Embi C. Noer, Eddy D. Iskandar, Remy Silado, dan W.S. Rendra menyatakan memiliki dasar pertimbangan yang jelas untuk lebih memilih Ekskul sebagai film terbaik 2006. Di situs Gatra.com: “Menurut Noorca, kelima film itu punya nilai sama dari sisi teknis. Maka, penilaian dari sisi tema jadi pertimbangan pertama. "Film ini mengandung pesan moral anti-kekerasan yang saat ini menjadi pemandangan umum dalam kehidupan kita," ujar Noorca ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=100979 )”. Meski demikian Denias, Senandung di Atas Awan (DSDAA) juga memiliki pesan moral untuk selalu berjuang mendapatkan pendidikan yang layak.
Jika pertimbangannya bukan karena pesan moral, tetapi pertimbangan kategori yang dimenangkan sebuah film, DSDAA, bisa memenangkan kategori film terbaik, terutama karena penulis skenario cerita asli berada di DSDAA dan begitu juga kategori sinematografi yang bisa membuat sebuah film lebih dihargai dibanding sekedar disutradarai dan diberi musik atau diedit sebagaimana kategori yang digondol oleh Ekskul.
Beberapa pernyataan serius memang telah dikeluarkan oleh MFI, terutama dalam protes mereka yang diberi nomor 1: “Terhadap penyelenggaraan dan hasil penjurian FFI 2006: protes ini didasarkan pada fakta Film 'Ekskul' produksi PT Indika Entertainment yang memenangi piala citra sebagai film, terbaik, menurut kami telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik film. Situasi ini membuktikan, buruknya kualitas penyelenggaraan FFI dan rendahnya kompetensi pihak penyelenggara FFI yang antara tahun 2004-2006 diselenggarakan secara tidak transparan, baik dalam sisi pelaksanaan dan finansial.”
Tuduhan pelanggaran hak cipta yang dilemparkan MFI tentu akan mendatangkan implikasi hukum, termasuk tuduhan tidak transparan dalam pelaksanaan dan finansial (mungkin maksudnya korupsi). Sedangkan pernyataan tentang rendahnya kompetensi juri FFI, sebaiknya ada rincian dan argumen yang mendukungnya, agar pernyataan ini bukan pernyataan asal bunyi.
Dalam sebuah wawancara dengan media TV, sutradara terbaik 2004 Rudi Soedjarwo, mengatakan bahwa ada penjiplakan karya musik orang lain di dalam Ekskul, sehingga tidak pantas untuk dijadikan film terbaik. Sementara itu menurut salah satu juri, Remy Silado, berdasarkan undang-undang, harus ada kesamaan minimal 8 bar baru sebuah karya musik disebut menjiplak. Musik di dalam Ekskul tidak menjiplak, karena kurang dari 8 bar. Persoalan penjiplakan ini menunjukkan MFI kurang menggunakan sudut pandang hukum yang justru bisa menjadi bumerang. Tuduhan penjiplakan ini mungkin ada babak lanjutannya, karena Noorca Masardi, salah satu dewan juri FFI, mengatakan agar masalah ini akan diselesaikan lewat makanisme hukum. ”Harus ada bukti, karena tuduhan itu termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan.” (http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).
Sedangkan tuntutan lain dari MFI: “Melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaraan sensor film dengan mengganti LSF menjadi sebuah lembaga klasifikasi film,” adalah kurang logis, karena pekerjaan Sensor Film tentu berbeda dengan pekerjaan Klasifikasi Film. Kecuali maksud MFI adalah cuma melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaran sensor film sebagaimana disebut di awal tuntutan ini.
Protes dan tuntutan MFI ditutup dengan kalimat yang menurut saya agak menggelikan:
”Sikap ini kami ambil sebagai wujud tanggung jawab kami kepada masyarakat yang selama ini mendukung keberadaan kami dan menjadi salah satu alasan utama mengapa kami terus bekerja dan berkarya.”
Apakah betul masyarakat mendukung keberadaan MFI yang sudah bekerja dan berkarya di dunia perfilman? Karena menurut kacamata industri perfilman, film Indonesia kurang ditonton dibandingkan dengan film-film dari luar, Holywood misalnya. Silahkan berhitung dengan angka-angka, bukankah ini industri? Itu sebabnya film Indonesia beberapa tahun terakhir ini dibuat untuk pasar orang muda yang belum lagi melek film, meski ada juga (hanya beberapa saja) yang dibuat secara serius untuk target yang lebih bisa mengapresiasi film bermutu baik. Atau dengan kalimat yang lain lagi film Indonesia belum menjadi tuan besar di negeri ini. Jadi dukungan masyarakat kepada MFI masih menjadi mimpi besar yang akan menjadi kenyataan beberapa tahun lagi atau beberapa puluh tahun lagi, bukan sekarang.
Mereka memang bermaksud memajukan dunia film Indonesia, tapi dengan cara yang meletup-letup, kontroversial atau asal “geber” aja. Sayangnya, MFI tidak ingin membuat FFI tandingan. Padahal dengan membuat FFI tandingan atau sekedar membuat penilaian tandingan yang jurinya mereka sendiri, justru amat penting dalam perjuangan MFI dan mungkin akan lebih efektif dan simpatik. Namun sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh sutradara terbaik 2005, Riri Reza, MFI tidak akan menyelenggarakan FFI tandingan. Namun anehnya, Riri menyatakan “...ingin membentuk organisasi independen, bukan dari pemerintah yang mengurusi soal perfilman Indonesia, sebuah komisi film yang diinisiasi oleh kalangan perfilman, kalangan profesional yang punya kepedulian, punya kesadaran bahwa kita harus melindungi diri kita ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).
Sekali lagi, kenapa tidak bikin FFI tandingan? Padahal sejarah FFI sendiri awalnya berasal dari kalangan film sendiri. Kemudian berbagai kekuatan politik, mulai dari Lekra hingga Orde Baru membuat FFI dicampuri atau penyelenggaraannya menjadi tidak independen. Pemerintah mulai menangani FFI lewat Penetapan Presiden No 1/1964, dan tahun 1974, Pemerintah memberi nama Citra sebagai anugrah untuk sebuah karya film.
Memang aneh, jika tidak mau membuat FFI tandingan, karena MFI Indonesia justru saat ini sedang merengek, mendesak Pemerintah untuk segera membantu atau “meneteki” MFI yang sedang belajar melompat ke depan. Seharusnya, jika MFI bermaksud independen, tentu tidak perlu minta bantuan Pemerintah ketika tidak menyukai penyelenggaraan FFI.
Kecuali maksud MFI datang kepada menteri Kebudayaan dan Pariwisata adalah untuk mendapat perhatian yang lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat terhadap persoalan perundangan perfilman, tentu langkah ini boleh disebut lumayan. Tetapi ini adalah sebuah langkah yang amat panjang seperti yang dikatakan oleh Sophan Sophian, yang pernah berada di DPR, bahwa MFI tidak tahu betapa panjangnya proses untuk sebuah revisi undang-undang. Bahkan Menteri Jero Wacik pun ketika didatangi oleh MFI menghimbau: “Saya mengajak semua insan film, menghadap ke DPR, karena di sanalah penggodokan UU.”
Meski bakal menjadi perjalanan yang panjang MFI, menurut Riri Reza, akan membentuk kelompok-kelompok kerja yang akan merumuskan usulan, tatanan pengelolaaan film Indonesia yang baru, dan mendesak perubahan serta kebijakan pemerintah tentang film Indonesia. Riri menjanjikan bahwa MFI bakal melaporkan pekerjaan mereka tersebut kepada masyarakat ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=101101 ). Ok, deh....
Cara MFI ini memang boleh disebut kasar, jika dibandingkan dengan jika mereka membuat FFI tandingan. Mungkin ini disebabkan ego mereka yang merasa industri film Indonesia telah hidup kembali berkat para sineas muda ini. Meski demikian, sutradara Garin Nugroho menegaskan: “sudah saatnya masyarakat perfilman Indonesia mereformasi lembaga perfilman yang selama ini masih carut-marut” ( http://www.tribunkaltim.com/viewweb.php?id=10854 ).
Namun apa pun gaya atau cara MFI ini dalam mengekspresikan idealismenya, saya yakin, memang merekalah yang akan menentukan industri film Indonesia ke arah mana.... baik atau buruk....
Jojo Rahardjo
Wednesday, January 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
"Apakah betul masyarakat mendukung keberadaan MFI yang sudah bekerja dan berkarya di dunia perfilman? Karena menurut kacamata industri perfilman, film Indonesia kurang ditonton dibandingkan dengan film-film dari luar, Holywood misalnya. Silahkan berhitung dengan angka-angka, bukankah ini industri?"
anda sendiri sudah ngitung belum? ck ck ck, berani nulis tapi gak betul2 punya data. Nih saya pinjemin.
data 2006
film indonesia: 40
film asing : 188
penonton film indonesia: 12 juta
penonton film asing : 23 juta.
rata2 penonton film indonesia: 12 juta/40 = 300.000
rata2 penonton film asing: 23 juta/188= 122.340
kalau cuma mau lihat angka total, memang penonton film asing hampir 2x lebih banyak, secara jumlah filmnya hampir 5x lipat. tapi coba lihat angka rata2 per film, kelihatan jelas jumlah penonton rata2 film indonesia lebih dari 2x film asing.
puas main angka? Dulu saya sempet kagum sama blog anda, setelah baca tulisan yang one sided sekali dan gak ada riset awalnya ini, hilang sudah kekaguman saya.
Pak Tito,
Terima kasih atas "angka-angka" itu....
Jojo R.
Post a Comment