Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Sunday, November 01, 2009

JAMES ADAM LAHREN DAN BATIK

http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=165856559702
Saturday, October 3, 2009 at 2:45am

Saya punya pengalaman menarik mengenai batik.

Tahun 2000 ketika saya bekerja di sebuah proyek Asian Development Bank (ADB), saya memberi hadiah khusus, sepotong baju batik kepada seorang teman saya yang berulang tahun. Teman saya ini baru datang ke Indonesia dari Amerika untuk menggantikan team leader yang lama dari Belanda. Nama team leader baru ini, James Adam Lahren, berumur 65 tahun. Mengapa saya memberinya hadiah khusus? Itu karena Jim (begitu ia minta dipanggil) sejak hari pertama datang ke kantor itu adalah seorang teman yang khusus. Ini memang harus saya ceritakan terlebih dahulu sebelum saya bercerita tentang hadiah baju batik yang saya berikan pada Jim.

Akhirnya ia datang juga…. Begitu gumam beberapa orang di kantor, ketika pagi itu, kira-kira jam 9-an, Jim muncul di pintu kantor. Ia memang terlambat beberapa minggu untuk datang ke Indonesia. Bertampang bule (pasti). Jas dan dasinya nampak mahal, Italian style, gitu. Begitu juga sepatu kulit warna coklatnya. Sedikit gemuk, namun nampak seperti baru berumur 50-an akhir. Wajahnya nampak muram, tanpa senyum, gayanya seperti acting Robert DeNiro di film Cape Fear. Ini cocok dengan gambaran beberapa orang yang mengatakan Jim baru saja kehilangan anak laki-lakinya yang berumur sekitar 16 tahun dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Saya berpikir, team leader baru ini nampaknya bakal nggak enak. Duka di keluarganya dibawa-bawa ke kantor. Ia nampak sombong dan tidak punya sense of humor.

Segera, boss saya (yang orang Indonesia) mengumpulkan semua staff di meeting room untuk berkenalan dengan Jim. Perkenalan dibuka oleh boss saya, kemudian giliran Jim mengenalkan dirinya dengan bercerita background pendidikannya dan pengalaman kerja yang kebanyakan di negeri-negeri Muslim, di negeri-negeri konflik dan di negeri-negeri miskin, seperti negeri-negeri Muslim di Afrika dan di Asia, seperti Pakistan (mantan CIA, barangkali). Oleh karena itu (ia berusaha meyakinkan semua orang) tidaklah mengherankan jika Jim yang non-Muslim bisa memimpin proyek ADB ini yang ditujukan untuk meng-upgrade sekolah-sekolah Islam tingkat SMA (Aliyah) di Indonesia. Entah mengapa, Jim lebih banyak bercerita tentang pengalaman bekerjanya di negeri-negeri miskin dan berkonflik. Ini sedikit membuat saya lega, karena ini mungkin caranya untuk merendah. Di sebuah kisahnya, ia menceritakan pengalaman bekerjanya di sebuah negeri di Afrika tentang bagaimana sederhananya peralatan yang tersedia waktu itu. Ia menyebut tidak ada mesin tik apalagi komputer. Report terpaksa ditulis dengan pensil dan di atas kertas bekas. Itu pengalamannya yang paling ekstrim, katanya.

Kemudian setelah selesai bercerita tentang pengalaman kerjanya, perkenalan dilanjutkan dengan staff yang lain. Setelah itu Jim bertanya, “by the way, where is my office”? tanyanya. “Right there”, boss saya menunjuk ruangan di sebelah meeting room yang dipisahkan dengan dinding kaca. Segera Jim bangkit dari tempat duduknya dan melongok ke ruangan yang akan menjadi ruangannya. “Why there is no computer?” Tanya Jim. Entah setan mana yang menggerakkan mulut saya, tiba-tiba saya yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat: “I thought, you used to work with pencil and paper....” Jawab saya. Ya ampun, kenapa saya sinis begini. “Who said that?” Tanya Jim sambil memandang berkeliling semua staff. Mati lah gua! “I said that, Mr. Lahren,” kata saya dengan berat. Jim menatap mata saya, lalu bertanya “What is your name again?” Mampus, kata saya dalam hati. “Jojo, Sir. Jojo Rahardjo,” jawab saya lagi dengan berat. Masih dengan muka serius dan nampak marah, Jim berkata lagi: “Right after this, come to my office,” telunjuknya diarahkan ke muka saya dan kemudian ke arah ruangan di sebelah. Semua mata yang ada di ruangan itu menatap saya. Semuanya seperti berkata: “Lu sih…”

Untuk mempersingkat cerita, akhirnya saya menghadap Jim di ruangannya. Namun Jim cuma bertanya, beberapa soal yang tidak terlalu penting dan bertanya di mana saya biasanya makan siang. Lalu ia meminta saya untuk menemaninya makan siang di restoran di dalam hotel Borobudur yang letaknya bersebelahan dengan kantor saya. Hari itu adalah hari pertama ia berkantor, dan orang pertama yang diajaknya makan siang cuma saya. Aneh. Mungkin ini caranya untuk memarahi saya dengan bebas, bahkan mungkin akan memaki-maki saya nanti.

Saat makan siang ia banyak mengoceh mengenai banyak hal yang membuat saya terheran-heran, kapan saya akan dimarahin. “You are not gonna mad at me, aren’t you?” Tanya saya hati-hati mengungkit soal tadi pagi. “Why”? Tanya Jim. “You know what, Jojo", mukanya berubah serius. "I thought, I’m going to be bored to death, here, in Jakarta, but thank God, I have a nutty guy, here, you, Jojo! Ha..ha..ha..ha..ha...." Ia terbahak-bahak. Sialan, rupanya Jim lebih gila dari gue. Dari tadi gue takut dimarahin ternyata ia lagi ngerjain gue….

Memang terbukti, ia memang teman yang “gila”. Nyaris setiap Jumat malam, ia dan saya keluyuran listen to the live music di berbagai tempat di Jakarta. Di usianya yang hampir uzur, ia masih mampu “gentayangan” hingga jam 3 pagi. Meski begitu, Jim adalah bridge antara culture saya yang Asian Moslem dengan American culture yang secular-nya setengah-setengah.

Kembali ke baju Batik.

Beberapa bulan setelah “perkenalan gila” itu, Jim berulang tahun. Saya ingat kebanyakan orang asing yang bekerja di Indonesia selalu bangga dengan baju Batik yang dimilikinya, baik itu pemberian orang, maupun baju batik yang dibelinya sendiri (sebelumnya saya pernah bekerja di beberapa proyek FAO, ILO, UNDP, USAID sejak tahun 1988). Maka itu saya tidak ragu lagi untuk menghadiahi Jim sepotong baju Batik. Agar menarik perhatian orang, sengaja saya memutuskan untuk memberinya yang dominan warna merah. Dengan sedikit konsultasi dengan seorang teman yang mendalami Batik untuk mendapatkan patern yang tepat, maka saya beli sepotong baju Batik di sebuah toko khusus Batik di jalan Raden Saleh. Saya ingat harganya cukup mahal bagi saya, yaitu sekitar 25% dari gaji saya waktu itu.

Meski sudah melakukan riset kecil, saya tetap merasa tidak yakin dengan hadiah itu. Saya ingin, Jim merasa bangga dengan baju Batik berwarna merah itu. Saya pun meminta tolong kepada beberapa orang teman untuk membantu saya dengan bertanya kepada Jim tentang baju Batik yang diikenakannya, bahkan memujinya. Mereka berpura-pura, seolah-olah tidak tahu bahwa baju batik itu pemberian saya. Nampaknya trick itu berhasil. Matanya berbinar-binar, ketika ditanya tentang baju Batik itu, apalagi ketika dipuji.

Jim nampaknya tidak pernah memiliki baju batik yang lain. Jim selalu mengenakan baju Batik berwarna merah itu hingga bertahun-tahun kemudian. Nampaknya ia begitu bangga dengan baju Batik itu. Mungkin baju Batik pemberian saya itu memang baju Batik yang bagus atau cocok untuknya. Bahkan di tahun 2008 lalu, saat terakhir kalinya ia ke Indonesia sebelum ia ‘rest in peace’ karena kanker prostat, ia nampak mengenakan baju Batik warna merah itu sekali lagi dan untuk terakhir kalinya.

May God bless you and your Batik, Jim!

No comments: