Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Sunday, November 01, 2009

STATUS FB

Teman saya, Jennie Siat Bev, seorang intelektual Indonesia yang bermukim di Amerika, baru-baru ini menulis dalam status FB-nya begini: “akan mengurangi update status karena sangat mudah untuk dibukukan tanpa izin. Sampai kapan pelanggaran HAKI di Indonesia berlangsung kalau apapun yang kita utarakan ke publik langsung dianggap "public domain"?” Ia amat kecewa dengan perilaku tidak menghargai karya dan hak cipta orang lain. Tentu saya bisa juga merasakan kekecewaannya, karena salah satu tulisan saya di tahun-tahun akhir 90-an pernah digunakan oleh seorang penulis (saat itu ia masih penulis pemula) tanpa menyebut sumbernya. Hampir semua tulisan saya ditulis berdasarkan riset yang serius, karena saya tidak ingin tulisan saya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, saya amat kecewa dan marah, ketika ada orang menulis buku dengan menggunakan tulisan saya dan membuatnya seolah-olah ditulis oleh penulis itu. Bahkan saya lebih kecewa lagi, karena hingga kini ia bertahan dengan alasan yang seenaknya.

Jennie S. Bev adalah seorang intelektual yang produktif menulis. Sudah lebih dari 900 artikel dan 80 electronic and print books ditulisnya, sehingga status-statusnya pun isinya pasti tidak sembarangan. Meski Jennie tidak menyebutkan dengan jelas di mana statusnya digunakan oleh para pembajak itu, namun saya kira, status yang ditulis Jennie bisa mendongkrak nilai intelektual para pembajak itu jika digunakan sebagai status FB pula. Semoga mereka mendapat kecelakaan intelektual !

Di luar soal Jennie dan soal pembajakan karya cipta, saya ingin sedikit mengoceh secara ringan tentang status di FB.

Saya menggunakan FB hanya pada saat luang. Itu pun jika saya bersentuhan dengan komputer dan tentu saja dengan akses Internet yang masih tergolong sulit (untuk connect) atau lambat, karena saya tidak mampu membeli mobile broadband Internet. Itu sebabnya kadang saya tidak ber-FB hingga berhari-hari. Saya, tentu saja bisa ‘mengganti-ganti’ status saya melalui mobile phone saya, namun saya tidak menyukai menulis dengan susah payah melalui keypad telpon saya yang tidak “qwerty”.

Sebagaimana di dunia nyata, status FB pun bisa menggambarkan penulisnya. Memang, menulis status bisa dipengaruhi oleh mood, sehingga tidak boleh pula sembarangan menilai orang dari status FB-nya. Itu sebabnya saya berusaha untuk membatasi isi status saya hanya mengenai pengelolaan negeri ini. Saya rela kehilangan teman di FB, karena saya cenderung bersikap negatif terhadap pengelola negeri ini. Saya juga lebih rela disebut sebagai tukang protes, tukang komplain dan lain-lain yang jelek-jelek dibanding saya menulis status tentang diri saya sendiri atau tentang orang-orang di ring 1 atau 2 di sekitar saya, atau juga menulis tentang sedang berada di mana saya.

Setiap hari, saya (begitu juga berjuta-juta orang lain) harus menjalani hidup di Jakarta yang dikelola oleh para baboon geblek. Mereka dipilih karena bisa membayar perusahaan konsultan politik, misalnya LSI, agar bisa mendongkrak mereka menjadi pejabat publik, padahal kwalitas mereka sebagai pemimpin dan sebagai manusia cuma baboon geblek doang. Setiap hari itu lah saya mengeluh, dan saya pikir itu harus saya tuangkan ke dalam status FB saya dengan harapan, meski amat tipis, akhirnya bisa membangun kesadaran bahwa negeri ini telah “salah urus”. Itu cuma salah satu dari langkah-langkah kecil yang bisa saya lakukan di waktu luang melalui FB.

Salah satu contoh bagaimana “salah urus”yang sudah dianggap soal yang normal adalah, rusaknya atau matinya begitu banyaknya traffic light di Jakarta. Ini seharusnya menjadi soal besar bagi warga Jakarta, karena ini menggambarkan adanya korupsi di negeri ini dan dibiarkan. Mengapa dibiarkan? Tentu karena ada begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa diselesaikan, sehingga korupsi trafffic light menjadi soal yang terlihat kecil dan normal. Kasus korupsi di mana-mana bukan soal sistem, tetapi soal kepemimpinan. Dengan kata lain, kita masih belum menemukan pemimpin yang nggak geblek dan nggak berkwalitas baboon.

No comments: