Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Thursday, October 21, 2010

EAT PRAY LOVE, bukan The Stranger, bukan Last Tango in Paris, bukan pula The War of the Roses




Film ini tidak dibuka dengan pemandangan pantai atau tempat-tempat wisata dimana turis mancanegara banyak berkeliaran, tapi dibuka dengan pemandangan sawah-sawah di desa Ubud, sebuah tempat di pulau Dewata, Bali. ELizabeth Gilbert (Julia Roberts) nampak mengayuh sepeda di sebuah jalan kecil yang membelah sawah-sawah itu. Kemudian Julia Robert berhenti di depan sebuah rumah khas Bali dan memarkir sepedanya. Rumah itu berada di sebuah jalan kecil yang sepi dan bentuk pagar batu rumah itu sangat khas Bali, dengan gapura kecil dan undak-undakan. Di adegan ini saya menarik nafas panjang. Tiba-tiba saya juga ingin berada di sana, berada di suasana spiritual yang dulu pernah saya rasakan beberapa tahun yang lalu, berjalan di jalan-jalan kecil yang jauh dari keramaian wisatawan. Saya ingin lagi menatapi bagian pagar batu rumah-rumah Bali itu. Saya bahkan ingin menatapi undak-undakannya, menatapi kekhasannya. Saya suka detil pagar rumah orang Bali. Pagar batu itu membuat saya juga ingin lagi menatapi orang-orang Bali melakukan ritualnya di pagi hari.

Saya harus tegaskan, saya suka bagian awal dari film ini. Ini film kedua tentang penulis yang saya tonton di tahun 2010, setelah Ghost Writter. Meski demikian film ini bukan tentang profesi menulis, tetapi tentang "perjalanan spiritual" seorang penulis Amerika. Setelah ternganga dengan pemandangan desa Bali di bagian awal, saya kemudian berharap film ini akan terus bernuansa spiritual Bali seperti ini, bukan bernuansa Bali yang hiruk pikuk dengan wisatawan dari seluruh dunia yg bertelanjang baju di jalan-jalan Kuta. Namun, film ini lebih dari separuhnya bersetting di beberapa tempat di dunia, yaitu Amerika, Italy, India dan Bali. Bali menjadi bagian awal dan akhir film ini. Dua jempol saya berikan buat film ini karena bagus menyajikan pemandangan di Italy, India dan Bali. The scenery is breathtaking, karena mampu menonjolkan apa yang memang menjadi ciri khas kota-kota itu, misalnya pemandangan khas kota-kota di India yang kumuh namun melahirkan spiritualisme universal dan pemandangan gerakan tangan khas orang-orang Italy ketika berbicara.

Namun sayang menurut saya film ini gagal menggambarkan keterasingan Liz dari dunia yg seharusnya bisa menjadi miliknya. Film yang diangkat dari sebuah buku memoir (2006) berjudul sama oleh dan tentang ELizabeth Gilbert, bahkan ber-happy-ending. Sebuah ending yang klise (mungkin di memoirnya memang begitu). Liz di Bali digambarkan menemukan apa yang dicari dalam hidupnya, yaitu "balance". Namun nampaknya film ini memang hanya untuk memenuhi kerinduan penonton pada Julia Roberts ketika bermain di Pretty Woman, sedangkan saya berharap menonton Julia Roberts ketika bermain di Erin Brokovich.

Saya belum membaca memoirnya, namun sebaiknya film ini juga menonjolkan tentang keterasingan Liz yang tidak dapat dijelaskan. Mungkin untuk itu diperlukan seorang sutradara khusus. Ini memang bukan film untuk yang menyukai "spritualisme yang dalam" atau film yang penuh adegan konflik kejiwaan atau dialog-dialog spiritual.

Saya membayangkan film ini bisa lebih baik untuk saya jika film ini bisa menorehkan luka pada penontonnya. Luka yang membuat penonton tidak berhenti merenung-renung tentang makna hidupnya, namun kemudian di bagian akhir tidak juga menemukan apa yang dicarinya. Saya tentu berharap ini film tentang The Stranger (novel oleh Albert Camus, 1942) dalam versi popnya atau film seperti Last Tango in Paris (Marlon Brando, 1972). Bahkan sejauh yang saya ingat The War of the Roses (Michael Douglas, Kathleen Turner, and Danny DeVito, 1981) jauh lebih baik menggambarkan keterasingan istri terhadap suaminya.

Jojo Rahardjo

No comments: