Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Monday, March 08, 2010

WE ARE LIVING IN A GLOBAL VILLAGE NOW, BUDDY!

18 Desember 2009

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang teman yang dulu saya kenal dekat pada masa lebih dari dua puluh tahun lalu. Hampir lebih dari 6 tahun terakhir ini saya tidak bertemu dengan teman ini. Ia tentu bukan teman biasa. Ia salah satu teman yang secara significant mempengaruhi saya dalam memandang “Tuhan”. Sebelumnya seorang astronom dari Padang Panjang telah mempengaruhi saya dalam memiliki sebuah cara memandang yang cukup ajeg terhadap apa yang sering disebut orang sebagai agama, yaitu cara memandang agama dengan kacamata fisika dan astronomi. Maka teman saya ini pun menyempurnakannya dengan cara memandang “Tuhan”. Saya tanpa sungkan menyebutnya telah membuat saya berhutang budi padanya. Saya juga harus tanpa malu menyebutnya sebagai teman yang telah mempengaruhi jalan hidup saya.

Pertemuan itu juga membuat saya merenung tentang hidup yang ternyata mudah ditebak dan direncanakan. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu, ia dan saya sering membincangkan tentang masa depan yang bagaimana yang sebaiknya diraih. Dan lebih dari dua puluh tahun kemudian, ujung dari apa yang ingin kita raih nyaris tercapai sekarang. Tentu saya dan dia berbeda dalam menentukan apa yang akan diraih. Meski sama-sama ingin merubah “dunia” , namun ia cenderung pada cara-cara conservative yang lebih instant ( conservative dan instant menurut kacamata seorang yang tergila-gila pada IT) yaitu dengan memanfaatkan setumpuk teori-teori yang dibangun oleh para akademisi dan penulis buku terkenal kelas dunia (saya tidak mau be more specific karena saya tidak perlu menguak jati diri teman saya ini). Sedangkan saya memilih cara yang contemplative seorang seniman sinting yang tentu saja memerlukan waktu yang lebih panjang. Jangan salah! Saya bukan memilih cara dengan menjadi 'nabi edan' seperti Lia Eden misalnya, tetapi dengan cara menyelami dan memanfaatkan hasil dari perkembangan peradaban manusia, misalnya teknologi (Saya tentu tidak perlu menjelaskan tentang peran teknologi dalam mengubah “dunia”). Saya membayangkan kelak suatu hari nanti menjadi jelas, bahwa “wahyu” masih turun melalui teknologi.

Kembali ke teman saya tadi. Sebenarnya ia tidak banyak berubah. Memang apa yang dilakukannya sekarang sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya dulu. Sekarang ia sibuk mengumpulkan uang melalui usahanya yang beraneka macam. Tentu ia sudah membela diri dengan mengatakan uang adalah alat atau ‘sasaran-antara’ saja dari sebuah tujuan yang lebih besar dan tinggi. Ia pun menyebut apa yang dilakukannya sekarang adalah juga untuk menciptakan lapangan kerja. Di luar apa yang membuatnya sibuk sekarang ini, ia adalah sosok yang masih sama. Sosok yang bermimpi, dunia menjadi gerbongnya dan ia menjadi lokomotifnya. Meski begitu, saya belum bertanya kepadanya kemana gerbong-gerbong ini akan ia bawa? Saya pun kemudian menjadi kuatir, karena persoalan dunia begitu cepat bergerak, sementara itu ia pun semakin renta, exhausted dan tidak terasah lagi. Saya pesimis, ia bukan lagi jawaban bagi persoalan dunia yang sudah berubah dibanding lebih dari 20 tahun lalu itu. Dunia kini sudah berubah menjadi global village berkat teknologi dengan segala persoalan barunya. Global village yang tidak melulu sekedar persoalan sosial dan politik, tetapi dunia dengan persoalan barunya yang berakar pada persoalan environment yang kemudian melebar menjadi persoalan sosial dan politik.

Meski pesimis dan kuatir, namun saya bangga memiliki teman seperti dia, karena saya menganggapnya sebagai ayah yang baik bagi anaknya, meski saya tidak tahu apakah ia suami yang baik (hi..hi..hi..). Ada satu adegan waktu saya bertemu dengannya yang sungguh membawa ingatan saya kembali ke tahun-tahun 1983-1990, yaitu ketika ia berbicara dengan anaknya. Caranya berbicara dengan anaknya sama sekali tidak berbeda ketika ia berbicara dengan keponakannya dan keponakan saya di tahun-tahun 1983-1990 itu. Bagi kebanyakan orang tentu adegan berbicara dengan anak adalah adegan biasa, namun bagi saya adegan itu tidak biasa, karena ia memperlakukan anaknya sama seperti ia memperlakukan teman-temannya yaitu sederajat secara intelektual dan memberinya respect. Pemandangan yang jarang bisa saya nikmati di dunia yang jahil seperti ini.

Well, buddy, good luck with your new life!

No comments: