MediaKonsumen
http://www.mediakonsumen.com/Artikel777.htmlSebagaimana yang sudah diberitakan di berbagai media sejak beberapa bulan lalu, bahwa tarif jalan tol akan dinaikkan, maka masyarakat pengguna jalan tol pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya menjadi dasar bagi kenaikan tarif tol ini? Jawabannya sebenarnya sudah tersedia juga diberbagai media.
Bahkan JORR (outer ring road) Cikunir akan menerapkan tarif terbuka atau jauh dekat bertarif sama sebagaimana tertulis di situs BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol),
www.bpjt.net/index.php?id=11&itemid=56 . Meski di situs itu belum ditulis berapa tarif terbukanya, penerapan tarif terbuka ini tentu melukai hati dan rasa keadilan masyarakat pengguna jalan tol dalam kota, terutama yang setiap hari menggunakan jalan tol dalam kota untuk jarak yang pendek.
Meski jalan tol sedang sepi, tapi bis ini terus melenggang di lajur kanan (Jojo Rahardjo)
Betapa tidak bertanya-tanya, masyarakat pengguna jalan tol belum pernah mendapatkan penjelasan yang sungguh-sungguh mengenai hasil audit yang telah (?) dilakukan terhadap pengelolaan jalan tol dalam kota ini. Pengguna jalan tol hanya bisa pasrah berkali-kali dengan hasil keputusan menaikkan tarif tol yang dilakukan oleh “para wakil rakyat” di Komisi V DPR beserta Pemerintah dan pengelola jalan tol.
Menurut paparan berbagai media, pihak pengelola atau investor memiliki alasan utama dalam menaikkan tarif tol, yaitu pengembalian investasi dan untuk menutup biaya operasi. Kalau tarif tidak dinaikan, maka mereka akan rugi. Alasan lain yang dikemukakan adalah untuk memperbaiki layanan.
Meski jalan tol bukan diperuntukkan bagi sepeda motor, namun JasaMarga membiarkan pengantin baru ini dikawal oleh seekor sepeda motor konyol (Jojo Rahardjo)
Hisnu Pawenang, Kepala BPJT, dalam sebuah talkshow di radio di Jakarta 23 Agustus kemarin mengemukakan, bahwa kenaikan tarif tol yang akan diumumkan pemerintah bulan Agustus ini merupakan penyesuaian terhadap besarnya inflasi. Sayang BPJT tidak terlihat sungguh-sungguh mulai menegakkan Kepmen No 392 tentang Persyaratan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diterbitkan pada Juli 2005 yang harus dipenuhi oleh pengelola jalan tol.
Bahkan Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, mengecam kenaikan tarif tol yang berdasarkan pada besar inflasi. "Di negara lain, kenaikan tarif juga memperhitungkan mutu pelayanan operator dan efisiensi pengguna," kata Sudaryatmo. Menurutnya, kenaikan tarif berdasarkan inflasi justru tak mendorong operator untuk memberikan pelayanan prima kepada pengguna. Hasil audit BPJT Departemen Pekerjaan Umum atas Standar Pelayanan Minimum bisa digunakan untuk menunda kenaikan tarif pada ruas yang operatornya yang tak memenuhi standar. Operator jalan tol juga perlu membuka rencana bisnisnya kepada publik agar penetapan kenaikan tarif lebih transparan (www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/24/brk,20070624-102449,id.html).
Alasan kenaikan tarif untuk memperbaiki layanan adalah omong kosong yang sudah dilakukan sejak lama. Alasan ini adalah alasan yang menggelikan dan menyakitkan hati pengguna, karena dari sekian kali kenaikan tarif, ternyata mutu layanan tidak berubah. Pengelola jalan tol sering berkilah bahwa layanan yang diberikan sudah maksimal. Padahal misalnya jelas terlihat sering kemacetan bertambah parah di jalan tol karena layanan yang tidak maksimal.
Dalam Buletin Lintas Tol yang diterbitkan oleh pengelola di tahun 2005 lalu, ada tulisan yang amat menonjolkan soal menyalahkan pengguna dalam kesemrawutan lalu-lintas di jalan tol dalam Kota Jakarta. Misalnya dalam rubrik Kontak Layanan Tol disebutkan: “Sebenarnya kepedulian petugas terhadap pengemudi dan masyarakat pemakai jalan tol, sudah sejak lama direalisasikan termasuk melakukan tindakan tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi, namun yang menjadi permasalahan justru tingkat kesadaran pengemudi pada umumnya masih sangat rendah. Perlu kami tegaskan bahwa pada prinsipnya petugas jalan tol tidak akan pernah berhenti untuk menertibkan setiap bentuk pelanggaran yang terjadi melalui program penegakkan hukum seperti selama ini kami laksanakan. Sesuai data yang kami miliki pada 3 bulan pertama tahun 2003 tercatat sebanyak 1001 kasus pelanggaran yang dikenakan sangsi hukum berupa tilang.”
Kalimat-kalimat yang dituliskan di rubrik itu adalah “omong kosong”. Saya pengguna jalan tol dalam kota setiap pagi dan sore, yaitu pada saat tol dalam keadaan sibuk, tetapi tidak pernah melihat tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, apalagi program penegakan hukum yang disebutkan. Misalnya, kita masih melihat setiap hari dan setiap waktu adanya kendaraan yang menaikkan dan menurunkan penumpang tepat di depan hidung para “Orang Tol”. Kita juga masih melihat bus dan truk, atau kendaraan besar berada di jalur paling kanan, padahal mereka berjalan amat lambat. Dan pelanggaran yang paling sering adalah berjalan di atas bahu jalan, padahal kalau terjadi situasi darurat, mobil polisi, derek atau ambulan mau lewat mana lagi, kalau bahu jalan dipenuhi kendaraan “setan”. Jadi, soal penegakan hukum itu adalah omong kosong.
Bukan jumlah tilang yang banyak sudah dilakukan yang bisa menjadi ukuran bahwa pengelola sudah melakukan upaya untuk memperbaiki layanannya. Sebab jika jumlah itu dibandingkan dengan pelanggaran yang sebenarnya bisa menjadi upaya yang amat tidak berarti. Di mana-mana, di seluruh muka bumi ini, termasuk di negeri maju sekali pun, kalau tidak ada penegakan aturan, situasi lalu-lintasnya akan seperti di jalan tol dalam kota Jakarta. Tingkat kesadaran pengguna jalan tol amat bergantung dari pengelola dalam menegakkan aturan. Jadi jangan menyalahkan pengguna jalan tol, karena saya lihat pengelola belum memiliki fasilitas yang cukup untuk menegakkan aturan.
Berikut di bawah ini adalah rendahnya mutu pelayanan yang tercatat dalam pengamatan saya.
1.
Pengelola ternyata telah membiarkan kegiatan yang bisa membahayakan jalan tol. Sebagai contoh yang paling segar adalah kebakaran bangunan-bangunan liar di bawah jalan layang tol dalam kota di sekitar interchange Pluit Kilometer 24,8 Jembatan Tiga, Penjaringan. Ada banyak bangunan yang dibiarkan berdiri di bawah jalan tol di Jakarta ini. Pada kasus yang baru saja terjadi di Penjaringan itu mengakibatkan jalan tol harus diteliti seksama apakah masih layak digunakan atau harus dihancurkan dan dibangun kembali. Besar kemungkin jalan tol itu harus dibangun kembali. Kebakaran ini merupakan kebakaran kedua di ruas tol tersebut pada tahun ini. Kebakaran pertama terjadi pada 22 Mei lalu di sekitar simpang susun Pluit yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran terakhir. Jika ternyata harus dibangun kembali, siapa yang akan membiayai ketololan itu, tentu pengguna, bukan pengelola.
2.
Tidak ada penegakan aturan secara sungguh-sungguh. Misalnya jalur tidak digunakan oleh pengguna jalan tol dengan semestinya karena tidak ada sistem untuk menjaga agar pengguna patuh pada peraturan. Misalnya, kendaraan besar dan berat, seperti bis dan truk, tidak boleh berada di jalur tengah dan paling kanan. Kendaraan besar dan berat mengganggu kelancaran dan kenyamanan kendaraan lain jika berada di jalur tengah dan paling kanan karena akselerasinya lebih lambat. Kendaraan berat juga membahayakan kendaraan di depannya yang lebih kecil jika menabrak. Juga peraturan kecepatan kendaraan harus ditegakkan, yaitu kendaraan dengan kecepatan lebih rendah harus berada di jalur lebih kiri dari yang lebih cepat.
3.
Jalan tol adalah jalan bebas hambatan, tetapi coba hitung berapa banyak lubang yang tersedia, termasuk potongan kayu atau benda-benda lain di jalan tol. Menurut saya benda-benda itu terlalu banyak di jalan tol dalam kota. Ini menunjukkan kurangnya patroli atau buruknya sistem untuk menjaga jalan tol agar terus-menerus bebas hambatan. Padahal dengan kecepatan cuma 80 km/jam benda-benda itu menjadi sangat berbahaya, baik karena melindasnya atau karena menghindarinya.
4.
Meski pun sudah ada, tetapi saya kira, pengelola kurang serius menyediakan petunjuk tentang nomor telepon yang dapat dihubungi untuk situasi darurat, mengeluh atau melaporkan adanya ketidakberesan di jalan tol. Misalnya melaporkan adanya pengemudi ugal-ugalan, perampokan, benda-benda atau hal-hal yang mengganggu di jalan tol.
5.
Kurang lengkapnya jenis kendaraan petugas jalan tol. Semestinya petugas jalan tol tidak hanya dilengkapi dengan kendaraan roda empat, tetapi juga dengan kendaraan roda dua seperti di beberapa negara. Dengan kendaraan roda dua petugas dapat melaju di sela-sela kendaraan untuk memantau dan membereskan situasi jalan tol agar selalu nyaman dan aman bagi penggunanya yang telah ikut susah payah membiayai pembangunan jalan tol (bukan hanya investor saja yang membangun jalan tol!).
6.
Pelayanan di loket atau pintu tol kurang maksimal. Sebagai contoh loket layanan uang pas yang tidak pernah diberlakukan, padahal tertulis di atas gerbang, loket UANG PAS. Saya adalah salah satu dari sekian pengguna tol yang kerap menegur petugas loket Uang Pas agar memberlakukan aturan Uang Pas itu. Bahkan beberapa teman yang saya kenal menulis email ke Jasa Marga. Sering juga saya menemukan loket tol yang tidak dibuka semuanya pada pagi hari, padahal antrian sudah panjang. Saya menduga, petugas tol belum datang sehingga loket yang tersedia belum bisa dibuka. Contoh yang lain adalah tidak adanya tindakan yang pasti diambil untuk pengguna yang melakukan tindakan penyerobotan di dekat gerbang tol terutama pada saat terjadi antrian panjang. Seharusnya ada sistem yang disediakan untuk pengguna seperti ini, karena situasi ini selain mengacaukan antrian, juga amat tidak membuat nyaman atau bahkan melukai hati pengguna yang rela antri atau patuh pada aturan. Bahkan setelah kenaikan tarif berkali-kali ini, seharusnya pada saat jam macet setiap gerbang bisa memberlakukan lebih dari hanya 1 loket, misalnya 2 atau 3 loket sekaligus untuk mempercepat proses pembayaran. Bahkan menurut saya, karena jumlah pengguna semakin hari semakin bertambah sudah saatnya (mengapa terlambat?) untuk menerapkan pembayaran dengan sistem kartu voucher misalnya. Dengan kartu seperti itu, pengguna cukup menggesekkan kartunya di loket untuk mengurangi waktu berada di loket.
7.
Harus sudah dibuat sebuah sistem untuk memprediksi dan mengantisipasi kemacetan yang mungkin dan akan terjadi. Kamera mungkin adalah sebuah solusi yang gampang. Satu kendaraan yang mogok di jalan tol, apalagi kecelakaan, bisa mengakibatkan kemacetan yang parah di belakangnya. Juga, kamera ini bisa untuk menegakkan aturan dengan memberikan sangsi bagi pengguna yang mengganggu kelancaran atau mengganggu pengguna lain.
Sebenarnya masih ada bentuk pelayanan-pelayan lain yang jika disebutkan di sini akan terlalu panjang, misalnya bentuk-bentuk pelayanan yang tidak terlihat nyata, tetapi pelayanan itu yang bisa memunculkan rasa aman, rasa nyaman atau bahkan rasa bangga sebagai warga sebuah kota atau negeri yang menegakkan aturan. Sebenarnya berbagai persoalan pelayanan atau keluhan yang muncul sudah didata oleh PU sebagaimana tertulis di http://www.pu.go.id/Common/Notice/Ntc_070704142624.pdf .
DPR harus memikirkan bagaimana agar pemerintah juga terlibat secara maksimal dalam pengelolaan jalan tol, bukan hanya diserahkan pada pengelola itu yang sudah jelas tidak mampu memberikan layanan yang maksimal. Misalnya jika pengelola “tidak mampu” menyediakan kamera atau alat-alat pemantau lain, pemerintah seharusnya turun tangan untuk membiayai. Karena bukankah jalan tol erat kaitannya dengan kegiatan pertumbuhan ekonomi? Bahkan secara budaya saya percaya bahwa situasi jalan di sebuah kota menggambarkan pemimpinnya yang dari jenis baboon atau manusia. Sehingga seharusnya yang menjadi pertimbangan utama kenaikan tarif jalan tol adalah kelancaran kegiatan pertumbuhan ekonomi bukan mempertimbangkan kelangsungan berjayanya para investor jalan tol atau pengelolanya. Apa gunanya menggairahkan investasi jalan tol, jika menghambat kegiatan pertumbuhan ekonomi di sektor lainnya.
Kita akan melihat dalam beberapa hari mendatang, apakah DPR lebih mengutamakan kepentingan segelintir pengusaha atau lebih mengutamakan kepentingan jutaan pengguna yang mewakili sebuah kegiatan pertumbuhan ekonomi sebuah kota bahkan negeri. Komisi V DPR betul-betul diharapkan masyarakat untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya, terutama mengenai tarif terbuka itu. Jika tidak, maka kami akan mengingat nama-nama anda dalam Pemilu 2009 nanti.
Jojo Rahardjo