Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label jalan. Show all posts
Showing posts with label jalan. Show all posts

Wednesday, September 12, 2007

SEPUTAR GUGATAN CLASS ACTION

SEBUAH ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT UNTUK IKUT BERPARTISIPASI DALAM MENGELOLA NEGERI INI.

Media Konsumen 11 September 2007

Sebagaimana sudah kita ketahui, karena permintaan banyak warga di seantero Jakarta, YLKI dan LBH saat ini sedang mengupayakan sebuah gugatan class action terhadap menteri PU dan Jasamarga karena telah menaikkan tarif tol seenaknya sehingga merugikan masyarakat (tidak hanya) pengguna jalan tol tetapi juga pengguna jalan raya secara umum. Rupanya arti jalan tol telah disederhanakan oleh pemerintah dan Jasamarga menjadi urusan iklim investasi jalan tol semata.

gambar dari Liputan 6 SCTV


Ketika beberapa bulan lalu terdengar kabar pemerintah SBY akan menaikkan tarif tol, banyak yang mengira bahwa niat pemerintah itu bakal tak ada yang bisa menghalangi. Komisi V DPR yang mengurus soal-soal antara lain perhubungan selain melempem, ternyata juga tidak memiliki martabat karena mau menerima fasilitas dari pemerintah dan Jasamarga untuk bisa menggunakan jalan tol secara gratis. Nama-nama mereka silahkan diingat-ingat agar tidak kita tidak tertipu lagi di Pemilu 2009 nanti ( http://www.dpr.go.id/dpr/komisi.php?kom=Komisi%20V ).

Situasi itu diperburuk lagi, karena ternyata ada Undang Undang No.38/2004 tentang Jalan yang menjadikan Komisi V DPR membusuk di gedung DPR yang megah itu karena terlalu banyak melongo tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif jalan tol atau terhadap kebijakan pemerintah dalam mengurus jalan tol yang amburadul.

Namun akhir bulan Agustus lalu, situasi suram masyarakat pengguna jalan tol dan jalan raya (yang ikut kebagian getahnya) tiba-tiba mendapatkan sedikit harapan setelah YLKI dan LBH bersedia membantu masyarakat untuk mengupayakan sebuah gugatan class action yang akan didaftarkan di pengadilan Jakarta Pusat tanggal 12 September ini. Akhir Agustus lalu itu, hanya dalam waktu beberapa hari saja setelah berita rencana gugatan class action itu, bermunculan berbagai dukungan untuk upaya ini. Gugatan class action ini bahkan juga akan diteruskan pada upaya untuk ke Mahkamah Konstitusi untuk memperkarakan UU tentang jalan yang dapat dan telah dapat ditafsirkan secara aneh oleh menteri PU dan Jasamarga.

Sebagaimana yang sudah ditulis oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tentang class action di situs ELSAM, www.elsam.or.id , bahwa “Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.” Harapan masyarakat pengguna jalan raya pun bertambah cerah. Bahkan apa yang disampaikan oleh ELSAM ini juga memberikan harapan pada seluruh lapisan masyarakat yang sering menjadi korban dari perilaku durjana para pejabat publik yang merasa jabatan yang dimilikinya membuat masyarakat tidak bisa mengkoreksi kebijakan yang diambilnya.

Class action ini akhirnya nanti bisa mendorong pejabat publik untuk melakukan apa yang sekarang populer dengan sebutan “konsultasi publik” sebelum mengambil sebuah kebijakan penting atau yang bisa berdampak luas pada masyarakat. Dalam kasus jalan tol, mungkin pejabat publik yang berkaitan tidak hanya bersifat durjana, tetapi juga sekaligus tolol dalam mengelola jalan tol sehingga selain mereka tidak bisa memberi iklim investasi yang baik bagi pengusaha jalan tol tetapi juga sekaligus tidak bisa memberi kepuasan bagi pengguna jalan tol (juga kerugian!).

Bahkan gugatan class action ini juga nanti bisa untuk menyeleksi pejabat-pejabat tolol yang memperoleh jabatannya hanya karena berkat partai politik yang memilihnya bukan karena rakyat yang memilihnya. Contoh yang paling anyar adalah jabatan gubernur Jakarta yang baru saja terpilih. Fauzi Bowo tidak dipilih oleh rakyat untuk bisa menduduki jabatan strategis itu, karena partai lah yang memiliki kesempatan pertama untuk memilih Fauzi Bowo atau calon gubernur lainnya. Setelah dipilih partai, baru lah rakyat memiliki kesempatan memilih. Sebuah cara berdemokrasi yang justru sebenarnya menjauhkan kita dari tujuan demokrasi.

Banyak pihak yang kuatir gubernur Jakarta yang baru ini akan menjalankan tugasnya dengan cara-cara membayar imbal-balik kepada partai-partai yang telah mengusungnya menjadi gubernur. Orientasi tugasnya dikuatirkan bukan pada kesejahteraan rakyat.

Di sinilah peran gugatan class action menjadi penting. Gugatan class action bisa digunakan untuk mengkoreksi gubernur yang baru nanti atau bahkan bisa digunakan untuk memaksa gubernur untuk selalu melakukan konsultasi publik ketika akan mengambil sebuah kebijakan publik yang penting atau bisa berdampak amat luas di masyarakat. Gugatan class action ini juga diharapkan bisa mendorong sebuah proses seleksi terhadap kapasitas atau kemampuan pejabat publik dalam bekerja. Jadi pejabat yang tolol silahkan dipinggirkan.

Contoh ketololan-ketololan pejabat publik sebenarnya banyak sekali terlihat atau dirasakan oleh masyarakat sehari-hari. Namun mungkin karena masyrakat sudah terlalu lama, puluhan tahun, ditololi, maka tidak seorang pun protes atau melakukan protes secara sungguh-sungguh atau secara efektif. Contoh sebuah ketololan pejabat publik adalah ketika memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang sudah macet adalah selalu dengan tidak memperdulikan kenyamanan atau kelancaran pengguna jalan. Mentang-mentang sedang memperbaiki jalan atau memperlebar jalan, maka jalan boleh dibikin macet parah berbulan-bulan lamanya. Ini menggambarkan tidak hanya ketololan pejabat publik tetapi juga sekaligus sifat durjana. Busway atau jalur khusus untuk (hanya) bis TransJakarta pun adalah sebuah contoh lain yang paling nyata dari ketololan dan kedurjanaan para pengelola kota Jakarta. Ketika tersedia contoh sistem transportasi umum lain yang terbukti baik dan telah diterapkan oleh banyak negara di Asia, Sutiyoso malah memilih sebuah sistem transportasi yang hanya digunakan di satu kota jauh di Amerika Latin, Bogota, Columbia. Lihat sekarang, jalur TransJakarta selain belum menunjukkan gunanya, jalur TransJakarta telah menghasilkan kemacetan baru di mana-mana karena belum dioperasikannya sistem transportasi umum ini secara penuh. Entah kapan beroperasi penuh…. TransJakarta yang menuntut jalur khusus itu kini ditolak di wilayah Pondok Indah karena dianggap akan merusak penghijauan dan akan menghasilkan keamburadulan jalan raya.

Contoh ketololan lainnya adalah bagaimana pemerintah daerah Jakarta menghadapi banjir di musim hujan yang bertambah parah setiap tahun. Pemerintah lebih suka berinvestasi dengan sangat besar pada banjir kanal yang banyak dikritik para ahli tata kota dan lingkungan hidup karena tidak akan maksimal mengatasi banjir di Jakarta. Konsep banjir kanal itu adalah warisan jaman Belanda yang situasi kota Jakarta di jaman sekarang sudah berubah sangat banyak. Semestinya sekarang Jakarta menyediakan banyak sumur-sumur resapan atau danau-danau (bukan puluhan mall) yang selain baik untuk lingkungan juga lebih murah dan efektif untuk mengatasi curah hujan yang tinggi di waktu musim hujan.

Contoh lain lagi adalah kegiatan penggusuran terhadap masyarakat miskin kota yang kian hari kian membuat kita ikut menjadi makhluk durjana, karena kian hari kita makin tidak peduli dengan keamburadulan rasa kemanusiaan orang-orang yang mengelola kota-kota besar kita ini. Pada banyak kasus, orang-orang miskin digusur justru setelah status tinggalnya diresmikan sendiri oleh pejabat di wilayah penggusuran itu dengan memberikan KTP, atau bahkan memungut retribusi atau Pajak Bumi dan Bangunan. Semestinya jika mereka digusur, maka berikan juga sangsi pada pejabat di wilayah itu yang telah membiarkan mereka bertahun-tahun tinggal bahkan bermatapencaharian di situ. Sekali lagi, barangkali gugatan class action bisa digunakan untuk persoalan seperti ini.

Class action juga bisa digunakan untuk menggugat perusahaan yang merugikan ribuan bahkan jutaan konsumennya seperti perusahaan kartu kredit di Indonesia. Sebagaimana bisa terlihat di http://www.mediakonsumen.com/ ini, kartu kredit adalah industri yang paling menguntungkan namun paling banyak menghasilkan keluhan dan kerugian finansial dan kerugiaan moril pada pemegang kartu kredit. Dengan berbagai cara perusahaan kartu kredit selalu lebih “cerdik” dalam menguras uang konsumennya. Salah satunya adalah dengan membebankan biaya meterai kepada pemegang KK pada setiap lembar penagihan. Padahal dasar hukumnya tidak ditemukan. Salah satu perusahaan KK yang melakukan ini adalah Citibank.

Hagus S. seorang warga Jawa Barat sebagaimana surat-suratnya di http://www.mediakonsumen.com/ ini telah dengan gigih mempertanyakan dan menolak untuk membayar bea meterai ini kepada Citibank. Salah satu alasannya adalah Citibank tidak bisa membuktikan biaya meterai itu sampai ke Dirjen Pajak atau Departemen Keuangan negeri ini. Sehingga tentu saja bea meterai yang dibebankan kepada pemegang KK bisa menguntungkan Citibank bermilyar-milyar Rupiah. Citibank akhirnya mengembalikan uang Hagus S. Sayang hanya Hagus S. saja yang dikembalikan. Bukan semua pemegang KK Citibank lainnya atau bahkan semua pemegang KK dari perusahaan lainnya.

Sekali lagi gugatan class action mungkin sebuah titik cerah bagi masyarakat yang butuh dan sudah saatnya lebih aktif ikut berpartisipasi dalam ikut mengelola negeri ini yang terlalu lama amburadul.

Jojo Rahardjo

Saturday, August 25, 2007

LAGI, KENAIKAN TARIF TOL

MediaKonsumen http://www.mediakonsumen.com/Artikel777.html

Sebagaimana yang sudah diberitakan di berbagai media sejak beberapa bulan lalu, bahwa tarif jalan tol akan dinaikkan, maka masyarakat pengguna jalan tol pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya menjadi dasar bagi kenaikan tarif tol ini? Jawabannya sebenarnya sudah tersedia juga diberbagai media.

Bahkan JORR (outer ring road) Cikunir akan menerapkan tarif terbuka atau jauh dekat bertarif sama sebagaimana tertulis di situs BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol), www.bpjt.net/index.php?id=11&itemid=56 . Meski di situs itu belum ditulis berapa tarif terbukanya, penerapan tarif terbuka ini tentu melukai hati dan rasa keadilan masyarakat pengguna jalan tol dalam kota, terutama yang setiap hari menggunakan jalan tol dalam kota untuk jarak yang pendek.

Meski jalan tol sedang sepi, tapi bis ini terus melenggang di lajur kanan (Jojo Rahardjo)


Betapa tidak bertanya-tanya, masyarakat pengguna jalan tol belum pernah mendapatkan penjelasan yang sungguh-sungguh mengenai hasil audit yang telah (?) dilakukan terhadap pengelolaan jalan tol dalam kota ini. Pengguna jalan tol hanya bisa pasrah berkali-kali dengan hasil keputusan menaikkan tarif tol yang dilakukan oleh “para wakil rakyat” di Komisi V DPR beserta Pemerintah dan pengelola jalan tol.

Menurut paparan berbagai media, pihak pengelola atau investor memiliki alasan utama dalam menaikkan tarif tol, yaitu pengembalian investasi dan untuk menutup biaya operasi. Kalau tarif tidak dinaikan, maka mereka akan rugi. Alasan lain yang dikemukakan adalah untuk memperbaiki layanan.


Meski jalan tol bukan diperuntukkan bagi sepeda motor, namun JasaMarga membiarkan pengantin baru ini dikawal oleh seekor sepeda motor konyol (Jojo Rahardjo)

Hisnu Pawenang, Kepala BPJT, dalam sebuah talkshow di radio di Jakarta 23 Agustus kemarin mengemukakan, bahwa kenaikan tarif tol yang akan diumumkan pemerintah bulan Agustus ini merupakan penyesuaian terhadap besarnya inflasi. Sayang BPJT tidak terlihat sungguh-sungguh mulai menegakkan Kepmen No 392 tentang Persyaratan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diterbitkan pada Juli 2005 yang harus dipenuhi oleh pengelola jalan tol.

Bahkan Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, mengecam kenaikan tarif tol yang berdasarkan pada besar inflasi. "Di negara lain, kenaikan tarif juga memperhitungkan mutu pelayanan operator dan efisiensi pengguna," kata Sudaryatmo. Menurutnya, kenaikan tarif berdasarkan inflasi justru tak mendorong operator untuk memberikan pelayanan prima kepada pengguna. Hasil audit BPJT Departemen Pekerjaan Umum atas Standar Pelayanan Minimum bisa digunakan untuk menunda kenaikan tarif pada ruas yang operatornya yang tak memenuhi standar. Operator jalan tol juga perlu membuka rencana bisnisnya kepada publik agar penetapan kenaikan tarif lebih transparan (www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/24/brk,20070624-102449,id.html).

Alasan kenaikan tarif untuk memperbaiki layanan adalah omong kosong yang sudah dilakukan sejak lama. Alasan ini adalah alasan yang menggelikan dan menyakitkan hati pengguna, karena dari sekian kali kenaikan tarif, ternyata mutu layanan tidak berubah. Pengelola jalan tol sering berkilah bahwa layanan yang diberikan sudah maksimal. Padahal misalnya jelas terlihat sering kemacetan bertambah parah di jalan tol karena layanan yang tidak maksimal.

Dalam Buletin Lintas Tol yang diterbitkan oleh pengelola di tahun 2005 lalu, ada tulisan yang amat menonjolkan soal menyalahkan pengguna dalam kesemrawutan lalu-lintas di jalan tol dalam Kota Jakarta. Misalnya dalam rubrik Kontak Layanan Tol disebutkan: “Sebenarnya kepedulian petugas terhadap pengemudi dan masyarakat pemakai jalan tol, sudah sejak lama direalisasikan termasuk melakukan tindakan tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi, namun yang menjadi permasalahan justru tingkat kesadaran pengemudi pada umumnya masih sangat rendah. Perlu kami tegaskan bahwa pada prinsipnya petugas jalan tol tidak akan pernah berhenti untuk menertibkan setiap bentuk pelanggaran yang terjadi melalui program penegakkan hukum seperti selama ini kami laksanakan. Sesuai data yang kami miliki pada 3 bulan pertama tahun 2003 tercatat sebanyak 1001 kasus pelanggaran yang dikenakan sangsi hukum berupa tilang.”

Kalimat-kalimat yang dituliskan di rubrik itu adalah “omong kosong”. Saya pengguna jalan tol dalam kota setiap pagi dan sore, yaitu pada saat tol dalam keadaan sibuk, tetapi tidak pernah melihat tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, apalagi program penegakan hukum yang disebutkan. Misalnya, kita masih melihat setiap hari dan setiap waktu adanya kendaraan yang menaikkan dan menurunkan penumpang tepat di depan hidung para “Orang Tol”. Kita juga masih melihat bus dan truk, atau kendaraan besar berada di jalur paling kanan, padahal mereka berjalan amat lambat. Dan pelanggaran yang paling sering adalah berjalan di atas bahu jalan, padahal kalau terjadi situasi darurat, mobil polisi, derek atau ambulan mau lewat mana lagi, kalau bahu jalan dipenuhi kendaraan “setan”. Jadi, soal penegakan hukum itu adalah omong kosong.

Bukan jumlah tilang yang banyak sudah dilakukan yang bisa menjadi ukuran bahwa pengelola sudah melakukan upaya untuk memperbaiki layanannya. Sebab jika jumlah itu dibandingkan dengan pelanggaran yang sebenarnya bisa menjadi upaya yang amat tidak berarti. Di mana-mana, di seluruh muka bumi ini, termasuk di negeri maju sekali pun, kalau tidak ada penegakan aturan, situasi lalu-lintasnya akan seperti di jalan tol dalam kota Jakarta. Tingkat kesadaran pengguna jalan tol amat bergantung dari pengelola dalam menegakkan aturan. Jadi jangan menyalahkan pengguna jalan tol, karena saya lihat pengelola belum memiliki fasilitas yang cukup untuk menegakkan aturan.

Berikut di bawah ini adalah rendahnya mutu pelayanan yang tercatat dalam pengamatan saya.

1.
Pengelola ternyata telah membiarkan kegiatan yang bisa membahayakan jalan tol. Sebagai contoh yang paling segar adalah kebakaran bangunan-bangunan liar di bawah jalan layang tol dalam kota di sekitar interchange Pluit Kilometer 24,8 Jembatan Tiga, Penjaringan. Ada banyak bangunan yang dibiarkan berdiri di bawah jalan tol di Jakarta ini. Pada kasus yang baru saja terjadi di Penjaringan itu mengakibatkan jalan tol harus diteliti seksama apakah masih layak digunakan atau harus dihancurkan dan dibangun kembali. Besar kemungkin jalan tol itu harus dibangun kembali. Kebakaran ini merupakan kebakaran kedua di ruas tol tersebut pada tahun ini. Kebakaran pertama terjadi pada 22 Mei lalu di sekitar simpang susun Pluit yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran terakhir. Jika ternyata harus dibangun kembali, siapa yang akan membiayai ketololan itu, tentu pengguna, bukan pengelola.

2.
Tidak ada penegakan aturan secara sungguh-sungguh. Misalnya jalur tidak digunakan oleh pengguna jalan tol dengan semestinya karena tidak ada sistem untuk menjaga agar pengguna patuh pada peraturan. Misalnya, kendaraan besar dan berat, seperti bis dan truk, tidak boleh berada di jalur tengah dan paling kanan. Kendaraan besar dan berat mengganggu kelancaran dan kenyamanan kendaraan lain jika berada di jalur tengah dan paling kanan karena akselerasinya lebih lambat. Kendaraan berat juga membahayakan kendaraan di depannya yang lebih kecil jika menabrak. Juga peraturan kecepatan kendaraan harus ditegakkan, yaitu kendaraan dengan kecepatan lebih rendah harus berada di jalur lebih kiri dari yang lebih cepat.

3.
Jalan tol adalah jalan bebas hambatan, tetapi coba hitung berapa banyak lubang yang tersedia, termasuk potongan kayu atau benda-benda lain di jalan tol. Menurut saya benda-benda itu terlalu banyak di jalan tol dalam kota. Ini menunjukkan kurangnya patroli atau buruknya sistem untuk menjaga jalan tol agar terus-menerus bebas hambatan. Padahal dengan kecepatan cuma 80 km/jam benda-benda itu menjadi sangat berbahaya, baik karena melindasnya atau karena menghindarinya.

4.
Meski pun sudah ada, tetapi saya kira, pengelola kurang serius menyediakan petunjuk tentang nomor telepon yang dapat dihubungi untuk situasi darurat, mengeluh atau melaporkan adanya ketidakberesan di jalan tol. Misalnya melaporkan adanya pengemudi ugal-ugalan, perampokan, benda-benda atau hal-hal yang mengganggu di jalan tol.

5.
Kurang lengkapnya jenis kendaraan petugas jalan tol. Semestinya petugas jalan tol tidak hanya dilengkapi dengan kendaraan roda empat, tetapi juga dengan kendaraan roda dua seperti di beberapa negara. Dengan kendaraan roda dua petugas dapat melaju di sela-sela kendaraan untuk memantau dan membereskan situasi jalan tol agar selalu nyaman dan aman bagi penggunanya yang telah ikut susah payah membiayai pembangunan jalan tol (bukan hanya investor saja yang membangun jalan tol!).

6.
Pelayanan di loket atau pintu tol kurang maksimal. Sebagai contoh loket layanan uang pas yang tidak pernah diberlakukan, padahal tertulis di atas gerbang, loket UANG PAS. Saya adalah salah satu dari sekian pengguna tol yang kerap menegur petugas loket Uang Pas agar memberlakukan aturan Uang Pas itu. Bahkan beberapa teman yang saya kenal menulis email ke Jasa Marga. Sering juga saya menemukan loket tol yang tidak dibuka semuanya pada pagi hari, padahal antrian sudah panjang. Saya menduga, petugas tol belum datang sehingga loket yang tersedia belum bisa dibuka. Contoh yang lain adalah tidak adanya tindakan yang pasti diambil untuk pengguna yang melakukan tindakan penyerobotan di dekat gerbang tol terutama pada saat terjadi antrian panjang. Seharusnya ada sistem yang disediakan untuk pengguna seperti ini, karena situasi ini selain mengacaukan antrian, juga amat tidak membuat nyaman atau bahkan melukai hati pengguna yang rela antri atau patuh pada aturan. Bahkan setelah kenaikan tarif berkali-kali ini, seharusnya pada saat jam macet setiap gerbang bisa memberlakukan lebih dari hanya 1 loket, misalnya 2 atau 3 loket sekaligus untuk mempercepat proses pembayaran. Bahkan menurut saya, karena jumlah pengguna semakin hari semakin bertambah sudah saatnya (mengapa terlambat?) untuk menerapkan pembayaran dengan sistem kartu voucher misalnya. Dengan kartu seperti itu, pengguna cukup menggesekkan kartunya di loket untuk mengurangi waktu berada di loket.

7.
Harus sudah dibuat sebuah sistem untuk memprediksi dan mengantisipasi kemacetan yang mungkin dan akan terjadi. Kamera mungkin adalah sebuah solusi yang gampang. Satu kendaraan yang mogok di jalan tol, apalagi kecelakaan, bisa mengakibatkan kemacetan yang parah di belakangnya. Juga, kamera ini bisa untuk menegakkan aturan dengan memberikan sangsi bagi pengguna yang mengganggu kelancaran atau mengganggu pengguna lain.

Sebenarnya masih ada bentuk pelayanan-pelayan lain yang jika disebutkan di sini akan terlalu panjang, misalnya bentuk-bentuk pelayanan yang tidak terlihat nyata, tetapi pelayanan itu yang bisa memunculkan rasa aman, rasa nyaman atau bahkan rasa bangga sebagai warga sebuah kota atau negeri yang menegakkan aturan. Sebenarnya berbagai persoalan pelayanan atau keluhan yang muncul sudah didata oleh PU sebagaimana tertulis di http://www.pu.go.id/Common/Notice/Ntc_070704142624.pdf .

DPR harus memikirkan bagaimana agar pemerintah juga terlibat secara maksimal dalam pengelolaan jalan tol, bukan hanya diserahkan pada pengelola itu yang sudah jelas tidak mampu memberikan layanan yang maksimal. Misalnya jika pengelola “tidak mampu” menyediakan kamera atau alat-alat pemantau lain, pemerintah seharusnya turun tangan untuk membiayai. Karena bukankah jalan tol erat kaitannya dengan kegiatan pertumbuhan ekonomi? Bahkan secara budaya saya percaya bahwa situasi jalan di sebuah kota menggambarkan pemimpinnya yang dari jenis baboon atau manusia. Sehingga seharusnya yang menjadi pertimbangan utama kenaikan tarif jalan tol adalah kelancaran kegiatan pertumbuhan ekonomi bukan mempertimbangkan kelangsungan berjayanya para investor jalan tol atau pengelolanya. Apa gunanya menggairahkan investasi jalan tol, jika menghambat kegiatan pertumbuhan ekonomi di sektor lainnya.

Kita akan melihat dalam beberapa hari mendatang, apakah DPR lebih mengutamakan kepentingan segelintir pengusaha atau lebih mengutamakan kepentingan jutaan pengguna yang mewakili sebuah kegiatan pertumbuhan ekonomi sebuah kota bahkan negeri. Komisi V DPR betul-betul diharapkan masyarakat untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya, terutama mengenai tarif terbuka itu. Jika tidak, maka kami akan mengingat nama-nama anda dalam Pemilu 2009 nanti.

Jojo Rahardjo