Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label film. Show all posts
Showing posts with label film. Show all posts

Thursday, June 24, 2010

ARIEL DAN SBY

Memberi hukuman pada pemeran video porno mirip artis terkenal itu adalah sebuah keharusan. Hukum memang terasa tidak adil bagi yang terkena hukuman, namun hukum dibuat salah satunya untuk mengancam orang lain agar takut melakukan perbuatan yang dilarang.

Kasus Ariel, Luna dan Cut Tari memang menggemparkan. Orang menyebut moralitas bangsa ini sudah rusak sekali, seolah-olah semua orang sudah melakukan sex bebas seperti dilakukan para pemeran video porno itu. Padahal saya yakin sekali, dari beberapa puluh tahun yang lalu hingga sekarang angka persentase orang yang melakukan sex bebas tetap sama. Teknologi video yang merambah hingga ponsel lah yang membuka tabir kehidupan sex bebas ini, sehingga seolah-olah angkanya bertambah, padahal sejak dulu kehidupan sex bebas juga ada tapi tidak terungkap.

Namun banyak orang benar untuk satu soal. Yaitu membuat video porno adalah perbuatan yang sangat salah, meski hanya untuk koleksi pribadi. Di zaman IT yang sudah begini canggih, boleh dibilang tidak ada lagi wilayah privacy. Video seperti itu disimpan di mana pun, apalagi di simpan di komputer, tentu mudah sekali untuk tersebar ke mana-mana. Sehinggga harus ditumbuhkan sebuah nilai moral baru, yaitu menyimpan video intim meski dengan pasangan sendiri yang syah adalah sebuah perbuatan yang dilarang. Video seperti ini memiliki daya rusak pada anak-anak yang belum ditanamkan ukuran-ukuran moral dengan kuat. Anak-anak tentu mudah meniru perbuatan-perbuatan seperti di dalam video itu yang seolah-olah hanya perbuatan biasa dan perbuatan yang normal dilakukan pasangan kekasih. Padahal mereka belum banyak tahu soal-soal lain yang berkaitan dengan perbuatan itu, misalnya soal kesehatan atau penyakit, soal reproduksi atau soal-soal emosional mereka di dalam hubungan mereka, bahkan soal-soal hukum.

Saya berpendapat, jika seorang presiden berkomentar soal video porno itu adalah sikap yang berlebihan. Saya juga heran, kok presiden ternyata seorang yang peka dan mudah malu gara-gara video porno itu. Bagi saya persoalan jalan raya dan lalulintas di Jakarta adalah persoalan yang lebih besar dan lebih memalukan dibanding soal video porno itu. Mestinya presiden jauh lebih peka dan merasa amat malu karena nggak mampu memperbaiki transportasi umum yang menyebabkan jalan raya menjadi macet dipenuhi mobil pribadi dan terutama motor. Situasi jalan raya sungguh menggambarkan kualitas pemerintahan. Banyak orang akhirnya memilih sebuah pilihan yang sebenarnya buruk, yaitu memilih moda transportasi motor roda dua, karena tidak ada transportasi umum yang memadai dan juga tidak memilih mobil karena akan terjebak di kemacetan. Namun, bukan memperbaiki sistem transportasi umum, pemerintah malah mencoba membatasi penggunaan kendaraan pribadi di jalan raya termasuk membatasi penggunaan motor.

Sudah sering saya menulis soal jalan raya itu dan saya tidak akan bosan untuk menyebut lagi bahwa bangsa ini terlihat biadab di jalan raya karena pemerintahnya yang membentuk bangsa ini menjadi seperti itu.

Aneh!

Wednesday, March 24, 2010

GREEN ZONE VERSUS BOM BUNUH DIRI

filHollywood memang kadang mengejutkan. Sebuah film baru saja diedarkan awal Maret 2010 di seluruh dunia. Green Zone, begitu judul film baru itu, bercerita tentang apa yang selama ini menjadi perdebatan di seluruh dunia, yaitu alasan mengapa Amerika menginvasi Irak?

Film itu membeberkan kembali ingatan orang di seluruh dunia yang mungkin hampir lupa, mengenai tuduhan mantan presiden Amerika, Bush, bahwa Saddam Hussein memiliki senjata WMD (Weapons of Mass Destruction) yang disembunyikan di wilayah Irak ternyata tidak terbukti atau hanya isapan jempol Bush semata. Berdasarkan tuduhan ini lah Irak diserang dan diduduki oleh Amerika. Padahal seharusnya alasannya adalah karena Saddam adalah seorang tyran yang kejam terhadap rakyatnya sendiri.

Film yang justru dibuat oleh orang-orang Amerika sendiri ini, seakan menjebloskan bangsa Amerika menjadi bangsa pembohong dan haus perang. Karena itu, beberapa pihak memandang film ini sebagai film anti Amerika, sebagiamana seorang movie reviewer, Kyle Smith, menyebut film ini sebagai "appallingly anti-American." Namun film ini menyegarkan kembali ingatan kita tentang bagaimana PBB sendiri tidak dapat menemukan apa yang dituduhkan oleh Bush itu. Pasukan Amerika digambarkan selalu gagal menemukan di mana WMD disembunyikan di Irak.
Film ini bisa menjadi salah satu alasan yang amat kuat untuk mematahkan cara pandang para suicide bomber atau terorist, karena melalui film ini, terlihat perang Irak bukan perang antara Amerika dengan Irak, atau Amerika dengan umat Islam, atau juga perang bangsa barat dengan bangsa timur, tetapi sebuah perang yang dikobarkan oleh segelintir orang gila, yaitu Bush dan gerombolannya.

Di dalam film ini digambarkan seorang komandan pasukan Amerika yang tugasnya mencari di mana WMD disembunyikan. Pasukan ini bekerja berdasarkan informasi yang diberikan oleh intelejen yang anehnya informasi yang diberikan selalu salah, atau WMD tidak pernah ditemukan. Karena penasaran, penyelidikan komandan ini terhadap mengapa informasi yang diberikan ini selalu salah ternyata secara mengejutkan membawanya kepada sebuah jaringan kebohongan yang berujung di Pentagon hingga White House.

Film ini terinspirasi dari sebuah buku non-fiction berjudul “Imperial Life in the Emerald City” yang ditulis oleh seorang journalist dari The Washington Post, Rajiv Chandrasekaran. Sayang film ini kekurangan konflik kejiwaan yang seharusnya dialami oleh komandan ini karena harus membeberkan kebohongan pemerintahan Amerika ke seluruh dunia dengan menulis surat ke seluruh media terkenal di dunia. Sebagai komandan pasukan Amerika tentu saja ini tindakan penghianatan atau tidak patriotik. Konflik kejiwaan seperti ini tidak digambarkan di dalam film ini. Tapi itu menjadi tidak penting, karena mungkin film ini maksudnya memang sekedar ingin mempertontonkan kebohongan itu semata, bukan bermaksud untuk menjadi film yang bercerita dengan bagus mengenai profile seorang komandan pasukan Amerika.

Sutradara film ini, Paul Greengrass (Inggris) dan aktornya, Matt Damon (Amerika), tentu saja hanya wakil dari salah satu dari sekian juta orang Amerika dan Inggris, bahkan juga sekian ratus juta orang di seluruh dunia yang tidak menyukai atau tidak menyetujui perang di Irak. Tidak semua orang Amerika, atau tidak semua orang yang berkulit putih, atau beragama bukan Islam adalah musuh, karena ternyata mereka juga tidak berpihak pada Bush dan gerombolannya.

Film ini, sekali lagi, menjadi salah satu alasan yang tepat, bahwa bom bunuh diri yang selama ini dilakukan oleh orang-orang yang merasa berada di jalan Allah SWT adalah salah. Film ini pantas dijadikan alat untuk mengedukasi masyarakat kita yang mudah terjerumus pada radikalisme sempit atau terorisme.

Tulisan ini memang bermaksud untuk menggembosi terorisme yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku atau berkeyakinan berada di jalan Allah SWT. Mereka ini termasuk orang-orang yang mengiringi penguburan terorist yang tewas dengan memekikkan nama-nama Allah SWT dan menyebut terorist dengan sebutan mujahid (pejuang di jalan Allah SWT). Oleh karena itu saya menambahkan satu kisah di bawah ini yang diambil dari catatan sejarah Islam mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang pada periode awal pasca wafatnya Nabi Muhammad. Celakanya kelompok ini yakin berada di jalan Allah SWT ketika melakukan kekerasan itu. Kisah di bawah ini sebenarnya telah saya tulis untuk sebuah kerangka yang berbeda di tulisan yang lain.

ABDURRAHMAN IBN MULJAM, TERORIST YANG “BERADA DI JALAN ALLAH SWT”

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini sebenarnya didalangi oleh kelompok yang kemudian disebut sebagai Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding orang-orang yang mereka anggap musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi suicide bomber, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah SWT untuk berjuang di jalan Allah SWT dengan cara suicide bomber, berhati-hatilah, karena mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah contoh tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang dilakukannya kemudian.

Jojo Rahardjo

Wednesday, June 10, 2009

ADAM DAN HAWA DI DALAM FILM "KNOWING"

MediaKonsumen, Jumat, 29 Mei 2009

Saya baru menonton film yang sebelumnya saya kira sebuah film misteri, film tentang kejadian supranatural atau film science-fiction. Akhir-akhir ini saya memang jarang membaca ulasan-ulasan tentang film yang beredar. Sehingga beberapa waktu yang lalu saya memilih secara asal sebuah film yang berjudul “Knowing”. Namun demikian sebelumnya saya sempat membaca sinopsis film ini di website Cinema 21 yang menggambarkan film ini adalah sebuah fiksi supranatural mengenai ramalan tentang bencana-bencana di Bumi yang bakal terjadi.

Kisahnya bermula di tahun 1958 di sebuah sekolah dasar di Amerika. Seorang anak perempuan bernama Lucinda, tidak membuat gambar tentang masa depan sebagaimana yang diperintahkan oleh ibu gurunya. Ia malah menulis sederet angka-angka acak tanpa makna sehalaman penuh dan bolak-balik. Tugas membuat gambar itu dimaksudkan oleh sekolah untuk menjadi sebuah kenang-kenangan dari sekolah itu tentang imajinasi apa yang dapat dibuat seorang anak.
Gambar-gambar ini kemudian disimpan dalam sebuah tabung kedap udara dan dikubur atau disimpan di dalam tanah untuk dibuka kembali 50 tahun kemudian, yaitu di tahun 2009.

50 tahun kemudian tabung itu dibuka kembali dan halaman berisi deretan angka-angka yang dibuat Lucinda diberikan kepada seorang anak laki-laki, Caleb yang bersekolah di tempat yang sama. John Koestler, ayah Caleb secara tak sengaja melihat halaman berisi angka-angka milik anaknya ini dan tertarik untuk mencari tahu arti deretan angka-angka ini. Karena John adalah seorang profesor astrofisika dan dengan melakukan Googling, tidak sulit bagi John untuk menemukan bahwa deretan angka-angka itu adalah angka-angka yang menunjukkan tahun-tahun dan tanggal kejadian beberapa bencana di Bumi beserta angka jumlah korban dalam 50 tahun terakhir ini. Artinya saat deretan angka-angka ini ditulis, bencana-bencana itu belum terjadi namun sudah dituliskan di kertas itu atau diramalkan. Namun ketika John mencoba mendiskusikannya dengan teman sejawatnya, temannya menganggap angka-angka itu cuma ”kebetulan” belaka. Deretan angka-angka itu cuma mirip dengan tanggal-tanggal kejadian bencana dan jumlah korbannya, karena menurut dia hanya separuh dari deretan angka-angka itu yang bermakna seperti itu. Sementara sisanya tidak memiliki arti apa-apa. Menurut temannya, John hanya masih sedih dan bingung dengan kematian istrinya beberapa tahun lalu. Kondisi depresi ini mungkin membuat John kehilangan kemampuan berpikir jernih ketika melihat sederetan angka-angka aneh itu. Pada babak ini, penonton dibuat penasaran dengan apa selanjutnya yang akan muncul.

Singkat cerita, John akhirnya menemukan arti dari sisa deretan angka-angka yang sebelumnya tidak memiliki makna itu, yaitu ternyata adalah nomor kordinat lokasi di permukaan bumi atau longitude dan latitude (angka lintang utara-selatan dan bujur barat-timur) yang menunjukkan lokasi di mana bencana-bencana itu terjadi selama 50 tahun terakhir ini. Sehingga lengkap lah ramalan bencana-bencana itu, kecuali masih ada 3 bencana lagi yang belum terjadi. Bencana apa itu? Dan akan kah bencana-bencana itu berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh di dalam film ini?

Sejak awal hingga tiga perempat bagian, film ini biasa-biasa saja. Karena yang baru atau original cuma deretan angka-angka itu. Film ini cuma seperti film-film misteri biasa atau science-fiction (X-Files the series, atau Contact the movie) atau film-film mengenai kejadian supranatural. Saya berharap film ini misalnya mengenai sesuatu pengungkapan yang berani tentang fakta sejarah yang terkubur lama, misalnya seperti di film Passion of the Christ.

Tapi Film ini menjadi lebih menarik di bagian akhir, setelah muncul sosok mirip manusia, tetapi digambarkan seperti sosok bercahaya. Tentu berkat teknologi special effect sekarang, sosok ini digambarkan sebagai makhluk yang terbentuk dari cahaya, bukan sosok yang bercahaya. Pembuat film ini nampaknya memang sengaja ingin penontonnya melihat sosok ini bergerak dan berperilaku seperti cahaya. Mungkin maksudnya agar kita menafsirkan sebagai malaikat atau makhluk ET yang jauh lebih extraordinary atau advance daripada yang digambarkan di film-film sebelumnya seperti di film Extra Terrestrial atau film Artificial Intellingence. Tokoh bercahaya ini menjadikan film ini mulai berbeda arahnya. Namun demikian film ini bukan “Contact” yang penuh dialog “ketuhanan” meski pun dengan bahasa science. Ada memang beberapa adegan di dalam film Knowing ini yang dialognya hanya akan menyentuh penonton yang memiliki kepekaan terhadap soal-soal determinism atau takdir di dalam ilmu fisika. Simak sebuah dialog di dalam film ini: “The teory of Randomness said, it’s all simply coincidence. There is no grand meaning”.

Lebih menarik lagi pada bagian paling akhir, karena ternyata film ini seperti mau mengolok-ngolok kepercayaan umat manusia yang usia kepercayaan itu sudah beribu-ribu tahun lamanya, terutama sejak jaman Nabi Ibrahim (Nabi yang diakui oleh 3 nabi setelahnya, Musa, Isa, dan Muhammad). Selama ini kita kita dijejali sejak kecil kepercayaan tentang bagaimana kehidupan manusia bermula, yaitu bermula dari Adam dan Hawa. Sebagai bumbunya, kadang Adam diceritakan dibuat dari tanah liat kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya. Lalu Hawa dibuat dari tulang rusuk Adam. Cerita-cerita seperti itu akrab dengan kita sejak kecil. Cerita itu tentu bukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang bisa dicarikan bukti empiriknya, tetapi lebih seperti kisah-kisah yang sering diselipkan di dalam ajaran agama. Meski demikian ada juga versi dari agama yang dibuat lebih bernuansa science mengenai asal-muasal manusia atau mengenai Adam dan Hawa ini.

Konsep Adam dan Hawa di dalam film ini sebenarnya memang bukan konsep yang original, karena sudah ada perdebatan panjang bernuansa science di luar dunia fiksi dan film mengenai konsep Adam dan Hawa. Namun penyelipan konsep ini ke dalam sebuah film ternyata bisa menjadi sebuah film yang menghibur dan penonton tidak menduga arah cerita hingga menjelang bagian akhir film ini. Penonton dibuat mengira sedang menonton sebuah film misteri biasa atau film tentang supranatural biasa atau science-fiction. Tetapi di bagian akhir penonton dibuat surprise, karena ternyata film ini base on sebuah konsep lama mengenai asal-muasal manusia atau konsep Adam dan Hawa. Tetapi mungkin bisa juga pembuat film ini hanya menyelipkan kisah Adam dan Hawa agar film ini menjadi menarik. Nampaknya itu yang memang diharapkan oleh pembuat film ini seperti yang dikatakan oleh pembuat film ini: “Knowing will be the kind of film that starts conversations that continue long after the audiences have left the theater”.

Cerita di film ini memang tidak rumit, bahkan terkesan ragu-ragu dalam mengambil tema cerita. Film ini pada bagian akhirnya juga boleh disebut sebagai film tentang kiamat di Bumi seperti film Armagedon atau film Deep Impact, tetapi sejak awal penonton dibuat terkecoh ke dalam misteri deretan angka. Hanya di bagian akhir film ini saja tergambar bagaimana planet Bumi hancur dan kehidupan di dalamnya musnah oleh adanya badai matahari besar. Tidak ada dialog yang panjang mengenai bagaimana kiamat itu akan terjadi dan tidak seperti Armagedon dan Deep Impact, tidak ada perjuangan untuk mencegah kiamat itu.

Bagian akhir film ini bercerita tentang bagaimana kehidupan di Bumi yang akan binasa yang disebabkan oleh adanya badai matahari yang luar biasa besar di tahun 2009 ini (sebenarnya memang ada ramalan astrophisic bahwa di tahun 2012 nanti akan ada badai matahari besar namun tidak mengakibatkan kiamat). Radiasi sinar matahari akan menjebol athmospher sehingga permukaan Bumi langsung menyala terbakar. Hanya akan sedikit organisme yang bisa bertahan hidup dalam kondisi terpapar radiasi langsung matahari ini, bahkan hingga 1,5 km di bawah permukaan Bumi. Situasi ini mungkin sama dengan banyak gambaran kiamat dari beberapa agama. Cuma bedanya, kiamat ini bisa diramalkan tanggal dan jamnya. Lalu bagaimana dengan kelangsungan hidup manusia? Ini kah Hari Akhir, Judgement Day, Doomsday, Hari Kiamat?

Ternyata sudah ada 2 orang yang dipilih sejak lama untuk menjadi penerus umat manusia yang akan musnah di bumi tadi. Mereka dipilih oleh makhluk-makhluk bercahaya tadi. Sebagaimana sudah disebut sebelumnya, pembuat film ini mungkin ingin penonton berpikir makhluk-makhluk itu adalah malaikat, meski menurut kacamata science, mereka adalah para aliens yang peduli dengan kelangsungan kehidupan manusia, namun dengan kecerdasan sangat advance ini lah mungkin mereka boleh disebut sebagai malalikat (yang akhirnya memiliki moral yang tinggi). Aliens ini telah memilih 2 orang pria dan wanita untuk menjadi “Adam dan Hawa” dari sekian milyar manusia di Bumi untuk melanjutkan kegiatan beranak-pinak umat manusia di planet lain yang digambarkan oleh film ini mirip dengan paradise sebagaimana gambaran tentang paradise dari beberapa agama.

Saya mungkin memang cenderung cynical, sehingga saya menganggap film ini adalah olok-olok buat kita yang percaya pada kisah Adam dan Hawa tanpa mempertimbangkan science tentang asal-muasal alam semesta, Bumi, dan umat manusia di planet Bumi ini. Meski olok-olok, tapi saya kasih acungan jempol, karena film ini memiliki sense of humour yang tinggi karena bisa mempermainkan kita di dua pertiga film dan memberi kejutan yang cerdas di bagian akhir.

20 April 2009

Jojo Rahardjo

Wednesday, January 10, 2007

MASYARAKAT FILM INDONESIA DAN EGO YANG MEMBENGKAK

Tulisan ini dimuat di MediaKonsumen.com
10 Januari 2007

Tulisan ini saya buat sebagai respon seorang konsumen film Indonesia terhadap para sineas yang sedang berpolemik mengenai penyelenggaraan FFI dari tahun 2004-2006. Tulisan ini juga bermaksud menyeimbangkan gebyar pernyataan tentang penyelenggaraan FFI yang beberapa hari terakhir ini didominasi oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI).

Misalnya seputar tidak adanya transparansi juri dalam menilai sebuah film. Ternyata menurut para juri FFI, mereka telah mengikutsertakan sineas muda yang tergabung dalam MFI itu, namun karena mereka sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak bisa menjadi juri FFI sebagaimana dikutip dari KafeGaul.com: “Mengenai tidak masuknya sineas muda dalam daftar dewan juri, Adi Soerya Abdi (Ketua Pelaksana FFI 2006) menjelaskan bahwa sebelum dewan juri ditetapkan, pihaknya sudah menjaring dua ratus nama dan sudah didaftar, termasuk para sineas muda tersebut. Tapi mereka tidak ada yang bersedia dengan alasan sibuk syuting dan sedang berada di luar negeri” ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Juga menurut MFI, dasar penilaian dewan juri tidak jelas. Padahal juri yang beranggotakan Noorca M. Massardi, Embi C. Noer, Eddy D. Iskandar, Remy Silado, dan W.S. Rendra menyatakan memiliki dasar pertimbangan yang jelas untuk lebih memilih Ekskul sebagai film terbaik 2006. Di situs Gatra.com: “Menurut Noorca, kelima film itu punya nilai sama dari sisi teknis. Maka, penilaian dari sisi tema jadi pertimbangan pertama. "Film ini mengandung pesan moral anti-kekerasan yang saat ini menjadi pemandangan umum dalam kehidupan kita," ujar Noorca ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=100979 )”. Meski demikian Denias, Senandung di Atas Awan (DSDAA) juga memiliki pesan moral untuk selalu berjuang mendapatkan pendidikan yang layak.

Jika pertimbangannya bukan karena pesan moral, tetapi pertimbangan kategori yang dimenangkan sebuah film, DSDAA, bisa memenangkan kategori film terbaik, terutama karena penulis skenario cerita asli berada di DSDAA dan begitu juga kategori sinematografi yang bisa membuat sebuah film lebih dihargai dibanding sekedar disutradarai dan diberi musik atau diedit sebagaimana kategori yang digondol oleh Ekskul.

Beberapa pernyataan serius memang telah dikeluarkan oleh MFI, terutama dalam protes mereka yang diberi nomor 1: “Terhadap penyelenggaraan dan hasil penjurian FFI 2006: protes ini didasarkan pada fakta Film 'Ekskul' produksi PT Indika Entertainment yang memenangi piala citra sebagai film, terbaik, menurut kami telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik film. Situasi ini membuktikan, buruknya kualitas penyelenggaraan FFI dan rendahnya kompetensi pihak penyelenggara FFI yang antara tahun 2004-2006 diselenggarakan secara tidak transparan, baik dalam sisi pelaksanaan dan finansial.”

Tuduhan pelanggaran hak cipta yang dilemparkan MFI tentu akan mendatangkan implikasi hukum, termasuk tuduhan tidak transparan dalam pelaksanaan dan finansial (mungkin maksudnya korupsi). Sedangkan pernyataan tentang rendahnya kompetensi juri FFI, sebaiknya ada rincian dan argumen yang mendukungnya, agar pernyataan ini bukan pernyataan asal bunyi.

Dalam sebuah wawancara dengan media TV, sutradara terbaik 2004 Rudi Soedjarwo, mengatakan bahwa ada penjiplakan karya musik orang lain di dalam Ekskul, sehingga tidak pantas untuk dijadikan film terbaik. Sementara itu menurut salah satu juri, Remy Silado, berdasarkan undang-undang, harus ada kesamaan minimal 8 bar baru sebuah karya musik disebut menjiplak. Musik di dalam Ekskul tidak menjiplak, karena kurang dari 8 bar. Persoalan penjiplakan ini menunjukkan MFI kurang menggunakan sudut pandang hukum yang justru bisa menjadi bumerang. Tuduhan penjiplakan ini mungkin ada babak lanjutannya, karena Noorca Masardi, salah satu dewan juri FFI, mengatakan agar masalah ini akan diselesaikan lewat makanisme hukum. ”Harus ada bukti, karena tuduhan itu termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan.” (http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Sedangkan tuntutan lain dari MFI: “Melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaraan sensor film dengan mengganti LSF menjadi sebuah lembaga klasifikasi film,” adalah kurang logis, karena pekerjaan Sensor Film tentu berbeda dengan pekerjaan Klasifikasi Film. Kecuali maksud MFI adalah cuma melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaran sensor film sebagaimana disebut di awal tuntutan ini.

Protes dan tuntutan MFI ditutup dengan kalimat yang menurut saya agak menggelikan:
”Sikap ini kami ambil sebagai wujud tanggung jawab kami kepada masyarakat yang selama ini mendukung keberadaan kami dan menjadi salah satu alasan utama mengapa kami terus bekerja dan berkarya.”

Apakah betul masyarakat mendukung keberadaan MFI yang sudah bekerja dan berkarya di dunia perfilman? Karena menurut kacamata industri perfilman, film Indonesia kurang ditonton dibandingkan dengan film-film dari luar, Holywood misalnya. Silahkan berhitung dengan angka-angka, bukankah ini industri? Itu sebabnya film Indonesia beberapa tahun terakhir ini dibuat untuk pasar orang muda yang belum lagi melek film, meski ada juga (hanya beberapa saja) yang dibuat secara serius untuk target yang lebih bisa mengapresiasi film bermutu baik. Atau dengan kalimat yang lain lagi film Indonesia belum menjadi tuan besar di negeri ini. Jadi dukungan masyarakat kepada MFI masih menjadi mimpi besar yang akan menjadi kenyataan beberapa tahun lagi atau beberapa puluh tahun lagi, bukan sekarang.

Mereka memang bermaksud memajukan dunia film Indonesia, tapi dengan cara yang meletup-letup, kontroversial atau asal “geber” aja. Sayangnya, MFI tidak ingin membuat FFI tandingan. Padahal dengan membuat FFI tandingan atau sekedar membuat penilaian tandingan yang jurinya mereka sendiri, justru amat penting dalam perjuangan MFI dan mungkin akan lebih efektif dan simpatik. Namun sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh sutradara terbaik 2005, Riri Reza, MFI tidak akan menyelenggarakan FFI tandingan. Namun anehnya, Riri menyatakan “...ingin membentuk organisasi independen, bukan dari pemerintah yang mengurusi soal perfilman Indonesia, sebuah komisi film yang diinisiasi oleh kalangan perfilman, kalangan profesional yang punya kepedulian, punya kesadaran bahwa kita harus melindungi diri kita ( http://kafegaul.com/sinema/article.php?id=27673&cat=3 ).

Sekali lagi, kenapa tidak bikin FFI tandingan? Padahal sejarah FFI sendiri awalnya berasal dari kalangan film sendiri. Kemudian berbagai kekuatan politik, mulai dari Lekra hingga Orde Baru membuat FFI dicampuri atau penyelenggaraannya menjadi tidak independen. Pemerintah mulai menangani FFI lewat Penetapan Presiden No 1/1964, dan tahun 1974, Pemerintah memberi nama Citra sebagai anugrah untuk sebuah karya film.

Memang aneh, jika tidak mau membuat FFI tandingan, karena MFI Indonesia justru saat ini sedang merengek, mendesak Pemerintah untuk segera membantu atau “meneteki” MFI yang sedang belajar melompat ke depan. Seharusnya, jika MFI bermaksud independen, tentu tidak perlu minta bantuan Pemerintah ketika tidak menyukai penyelenggaraan FFI.

Kecuali maksud MFI datang kepada menteri Kebudayaan dan Pariwisata adalah untuk mendapat perhatian yang lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat terhadap persoalan perundangan perfilman, tentu langkah ini boleh disebut lumayan. Tetapi ini adalah sebuah langkah yang amat panjang seperti yang dikatakan oleh Sophan Sophian, yang pernah berada di DPR, bahwa MFI tidak tahu betapa panjangnya proses untuk sebuah revisi undang-undang. Bahkan Menteri Jero Wacik pun ketika didatangi oleh MFI menghimbau: “Saya mengajak semua insan film, menghadap ke DPR, karena di sanalah penggodokan UU.”

Meski bakal menjadi perjalanan yang panjang MFI, menurut Riri Reza, akan membentuk kelompok-kelompok kerja yang akan merumuskan usulan, tatanan pengelolaaan film Indonesia yang baru, dan mendesak perubahan serta kebijakan pemerintah tentang film Indonesia. Riri menjanjikan bahwa MFI bakal melaporkan pekerjaan mereka tersebut kepada masyarakat ( http://www.gatra.com/artikel.php?id=101101 ). Ok, deh....

Cara MFI ini memang boleh disebut kasar, jika dibandingkan dengan jika mereka membuat FFI tandingan. Mungkin ini disebabkan ego mereka yang merasa industri film Indonesia telah hidup kembali berkat para sineas muda ini. Meski demikian, sutradara Garin Nugroho menegaskan: “sudah saatnya masyarakat perfilman Indonesia mereformasi lembaga perfilman yang selama ini masih carut-marut” ( http://www.tribunkaltim.com/viewweb.php?id=10854 ).

Namun apa pun gaya atau cara MFI ini dalam mengekspresikan idealismenya, saya yakin, memang merekalah yang akan menentukan industri film Indonesia ke arah mana.... baik atau buruk....

Jojo Rahardjo