Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label korupsi. Show all posts
Showing posts with label korupsi. Show all posts

Thursday, April 29, 2010

KORUPSI, SEBUAH KUTUKAN UNTUK NEGERI INI?

Korupsi. Seolah kata itu baru saja populer beberapa bulan terakhir ini, padahal kata itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptus, dan dalam bahasa Inggris corrupt yang berarti merusak, sehingga corruption atau korupsi berarti juga kerusakan.

Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/corruption/ , menyebut latar belakang korupsi bukan hanya soal perbuatan mencuri uang atau memperkaya diri sendiri atau kelompoknya, tapi juga perbuatan penyalahgunaan kekuasaaan atau jabatan. Dalam beberapa kasus korupsi yang terjadi adalah bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Nah, di Indonesia kasus korupsi yang terjadi beberapa bulan terakhir ini untuk tujuan apa?

Economic corruption is an important form of corruption; however, it is not the only form of corruption. There are non-economic forms of corruption, including many types of police corruption, judicial corruption, political corruption, academic corruption, and so on. Indeed, there are at least as many forms of corruption as there are human institutions that might become corrupted. Further, economic gain is not the only motivation for corruption. There are a variety of different kinds of attractions that motivate corruption. These include status, power, addiction to drugs or gambling, and sexual gratification, as well as economic gain.

Kita sering melihat korupsi hanya sebagai sebuah perbuatan pencurian uang negara. Korupsi kurang terlihat berdampak kepada kehidupan sehari-hari kita. Padahal korupsi berdampak sangat luas. Korupsi bahkan sebenarnya mengancam keselamatan Bumi. Bayangkan jika karena korupsi di Pertamina (yang tak kunjung dibongkar) dan lembaga-lembaga yang berkaitan, Indonesia terus menggunakan minyak Bumi sebagai sumber energinya. Bayangkan kerusakan yang disumbangkan Indonesia untuk global warming. Padahal Indonesia kaya dengan sumber energi alternatif, seperti matahari atau panas bumi.

Beberapa kejadian akhir-akhir ini semakin menjelaskan perilaku korup para pemimpin negeri ini yang juga telah mengancam kehidupan masyarakat yang beradab atau yang seharusnya dimuliakan. Lihat tindakan Pemprov DKI yang memaksa dengan kekerasan untuk “melenyapkan” sebuah situs sejarah penyebaran agama di daerah Tanjung Priok. Padahal di tempat itu juga sudah menjadi tempat diadakannya kegiatan-kegiatan ritual agama selama puluhan tahun. Fauzi Bowo sebagai kepala pengelolaan kota Jakarta merasa lebih pintar dari para ahli pariwisata, ahli sejarah dan ahli agama apa pun dengan memaksa dengan kekerasan untuk merubah situs itu menjadi hanya sebuah tugu kecil di dalam sebuah terminal peti kemas semata. Padahal masih banyak cara dan tempat untuk membangun terminal peti kemas di daerah lain di Tanjung Priok. Padahal juga terminal peti kemas di Tanjung Priok bukan sebuah gagasan yang bagus jika sepanjang tahun jalan raya Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu dalam keadaan hancur.

INTERPOL di dalam situsnya, http://www.interpol.int/public/corruption/default.asp , menyatakan bahwa korupsi mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. “Corruption undermines political, social and economic stability. It threatens security and damages trust and public confidence in systems which affect people’s daily lives. Although corruption frequently occurs at local or national level, its consequences are global; its hidden costs immense.”

Oleh karena itu tulisan ini adalah catatan tentang bagaimana dampak korupsi terlihat sangat nyata di jalanan kota-kota besar, seperti Jakarta. Berjuta-juta orang harus bergelut, melindas, menyikut atau menginjak satu sama lainnya, bahkan bertaruh nyawa setiap pagi dan sore di jalanan kota Jakarta yang centang perenang, amburadul, acak-acakan, gara-gara korupsi di negeri ini.

Jalan raya kota besar, apalagi jalan raya ibukota sebuah negeri adalah sebuah potret yang akurat tentang kinerja pemerintahnya. Korupsi di negeri ini, sebagaimana yang katanya sedang diberantas, nampak jejaknya dengan jelas di jalan raya kota Jakarta, misalnya dalam bentuk kondisi permukaan jalan atau kondisi rambu-rambu atau lampu lalu-lintas yang tidak pernah dalam kondisi baik. Begitu juga kemacetan dan amburadulnya lalu-lintas di Jakarta menggambarkan bagaimana pemerintah bekerja dalam menegakkan hukum dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, misalnya kebutuhan pada tranportasi umum yang layak.

Angkutan umum justru dianggap sebagai pengelola kota Jakarta sebagai biang keladi atau penyebab kemacetan lalu-lintas. Angkutan umum tidak disiplin. Mereka berhenti di mana saja dan menyerobot apa saja untuk bisa lebih cepat untuk mendapatkan penumpang. Padahal, coba anda berada pada posisi pengemudi angkutan umum, seperti bis, metromini, angkot atau mikrolet. Beban hidup mereka sudah terlalu berat untuk mereka pikul, sementara itu mereka juga harus sekaligus memikul beban sebagai alat pemerintah dalam menyediakan transportasi umum bagi masyarakat luas. Beban hidup mereka antara lain adalah rumah yang layak, biaya sekolah anak-anak, biaya kesehatan, yang tidak termasuk biaya untuk rekreasi atau pun biaya untuk mendapatkan pendidikan tambahan agar bisa memiliki daya saing dibanding orang lain. Atau bahkan biaya untuk memperbaiki spritualitas mereka. Dengan beban hidup sebegitu besar kita mau berharap mereka bisa menjadi agen pemerintah yang baik dalam menyediakan transportasi umum? Tentu itu gila!

Transportasi umum seharusnya dianggap sebuah investasi bagi sebuah aktivitas ekonomi sebuah daerah. Jika aktivitas ekonomi lancar, maka pemerintah pun bisa diuntungkan. Sehingga jika tidak ada korupsi, pemerintah seharusnya mensubsidi transportasi umum dengan cara memberi tunjangan bagi para pengemudi angkutan umum, seperti tunjangan rumah, kesehatan, dan pendidikan. Besarnya tunjangan bagi para pengemudi angkutan umum ini tentu tidak akan lebih besar dari besar pemborosan bahan bakar yang terbuang pada saat terjadi kemacetan di jalan-jalan raya. Menurut Kompas (5/11/2007), kemacetan ini telah menimbulkan kerugian material sebesar 42 triliun rupiah. Apalagi jika mempertimbangkan sumbangan yang diberikan oleh kemacetan pada global warming.

Akibat dari gagalnya pemerintah dalam menyediakan transportasi umum ini, berjuta-juta orang memilih untuk menggunakan sepeda motor dengan amat sangat terpaksa sekali. Padahal sebenarnya mengendarai sepeda motor pada jam-jam macet bukan kegiatan yang nyaman atau membanggakan. Karena resikonya besar untuk mengalami berbagai kecelakaan dan sakit karena terkena polusi langsung di jalanan. Namun berjuta-juta orang itu telah memilih menggunakan sepeda motor karena sistem transportasi umum yang tersedia amat tidak handal dan bahkan relatif mahal dan terutama tidak layak karena tidak pernah berada pada prioritas teratas dari kerja pemerintah.

Mengendarai sepeda motor bukan hanya menghemat ratusan ribu rupiah setiap bulannya, tetapi juga bisa menghemat waktu. Lautan sepeda motor di jalan raya yang amburadul ini tentu akan otomatis hilang jika transportasi umum tersedia secara baik. Jadi silahkan salahkan siapa yang membuat sebuah situasi jalan raya Jakarta dan sekitarnya menjadi amburadul, sehingga orang memilih menggunakan sepeda motor untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Dan silahkan juga membayangkan di tahun depan berapa ribu motor lagi yang akan bertambah untuk membuat anda gila karena melengkapi kesemrawutan jalanan Jakarta.

Selain persoalan transportasi umum, persoalan pemeliharaan jalan adalah persoalan korupsi yang dampaknya setiap hari langsung dirasakan oleh masyarakat. Di mana-mana jalan rusak bertebaran. Tidak peduli di jalan protokol sekali pun. Tentu jalan rusak ini selalu diperbaiki oleh Pemerintah. Namun justru di sanalah masalahnya. Karena uang selalu dihamburkan untuk memperbaiki jalan yang selalu rusak. Tidak ada jalan yang bertahan lebih dari setahun. Tidak sulit memahami bagaimana pemerintah merawat jalan raya, karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak dalam hitungan bulan dan tanpa peduli korban sudah berjatuhan agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru yang masih kecil. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal beberapa centimeter di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini dan siapa yang memperoleh keuntungan dari cara kerja perbaikan jalan seperti ini. Bahkan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Rambu, baik tanda lalu-lintas hingga lampu lalu-lintas sering dalam kondisi rusak atau asal-asalan. Padahal kondisi itu menghasilkan ketidakpastian aturan sehingga jalan menjadi acak-acakan dan membahayakan pengguna jalan. Seharusnya tidak boleh ada satu pun, misalnya lampu-lintas yang boleh rusak dalam waktu lebih lama dari 1 jam. Di Jakarta berapa lampu lalu-lintas yang mati dari 10 lampu lalu-lintas? Lampu lalu-lintas yang mati itu bisa berlangsung hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Di mana pun orang tahu sebuah alat harus memiliki jaminan untuk terus-menerus bisa berfungsi pada periode tertentu dan diperlukan sistem perawatan yang tertentu pula. Pembuat dan pemasok dari lampu lalu-lintas itu harus diberi tanggung jawab untuk ini, bukan cuma asal membuat dan menjual lampu-lintas saja. Entah di mana fungsi KPK selama ini?

Banyak jalan raya digunakan oleh untuk tempat berdagang atau menjalankan usaha seperti bengkel dan lain-lain. Ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam mencari jalan keluar bagi sektor informal untuk berkembang secara tertib. Juga menggambarkan pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga miskin di kota-kota besar, sekaligus tidak mampu mengatur arus urbanisasi. Jika Pemerintah bisa dan sudah menyediakan lapangan kerja dan tempat yang layak bagi sektor informal ini, tentu jalan raya harus ditertibkan dengan keras dan tegas dari penggunaan yang melenceng, seperti berdagang.

Penegakan hukum di sebuah negeri juga langsung terlihat di jalan raya. Jika dipasang sebuah rambu untuk tidak parkir, maka hukum di tempat itu harus terus-menerus ditegakkan. Jalan raya di sekitar sekolah dan tempat ibadah harus menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum lalu-lintas, karena sekolah dan tempat ibadah adalah 2 tempat di mana orang belajar menjadi lebih baik dan di mana orang berserah-diri kepada Tuhan, bukan untuk melanggar aturan. Demikian juga jalan raya di sekitar lembaga atau instansi pemerintah harus menjadi contoh penegakan hukum lalu-lintas. Sementara itu aturan di jalan tol juga harus ditegakkan, seperti aturan kecepatan, agar tidak muncul kecenderungan pada ketidakpatuhan bagi pengguna jalan yang lain. Demikian juga larangan penggunaan bahu jalan yang kerap dilanggar tanpa ditegakkan.

Meski pun KPK sudah dibentuk bertahun-tahun yang lalu dan pemberantasan korupsi sudah digembar-gemborkan melalui televisi dan media lainnya, tetapi apakah sebenarnya yang dipahami oleh banyak orang tentang korupsi itu? Lihat apa yang dilakukan Departemen Perhubungan di jalan-jalan di kota-kota sekitar Jakarta, seperti Bekasi. Mereka dengan seragam Dishub menghentikan kendaraan umum atau kendaraan pengangkut barang seperti pick-up dan truk dan meminta uang seperti “jagoan pasar”. Entah uang itu untuk apa dan kemana dikumpulkan. Sangat jelas, bahwa Departemen Perhubungan amat kacau-balau dalam mengartikan korupsi. Departemen Perhubungan tentu telah ikut mendorong tumbuhnya pungutan-pungutan liar di jalanan. Selain mengganggu kelancaran lalu-lintas, uang yang dikumpulkan mudah diselewengkan entah ke mana. Departemen Perhubungan yang memungut uang jalanan ini katanya dipimpin oleh menteri, yang katanya lagi adalah pembantu presiden. Sedangkan presiden katanya adalah orang yang gembar-gembor memberantas korupsi di negeri ini.

Pungutan ini juga termasuk pungutan yang bernama “tarif tol” yang tujuannya sejak dulu telah diperdebatkan. Apalagi tarif tol ini selalu naik dalam jangka waktu yang relatif pendek, namun tidak sebanding dengan mutu jalan dan pelayanannya. Pengelola jalan tol selalu berkilah bahwa biaya pemeliharaan selalu naik dan tidak sebanding dengan pendapatan. Padahal pendapatan pengelola jalan tol tidak pernah dibuka secara transparan.

Pemilihan presiden baru saja digelar tahun lalu. SBY dan Partai Demokratnya kembali memimpin di Indonesia. Namun kasus-kasus korupsi besar justru menyeruak ke publik yang dilakukan oleh jajaran terpenting dari pemerintahannya yaitu jajaran ekonomi, seperti kasus Century, Gayus Tambunan dan Ramayana Department Store. Sehingga tidak mengherankan jika jalan raya kita masih amburadul dan memalukan karena melukiskan apa yang terjadi di pemerintahan ini.

Pasangan presiden SBY dan Boediono nampaknya akan terus membuat anda malu menjadi bangsa Indonesia, karena setiap hari berjam-jam bergumul di kemacetan dan amburadulnya pengelolaan jalan akibat korupsi yang merajalela. Apakah kita akan dibiarkan terus-menerus kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih produktif karena energi kita habis dibantai di jalanan? Apakah kita akan terus-menerus kehilangan kesempatan menjadi manusia yang lebih baik, karena harus saling sikat di jalan raya? Apakah kita akan terus-menerus menunduk malu ketika wisatawan mancanegara datang dan melihat jalan raya kita yang menggambarkan rendahnya derajat bangsa ini?

Nampaknya korupsi di negeri ini adalah watak bangsa Indonesia di (bukan sejak) jaman dahulu sekali yang muncul kembali. Berabad-abad Indonesia hanya memiliki satu struktur masyarakat, yaitu penguasa dan rakyat jelata hingga abad 20 ketika muncul kesadaran tentang “kemerdekaan”. Di jaman dahulu tidak pernah ada sistem politik yang menjadikan rakyat sebagai pendamping atau partner para raja dan bangsawan dalam mengelola sebuah wilayah, kecuali rakyat dijadikan kerbau untuk diperas habis. Feodalisme yang menjadi bagian utama dari sejarah bangsa Indonesia barangkali adalah akar dari perilaku korup di negeri ini. Portugis, Belanda dan Jepang bukan bangsa yang lebih buruk dari kita, namun hanya melengkapi watak bengis, perampok, penindas, pemeras dari bangsa Indonesia ini.

Untung saja ada pengaruh peradaban Islam (Sarekat Islam) dan renaissance Eropa (Boedhi Oetomo) di permulaan abad 20 yang telah memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia untuk membangun gerakan kemerdekaan. Saat itu berbagai etnis dari berbagai wilayah menyatukan diri dengan sukarela dan bukan dengan motif ekonomi atau pun motif kekuasaan.

Sayang, kini watak kita kembali ke jaman sebelum gerakan kemerdekaan itu. Sekarang muncul orang-orang dan kelompok-kelompok yang berwatak feodal atau korup yang mengatasnamakan “demokrasi” merajalela menipu, merampok dan memeras rakyat agar mereka terus memiliki kekuasaan. Lihat saja bagaimana mereka menunjukkan rasa amat bersuka-cita ketika terpilih misalnya menjadi presiden, menteri, wakil rakyat, kapolri, jagung atau jabatan-jabatan lain. Seolah-olah inilah rahmat Tuhan kepada mereka. Seolah-olah Tuhan telah menunjuk mereka untuk menjadi yang terbaik tanpa salah meski menipu, merampok atau memeras rakyat.

Jadi jangan terlalu berharap kita akan segera memberantas korupsi dalam waktu 5 atau 10 tahun ini, bahkan dalam beberapa dekade ini. Watak korup sudah berada di dalam gen kita, masih butuh berabad-abad lagi dari sebuah evolusi panjang untuk menghapus gen yang merusak itu, kecuali muncul sebuah revolusi kebudayaan sebagaimana terjadi pada pergerakan kemerdekaan sebelumnya.

Lihat saja ilustrasi berikut ini. Jika kita menyebut pemimpin kita korup, apakah yang lainnya tidak korup? Ternyata korup semua. Para pemimpin ternyata sudah dibekali oleh aturan atau undang-undang yang mencukupi untuk bertindak korup. Lihat misalnya Dirjen Pajak yang tidak bisa diaudit oleh BPK kecuali diizinkan oleh Menteri Keuangan, karena diatur oleh Undang-undang ( http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4272 ). Lihat juga misalnya kasus wajib pajak Ramayana Department Store yang bisa dibebaskan oleh Menteri Keuangan dari jerat hukum, karena memang ada aturannya. Siapa pembuat aturan atau undang-undang itu, tentu saja para wakil rakyat kita “yang mulia” itu. Praktek “demokratis” ini kemudian dilengkapi dengan perilaku kotor kepolisian, kejaksaan, dan para hakim yang siap mengukur kejahatan hanya dari berapa suap yang bisa disediakan.

Korupsi di Indonesia seperti sebuah kutukan kepada bangsa ini. Sehingga amat naif jika diserahkan hanya kepada KPK, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum…. kepolisian, kejaksaan atau menteri, dan apalagi pada seorang presiden yang lemah dan tambun.

Jojo Rahardjo

Thursday, April 15, 2010

TIKUS JALANAN DAN TIKUS TRUNOJOYO

Pagi itu, Jumat, 9 April, jam 04:00 pagi, dua orang sepupu saya bergegas menaiki sepeda motornya bernomor E XXXX RI dari rumah saya di kawasan Kalimalang untuk kembali pulang ke kotanya di Indramayu setelah 5 hari bekerja di Jakarta sebagai tukang listrik. Kira-kira 1 jam kemudian, mereka memasuki wilayah Cikarang. Di sebuah lampu merah mereka didatangi 3 orang yang menurut mereka adalah polisi, karena 3 orang ini mengaku polisi dan bergaya serta berbicara seperti polisi, sebagaimana yang mereka ceritakan kepada saya. Tiga orang yang mereka sangka polisi itu sebenarnya menggunakan jaket sehingga menutupi baju di baliknya apakah seragam kepolisian atau bukan dan tentu saja nama mereka juga tidak terlihat. Tiga orang ini meminta untuk melihat STNK dan SIM. Tanpa menyebut apa kesalahannya, tiga orang ini kemudian bersikeras untuk “menahan” motor milik sepupu saya ini, padahal STNK dan SIM sudah ditunjukan kepada 3 orang ini. Karena dikepung seperti penjahat oleh 3 orang yang mengaku polisi ini akhirnya sepupu saya berusaha “berdamai” dan akhirnya 3 orang yang mengaku polisi ini menerima “perdamaian” dengan uang dari sepupu saya sebesar Rp200.000,- tanpa menahan motor sepupu saya.

Tentu mendengar cerita ini saya amat marah, karena sepupu saya ini rakyat kecil yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sebagai tukang listrik di kotanya, Indramayu. Sepupu saya ini sedang mendapat rezeki yang lumayan karena mendapat order memperbaiki instalasi listrik beberapa rumah di Jakarta. Namun hasil kerja kerasnya yang tidak seberapa harus dirampas 3 orang sialan ini. Saya amat marah, karena mengapa sepupu saya tidak menelpon saya, dan mengapa mereka tidak meminta pertolongan dari orang-orang sekitar, karena mungkin saja 3 orang ini bukan polisi tetapi penjahat yang kerjanya merampok atau memeras orang-orang seperti sepupu saya yang mungkin bodoh karena dari kota kecil seperti Indramayu. Penjahat seperti ini beroperasi di pagi buta atau di tengah malam ketika polisi lain lengah. Meski mungkin juga mereka adalah polisi nakal yang aksinya tidak mau kalah dengan aksi jenderal-jenderal di jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan yang kerjanya menerima suap atau memeras koruptor. Tikus-tikus jalanan seperti ini tentu bukan rahasia lagi. Mereka berkeliaran mencari mangsa dari kota kecil hingga kota besar.

Melalui telpon dari Indramayu, sepupu saya yang pasrah berkata pada saya, biar aja, nanti juga mereka mendapat balasannya. Lalu saya bertanya pada sepupu saya, balasan dari mana? Coba lihat tikus-tikus yang lebih besar dari 3 orang itu Indonesia! Mereka yang disebut koruptor, polisi kotor, jaksa busuk, parasit di Dirjen Pajak, bandit kabinet yang merajalela sejak jaman Suharto dulu yang katanya represif hingga ke jaman sekarang yang katanya demokratis! Berapa orang yang mendapat balasan yang setimpal? Hanya sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka tetap bisa hidup nyaman, damai, tanpa gangguan, menikmati harta haramnya. Tuhan barangkali sudah lelah mengurus tikus-tikus itu di Indonesia. Hanya kita yang bisa menghajar atau memberi balasan yang setimpal. Begitu kata saya pada sepupu saya. Meski sebenarnya menghajar polisi kotor di jalanan hanya akan sedikit sekali pengaruhnya dibanding menghajar jenderal-jenderal di Trunojoyo sebagaimana yang dilakukan Susno Duadji. Tikus-tikus jalanan itu cuma meniru jenderal-jenderalnya di Trunojoyo, sehingga jangan tunggu sampai kita bersih dulu untuk menghajar tikus-tikus di Trunojoyo. Kalau tidak, kapan lagi? Atau jika ada yang meminta Susno atau kita untuk bersih dulu itu, dia mungkin salah satu tikus yang tidak ingin dihajar.

Ayo sikat tikus-tikus keparat !!

Monday, March 22, 2010

ABDURRAHMAN IBN MULJAM BERADA DI JALAN ALLAH SWT, BEGITU JUGA PARA PEMIMPIN INDONESIA ???

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini didalangi oleh kelompok Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding musuh-musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi “pengantin” atau pengebom bunuh diri, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah, berhati-hatilah, karena bagi saya atau orang-orang seperti saya, mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang saya maksud adalah pejabat negara yang bersumpah dengan nama Allah karena sedang dicurigai atau dituduh melakukan kejahatan terhadap negeri ini. Mereka juga sekaligus berkoar-koar, bahwa mereka lebih memiliki “kebenaran” dibanding siapa pun. Padahal bukan sumpah yang diharapkan keluar dari moncong mereka, karena mereka sesungguhnya pejabat negara yang dituntut sepanjang waktu untuk terbuka dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka juga dituntut untuk tidak arogan atau merasa sebagai orang yang tepat di tempatnya, karena bukan ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu agama yang mereka pelajari dan praktekkan bertahun-tahun yang menjadi ukuran baik atau benarnya apa yang mereka kerjakan, tapi moral yang berkembang di masyarakat lah yang menjadi ukuran.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah hanya sebuah contoh ekstrim tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang diduga dilakukannya.

Di bawah ini adalah contoh ucapan para pejabat negara yang ingin terlihat religius.

"Di segala zaman, Tuhan selalu pada pihak kebenaran," kata Wakil Presiden Boediono (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/04/10045551/Boediono.Tuhan.Selalu.Berpihak.pada.Kebenaran ).

Presiden Yudhoyono: "Kebenaran dan keadilan akan datang. Barangkali terlambat, tapi Insya Allah akan datang karena itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa" (http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38829&Itemid=1122 ).

"Demi Allah saya bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi petunjuk pada saya," demikian kata Sri Mulyani saat disumpah Ketua Pansus Century Idrus Marham (http://www.kabarbisnis.com/keuangan/nasional/288700-Sri_Mulyani_bersumpah__Demi_ALLAH_.html ).

Sekali lagi, “kebenaran”, entah apa pun artinya itu, ternyata tidak terletak pada orang-orang yang nampak religius, tapi terletak entah di mana….

Jojo Rahardjo

Sunday, November 01, 2009

STATUS FB

Teman saya, Jennie Siat Bev, seorang intelektual Indonesia yang bermukim di Amerika, baru-baru ini menulis dalam status FB-nya begini: “akan mengurangi update status karena sangat mudah untuk dibukukan tanpa izin. Sampai kapan pelanggaran HAKI di Indonesia berlangsung kalau apapun yang kita utarakan ke publik langsung dianggap "public domain"?” Ia amat kecewa dengan perilaku tidak menghargai karya dan hak cipta orang lain. Tentu saya bisa juga merasakan kekecewaannya, karena salah satu tulisan saya di tahun-tahun akhir 90-an pernah digunakan oleh seorang penulis (saat itu ia masih penulis pemula) tanpa menyebut sumbernya. Hampir semua tulisan saya ditulis berdasarkan riset yang serius, karena saya tidak ingin tulisan saya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, saya amat kecewa dan marah, ketika ada orang menulis buku dengan menggunakan tulisan saya dan membuatnya seolah-olah ditulis oleh penulis itu. Bahkan saya lebih kecewa lagi, karena hingga kini ia bertahan dengan alasan yang seenaknya.

Jennie S. Bev adalah seorang intelektual yang produktif menulis. Sudah lebih dari 900 artikel dan 80 electronic and print books ditulisnya, sehingga status-statusnya pun isinya pasti tidak sembarangan. Meski Jennie tidak menyebutkan dengan jelas di mana statusnya digunakan oleh para pembajak itu, namun saya kira, status yang ditulis Jennie bisa mendongkrak nilai intelektual para pembajak itu jika digunakan sebagai status FB pula. Semoga mereka mendapat kecelakaan intelektual !

Di luar soal Jennie dan soal pembajakan karya cipta, saya ingin sedikit mengoceh secara ringan tentang status di FB.

Saya menggunakan FB hanya pada saat luang. Itu pun jika saya bersentuhan dengan komputer dan tentu saja dengan akses Internet yang masih tergolong sulit (untuk connect) atau lambat, karena saya tidak mampu membeli mobile broadband Internet. Itu sebabnya kadang saya tidak ber-FB hingga berhari-hari. Saya, tentu saja bisa ‘mengganti-ganti’ status saya melalui mobile phone saya, namun saya tidak menyukai menulis dengan susah payah melalui keypad telpon saya yang tidak “qwerty”.

Sebagaimana di dunia nyata, status FB pun bisa menggambarkan penulisnya. Memang, menulis status bisa dipengaruhi oleh mood, sehingga tidak boleh pula sembarangan menilai orang dari status FB-nya. Itu sebabnya saya berusaha untuk membatasi isi status saya hanya mengenai pengelolaan negeri ini. Saya rela kehilangan teman di FB, karena saya cenderung bersikap negatif terhadap pengelola negeri ini. Saya juga lebih rela disebut sebagai tukang protes, tukang komplain dan lain-lain yang jelek-jelek dibanding saya menulis status tentang diri saya sendiri atau tentang orang-orang di ring 1 atau 2 di sekitar saya, atau juga menulis tentang sedang berada di mana saya.

Setiap hari, saya (begitu juga berjuta-juta orang lain) harus menjalani hidup di Jakarta yang dikelola oleh para baboon geblek. Mereka dipilih karena bisa membayar perusahaan konsultan politik, misalnya LSI, agar bisa mendongkrak mereka menjadi pejabat publik, padahal kwalitas mereka sebagai pemimpin dan sebagai manusia cuma baboon geblek doang. Setiap hari itu lah saya mengeluh, dan saya pikir itu harus saya tuangkan ke dalam status FB saya dengan harapan, meski amat tipis, akhirnya bisa membangun kesadaran bahwa negeri ini telah “salah urus”. Itu cuma salah satu dari langkah-langkah kecil yang bisa saya lakukan di waktu luang melalui FB.

Salah satu contoh bagaimana “salah urus”yang sudah dianggap soal yang normal adalah, rusaknya atau matinya begitu banyaknya traffic light di Jakarta. Ini seharusnya menjadi soal besar bagi warga Jakarta, karena ini menggambarkan adanya korupsi di negeri ini dan dibiarkan. Mengapa dibiarkan? Tentu karena ada begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa diselesaikan, sehingga korupsi trafffic light menjadi soal yang terlihat kecil dan normal. Kasus korupsi di mana-mana bukan soal sistem, tetapi soal kepemimpinan. Dengan kata lain, kita masih belum menemukan pemimpin yang nggak geblek dan nggak berkwalitas baboon.

Thursday, June 25, 2009

Wednesday, June 10, 2009

JAKSA KONYOL BIKIN ULAH DI KASUS PRITA MULYASARI

MediaKonsumen, Rabu, 10 Juni 2009

Kasus Ibu Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang Selatan tentu menarik perhatian kita semua. Bukan hanya pembaca MediaKonsumen ini, tetapi kasus Prita pasti menarik perhatian banyak orang yang hampir pasti pernah berurusan dengan rumah sakit. Apalagi sejak lebih dari sepuluh tahun belakangan ini semakin banyak saja bermunculan rumah-rumah sakit yang mengklaim dirinya sebagai bertaraf internasional, tapi ternyata cuma tarifnya saja yang internasional, sedangkan mutu layanannya tetap ndeso dan minteri.

Sudah banyak kisah-kisah pilu dari pasien yang merasa tidak mendapatkan layanan yang sepatutnya, bahkan keluarga pasien diterkam hutang kepada rumah sakit meskipun sakit pasien bertambah parah bahkan tewas. Sebagian dari kasus pilu ini muncul di media massa, namun bukannya berhenti atau berkurang, tetapi rumah-rumah sakit itu ternyata semakin arogan dan malah over confidence di kasus Prita.
Memang pada awalnya kasus Prita diangkat sebagai kasus kebebasan berpendapat yang dengan mudah bisa dirampas dengan menggunakan UU ITE. Namun belakangan melalui berbagai wacana, ternyata UU ITE pasal 21 ayat 3 tidak dapat digunakan untuk membatasi orang untuk berpendapat di media elektronik apalagi digunakan untuk memenjarakan orang. Ada undang-undang lain dan peraturan lain yang bisa membuat UU ITE pasal 27 ayat 3 ini tidak diterapkan dalam kasus Prita, misalnya UU Perlindungan Konsumen. Pasal dari UU ITE ini dikenakan secara konyol oleh Jaksa yang menangani kasus Prita. Jaksa Agung telah menyebut jaksa yang menangani kasus ini sebagai tidak profesional. Sayangnya ketidakprofesionalan jaksa ini mengapa berpihak pada yang besar dan punya duit?

Saya amat tidak yakin ketika pertama kali membaca e-mail tentang kasus Prita, bahwa ada seorang Ibu ditahan karena menulis keluhan di sebuah mailing list (akhirnya tulisan itu muncul di mana-mana, termasuk di MediaKonsumen ini dan Detik). Ibu itu ditahan karena sedang diperkarakan oleh RS Omni. Saya tidak yakin ada sebuah rumah sakit besar berani “bermain-main” dalam soal citranya, karena ini akan menjadi bumerang bagi rumah sakit itu. Tapi ternyata memang rumah sakit Omni memang sedang “bermain-main” dengan citranya. Namun saya menjadi tidak heran setelah melihat berita di Suara Merdeka CyberNews tanggal 5 Juni lalu: http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=30015 mengenai bagaimana RS Omni memperlakukan jaksa dan polisi di rumah sakitnya, yaitu pelayanan gratis sebagaimana yang diberitakan. Barangkali RS Omni merasa sudah memiliki jaksa dan polisi yang pasti memihaknya jika ada pasien mencoba “main-main” dengan RS Omni.

Hampir mirip dengan apa yang dilakukan Ibu Prita, saya pernah “menjelek-jelekan” Citibank di berbagai media, namun saya tidak pernah diperkarakan oleh Citibank sebagai telah mencemarkan namabaiknya. Sebagaimana yang sudah saya tulis di MediaKonsumen ini dalam beberapa tulisan, saya pernah mengeluhkan bagaimana Citibank menerapkan perhitungan bunga kepada pemegang kartu kreditnya. Bahkan saya memperkarakannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Ternyata di dalam sidang, BPSK memutuskan Citibank berada di pihak yang benar. Sayang, saya tidak punya waktu dan energi untuk meneruskan berperkara dengan Citibank, padahal saya yakin masih banyak kesalahan Citibank yang belum diperkarakan, seperti tidak memenuhi hak saya atas informasi yang saya minta. Meski kalah, dan telah menulis banyak kejelekan Citibank di MediaKonsumen ini dan tersebar di berbagai media, tetapi Citibank “tidak berani” memperkarakan saya sebagai telah mencemarkan namabaiknya sebagaimana RS Omni lakukan terhadap Ibu Prita. Itu karena akan jadi bumerang bagi Citibank, sebagaimana itu sekarang menjadi bumerang bagi RS Omni.

Kasus Prita bagi saya adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita yang selalu setiap hari ingin membangun sikap kritis sebagai konsumen. Jika kita akan membeli jasa atau barang apa pun, sebaiknya kita melakukan sedikit riset kecil terlebih dahulu. Internet dan MediaKonsumen telah mempermudah kita melakukan riset kecil itu. Meski kadang hasil riset yang kita lakukan tidak memenuhi harapan. Sebagai contoh adalah ketika saya sedang mencari layanan Mobile Internet yang paling baik. Ternyata saya menemukan di MediaKonsumen atau melalui googling semua produk Mobile Internet selalu ada keluhannya. Bahkan yang mahal sekali pun, seperti Telkomsel Flash tidak mau (tidak bisa) menjawab pertanyaan dan keluhan saya di nomor telpon yang disediakan, di alamat e-mail yang disediakan dan termasuk di MediaKonsumen ini.

Saya berharap Kasus Prita akan membuat kita semakin rajin menulis di MediaKonsumen ini atau di media mana pun untuk menunjukkan bahwa konsumen memiliki hak untuk berpendapat atau bahkan membentuk opini terhadap sebuah perusahaan, produk atau jasa. Sehingga tidak akan ada lagi perusahaan arogan seperti RS Omni yang terlalu percaya diri telah memiliki polisi atau jaksa-jaksa konyol yang akan membela mereka hingga ke liang kubur ketika seorang Prita Mulyasari menulis di sebuah mailing list.

Ini bukan jaman Suharto lagi, ini jaman Teknologi Informasi, bung!

Jojo Rahardjo

ANTASARI, POLITIK DAN POLISI

MediaKonsumen, Jumat, 29 Mei 2009

Antasari tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen?

Nampaknya banyak media lebih suka mengumbar motif pembunuhan ini adalah soal berebut perempuan dibanding motive yang lain. Mungkin karena tuntutan pasar. Meskipun Antasari sudah ditangkap, kepolisian tentu saja masih belum yakin dengan motive pembunuhan ini. Juga tentu saja bukti-bukti belum tersedia.

Lebih seru lagi kalau ternyata Antasari dijebak (atau lebih tepat dijerumuskan) ke dalam peristiwa pembunuhan ini karena urusan pemberantasan korupsi. Bisa jadi, Antasari dijerumuskan karena ada yang sakit hati karena telah menjadi korban Antasari atau karena sedang terancam oleh Antasari.

Antasari, bagaimanapun adalah seorang yang kontroversial. Antasari sebelum jadi ketua KPK pernah di Kejagung dan pernah bikin beberapa kegemparan yang bisa disebut juga sebagai tidak bersih.

Di tengah kontroversi itu, Antasari di KPK memberantas beberapa kasus korupsi (sebagian kecil saja) di Indonesia. Yang menarik, dulu, SBY entah kenapa pernah berkomentar aneh waktu KPK menangkap Amin Nasution. Komentarnya kira-kira begini: "memberantas korupsi jangan dengan cara menjebak". Komentar SBY ini terkesan asal bunyi dan terkesan nggak mendukung pemberantasan korupsi. Padahal ternyata kemudian terungkap Amin memang telah diburu dan dikuntit berbulan-bulan lamanya hingga tertangkap basah lagi jadi maling.

Antasari juga tidak diragukan lagi pernah berseteru hebat dengan baboon-baboon yang ada di gedung bundar saat kasus Artalita Suryani dan sejumlah jaksa agung muda “tertangkap” melakukan hubungan "terlalu intim". Artalita ini adalah kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI dan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan sedang makan suap waktu itu adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim (lihat tulisan saya sebelumnya di: http://jojor.blogspot.com/2008/06/kenaikan-bbm-dan-kejaksaan-agung.html ).

Saya jadi ingat seorang kriminolog Indonesia beberapa waktu yang lalu yang memberikan analisa tentang pembunuhan Nasrudin ini. Sayangnya saya lupa di mana saya baca itu. Dia bilang, di setiap negeri yang sedang menjelang peristiwa nasional seperti pemilu, sering terjadi kasus-kasus yang mengerikan seperti pembunuhan berlatar belakang politik. Nampaknya ada orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan yang dalam keadaan panik mudah sekali mengeluarkan watak psikopat-nya. Sigid Haryo (jika terbukti sebagai salah satu otak) adalah salah satu psikopat itu.

Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tecermin dari intensitasnya bermain golf dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. "Jadi, Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi," ujar Adrianus, Rabu (6/5), kepada Kompas.com ( http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/06/10012234/antasari.diduga.habisi.nasrudin.karena.terancam ).

Antasari pun mengendus hal ini dan merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang caddy muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, komisi antikorupsi yang dipimpinnya pun akan tercoreng.

Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. "AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main," ujarnya.

Tapi ingat! Ada hal yang lebih amat mengerikan dari peristiwa pembunuhan ini, yaitu terlibatnya seorang Kombes Polisi, mantan Kapolres Jakarta Selatan, WW. Jika perwira polisi ini memang betul menjadi kordinator lapangan dalam pembunuhan ini, maka di mana lagi rasa aman bisa diperoleh oleh orang biasa seperti saya? Mengapa seorang perwira polisi, mudah sekali untuk dijerumuskan atau dimanipulasi untuk melakukan sebuah perbuatan yang bisa menjadi bencana nasional yaitu hilangnya rasa aman dan kepastian hukum ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04195686/Kombes.Wiliardi.Merasa.Dijebak ).

Mari kita lihat kelanjutannya di media! Tapi saya ingatkan jangan berharap anda akan mendapatkan kebenarannya dalam waktu dekat ini atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Ini politik, bung!

Jojo Rahardjo

Sunday, March 02, 2008

KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA

photo Yusran Pare dari Tribun Jabar


Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.

Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?

Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.

Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.

Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?

Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.

Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.

Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.

Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.

Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.

Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.

Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”

Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”

Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”

Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”

Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”

Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?

Friday, September 21, 2007

SALAH KAPRAH BUSWAY

Jumat, 21 September 2007,



Sejak pertama kali ide busway ini dilemparkan, sudah muncul salah kaprah yang mengganggu saya tapi tidak mengganggu kebanyakan orang di Jakarta ini. “BusWay” yang dalam bahasa Indonesia berarti “JalurBis” ini sebenarnya hanya diperuntukkan untuk bis TransJakarta semata. JalurBis ini bukan untuk seluruh bis umum yang beroperasi di Jakarta. Jadi mengapa sering disebut sebagai ”BusWay”, karena yang benar seharusnya disebut sebagai ”TransJakartaWay”. Salah kaprah ini juga termasuk penyebutan untuk bis TransJakarta yang selalu disebut dengan ”BusWay” juga.

Bis lain selain bis TransJakarta tidak boleh memanfaatkan JalurBis ini. Padahal konsep transportasi umum yang terbukti sudah berhasil di hampir di seluruh permukaan bumi ini, menerapkan semua bis untuk bisa menggunakan JalurBis yang disediakan pemerintah, termasuk di Singapura, Malaysia, Thailand dan negara-negara Asia lainnya. Meskipun konsep transportasi umum itu terbukti berhasil diterapkan di hampir seluruh permukaan bumi ini atau di hampir seluruh negara di dunia ini, tetapi Sutiyoso lebih memilih konsep transportasi umum dari sebuah kota jauh di Amerika latin sana, Bogota, Columbia.

Jakarta adalah sebuah kota yang situasi lalu-lintasnya begitu amburadul. Kemacetan begitu parah hampir di semua titik pada saat jam sibuk. Pemimpin negeri ini dan pemimpin kota Jakarta di masa lalu terlalu sibuk pada urusan-urusan yang entah apa, sehingga lupa memikirkan konsep transportasi umum di Jakarta ini. Lalu muncullah Sutiyoso, gubernur Jakarta. Bak pahlawan kesiangan melemparkan ide TransJakarta sebagai konsep transportasi umum di Jakarta. TransJakarta (atau sering disebut oleh semua orang dengan sebutan salah kaprah BUSWAY) harus diterapkan, harus diwujudkan, harus dijalankan, walau langit runtuh, walau setan menghalangi, walau dunia mencerca, walau anjing menggonggong, walau kemacetan bertambah amburadul dan bertambah parah!

Maka jalan-jalan di Jakarta pun diacak-acak untuk dibuatkan sebuah jalur tambahan lagi untuk melajunya bis TransJakarta. Padahal sudah ada satu jalur khusus bis sejak jaman Sutiyoso masih ingusan dulu. Akibatnya jalur untuk kendaran pribadi menjadi semakin kecil, maka kemacetan pun bertambah parah, lalu-lintas pun bertambah amburadul. Padahal lagi, transportasi umum yang layak, aman dan nyaman seperti bis TransJakarta itu belum tersedia jika pengguna kendaraan pribadi itu ingin menggunakan transportasi umum. Bukan kah itu konsep yang gila?

Seharusnya yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi dan layanan bis-bis yang sudah ada lebih dahulu. Ini dimaksudkan agar pengguna kendaraan pribadi memiliki pilihan jika “JalurBis Baru” dibangun (dan terjadi kemacetan yang parah) mereka bisa menggunakan bis-bis yang layak, nyaman dan aman yang sudah tersedia.

Namun demikian jika “JalurBis Baru” sudah selesai dibangun bukan berarti hanya satu perusahaan saja yang boleh menggunakannya, seperti TransJakarta saja, tetapi harus semua perusahaan bisa menggunakan “Jalur Bis Baru” itu. Tentu dengan menerapkan persyaratan yang ketat.

Oleh karena itu saya bisa memahami sikap warga Pondok Indah yang menolak dibangunnya TransJakartaWay di wilayahnya. TransJakarta itu bukan satu-satunya konsep transportasi umum yang tersedia. Lalu mengapa pemerintah kota Jakarta begitu membatu memaksakan konsep gila itu diterapkan di wilayah yang memang sudah macet itu? Padahal dialog dan saran sudah ditawarkan oleh warga Pondok Indah.

Apakah kita memerlukan satu gugatan class action baru untuk melawan pemerintah kota Jakarta?

Jojo Rahardjo

Wednesday, May 30, 2007

Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

Media Konsumen 30 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel549.html

Saya bukan pakar politik atau pakar tata-negara, tetapi saya seperti sebagian besar rakyat Indonesia, saya cuma rakyat jelata. Karena itu logika rakyat jelata lah yang digunakan ketika melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini antara Rokhmin Dahuri, Amien Rais dan SBY. Menurut logika rakyat jelata saya adalah ternyata semua pemimpin negeri ini mudah terjerumus menjadi maling! Pantas saja negeri ini terus-menerus salah urus!

Banyak yang mengira, akhirnya kita memiliki presiden yang serius mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun ternyata, SBY, presiden sekarang hanya seolah-olah cukup banyak kasus korupsi yang dibongkar dan di bawa ke pengadilan. Seolah-olah bekas pejabat yang dulunya nampak tidak bisa disentuh oleh hukum sekarang meronta-ronta berkelit membela diri. Seolah-olah bagi rakyat ada perubahan yang terjadi. Seolah-olah tidak ada lagi celah untuk sembunyi bagi setiap pelaku korupsi yang terjadi di masa lalu. Seolah-olah pemerintahan SBY mengintai setiap saat pelaku korupsi untuk dijebloskan, bahkan anggota KPU sekali pun juga ikut dijebloskan ke dalam penjara. Semua itu nampaknya memang cuma seolah-olah saja. Seolah-olah pemerintah melihat praktek korupsi sebagai dosa besar yang harus dicuci bersih dari bumi Indonesia, baik dilakukan di masa lalu maupun di masa sekarang.

Namun jika melihat kasus keluarga Suharto yang tidak disentuh dengan mengatasnamakan hukum dan jika melihat kasus BLBI yang merugikan negara ratusan trilyun rupiah, tidak nampak keseriusan SBY. Padahal pemerintahannya sudah berjalan 2.5 tahun. Bagi rakyat jelata seperti saya, jika ada itikad baik, yaitu itikad untuk memberikan rasa keadilan rakyat, maka hukum atau aturan yang ada bisa digunakan untuk mengembalikan harta kekayaan rakyat. Bukan sebaliknya, hukum atau aturan yang ada justru digunakan agar keluarga Suharto bisa menikmati hidupnya dengan aman dan tenteram.

Betapa pun sulitnya mengejar kasus keluarga Suharto atau uang BLBI ini, tidak terlihat strategi yang bisa memuaskan rakyat. Padahal mereka inilah yang membangkrutkan Indonesia. Kasus-kasus ini cukup membuat rakyat kehilangan rasa aman pada masa depan mereka.

Di tengah-tengah rasa ketidakadilan ini, tiba-tiba muncul pengakuan Amien Rais yang telah menerima uang dari Rokhmin Dahuri di tahun 2004 lalu untuk biaya kampanye pasangan capres. Amien juga menegaskan bahwa capres lainnya pun menerima uang dari Rohmin ini. Pengakuan ini tentu mengejutkan rakyat. Meskipun sekaligus melegakan, karena ada pemimpin yang berani jujur dan mau menerima konsekwensinya, namun ada hal lain yang sangat melukai hati rakyat, yaitu ternyata Amien pun ikut-ikutan “mengkorupsi” uang rakyat melalui DKP. Meski saya tolol soal aturan pemilu atau aturan tata negara, tentu tidak mungkin bisa seorang calon presiden menerima uang yang seharusnya untuk mengurus Kelautan dan Perikanan Indonesia bukan untuk mengurus kampanye pasangan capres Amien Rais.

Apa yang sedang dan akan terjadi pada negeri ini, jika semua orang ternyata mudah menjadi maling atau menjadi bagian dari praktek-praktek - yang tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai - korupsi, sebagaimana yang dilakukan oleh Amien Rais itu? Apa yang sudah merasuki pikiran Amien Rais sehingga ia tidak melihat keganjilan asal uang itu dan begitu entengnya tanpa sembunyi-sembunyi menerima uang - yang bagi saya yang rakyat jelata adalah - milik rakyat di sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang masih morat-marit itu? Apa yang terjadi pada KPU dan Panwaslu Pemilu 2004 sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal untuk mengawasi dana kampanye yang digunakan oleh para pasangan capres. Apa yang terjadi pada departemen-departemen pemerintah sehingga bisa membagi-bagikan uang rakyat ke mana mereka suka? Bagaimana tanggung-jawab presiden waktu itu jika ada menterinya yang menghambur-hamburkan uang rakyat ke tempat yang tidak semestinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang membuat saya pesimis dengan masa depan Indonesia....

Kemarin, Amien Rais setelah pertemuannya dengan SBY di Halim PK sudah menegaskan bahwa persoalan uang DKP yang dihambur-hamburkan untuk kampanye para pasangan capres 2004 lalu adalah persoalan hukum, bukan politik. Kalau begitu, rakyat kini menunggu, apakah uang DKP itu akan ditelusuri untuk melihat capres mana saja yang menerimanya dan apakah rakyat akan tetap disuguhi dagelan nggak lucu tentang bagaimana negeri ini dipimpin oleh para pemimpin yang penuh tenggang rasa dan tidak suka berkelahi? Kalau yang satu korupsi, daripada ribut-ribut di tengah rakyat miskin dan di tengah berbagai persoalan bangsa lainnya, maka berkorupsi lah berramai-ramai supaya “adil” dan supaya negeri ini tetap memiliki “pemimpin”, meski pemimpin korup seperti mereka.

Jojo Rahardjo