Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label interlektual. Show all posts
Showing posts with label interlektual. Show all posts

Thursday, April 19, 2007

KARTINI, SANG PEMIKIR KEMERDEKAAN INDONESIA


Media Konsumen, 19 April 2007

Tidak banyak yang tahu dari mana berasal judul kumpulan surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ternyata di dalam surat-suratnya, Kartini sering menulis kata-kata itu berulang-ulang yang terinspirasi dari Minadz zhulumaati ilan Nur yang berarti Dari Gelap Kepada Cahaya (al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 257). Begitu pun E.C. Abendanon yang mengumpulkan, mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu yang kemudian diberi judul “Door Duisternis tot Licht” tentu saja tidak mengetahui bahwa judul itu berasal dari al-Qur'an (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).

Kartini bukan pejuang pergerakan wanita semata. Kartini adalah pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya. Ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya.

Kartini wafat dalam usia yang sangat muda, yaitu usia 25 tahun, sebelum usai pencariannya dan perjuangannya. Namun dalam usia yang singkat itu ia telah menorehkan jejak perjuangan yang panjang dan dalam. Perjuangan mencari “cahaya” amat melelahkannya, namun membuahkan hasil.

Dalam usianya begitu muda ia bahkan telah dapat menginspirasikan sebuah pekerjaan besar bagi umat Islam di tanah Jawa waktu itu, yaitu terjemahan atau intepretasi kandungan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa yang belum ada waktu itu kepada seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad Soleh bin Umar (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001). Berkat pertemuannya dengan Kartini, Kiai Soleh tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid ke I yang terdiri dari (hanya) 13 juz yang kemudian diberikannya sebagai hadiah pernikahan Kartini. Bayangkan sebuah hadiah perkawinannya adalah sebuah karya besar bagi sebuah komunitas besar manusia.. Sayang Kiai Soleh wafat sebelum menyelesaikan pekerjaan besar itu.

Sungguh menakjubkan, ternyata Kartini juga mempersoalkan persoalan mendasar umat Islam hampir di mana-mana hingga sekarang bahwa jika menjadi Muslim tidak perlu menguasai bahasa Arab. Cukup lah para ulama saja yang menguasai bahasa Arab, sehingga banyak Muslim yang tidak mengerti apa yang diucapkannya (dalam bahasa Arab) setiap hari. Lebih jauh lagi, hingga kini banyak Muslim yang tersesat karena selalu dan sering bertanya-tanya “apa hukum-nya mengenai sesuatu hal di dalam kehidupan sehari-harinya?”

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899,


Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan “home schooling” melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang. Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.

Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”. Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.”

Kartini pun tidak sekedar menulis tentang nasionalisme atau kesetiakawanan itu, tetapi juga mempraktekkannya dengan memberikan atau mengalihkan beasiswa ke Belanda yang seharusnya ia nikmati kepada seorang pemuda dari tanah Sumatra, yaitu Agus Salim. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Bahkan, ia pun menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan “orang Indonesia” lain yang tergambar dalam sebuah surat di tahun 1902 kepada Stella Zeehandelaar, tentang rencana Kartini: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."

105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda di tahun 1911, beberapa tahun setelah kematian Kartini di tahun 1904, dengan judul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini terbit di kota besar seperti Den Haag, Semarang atau Surabaya dan menjadi salah satu inspirasi bagi pemikir kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane lah yang pertama kali menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” di tahun 1922 sehingga buku ini bisa dibaca banyak orang dan menjadi lebih populer. Kemudian Pramoedya Ananta Toer dari tahun 1956 hingga 1961 mencoba menggali sejarah tokoh ini dan menjadi biografi Kartini yang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Seharusnya buku ini akan ditulis dalam 4 jilid. Namun Pemerintah Orde Baru yang ganas menuduhnya PKI, dan memusnahkan jilid ke 3 dan ke 4.

Kartini memang kalah bahkan mati muda. Kartini memang dipingit. Kartini memang menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme. Kartini memang cuma sekedar menjadi pemikir yang penulis bukan pembuat aksi. Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya yang ia tulis dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa.

Kartini hidup dalam masa kebijakan Tanam Paksa karena kebangkrutan Pemerintah Belanda akibat Perang Diponegoro. Yohannes Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan Tanam Paksa sekitar tahun 1835. Karena kebijakan itu, rakyat pribumi diwajibkan menanam seperlima dari ladangnya untuk menananm tanaman perdanganan dunia yang menempatkan Belanda pada peringkat teratas, yaitu tanaman nila, rempah, tebu, kopi, tembakau, kayu manis dan lada. Rakyat juga diwajibkan dalam setahun memberikan waktu bekerja untuk pemerintah penjajahan selama 66 hari secara suka rela.

Para operator Tanam Paksa adalah orang Belanda dibantu oleh kaki tangannya dari elite priyayi Pribumi yang bisa disebut sebagai para raja kecil, seperti ayah Kartini sendiri yang Bupati Jepara. Atas nama atau dengan mengusung nama Pemerintahan Negara, para raja kecil ini banyak yang berlaku keji dan korup kepada bangsanya sendiri. Perilaku ini ternyata sudah terbangun semasa Kartini hidup dan menjadi watak bangsa Indonesia hingga sekarang. Belanda dengan licik mempertahankan dan melindungi kekuasaan para raja kecil ini agar bisa terus menjadi kaki tangan dalam merampok hak-hak dan kemakmuran rakyat. Pendidikan hanya diberikan seperlunya saja, yaitu hanya kepada elite priyayi pribumi saja dan hanya laki-laki saja agar tradisi feodal yang tidak mencerdaskan bisa terus dilestarikan. Belanda yang menempatkan pusat pemerintahan Hindia Belanda di tanah Jawa sengaja melestarikan tradisi feodalisme Jawa itu agar aktivitas penjajahan bisa mulus berjalan. Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba memberontak dengan menggambarkan situasi feodalisme itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”

Posisi Belanda sekarang ini digantikan dengan negara-negara super power dan bahkan juga negara-negara tetangga (padahal negara kecil). Mereka sibuk menyedot dan mengangkuti kekayaan alam Indonesia mulai dari hutan, emas, minyak hingga pasir tanpa peduli pada global issues mengenai climate change atau global warming. Kesempatan rakyat untuk memberdayakan hidupnya dipangkas lewat berbagai kebijakan keji. Lihat misalnya kebijakan yang membuat Internet Murah menjadi sebuah mimpi di siang bolong (http://jojor.blogspot.com/2007/01/copy-paste-dari-internet.html), padahal Internet banyak diharapkan dapat mengakselerasi tingkat pendidikan atau pengetahuan. Sementara itu, Wakil Rakyat, para elite priyayi jaman modern ini gemar mangap menikmati berbagai suap dan tunjangan, seperti mesin cuci, laptop, studi banding dan lain-lain tanpa harus kerja membela rakyat. Watak korup dan keji itu juga menjadi selempang yang mengkilat pada para pejabat masa kini. Mereka tak pernah sibuk membela atau mengusung rakyat, tetapi sibuk tanpa takut dan malu sedikit pun untuk menjadi centeng, pelindung para bajingan. Mereka juga sibuk mencetak setan-setan berseragam coklat muda di IPDN (http://jojor.blogspot.com/2007/04/jejak-setan-di-ipdn.html) .

Ternyata kolonialisme di jaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini. Perempuan pun tak pernah dianggap utuh sebagai manusia. Apalagi perempuan miskin, yang karena tiadanya kesempatan untuk merubah nasib, akan menjadi manusia nista yang boleh dikirim oleh setan pengirim TKW ke kandang monster gila di luar negeri untuk dianiaya, diperkosa dan dibunuh. Jika tetap tinggal di negeri ini, mereka akan mencucurkan keringat darahnya di pabrik-pabrik busuk dan pengap, bukan menjalani salah satu tugas mulianya, yaitu mengasuh anak-anaknya agar-agar anak-anaknya tumbuh sehat dan menjadi calon warga terhormat dunia yang lebih baik. Sedangkan para laki-laki petani yang bercocok tanam di negeri ini dijerumuskan untuk menjadi pecundang yang tolol dan selalu miskin. Para priyayi lebih suka mereka menjadi robot dungu di kawasan-kawasan industri. Ini ‘kan jaman industri, kata mereka.

Sekali lagi, sejak jaman Kartini hingga sekarang, situasi itu lah yang kita hadapi dari hari ke hari. Lebih dari 100 tahun kemudian! Para pengusaha, yang jelmaan baru para penjajah, terus menguasai para raja-raja kecil di pemerintahan meski rakyat menjerit tersapu lumpur panas atau tersapu banjir bandang misalnya. Para penjajah pun dengan “kagum” terus menyeringai memandangi rakyat yang menjerit-jerit karena tempatnya mencari makan digusur tanpa diberi jalan keluar. Sementara itu penjajah di negeri seberang bertambah jaya dan makmur, sambil terus memberikan kita mainan perang-perangan melawan teroris atau mainan kebencian antar agama.

Jadi, jangan menyebut diri anda sebagai manusia Indonesia modern atau manusia Indonesia yang maju ketika ada perempuan di negeri ini yang sudah memperoleh kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya atau berkarier setinggi-tingginya atau menjadi pengusaha besar atau bahkan menjadi presiden perempuan di Indonesia, jika situasi penjajahan yang digambarkan oleh Kartini belum berubah....

Jojo Rahardjo

Wednesday, January 31, 2007

COPY & PASTE DI INTERNET

Internet masuk ke Indonesia di tahun 1995. Artinya itu lebih dari 10 tahun yang lalu. Saya ingat sebab ketika Internet Provider mempromosikan layanannya di tahun itu, saya dan teman-teman di tempat saya bekerja waktu itu, di sebuah broadcast TV, langsung melanggannya. Tak lama setelah bisa mengakses Internet itu lah saya mulai lebih giat menulis dibanding sebelumnya, karena saya mulai dapat mengakses informasi yang beraneka-ragam dan seluas-luasnya. Saya mulai memiliki reference yang cukup sebagai bahan tulisan saya. Tidak seperti sebelum Internet ada, yakni saya harus pergi ke perpustakaan untuk mendapatkan reference.

Selain menjadi anggota milis Indonesia-L yang diasuh oleh John MacDougal, saya mulai rajin mempelajari cara membuat halaman web dan terus membaca situs-situs mengenai perkembangan multimedia di seluruh dunia. Satu website yang saya buat waktu itu, yang saya beri nama Indonesia Raya disebut dalam laporan harian Kompas di tahun 1996. Website itu saya buat di situs penyedia website gratis AngelFire. Sayang ketika AngelFire.com crashed, website saya pun ikut crashed.

Saya begitu terkesima melihat perkembangan teknologi multimedia di berbagai negara lain. Saya pun senang dan antusias ketika mulai melihat atau membayangkan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang berkat perkembangan multimedia. Saya sudah memperkirakan bahwa pasti ada pengaruhnya terhadap politik di Indonesia atau penyelenggaraan negara.

Awal tahun 1997 sebenarnya diwarnai oleh munculnya berbagai perusahaan multimedia baru Indonesia, setelah didahului oleh Indovision (Peter Gontha), Multimedia Nusantara (Sudwikatmono), PT Media Citra Indostar (satelit Cakrawarta-1), PT Indonusa Telemedia, PT Multi Media Asia Indonesia, PT Yasawirya Tama Cipta dan lain-lain. Semua perusahaan multimedia itu mungkin, seperti saya juga, tidak menyangka jika tidak lama setelah itu nilai tukar Rupiah anjlok secara dahsyat sehingga beberapa perusahaan itu batal untuk diteruskan. Indovision, meski tidak ditutup, namun harus menunda sebagaian besar dari marketing strategynya.

Meski semua mengakui bahwa jatuhnya Suharto adalah berkat semangat para teman-teman mahasiswa waktu itu dan juga semangat berkorban Amien Rais yang waktu itu yang menjadikan dirinya contoh bahwa Suharto bukan soal yang perlu ditakuti. Namun gelombang informasi yang menjadi lebih bebas berkat Internet juga menjadi faktor yang ikut mempengaruhi sikap banyak orang untuk ikut dalam barisan penggulingan Suharto waktu itu. Saya ingat berbagai informasi politik berupa print-out dari Internet pun menyebar ke mana-mana hingga supir mikrolet pun ikut menikmatinya, apalagi mahasiswa. Saya memang sebelumnya tidak pernah melihat heroisme yang aneh dari para mahasiswa itu untuk sebuah masa yang amat represif. Mereka rela kekurangan makan dan minum, bahkan dipukuli tentara dan polisi, atau kepanasan dan kehujanan dari pagi hingga pagi lagi. Mereka pasti sudah gila, pikir saya waktu itu, karena mana mungkin bisa menang melawan Suharto.

Namun di awal tahun 1998, saya mulai yakin dengan kemenangan people power ini, setelah saya melihat perubahan cara berpikir kebanyakan orang yang saya kenal selama ini. Saya melihat “Tangan Tuhan” melalui multimedia yang dalam hal ini adalah Internet untuk merubah apa yang selama ini dianggap tak mungkin dirubah. Saya melihat keyakinan akan adanya perubahan itu pada hampir setiap orang dan mereka pun amat optimis dengan masa depan Indonesia. Padahal ketika itu nilai tukar Rupiah sedang anjlok amat parah.

Itulah ilustrasi situasi masa itu yang membuat saya begitu antusias untuk menjadi bagian yang ikut mengembangkan industri multimedia di Indonesia. Sayang pada saat itu sangat sedikit orang yang menulis dengan semangat mengenalkan multimedia di media cetak Indonesia. Roy Suryo adalah salah satunya yang rajin mengenalkan dunia multimedia melalui harian Media Indonesia di mana saya juga sering menulis mengenai industri multimedia.

Tulisan saya di harian Media Indonesia waktu itu biasanya menggambarkan tentang prospek sebuah aplikasi multimedia di masa depan dan apa pengaruhnya bagi sebuah masyarakat. Format seperti ini berhubungan dengan semangat saya yang mengharapkan perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik setelah datangnya multimedia. Misalnya tumbuhnya banyak stasiun TV swasta akan membuat masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mencerdaskan dirinya. TV mungkin menjadi media persahabatan dan perdamaian karena bisa lebih mengenalkan sebuah kelompok masyarakat yang satu kepada yang lain yang mungkin sebelumnya dicurigai atau dimusuhi.

Begitu juga Interenet sebagai tempat mencari informasi yang sebelumnya sulit diakses oleh orang-orang biasa. Pemeluk sebuah agama pun ramai-ramai mencoba memahami cara berpikir pemeluk agama lain melalui diskusi yang tidak memiliki resiko kerusuhan. Itu sebabnya tulisan saya yang berjudul “Situs tentang Multimedia di Indonesia” menghasilkan banyak respon yang baik waktu itu. Tulisan ini menggambarkan datangnya dunia baru yang lebih baik.

Dari berbagai tulisan saya nampak usaha saya, misalnya untuk mengenalkan aplikasi yang tersedia dari berkembangnya teknologi satelit, yaitu mengenai apa yang sedang berkembang di negara lain dan segera akan dikembangkan waktu itu oleh Indovision melalui Pay-TV-nya. Juga ada tulisan mengenai teknologi baru di dunia broadcast TV (terrestrial TV), yaitu wireless system yang membuat stasiun TV swasta bisa menghemat investasi yang dikeluarkannya untuk mendirikan seubah TV lokal dan sekaligus bisa menarik bayaran Pay-TV). Ada juga tulisan mengenai ibu rumah tangga yang akan semakin akrab dengan Internet di dapurnya melalui pesawat TV (Web-TV). Bahkan ada tulisan mengenai sisi marketing dari broadcast TV.

Semua tulisan itu muncul karena semangat atau idealisme untuk membawa Indonesia berada di tengah masyarakat multimedia Internasional. Termasuk juga semangat Indonesia untuk memasuki era “global-village”, di mana tidak ada lagi batas-batas wilayah dan waktu. Semua menjadi setara, semua menjadi sama, semua menjadi real-time.

Karena kebanjiran tawaran kerja baru di awal tahun 1998 yang jauh lebih baik dan semakin banyak penulis-penulis baru yang juga menulis tentang multimedia, pelan-pelan saya mulai surut. Tulisan-tulisan saya mulai beralih tema, apalagi pekerjaan saya menuntut untuk menulis yang lain. Saya mulai mendapat pesanan pekerjaan PR melalui Internet atau Internet marketing dan content provider, semuanya sedikit menjauhkan saya dari menulis perkembangan industri multimedia, meski saya tetap dekat dengan aplikasi multimedia.

Namun di awal tahun 2007 ini, lebih dari 10 tahun kemudian, saya menjadi sedih setelah mendapat informasi dari seorang teman tentang tulisan saya di sebuah blog milik seorang yang cukup dikenal di dunia IT Indonesia. Tulisan saya diletakkan seolah-olah itu tulisan penulis blog itu. meski kemudian setelah ditanyakan kepada penulisnya, lalu diakui oleh penulisnya, bahwa itu adalah sebuah keteledoran. Yang menyedihkan lagi adalah ternyata tulisan di blog itu adalah kutipan dari edisi cetakan (buku) yang ditulis oleh penulis blog itu yang baik di blog atau di buku sama-sama tidak menyebutkan asal tulisan itu.

Sebagaimana yang sudah diakui oleh penulis blog itu kepada teman saya, bahwa itu adalah sebuah keteledoran, namun keteledoran itu sebenarnya memiliki implikasi hukum juga moral. Secara moral, keteledoran itu bisa menjadi contoh buruk di dunia Internet yang terus berkembang, bahwa copy and paste adalah sebuah hal yang lumrah. Jika mau punya nama bagus, cetak lah buku, cukup 10 atau 20 eksemplar saja dan buat situsnya di Internet. Isinya? Copy and paste saja dari situs orang....

Secara intelektual copy and paste membuat penulisnya tidak menguasai tulisannya secara keseluruhan. Tulisan itu juga tidak memiliki jiwa atau idealisme yang membuat sebuah tulisan dapat memberi kontribusi yang baik bagi peradaban. Karena itu tulisan copy and paste tidak akan memiliki gaung karena semangatnya adalah sekedar memiliki tulisan untuk reference yang sempit.

Ada satu hal yang saya ingin ingatkan kepada semua orang di zaman informasi ini adalah jejak anda tidak akan menghilang dengan mudah, kemana pun anda melangkah....

Jojo Rahardjo

-----------------------------------

http://thegadget.wordpress.com/2001/08/20/koreksi-sumber-buku/

Koreksi Sumber Buku

20, August, 2001

Terdapat kesalahan dalam buku saya, Imperium Digital: Pusaran Budaya Abad 21 (Padang: Pustaka Mimbar Minang, Juli 2001), khususnya dalam penyebutan sumber referensi.

Pada Bab “Kolaborasi Yang Seksi: Internet dan Multimedia”, khususnya sub bab “Multimedia dan Peradaban Manusia” dan “Multimedia di Indonesia” (hal. 31-33), seharusnya ada catatan kaki berbunyi: “Bagian ini ditulis berdasarkan tulisan Jojo Rahardjo (Media Indonesia, 18 Desember 1997)”.

Karena ketaksengajaan — atau lebih tepatnya keteledoran — informasi penting tersebut tak tercantum dan baru disadari setelah buku selesai dicetak. Saya menghaturkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Sdr Jojo Rahardjo dan para pembaca.

Namun, atas dasar kejujuran ilmiah, mengingat buku tersebut sudah beredar (meskipun secara terbatas), dengan ini dua sub bab tersebut saya nyatakan dicabut dari buku Imperium Digital.
Terimakasih atas perhatiannya.

Salam,

Budi Putra

----------------------------------------------

http://thegadget.wordpress.com/2002/10/


Kolaborasi Yang Seksi: Internet dan Multimedia

10, October, 2002

INTERNET adalah surga media, dan pemanfaatan teknologi multimedia adalah cara pintar untuk mewujudkannya. Bisnis media di dunia dewasa ini berkembang amat cepat, sejalan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi. Solusi teknologi satelit, serat optik, dan peranti nirkabel akan menjadi katalisator penting untuk menuju apa yang disebut cyber-society (masyarakat maya) hingga paperless society (masyarakat tanpa kertas). Benarkah teknologi tidak harus diidentikkan lagi dengan kata rumit dan mahal?

Ada dua kata kunci yang menandai revolusi mutakhir TI dunia dewasa ini: Internet dan multimedia. Internet kini dibicarakan di mana-mana: dan seandainya orang tidak membicarakan Internet, kemungkinan besar yang mereka perbincangkan adalah multimedia.
Hingga saat ini, perbedaan antara keduanya masih cukup jelas. Internet adalah information superhighway, wilayah global elektronik di mana setiap orang dapat berkomunikasi dan saling bertukar informasi dengan siapapun juga di seluruh dunia – suatu wilayah kemampuan jelajah yang diistilahkan world wide web (www). Sebelum tahun 1980, Internet masih kecil, hanya terdiri dari 200 komputer di seluruh dunia dan digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi militer. Tetapi saat ini, karena dipacu oleh PC yang semakin murah, modem yang semakin cepat, dan permintaan dasar konsumen, Internet telah menjadi satu sumber informasi terbesar di dunia. Dari segi “fisik”, Internet tak lebih dari kumpulan kotak plastik, chip silikon, dan beragam kabel tembaga dan serat optik. Itulah yang membuat Internet terkenal dan disukai.

Sebaliknya, multimedia memadukan video, animasi dan suara, dengan unsur interaksi pribadi. Dengan banyaknya produksi paket hiburan, pendidikan dan iptek dalam bentuk CD-ROM misalnya, maka para keluarga tidak perlu lagi mencari unsur hiburan dan pendidikan ke mana-mana, selain di komputer mereka di rumah.

Bagaimana seandainya Anda dapat memadukan keduanya? Bagaimana seandainya Anda dapat berkunjung ke Internet untuk mendapatkan perangkat lunak yang memungkinkan Anda menyunting dan membuat sendiri game serta cerita interaktif? Merekam proses kelahiran bayi Anda dengan handycam, lalu menyuntingnya sendiri dan memformatnya ke dalam VCD? Atau, bagaimana seandainya Anda dapat pergi ke Internet untuk mencari video klip dari grup musik favorit Anda, soundtrack dari film kesukaan Anda, atau foto dari fotografer kesukaan Anda, untuk digunakan bersama perangkat lunak Anda?

Sebenarnya Anda dapat melakukan semua itu, dan bisa mempelajarinya sendiri dengan cepat dan mudah. Jika begitu banyak orang ingin melakukan dan menikmati semua ini, dengan memanfaatkan keunggulan Internet dan multimedia, bukankah ini merupakan peluang bisnis yang sangat prospektif dan menguntungkan?

Dari sinilah berangkat pemikiran bahwa era multimedia adalah sebuah potensi dan peluang pasar baru yang cukup dahsyat dengan lifetime yang diperkirakan akan sangat panjang, apalagi setelah dipadukan dengan keunggulan Internet.

Untuk menyiasati dan mengantisipasi semua itu, lembaga Litbang semacam W3C (World Wide Web Consortium) sedang mengembangkan teknologi Internet multimedia. Ketatnya bisnis Internet multimedia belakangan ini memaksa perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis itu kian gencar memamerkan kecanggihan teknologi andalannya untuk menarik minat calon pelanggan.

Hanya saja keterbatasan kemampuan teknologi Internet multimedia yang ada selama ini masih dirasakan sebagai kendala utama dalam menghantar kesuksesan pada lahan yang satu ini. Sebagai satu solusi atas permasalahan itu, baru-baru ini W3C memperkenalkan sebuah standar aplikasi multimedia integrasi yang berbasiskan bahasa XML (Extensible Markup Language).Standar aplikasi yang diberi nama Syncrhonized Multimedia Language (SMIL) atau dipopulerkan dengan nama SMIL Boston itu menawarkan satu paket integrasi pada alur kerja (workflow) dalam sebuah jaringan komputer perusahaan multimedia secara keseluruhan. Aplikasi ini merupakan pengembangan dari aplikasi multimedia SMIL 1.0 yang telah direkomendasikan W3C sebelumnya. Hanya saja pada standar aplikasi multimedia yang baru ini, telah ditambah beberapa kelebihan serta kemampuan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada pada versi sebelumnya.

Kelebihan yang menonjol yang dimiliki oleh aplikasi mutakhir ini adalah berkemampuan menyuguhkan siaran televisi seutuhnya ke dalam jaringan Internet tanpa membutuhkan sistem akses ke Internet yang berkecepatan tinggi.

Di samping itu dengan penerapan bahasa XML dalam aplikasi ini, W3C berkeyakinan bahwa keberadaan SMIL Boston ini nantinya akan mempermudah para multimedia profesional dalam merancang dan mendistribusikan berbagai produk multimedia seperti audio-video presentasi, animasi maupun pengintegrasian siaran televisi dan radio ke dalam jaringan Internet.

Multimedia: Gagasan dan Konsep

Dewasa ini, promosi dan antusias media atas multimedia hampir sama dengan yang dialami oleh Internet dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari game CD-ROM, VCD, DVD film-film terbaru hingga komputer supercepat yang dapat memainkan dan merekam video serta musik, multimedia terus-menerus menjadi berita.

Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan multimedia?

Jawabannya bergantung pada siapa yang Anda tanya. Pada dasarnya multimedia dapat didefinisikan sebagai teknologi yang mengkombinasikan video, suara, grafik dan teks interaktif. Di luar itu, banyak interpretasi atau penafsiran tentang multimedia.

Misalnya, pembuat komputer mungkin mendefinisikan multimedia berdasarkan kemampuan perangkat keras suara dan video dari komputer. Perusahaan perangkat lunak sebaliknya mungkin mendefinisikan multimedia sebagai kemampuan menciptakan dunia di mana pengguna dapat berinteraksi dengan komputer untuk menyampaikan gagasan atau untuk menyampaikan suatu cerita. Pihak lain mungkin memusatkan perhatian pada media, ketimbang perangkat keras atau isi, dan mereka berkata multimedia hanya dapat diwujudkan apabila menggunakan CD-ROM (compact disc-read only memory).

Kalangan teater mungkin menerjemahkan multimedia sebagai kombinasi media-media yang bisa digunakan untuk mendukung pertunjukan teater macam alat musik, tata cahaya, seni instalasi hingga panggung.

Sementara, kalangan pendidikan menyebut multimedia sebagai “sebuah program instruksional yang di dalamnya termasuk berbagai sumber-sumber integral yang digunakan dalam instruksi belajar” (Schwier dan Misanchuk, Interactive Multimedia Instruction, 1994, hal. 325).

Dalam bukunya Multimedia di Internet, Damon A. Dean, kolomnis di Multimedia World, mengungkapkan secara praktis multimedia mencakup dua jenis pengalaman dan kegiatan, menggunakan dan menciptakan, di mana keduanya telah menjadi pasar yang terus berkembang. Dalam menggunakan, Anda membeli suatu judul dan menggunakannya sesuai dengan tujuan rancangan, baik itu berupa game atau piranti pendidikan. Dalam menciptakan, Anda selaku pengguna, menyatukan (splice) video, menyunting suara, dan memadukan semuanya ke dalam suatu format interaktif. Apapun fokusnya, definisi dasar kombinasi suara, video, teks dan grafik dalam suatu paket interaktif tetaplah sama.

Pengamat multimedia lain, Jojo Rahardjo mengungkapkan bahwa multimedia merupakan keterpaduan teknologi informasi (misalnya komputer) dengan teknologi komunikasi (misalnya jaringan kabel coaxial atau satelit) (Media Indonesia, 18 Desember 1997). Dalam makalah sebuah seminar Indosat yang berjudul ”Perkembangan Teknologi Multimedia dan Implementasinya” Wahyu Wijayadi mengemukakan, multimedia terdiri dari (1) unsur suara, (2) unsur gambar atau video, (3) unsur teks/data, (4). terpadu dalam satu media penyampaian, (5). Interaktif/bukan informasi satu arah. Sedangkan jenis jasa multimedia terdiri dari dua, yaitu berdiri sendiri (stand alone/off line), dan terhubung dengan jaringan telekomunikasi (network-online).

Ada tiga bidang multimedia yang paling cepat perkembangannya: (1) CD-ROM Multimedia, (2) Piranti Authoring untuk menciptakan isi dan (3) Multimedia Real-Time (yang kemudian juga didukung oleh Real-Video dan Real-Audio).

Multimedia dan Peradaban Manusia (*)

Sepuluh tahun yang lalu misalnya kebutuhan terhadap alat telekomunikasi seperti telepon belum seperti sekarang. Ketika jalan-jalan di kota besar semakin macet dan waktu terasa semakin pendek, komunikasi melalui telepon menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Padahal sepuluh tahun yang lalu itu, sedikit yang menyadari bahwa telepon adalah kebutuhan mutlak pada 10 tahun mendatang di kota-kota besar.

Demikian juga keberadaan personal computer (PC) yang sekarang seperti peralatan audio system atau TV berwarna di rumah-rumah pada 10 tahun yang lalu. Atau sekarang kebutuhan akses ke Internet untuk mendapatkan layanan e-mail yang mulai menggantikan mesin faks.

Perlahan tapi pasti layanan interractive data communication seperti Internet ini akan mengulang sejarah yang sama bagi telepon atau PC beberapa tahun lampau. Itu memang sudah nampak dari usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengembangkan layanan ini. Contohnya adalah Web TV yang sekarang sudah dipasarkan. Web TV adalah layanan Internet melalui pesawat TV, bukan melalui PC. Dengan menambahkan beberapa peralatan tambahan, modem, remote control atau keyboard dan dihubungkan dengan telephone line atau antena microwave atau satelit maka jadilah pesawat TV biasa sebagai layar monitor untuk menjelajahi jaringan informasi seluruh dunia Internet.

Multimedia di Indonesia (**)

Era multimedia di Indonesia mulai muncul menyusulnya masuknya Internet ke wilayah nusantara ini. Pada awal tahun 1993, Satelindo meluncurkan Satelit Palapa C1. Satelit Palapa C1 dan lalu C2 bakal berumur hingga 14 tahun. Satelit-satelit ini telah digunakan secara luas oleh beberapa negara di ASEAN. Indonesia antara lain menggunakannya untuk layanan komunikasi yang dikelola oleh Telkom dan Indosat, juga untuk layanan siaran televisi 5 TV swasta dan TVRI. Bahkan digunakan untuk 5 channel siaran langsung TV Satelit Indovision (Direct Broadcasting Satelite) yang sudah berkualitas digital (19 channel).

Bahkan pada November 1997, PT. Media Citra Indostar telah meluncurkan satelit Cakrawarta-1 menggantikan kerja Satelit Palapa C2 dalam mengudarakan siaran Indovision. Dengan satelit ini Indovision kelak akan menyelenggarakan layanan yang bisa disebut layanan interaktif, karena akan tersedia antara lain layanan teleconference, Video on Demand (VoD), home shopping, home banking dan komunikasi data (Internet).

Ada dua perusahaan multimedia baru lainnya yang beroperasi dengan jaringan kabel serat optik, yaitu PT Indonusa Telemedia dan Multimedia Nusantara. Perusahaan-perusahaan multimedia lainnya adalah: PT Multi Media Asia Indonesia, PT Yasawirya Tama Cipta. Sehingga Indonesia boleh disebut sekarang telah memasuki era industri multimedia. Banyak perkembangan baru setelah diluncurkannya Satelit Palapa C1 & C2. Seperti ditaburkannya satelit komunikasi di atas langit Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing di mana banyak pengusaha Indonesia terlibat dalam kepemilikan saham di dalamnya, di antaranya adalah PT. Bakri Communication Corporation pada Irridium Project, sebuah proyek telepon satelit dunia untuk memecahkan masalah blank spot pada telepon selular biasa, AMPS atau GSM. Indosat pun masuk menjadi salah satu pemodal pada konsorsium ICO Global Communication (ICO-GC), sebuah telepon satelit setelah Irridium.

Namun, harus diakui, tidak sedikit pula kendala yang dihadapi pengelola industri multimedia di Indonesia. Sebagai contoh kasus adalah layanan televisi satelit Indovision. Bisnis ini di Indonesia kurang menajamkan kekuatan marketingnya, sehingga layanan Indovision ini menjadi sangat eksklusif. Ada 1 juta antena parabola yang bertebaran di seluruh Indonesia yang diharapkan beralih ke Indovision pada saat peluncuran pertama Indovision.

Namun perilaku pemirsa belum mengenal kebiasaan membayar siaran TV dan acara-acara yang 100% asing, khususnya berbahasa Inggris. Akibatnya, Indovision hingga sekarang masih membutuhkan upaya yang lebih keras untuk mendapatkan pelanggan sebanyak yang diharapkannya.

Meski pertumbuhan pelanggan Indovision ini tergolong lambat, namun Indovision telah membuka jalan bagi perusahaan TV Berbayar lain untuk terjun di industri ini.

Perkembangan multimedia memang sangat dipengaruhi dan diuntungkan oleh kemajuan Internet yang didukung infrastruktur teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat. Keduanya — multimedia dan Internet — tentu akan makin sulit untuk dipisahkan: sehingga kaitan interaktif dan integratif keduanya menjadi “satu” kekuatan besar, dan saling melengkapi satu sama lain. Jika tak ada Internet misalnya, belum tentu perkembangan multimedia akan sepesat sekarang ini: ceritanya tentu akan lain.***

Catatan Referensi:

Buku:Damon A Dean, Multimedia di Internet (Jakarta: PT Elexmedia Komputindo, 1996)Schwier dan Misanchuk, Interactive Multimedia Instruction (London: 1994)

Artikel:(*) (**) Bagian ini ditulis berdasarkan tulisan Jojo Rahardjo (Media Indonesia, 18 Desember 1997).

Tulisan ini merupakah salah satu bab dari buku saya “Imperium Digital: Pusaran Budaya Abad 21” (Padang: Pustaka Mimbar Minang, Juli 2001).