Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label cia. Show all posts
Showing posts with label cia. Show all posts

Friday, December 17, 2010

THE GHOST WRITER; MENGUNGKAP PERAN CIA DALAM MENYIAPKAN PARA PEMIMPIN DI SEBUAH NEGARA

European Film Awards baru saja berlangsung beberapa hari yg lalu, tanggal 4 Desember 2010 lalu. Film berjudul “The Ghost Writer” karya director Roman Polanski memborong beberapa awards sekaligus, yaitu best movie, director, actor and screenplay.

Ini movie yg layak ditonton. Saya sudah pernah membuat movie review tentang film ini yang saya tulis 8 May 2010 lalu di blog saya http://jojor.blogspot.com/2010_05_01_archive.html . Di bawah ini saya tuliskan kembali review itu dengan banyak penambahan. Film ini saya tonton awal May 2010 lalu. Meski hari Sabtu, kursi penonton waktu itu terisi tak sampai seperempatnya, tidak seperti film “2012” yang bahkan harus antri untuk 2 pertunjukan berikutnya. Film ini, sebagaimana yang sudah saya baca reviewnya, adalah tentang kebusukan politisi, meski bisa juga film ini dilihat sebagai tentang ghost writer (penulis sebuah memoirs, namun namanya tidak dicetak). Tokoh utama dalam film ini adalah mantan British Prime Minister, Adam Lang. Menurut movie review yang dibuat oleh BBC tokoh Adam Lang ini adalah gambaran dari mantan British Prime Minister yang asli, yaitu Tony Blair. Saya kemudian kembali menonton film ini melalui DVD setelah membaca film ini memborong beberapa award sekaligus awal Desember 2010 ini.

Film ini sangat bagus menggambarkan betapa busuknya kehidupan politisi. Namun jangan lupa, kisah bagaimana ghost writer bekerja di dalam film ini juga menarik. Apa yang muncul (terutama) di media tentang kehidupan seorang politisi ternyata adalah palsu. Adam Lang yang charming, cerdas dan suka berakting pada masa mudanya telah didorong oleh CIA untuk memasuki dunia politik di Inggris. Kegilaan dunia politik ini digambarkan film ini dengan mengungkap perekrut utama Adam Lang untuk masuk ke dunia politik ternyata adalah Ruth yang agen CIA dan ternyata pula kemudian sekaligus menjadi istri Adam Lang sepanjang hidupnya dan sekaligus orang yang terus mengarahkan Adam Lang untuk tetap berada di dunia politik.

Satu kepalsuan dan kepalsuan lain dari seorang politisi digambarkan melalui proses pembuatan memoirs Adam Lang yang ternyata lebih banyak menyembunyikan kisah hidup yang sebenarnya dari Adam Lang. Bahkan dalam memoirs itu nama Ruth, istri Adam Lang hanya disebut 2 kali. Tujuannya adalah untuk menyembunyikan peran agen CIA (yaitu Ruth, istri Adam) dari gambaran kehidupan Adam Lang. Namun karena penasaran, sang ghost writer berhasil mengetahui jaringan kerja intelejen antar 2 negara ini.

Tentu kisah seperti ini amat menarik, karena terjadi di negara mana saja, apalagi di negara berkembang. “Politik itu busuk” memang juga terasa di Indonesia dan menjadi pertanyaan yg terus bergaung, yaitu mengapa banyak kebijakan politik yang terasa menguntungkan Amerika atau Negara-negara besar lain.

Film ini pada bagian awal sudah bersikap sinis terhadap dunia politik. Digambarkan melalui dialog antara ghost writer dengan agent-nya, Rick. Ketika itu Rick bertemu ghost writer (selanjutnya disebut the ghost) untuk menawarkan sebuah project, yaitu membuat politician memoirs dari Adam Lang. the ghost merasa aneh, karena ia bukan seorang yg dekat dengan dunia politik.

The ghost: But you realize I know nothing about politics?

Rick: You’ve voted for him, didn’t you?

The ghost: Adam Lang? Of course I did. Everyone voted for him. He wasn’t a politician, he was a craze.

Rick: Well, there you go. Look, it’s a new ghost writer he needs, not another god damn politico.

Meski akan direkrut sebagai the ghost untuk sebuah politician memoirs, the ghost, tetap bersikap tidak seperti politician, the ghost digambarkan bersikap lugu namun sinis dalam pertemuan dengan publisher dan wakil dari Adam Lang, yaitu pengacaranya.

CEO Rhinehart publisher: Perhaps you can enlighten us and tell us what exactly you’re gonna bring to this project.

The ghost: Nothing.

Rick (the ghost agent): …laughing…

The ghost: No. I’m not gonna pretend to be someone I’m not. You have my CV.

Percakapan terus berlanjut,

The ghost: I don’t read political memoirs. Who does? And I gather you’ve spent $10 million on this book. How much of that are you gonna see back? Two? Three? It’s bad news for your shareholders. And it’s worse news for your client, Mr. Kroll (Adam Lang’s attorney).

The ghost: Adam Lang, he wants a place in history, not in the remainder tables.

Roy (Other CEO publisher): Oh, please….

The ghost: It’s because I know nothing about politics that I’ll ask the questions that get right to the heart of who Adam Lang is. And that is what sells autobiographies. Heart!

Rick (the ghost agent): Wow! That’s nicely done….

The ghost kembali menunjukkan keluguan dan sekaligus kesinisannya ketika membahas memoirs yg akan dibuat itu dengan Adam Lang. The ghost tidak sengaja menggambarkan kehidupan seorang Prime Minister dengan pertanyaan: “How does it feel to be so hated”?

The ghost: This is the kind of details we need in the memoirs.

Adam: I couldn’t put that in. People would think I was a complete idiot.

The ghost: No, not at all. No, this show what it’s like being Prime Minister. That’s what the readers want to know. How does it feel to run a country? How does it feel to be so cut off? How does it feel to be so hated?

Adam: Thanks a lot (tersinggung).

The ghost: And so loved (cepat-cepat the ghost meneruskan dengan kalimat ini).

Lalu cerita berlanjut ke situasi krisis. Berita di berbagai media telah menyudutkan Adam Lang sebagai war criminal karena telah melakukan sesuatu yg menguntungkan CIA di masa ketika ia menjadi British Prime Minister. Bahkan International Court sudah siap akan memeriksanya. Adam panik dan harus segera menyiapkan statement. Adam teringat pada Mike, the ghost sebelumnya yg telah tewas karena kecelakaan. Mike biasanya menyiapkan statement dalam situasi PR crisis ini. The ghost sekali lagi mengajukan pertanyaan sinis: “Then what exactly are you?”

Adam: This is when we need Mike.

Adam’s secretary: I'll write something.

Adam’s wife: Let him do it (maksudnya the ghost).

Adam’s wife: He's supposed to be the writer.

The ghost: Hang on a minute.

Adam: I should sound confident. Not defensive, that'd be fatal. But I shouldnt be cocky. No bitterness, no anger, and dont say Im pleased at this opportunity to clear my name or any balls like that.

The ghost: So, youre not defensive, but youre not cocky, youre not angry, but youre not pleased?

Adam: Thats it….

The ghost: Then what exactly are you?

Adam: …laughing…

Dalam sebuah pertemuan rahasia antara the ghost dengan mantan British Foreign Secretary, yang menjadi lawan Adam dan tentu sekaligus pencerca Adam mengatakan di bawah ini. Percakapan ini adalah mengenai bagaimana Adam direkrut oleh CIA pada saat ia masih sangat muda di tahun 1974 yg kemudian dengan cepat meluncurkan namanya di dunia politik berkat bantuan teman-teman CIA-nya.

“This is explains why Lang went into politics.

Everyone knows he didn’t have a political thought in his pretty little head.

This is why he rose so quickly, with a little help from his friends.

Name one decision Lang made in 10 years as Prime Minister which wasn’t in the interests of the USA?

Well, come on, it’s not a trick question.

Iraq, Middle East policy, Star Wars defense, buying American nuclear missiles, support of terrorist rendition.”

Bagian akhir film ini ditutup dengan sebuah kalimat:

“Lang’s wife, Ruth was recruited as a CIA agent by Proffesor Paul Emmett of Harvard University”. Kalimat itu menjadi penting karena menggambarkan bagaimana karir politik Adam Lang berawal dan sekaligus menjelaskan kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang dibuatnya selama menjadi Prime Minister yg telah menguntungkan kepentingan Amerika.

Film ini penting sekali ditonton oleh semua orang, terutama para pemilih, bukan para politician, karena politician pasti membenci film ini. Jangan gampang tertipu oleh politician sebagus apa pun nampaknya atau citranya. Contoh itu sudah diberikan oleh SBY sejak tahun 2004 lalu hingga sekarang. Banyak orang mengira SBY adalah calon yang bagus untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Sekarang semua orang kecewa. Bahkan yg mengejutkan dalam bocoran Wikileaks nama SBY disebut-sebut lebih disukai oleh Washington sebagai calon presiden di tahun 2004 lalu. Apakah SBY juga disupport oleh CIA melalui kakitangannya? Anda lebih tahu jawabannya.

Film ini juga membuat sebuah gambaran tentang bagaimana CIA sudah beroperasi puluhan tahun yg lalu untuk menyiapkan para pemimpin di negara-negara lain, termasuk Inggris. Calon yg sudah digarap puluhan tahun lalu ini pun akan memberikan sumbangsih yg besar pada kepentingan Amerika setelah ia terpilih menjadi, presiden, prime minister atau pemimpin apa saja di sebuah negera. Film ini adalah sebuah peringatan bagi kita tentang siapa saja di Indonesia yg sudah digarap oleh CIA melalui kakitangannya yang berada di mana-mana dan bisa menjadi siapa saja. Kita juga perlu waspada dengan orang-orang yang karirnya di dunia politik begitu cepat meroket dan siapa saja yang begitu cepat sukses dalam usahanya, terutama usaha yang bisa berkaitan dengan dunia politik.

Jojo Rahardjo.

http://jojor.blogspot.com/

facebook.com/deepthroatdeepthroat

Sunday, November 01, 2009

JAMES ADAM LAHREN DAN BATIK

http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=165856559702
Saturday, October 3, 2009 at 2:45am

Saya punya pengalaman menarik mengenai batik.

Tahun 2000 ketika saya bekerja di sebuah proyek Asian Development Bank (ADB), saya memberi hadiah khusus, sepotong baju batik kepada seorang teman saya yang berulang tahun. Teman saya ini baru datang ke Indonesia dari Amerika untuk menggantikan team leader yang lama dari Belanda. Nama team leader baru ini, James Adam Lahren, berumur 65 tahun. Mengapa saya memberinya hadiah khusus? Itu karena Jim (begitu ia minta dipanggil) sejak hari pertama datang ke kantor itu adalah seorang teman yang khusus. Ini memang harus saya ceritakan terlebih dahulu sebelum saya bercerita tentang hadiah baju batik yang saya berikan pada Jim.

Akhirnya ia datang juga…. Begitu gumam beberapa orang di kantor, ketika pagi itu, kira-kira jam 9-an, Jim muncul di pintu kantor. Ia memang terlambat beberapa minggu untuk datang ke Indonesia. Bertampang bule (pasti). Jas dan dasinya nampak mahal, Italian style, gitu. Begitu juga sepatu kulit warna coklatnya. Sedikit gemuk, namun nampak seperti baru berumur 50-an akhir. Wajahnya nampak muram, tanpa senyum, gayanya seperti acting Robert DeNiro di film Cape Fear. Ini cocok dengan gambaran beberapa orang yang mengatakan Jim baru saja kehilangan anak laki-lakinya yang berumur sekitar 16 tahun dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Saya berpikir, team leader baru ini nampaknya bakal nggak enak. Duka di keluarganya dibawa-bawa ke kantor. Ia nampak sombong dan tidak punya sense of humor.

Segera, boss saya (yang orang Indonesia) mengumpulkan semua staff di meeting room untuk berkenalan dengan Jim. Perkenalan dibuka oleh boss saya, kemudian giliran Jim mengenalkan dirinya dengan bercerita background pendidikannya dan pengalaman kerja yang kebanyakan di negeri-negeri Muslim, di negeri-negeri konflik dan di negeri-negeri miskin, seperti negeri-negeri Muslim di Afrika dan di Asia, seperti Pakistan (mantan CIA, barangkali). Oleh karena itu (ia berusaha meyakinkan semua orang) tidaklah mengherankan jika Jim yang non-Muslim bisa memimpin proyek ADB ini yang ditujukan untuk meng-upgrade sekolah-sekolah Islam tingkat SMA (Aliyah) di Indonesia. Entah mengapa, Jim lebih banyak bercerita tentang pengalaman bekerjanya di negeri-negeri miskin dan berkonflik. Ini sedikit membuat saya lega, karena ini mungkin caranya untuk merendah. Di sebuah kisahnya, ia menceritakan pengalaman bekerjanya di sebuah negeri di Afrika tentang bagaimana sederhananya peralatan yang tersedia waktu itu. Ia menyebut tidak ada mesin tik apalagi komputer. Report terpaksa ditulis dengan pensil dan di atas kertas bekas. Itu pengalamannya yang paling ekstrim, katanya.

Kemudian setelah selesai bercerita tentang pengalaman kerjanya, perkenalan dilanjutkan dengan staff yang lain. Setelah itu Jim bertanya, “by the way, where is my office”? tanyanya. “Right there”, boss saya menunjuk ruangan di sebelah meeting room yang dipisahkan dengan dinding kaca. Segera Jim bangkit dari tempat duduknya dan melongok ke ruangan yang akan menjadi ruangannya. “Why there is no computer?” Tanya Jim. Entah setan mana yang menggerakkan mulut saya, tiba-tiba saya yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat: “I thought, you used to work with pencil and paper....” Jawab saya. Ya ampun, kenapa saya sinis begini. “Who said that?” Tanya Jim sambil memandang berkeliling semua staff. Mati lah gua! “I said that, Mr. Lahren,” kata saya dengan berat. Jim menatap mata saya, lalu bertanya “What is your name again?” Mampus, kata saya dalam hati. “Jojo, Sir. Jojo Rahardjo,” jawab saya lagi dengan berat. Masih dengan muka serius dan nampak marah, Jim berkata lagi: “Right after this, come to my office,” telunjuknya diarahkan ke muka saya dan kemudian ke arah ruangan di sebelah. Semua mata yang ada di ruangan itu menatap saya. Semuanya seperti berkata: “Lu sih…”

Untuk mempersingkat cerita, akhirnya saya menghadap Jim di ruangannya. Namun Jim cuma bertanya, beberapa soal yang tidak terlalu penting dan bertanya di mana saya biasanya makan siang. Lalu ia meminta saya untuk menemaninya makan siang di restoran di dalam hotel Borobudur yang letaknya bersebelahan dengan kantor saya. Hari itu adalah hari pertama ia berkantor, dan orang pertama yang diajaknya makan siang cuma saya. Aneh. Mungkin ini caranya untuk memarahi saya dengan bebas, bahkan mungkin akan memaki-maki saya nanti.

Saat makan siang ia banyak mengoceh mengenai banyak hal yang membuat saya terheran-heran, kapan saya akan dimarahin. “You are not gonna mad at me, aren’t you?” Tanya saya hati-hati mengungkit soal tadi pagi. “Why”? Tanya Jim. “You know what, Jojo", mukanya berubah serius. "I thought, I’m going to be bored to death, here, in Jakarta, but thank God, I have a nutty guy, here, you, Jojo! Ha..ha..ha..ha..ha...." Ia terbahak-bahak. Sialan, rupanya Jim lebih gila dari gue. Dari tadi gue takut dimarahin ternyata ia lagi ngerjain gue….

Memang terbukti, ia memang teman yang “gila”. Nyaris setiap Jumat malam, ia dan saya keluyuran listen to the live music di berbagai tempat di Jakarta. Di usianya yang hampir uzur, ia masih mampu “gentayangan” hingga jam 3 pagi. Meski begitu, Jim adalah bridge antara culture saya yang Asian Moslem dengan American culture yang secular-nya setengah-setengah.

Kembali ke baju Batik.

Beberapa bulan setelah “perkenalan gila” itu, Jim berulang tahun. Saya ingat kebanyakan orang asing yang bekerja di Indonesia selalu bangga dengan baju Batik yang dimilikinya, baik itu pemberian orang, maupun baju batik yang dibelinya sendiri (sebelumnya saya pernah bekerja di beberapa proyek FAO, ILO, UNDP, USAID sejak tahun 1988). Maka itu saya tidak ragu lagi untuk menghadiahi Jim sepotong baju Batik. Agar menarik perhatian orang, sengaja saya memutuskan untuk memberinya yang dominan warna merah. Dengan sedikit konsultasi dengan seorang teman yang mendalami Batik untuk mendapatkan patern yang tepat, maka saya beli sepotong baju Batik di sebuah toko khusus Batik di jalan Raden Saleh. Saya ingat harganya cukup mahal bagi saya, yaitu sekitar 25% dari gaji saya waktu itu.

Meski sudah melakukan riset kecil, saya tetap merasa tidak yakin dengan hadiah itu. Saya ingin, Jim merasa bangga dengan baju Batik berwarna merah itu. Saya pun meminta tolong kepada beberapa orang teman untuk membantu saya dengan bertanya kepada Jim tentang baju Batik yang diikenakannya, bahkan memujinya. Mereka berpura-pura, seolah-olah tidak tahu bahwa baju batik itu pemberian saya. Nampaknya trick itu berhasil. Matanya berbinar-binar, ketika ditanya tentang baju Batik itu, apalagi ketika dipuji.

Jim nampaknya tidak pernah memiliki baju batik yang lain. Jim selalu mengenakan baju Batik berwarna merah itu hingga bertahun-tahun kemudian. Nampaknya ia begitu bangga dengan baju Batik itu. Mungkin baju Batik pemberian saya itu memang baju Batik yang bagus atau cocok untuknya. Bahkan di tahun 2008 lalu, saat terakhir kalinya ia ke Indonesia sebelum ia ‘rest in peace’ karena kanker prostat, ia nampak mengenakan baju Batik warna merah itu sekali lagi dan untuk terakhir kalinya.

May God bless you and your Batik, Jim!