Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label sby. Show all posts
Showing posts with label sby. Show all posts

Monday, March 22, 2010

ABDURRAHMAN IBN MULJAM BERADA DI JALAN ALLAH SWT, BEGITU JUGA PARA PEMIMPIN INDONESIA ???

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini didalangi oleh kelompok Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding musuh-musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi “pengantin” atau pengebom bunuh diri, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah, berhati-hatilah, karena bagi saya atau orang-orang seperti saya, mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang saya maksud adalah pejabat negara yang bersumpah dengan nama Allah karena sedang dicurigai atau dituduh melakukan kejahatan terhadap negeri ini. Mereka juga sekaligus berkoar-koar, bahwa mereka lebih memiliki “kebenaran” dibanding siapa pun. Padahal bukan sumpah yang diharapkan keluar dari moncong mereka, karena mereka sesungguhnya pejabat negara yang dituntut sepanjang waktu untuk terbuka dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka juga dituntut untuk tidak arogan atau merasa sebagai orang yang tepat di tempatnya, karena bukan ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu agama yang mereka pelajari dan praktekkan bertahun-tahun yang menjadi ukuran baik atau benarnya apa yang mereka kerjakan, tapi moral yang berkembang di masyarakat lah yang menjadi ukuran.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah hanya sebuah contoh ekstrim tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang diduga dilakukannya.

Di bawah ini adalah contoh ucapan para pejabat negara yang ingin terlihat religius.

"Di segala zaman, Tuhan selalu pada pihak kebenaran," kata Wakil Presiden Boediono (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/04/10045551/Boediono.Tuhan.Selalu.Berpihak.pada.Kebenaran ).

Presiden Yudhoyono: "Kebenaran dan keadilan akan datang. Barangkali terlambat, tapi Insya Allah akan datang karena itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa" (http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38829&Itemid=1122 ).

"Demi Allah saya bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi petunjuk pada saya," demikian kata Sri Mulyani saat disumpah Ketua Pansus Century Idrus Marham (http://www.kabarbisnis.com/keuangan/nasional/288700-Sri_Mulyani_bersumpah__Demi_ALLAH_.html ).

Sekali lagi, “kebenaran”, entah apa pun artinya itu, ternyata tidak terletak pada orang-orang yang nampak religius, tapi terletak entah di mana….

Jojo Rahardjo

Monday, March 08, 2010

PEMBUNUHAN ANAK-ANAK JALANAN DAN ETIKA ANGGOTA PANSUS

Saturday, January 16, 2010

Indonesia kembali tidak gempar! Padahal beberapa hari terakhir ini banyak media memberitakan tentang seseorang yang bernama Baikuni alias Babeh yang mengaku telah membunuh 7 anak jalanan yang beberapa di antaranya dimutilasi. Selain dibunuh, korban-korban itu juga diperkosa atau disodomi.

Bahkan media juga mengungkapkan ternyata ada belasan anak kecil usia di bawah 12 tahun yang dibunuh dan dimutilasi di wilayah Jakarta dan Bekasi sepanjang 3 tahun terakhir ini. Ada bekas-bekas perkosaan sebelum dibunuh. Mereka semua anak jalanan yang berkeliaran antara lain menjadi pengamen atau penyemir sepatu. Mengapa kasus "Robot Gedek" terulang kembali? Ternyata kita tidak belajar dari peristiwa-peristiwa yang mengerikan dan memilukan itu. Pembunuhan anak-anak seharusnya menyadarkan kita, bahwa itu adalah hanya tanda atau gejala saja, bahwa kita tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Bukankah anak-anak akan mewarisi negeri ini dari tangan kita? Puluhan anak kecil dibunuh, namun presiden negeri ini malah sibuk berkomentar tentang etika anggota pansus DPR.

Dari apa yang saya simak dari media, saya mencoba menghitung-hitung. Jika Baikuni atau Babeh membunuh 7 anak jalanan, berapa kira-kira "anak asuh" yang dimilikinya? Jika yang dibunuhnya adalah 20%, berarti "anak asuh" atau anak jalanan yang "diasuhnya" atau dikenalnya adalah 35 anak jalanan. Itu di satu tempat saja. Jika ada 100 tempat di Jakarta, berarti ada 3500 anak jalanan di Jakarta yang "diasuh" atau tidak oleh psikopat atau begundal yang suka mengeksploitasi anak. Ternyata banyak jumlahnya, ya!

Lalu, jika 3500 anak jalanan itu menggambarkan 10% dari anak miskin atau yang tidak terurus (namun tidak semuanya di jalanan), maka berarti ada 35.000 anak miskin atau tidak terurus di Jakarta. Banyak jumlahnya, ya!

35.000 anak miskin dan tidak terurus di Jakarta itu 10 tahun kemudian jadi apa, ya? Lalu 20 tahun kemudian jadi apa? Apakah akan kita sebut mereka sebagai penduduk yang membebani negara atau sampah masyarakat?

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, bahwa 60 persen penduduk Indonesia adalah anak-anak. Seharusnya begitu banyak anggaran yang dibutuhkan untuk mengelola 60 persen dari penduduk negeri ini. Menurut Arist, anak sangat penting karena perannya sebagai penerus bangsa. "Kalau anak-anak yang jumlahnya sangat banyak itu tidak diatur sedemikian rupa, bagaimana bangsa kita kelak?" katanya lagi ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/20/brk,20070220-93738,id.html ). Namun apa yang terjadi di kabinet SBY jilid dua? Tidak ada menteri anak, yang ada adalah wakil menteri.

Bandingkan juga dengan data dari Pengamat masalah anak dari Universitas Indonesia, Purnianti yang mengatakan banyak kasus pelanggaran hak anak yang tak terungkap. Data 40,3 juta pelanggaran hak anak hanya angka yang berhasil didokumentasikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/02/brk,20080102-114560,id.html ). Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan sepanjang tahun 2007 sebanyak 4.370.492 anak putus sekolah SD, 18.296.332 anak putus sekolah SMP, dan 325.393 anak putus sekolah SMA. Sedangkan 11 juta anak sisanya buta huruf karena tidak sekolah.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) setiap tahunnya mendapat anggaran dari pemerintah melalui Departemen Sosial Rp 22 juta. Bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh Komnas PA dengan Rp 22 juta itu? Namun dengan anggaran yang terbatas itu, Komnas PA mampu melaksanakan banyak program khusus untuk anak ( http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/02/14/brk,20050214-16,id.html ). Sementara itu jumlah anggaran komnas perempuan adalah Rp4.561.620.125 pada 2008 dan Rp2.063.352.510 pada 2009. Saya harus menyebut pemerintah negeri ini sebagai pemerintahan gila, karena hanya menyediakan Rp 22 juta saja setahun untuk mengurus anak-anak di Indonesia!

Itu belum membayangkan perilaku menyimpang apa yang bakal dilakukan setelah dewasa oleh anak-anak jalanan yang telah menjadi korban perkosaan Baikuni dan Robot Gedek (pelaku perkosaan dan pembunuhan anak-anak jalanan beberapa tahun lalu). Perlu diingat Robot Gedek dan Baikuni waktu kecil pernah diperkosa atau disodomi yang kemudian mereka melakukan perkosaan dan menyodomi anak-anak juga setelah dewasa.

Prihatin pada pembunuhan anak-anak jalanan ini bukan sekedar kasihan pada nasib anak-anak, tetapi adalah juga keprihatinan pada nasib negeri ini di masa depan, jika kita mengabaikan dan menganggap pembunuhan ini adalah soal kecil atau soal biasa atau bahkan soal ketidakberuntungan belaka.

Pembunuhan anak-anak seharusnya menyadarkan kita, bahwa itu adalah hanya tanda atau gejala saja, bahwa kita tidak peduli dgn perlindungan & pengembangan potensi anak di negeri ini. Mereka dianggap cuma segelintir anak-anak jalanan yang tidak beruntung.... Padahal, merekalah yg akan mewarisi negeri ini dari tangan kita.

Sekali lagi ini soal masadepan yang harus diurus sejak sekarang.


Thursday, June 25, 2009

Wednesday, June 10, 2009

ANTASARI, POLITIK DAN POLISI

MediaKonsumen, Jumat, 29 Mei 2009

Antasari tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen?

Nampaknya banyak media lebih suka mengumbar motif pembunuhan ini adalah soal berebut perempuan dibanding motive yang lain. Mungkin karena tuntutan pasar. Meskipun Antasari sudah ditangkap, kepolisian tentu saja masih belum yakin dengan motive pembunuhan ini. Juga tentu saja bukti-bukti belum tersedia.

Lebih seru lagi kalau ternyata Antasari dijebak (atau lebih tepat dijerumuskan) ke dalam peristiwa pembunuhan ini karena urusan pemberantasan korupsi. Bisa jadi, Antasari dijerumuskan karena ada yang sakit hati karena telah menjadi korban Antasari atau karena sedang terancam oleh Antasari.

Antasari, bagaimanapun adalah seorang yang kontroversial. Antasari sebelum jadi ketua KPK pernah di Kejagung dan pernah bikin beberapa kegemparan yang bisa disebut juga sebagai tidak bersih.

Di tengah kontroversi itu, Antasari di KPK memberantas beberapa kasus korupsi (sebagian kecil saja) di Indonesia. Yang menarik, dulu, SBY entah kenapa pernah berkomentar aneh waktu KPK menangkap Amin Nasution. Komentarnya kira-kira begini: "memberantas korupsi jangan dengan cara menjebak". Komentar SBY ini terkesan asal bunyi dan terkesan nggak mendukung pemberantasan korupsi. Padahal ternyata kemudian terungkap Amin memang telah diburu dan dikuntit berbulan-bulan lamanya hingga tertangkap basah lagi jadi maling.

Antasari juga tidak diragukan lagi pernah berseteru hebat dengan baboon-baboon yang ada di gedung bundar saat kasus Artalita Suryani dan sejumlah jaksa agung muda “tertangkap” melakukan hubungan "terlalu intim". Artalita ini adalah kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI dan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan sedang makan suap waktu itu adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim (lihat tulisan saya sebelumnya di: http://jojor.blogspot.com/2008/06/kenaikan-bbm-dan-kejaksaan-agung.html ).

Saya jadi ingat seorang kriminolog Indonesia beberapa waktu yang lalu yang memberikan analisa tentang pembunuhan Nasrudin ini. Sayangnya saya lupa di mana saya baca itu. Dia bilang, di setiap negeri yang sedang menjelang peristiwa nasional seperti pemilu, sering terjadi kasus-kasus yang mengerikan seperti pembunuhan berlatar belakang politik. Nampaknya ada orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan yang dalam keadaan panik mudah sekali mengeluarkan watak psikopat-nya. Sigid Haryo (jika terbukti sebagai salah satu otak) adalah salah satu psikopat itu.

Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tecermin dari intensitasnya bermain golf dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. "Jadi, Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi," ujar Adrianus, Rabu (6/5), kepada Kompas.com ( http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/06/10012234/antasari.diduga.habisi.nasrudin.karena.terancam ).

Antasari pun mengendus hal ini dan merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang caddy muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, komisi antikorupsi yang dipimpinnya pun akan tercoreng.

Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. "AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main," ujarnya.

Tapi ingat! Ada hal yang lebih amat mengerikan dari peristiwa pembunuhan ini, yaitu terlibatnya seorang Kombes Polisi, mantan Kapolres Jakarta Selatan, WW. Jika perwira polisi ini memang betul menjadi kordinator lapangan dalam pembunuhan ini, maka di mana lagi rasa aman bisa diperoleh oleh orang biasa seperti saya? Mengapa seorang perwira polisi, mudah sekali untuk dijerumuskan atau dimanipulasi untuk melakukan sebuah perbuatan yang bisa menjadi bencana nasional yaitu hilangnya rasa aman dan kepastian hukum ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04195686/Kombes.Wiliardi.Merasa.Dijebak ).

Mari kita lihat kelanjutannya di media! Tapi saya ingatkan jangan berharap anda akan mendapatkan kebenarannya dalam waktu dekat ini atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Ini politik, bung!

Jojo Rahardjo

Thursday, May 29, 2008

DEMO MENGGILA, PEMERINTAH MASA BODOH

MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html

BBM sudah dinaikkan pada 24 Mei 2008 oleh pemerintahan SBY. Apa boleh buat. Meski “ocehan” pemerintah tentang menyelamatkan APBN cukup membingungkan, namun rakyat terpaksa menerimanya. Namun sayang, apa yang ditunggu rakyat dari Pemerintah SBY tak kunjung muncul. Apa yang ditunggu rakyat?

Sejak beberapa hari terakhir ini di beberapa stasiun TV (mungkin semua?) menayangkan sebuah program komunikasi yang dibuat oleh "Save Our Nation" mengenai “mengapa harga BBM dinaikan”. Kampanye itu dibuka dengan munculnya Sri Mulyani, sang menteri keuangan negeri ini. Untuk kapasitasnya sebagai seorang akademisi dan menteri dari sebuah negeri morat-marit, sungguh Sri Mulyani ini amat mengecewakan, karena mau menjadi bagian dari sebuah program komunikasi dari pemerintah SBY yang terlambat dan nampak ragu-ragu arahnya, sehingga hasilnya hanya menambah luka rakyat. Mengapa begitu?

Sri Mulyani, Marie Pangestu, Andi Malarangeng, Aburizal Bakrie dalam program komunikasi itu mengatakan hal-hal yang lebih tepat digolongkan atau diklasifikasikan sebagai "curhat". Bukan sebuah wejangan seorang pemimpin kepada rakyatnya yang sedang gundah, panik, bingung, putus harapan, dan merasa dianiaya. Rakyat tentu berharap wejangan seorang pemimpin akan kira-kira seperti ini: "Tunggu dalam waktu yang tidak lama lagi, kami akan segera mengeluarkan pengumuman mengenai rincian program-program kami untuk membantu rakyat agar rakyat bisa melalui dengan selamat kebijakan pahit yang telah kami putuskan." Tapi apa yang diberikan dalam program komunikasi itu? Hanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menonjol, selebihnya hanya kalimat-kalimat normatif. Kosong. Tak ada janji yang pasti untuk membantu rakyat.

Apakah negeri ini harus menaikkan harga BBM? Itu memang debatable. Apakah kenaikan harga BBM menimbulkan dampak? Itu pasti. Namun demikian, ternyata cuma BLT yang bisa dimuntahkan pemerintahan SBY setelah 4 tahun diberi kesempatan mengelola negeri ini. Padahal kenaikan harga BBM sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga seharusnya sudah ada strategi jitu untuk meredam gonjang-ganjingnya dengan misalnya memberdayakan rakyat, bukan dengan hanya BLT. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ini sudah muncul dampak buruk dari BLT sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Ternyata meski kenaikkan BBM sudah diprediksi sebelumnya, ternyata pemerintah SBY masih juga tidak siap dengan pelaksanaan BLT.

Sebenarnya program komunikasi ini adalah kesempatan bagus untuk menunjukkan, bahwa pemerintah SBY sungguh-sungguh membela rakyat, bukan cuma tunduk kepada kepentingan asing, menambah hutang dan menjual ratusan trilyun rupiah harta kekayaan negeri ini serta tidak mampu mengejar ratusan trilyunan rupiah yang dibawa kabur konglomerat hitam.

Sri Mulyani dan yang lain-lain di dalam program komunikasi itu, meski bergelar Doctor sebagaimana orang-orang di sekitar SBY, memang hanya seorang menteri keuangan yang mungkin hanya mampu memenuhi selera ringan SBY dalam memasak resep pengelolaan negeri ini. Malah kebijakan menaikkan BBM telah membuat menteri-menteri lainnya menyeringai lebar karena seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan kenaikkan BBM ini. Lihat misalnya menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang membuat minyak Indonesia menguap entah kemana.. Juga menteri pekerjaan umum yang tidak pernah mampu menyediakan infrastruktur jalan yang baik. Atau menteri perhubungan yang malah menyuburkan pungli di jalan-jalan.

Mereka memang bukan ratu adil seperti yang ditulis oleh Joyoboyo yang akan membawa rakyat keluar dari kubangan sepanjang puluhan tahun berdirinya republik ini. Bahkan nampaknya semangat kebangkitan nasional yang pertama kali diikrarkan 100 tahun lalu masih terus hanya menjadi omong-kosong belaka, meski republik telah dibangun di negeri ini, meski Soeharto telah digulingkan, meski reformasi telah digelar, meski 2 kali pemilu yang katanya "demokratis" telah dilemparkan ke rakyat.

Rakyat menunggu janji yang lebih dari sekedar BLT, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bukan hanya sekedar mengundang investor dari luarnegeri untuk membangun pabrik. Tapi juga menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru atau peluang-peluang usaha baru. Rakyat sendiri sudah sejak lama menciptakan peluang-peluangnya sendiri, misalnya dengan menjadi pengusaha kaki lima. Sayang upaya mandiri mereka ini dianggap sebagai pekerjaan kriminal. Mereka dikejar, diburu, ditumpas sebagaimana musuh berbahaya bagi negara. Jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki lima, tetapi mengapa mereka tidak pernah diberi solusi untuk mendapat kesempatan berusaha atau berpenghasilan?

Sekali lagi program komunikasi ini terlambat. Seharusnya itu dibuat sejak gonjang-ganjing kenaikan BBM pertama kali dilemparkan beberapa minggu lalu. Kini demo-demo anti kenaikan BBM sudah menjadi menggila, amat emosional, kehilangan akal sehat dan menyedihkan di mana-mana. Para aparat keamanan yang juga terkena dampak dari kenaikan BBM ini harus dijadikan garda rapuh yang menyedihkan oleh pemerintahan SBY. Padahal para aparat keamanan ini juga memiliki anak, adik, keponakan, saudara, tetangga, teman yang menjadi mahasiswa pendemo. Sungguh sebuah situasi kebangsaan yang sebenarnya amat memilukan kita sebagai bangsa yang terus-menerus harus berkubang (bukan menggeliat bangun atau bangkit) di dalam soal-soal yang sialnya bukan soal-soal yang digdaya atau soal-soal yang bermartabat, seperti bagaimana ikut menyelamatkan planet Bumi ini bagi anak cucu di masa depan. Bukan soal-soal menciptakan perdamaian. Bukan soal-soal membantu korban bencana. Bukan juga soal-soal bagaimana menciptakan hidup yang lebih mulia dengan teknologi, misalnya. Semua persoalan bau ketek ini sekali lagi (atau lagi-lagi) dilemparkan oleh pemenang pemilu yang diselenggarakan dengan biaya mahal dari keringat dan darah rakyat.

Bangsa ini atau negeri ini menjadi rusak bukan karena bangsa ini bangsa yang disebut indon sebagaimana disebut beberapa orang Malaysia untuk merendahkan kita. Juga bukan karena kita memang bangsa kere atau bangsa budak, tetapi karena kita secara sial telah memilih manusia-manusia tempe (karena kedelainya diimport dari Cina atau Amerika). Kita telah memilih para pemimpin amoral karena mereka tidak mau bekerja keras sampai titik darah penghabisan untuk mengelola negeri ini.


Jojo Rahardjo

Tuesday, May 20, 2008

BBM NAIK, LALU APA?

Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html

Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun katanya negeri ini sudah direformasi.


gerombolan ini lewat... dan bikin macet rakyat.... Ingat BBM mahal, nyong.... (photo: Jojo R.)

Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada negeri ini sekarang dan di masa depan.

Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan bermuara pada kekacauan lagi.

Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu “maju kena, mundur kena” juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari gonjang-ganjing.

Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM ini diambil?

Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan pro rakyat
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk tidak akan menaikkan BBM.

Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang percuma setiap harinya di seantero jabodetabek.

Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama ini simpang siur alias misterius.

Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban terbesar APBN.

Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah.

Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut John S. Karamoy, Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas Association dan president director PT. Medco Energy International
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung kecil yang biasa digunakan di rumah tangga.

Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat masyarakat menjadi jelas.

Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat saja pada 14 Mei lalu
( http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif semacam ini: “kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk menyelamatkan APBN dan negeri ini”. Padahal tentu rakyat tidak mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini hampir separuh dari APBN.

Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?

Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon dalam pemilu 2004 lalu.

Jojo Rahardjo

Wednesday, May 30, 2007

Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

Media Konsumen 30 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel549.html

Saya bukan pakar politik atau pakar tata-negara, tetapi saya seperti sebagian besar rakyat Indonesia, saya cuma rakyat jelata. Karena itu logika rakyat jelata lah yang digunakan ketika melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini antara Rokhmin Dahuri, Amien Rais dan SBY. Menurut logika rakyat jelata saya adalah ternyata semua pemimpin negeri ini mudah terjerumus menjadi maling! Pantas saja negeri ini terus-menerus salah urus!

Banyak yang mengira, akhirnya kita memiliki presiden yang serius mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun ternyata, SBY, presiden sekarang hanya seolah-olah cukup banyak kasus korupsi yang dibongkar dan di bawa ke pengadilan. Seolah-olah bekas pejabat yang dulunya nampak tidak bisa disentuh oleh hukum sekarang meronta-ronta berkelit membela diri. Seolah-olah bagi rakyat ada perubahan yang terjadi. Seolah-olah tidak ada lagi celah untuk sembunyi bagi setiap pelaku korupsi yang terjadi di masa lalu. Seolah-olah pemerintahan SBY mengintai setiap saat pelaku korupsi untuk dijebloskan, bahkan anggota KPU sekali pun juga ikut dijebloskan ke dalam penjara. Semua itu nampaknya memang cuma seolah-olah saja. Seolah-olah pemerintah melihat praktek korupsi sebagai dosa besar yang harus dicuci bersih dari bumi Indonesia, baik dilakukan di masa lalu maupun di masa sekarang.

Namun jika melihat kasus keluarga Suharto yang tidak disentuh dengan mengatasnamakan hukum dan jika melihat kasus BLBI yang merugikan negara ratusan trilyun rupiah, tidak nampak keseriusan SBY. Padahal pemerintahannya sudah berjalan 2.5 tahun. Bagi rakyat jelata seperti saya, jika ada itikad baik, yaitu itikad untuk memberikan rasa keadilan rakyat, maka hukum atau aturan yang ada bisa digunakan untuk mengembalikan harta kekayaan rakyat. Bukan sebaliknya, hukum atau aturan yang ada justru digunakan agar keluarga Suharto bisa menikmati hidupnya dengan aman dan tenteram.

Betapa pun sulitnya mengejar kasus keluarga Suharto atau uang BLBI ini, tidak terlihat strategi yang bisa memuaskan rakyat. Padahal mereka inilah yang membangkrutkan Indonesia. Kasus-kasus ini cukup membuat rakyat kehilangan rasa aman pada masa depan mereka.

Di tengah-tengah rasa ketidakadilan ini, tiba-tiba muncul pengakuan Amien Rais yang telah menerima uang dari Rokhmin Dahuri di tahun 2004 lalu untuk biaya kampanye pasangan capres. Amien juga menegaskan bahwa capres lainnya pun menerima uang dari Rohmin ini. Pengakuan ini tentu mengejutkan rakyat. Meskipun sekaligus melegakan, karena ada pemimpin yang berani jujur dan mau menerima konsekwensinya, namun ada hal lain yang sangat melukai hati rakyat, yaitu ternyata Amien pun ikut-ikutan “mengkorupsi” uang rakyat melalui DKP. Meski saya tolol soal aturan pemilu atau aturan tata negara, tentu tidak mungkin bisa seorang calon presiden menerima uang yang seharusnya untuk mengurus Kelautan dan Perikanan Indonesia bukan untuk mengurus kampanye pasangan capres Amien Rais.

Apa yang sedang dan akan terjadi pada negeri ini, jika semua orang ternyata mudah menjadi maling atau menjadi bagian dari praktek-praktek - yang tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai - korupsi, sebagaimana yang dilakukan oleh Amien Rais itu? Apa yang sudah merasuki pikiran Amien Rais sehingga ia tidak melihat keganjilan asal uang itu dan begitu entengnya tanpa sembunyi-sembunyi menerima uang - yang bagi saya yang rakyat jelata adalah - milik rakyat di sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang masih morat-marit itu? Apa yang terjadi pada KPU dan Panwaslu Pemilu 2004 sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal untuk mengawasi dana kampanye yang digunakan oleh para pasangan capres. Apa yang terjadi pada departemen-departemen pemerintah sehingga bisa membagi-bagikan uang rakyat ke mana mereka suka? Bagaimana tanggung-jawab presiden waktu itu jika ada menterinya yang menghambur-hamburkan uang rakyat ke tempat yang tidak semestinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang membuat saya pesimis dengan masa depan Indonesia....

Kemarin, Amien Rais setelah pertemuannya dengan SBY di Halim PK sudah menegaskan bahwa persoalan uang DKP yang dihambur-hamburkan untuk kampanye para pasangan capres 2004 lalu adalah persoalan hukum, bukan politik. Kalau begitu, rakyat kini menunggu, apakah uang DKP itu akan ditelusuri untuk melihat capres mana saja yang menerimanya dan apakah rakyat akan tetap disuguhi dagelan nggak lucu tentang bagaimana negeri ini dipimpin oleh para pemimpin yang penuh tenggang rasa dan tidak suka berkelahi? Kalau yang satu korupsi, daripada ribut-ribut di tengah rakyat miskin dan di tengah berbagai persoalan bangsa lainnya, maka berkorupsi lah berramai-ramai supaya “adil” dan supaya negeri ini tetap memiliki “pemimpin”, meski pemimpin korup seperti mereka.

Jojo Rahardjo