Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label jaksa. Show all posts
Showing posts with label jaksa. Show all posts

Wednesday, June 10, 2009

JAKSA KONYOL BIKIN ULAH DI KASUS PRITA MULYASARI

MediaKonsumen, Rabu, 10 Juni 2009

Kasus Ibu Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang Selatan tentu menarik perhatian kita semua. Bukan hanya pembaca MediaKonsumen ini, tetapi kasus Prita pasti menarik perhatian banyak orang yang hampir pasti pernah berurusan dengan rumah sakit. Apalagi sejak lebih dari sepuluh tahun belakangan ini semakin banyak saja bermunculan rumah-rumah sakit yang mengklaim dirinya sebagai bertaraf internasional, tapi ternyata cuma tarifnya saja yang internasional, sedangkan mutu layanannya tetap ndeso dan minteri.

Sudah banyak kisah-kisah pilu dari pasien yang merasa tidak mendapatkan layanan yang sepatutnya, bahkan keluarga pasien diterkam hutang kepada rumah sakit meskipun sakit pasien bertambah parah bahkan tewas. Sebagian dari kasus pilu ini muncul di media massa, namun bukannya berhenti atau berkurang, tetapi rumah-rumah sakit itu ternyata semakin arogan dan malah over confidence di kasus Prita.
Memang pada awalnya kasus Prita diangkat sebagai kasus kebebasan berpendapat yang dengan mudah bisa dirampas dengan menggunakan UU ITE. Namun belakangan melalui berbagai wacana, ternyata UU ITE pasal 21 ayat 3 tidak dapat digunakan untuk membatasi orang untuk berpendapat di media elektronik apalagi digunakan untuk memenjarakan orang. Ada undang-undang lain dan peraturan lain yang bisa membuat UU ITE pasal 27 ayat 3 ini tidak diterapkan dalam kasus Prita, misalnya UU Perlindungan Konsumen. Pasal dari UU ITE ini dikenakan secara konyol oleh Jaksa yang menangani kasus Prita. Jaksa Agung telah menyebut jaksa yang menangani kasus ini sebagai tidak profesional. Sayangnya ketidakprofesionalan jaksa ini mengapa berpihak pada yang besar dan punya duit?

Saya amat tidak yakin ketika pertama kali membaca e-mail tentang kasus Prita, bahwa ada seorang Ibu ditahan karena menulis keluhan di sebuah mailing list (akhirnya tulisan itu muncul di mana-mana, termasuk di MediaKonsumen ini dan Detik). Ibu itu ditahan karena sedang diperkarakan oleh RS Omni. Saya tidak yakin ada sebuah rumah sakit besar berani “bermain-main” dalam soal citranya, karena ini akan menjadi bumerang bagi rumah sakit itu. Tapi ternyata memang rumah sakit Omni memang sedang “bermain-main” dengan citranya. Namun saya menjadi tidak heran setelah melihat berita di Suara Merdeka CyberNews tanggal 5 Juni lalu: http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=30015 mengenai bagaimana RS Omni memperlakukan jaksa dan polisi di rumah sakitnya, yaitu pelayanan gratis sebagaimana yang diberitakan. Barangkali RS Omni merasa sudah memiliki jaksa dan polisi yang pasti memihaknya jika ada pasien mencoba “main-main” dengan RS Omni.

Hampir mirip dengan apa yang dilakukan Ibu Prita, saya pernah “menjelek-jelekan” Citibank di berbagai media, namun saya tidak pernah diperkarakan oleh Citibank sebagai telah mencemarkan namabaiknya. Sebagaimana yang sudah saya tulis di MediaKonsumen ini dalam beberapa tulisan, saya pernah mengeluhkan bagaimana Citibank menerapkan perhitungan bunga kepada pemegang kartu kreditnya. Bahkan saya memperkarakannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Ternyata di dalam sidang, BPSK memutuskan Citibank berada di pihak yang benar. Sayang, saya tidak punya waktu dan energi untuk meneruskan berperkara dengan Citibank, padahal saya yakin masih banyak kesalahan Citibank yang belum diperkarakan, seperti tidak memenuhi hak saya atas informasi yang saya minta. Meski kalah, dan telah menulis banyak kejelekan Citibank di MediaKonsumen ini dan tersebar di berbagai media, tetapi Citibank “tidak berani” memperkarakan saya sebagai telah mencemarkan namabaiknya sebagaimana RS Omni lakukan terhadap Ibu Prita. Itu karena akan jadi bumerang bagi Citibank, sebagaimana itu sekarang menjadi bumerang bagi RS Omni.

Kasus Prita bagi saya adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita yang selalu setiap hari ingin membangun sikap kritis sebagai konsumen. Jika kita akan membeli jasa atau barang apa pun, sebaiknya kita melakukan sedikit riset kecil terlebih dahulu. Internet dan MediaKonsumen telah mempermudah kita melakukan riset kecil itu. Meski kadang hasil riset yang kita lakukan tidak memenuhi harapan. Sebagai contoh adalah ketika saya sedang mencari layanan Mobile Internet yang paling baik. Ternyata saya menemukan di MediaKonsumen atau melalui googling semua produk Mobile Internet selalu ada keluhannya. Bahkan yang mahal sekali pun, seperti Telkomsel Flash tidak mau (tidak bisa) menjawab pertanyaan dan keluhan saya di nomor telpon yang disediakan, di alamat e-mail yang disediakan dan termasuk di MediaKonsumen ini.

Saya berharap Kasus Prita akan membuat kita semakin rajin menulis di MediaKonsumen ini atau di media mana pun untuk menunjukkan bahwa konsumen memiliki hak untuk berpendapat atau bahkan membentuk opini terhadap sebuah perusahaan, produk atau jasa. Sehingga tidak akan ada lagi perusahaan arogan seperti RS Omni yang terlalu percaya diri telah memiliki polisi atau jaksa-jaksa konyol yang akan membela mereka hingga ke liang kubur ketika seorang Prita Mulyasari menulis di sebuah mailing list.

Ini bukan jaman Suharto lagi, ini jaman Teknologi Informasi, bung!

Jojo Rahardjo

ANTASARI, POLITIK DAN POLISI

MediaKonsumen, Jumat, 29 Mei 2009

Antasari tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen?

Nampaknya banyak media lebih suka mengumbar motif pembunuhan ini adalah soal berebut perempuan dibanding motive yang lain. Mungkin karena tuntutan pasar. Meskipun Antasari sudah ditangkap, kepolisian tentu saja masih belum yakin dengan motive pembunuhan ini. Juga tentu saja bukti-bukti belum tersedia.

Lebih seru lagi kalau ternyata Antasari dijebak (atau lebih tepat dijerumuskan) ke dalam peristiwa pembunuhan ini karena urusan pemberantasan korupsi. Bisa jadi, Antasari dijerumuskan karena ada yang sakit hati karena telah menjadi korban Antasari atau karena sedang terancam oleh Antasari.

Antasari, bagaimanapun adalah seorang yang kontroversial. Antasari sebelum jadi ketua KPK pernah di Kejagung dan pernah bikin beberapa kegemparan yang bisa disebut juga sebagai tidak bersih.

Di tengah kontroversi itu, Antasari di KPK memberantas beberapa kasus korupsi (sebagian kecil saja) di Indonesia. Yang menarik, dulu, SBY entah kenapa pernah berkomentar aneh waktu KPK menangkap Amin Nasution. Komentarnya kira-kira begini: "memberantas korupsi jangan dengan cara menjebak". Komentar SBY ini terkesan asal bunyi dan terkesan nggak mendukung pemberantasan korupsi. Padahal ternyata kemudian terungkap Amin memang telah diburu dan dikuntit berbulan-bulan lamanya hingga tertangkap basah lagi jadi maling.

Antasari juga tidak diragukan lagi pernah berseteru hebat dengan baboon-baboon yang ada di gedung bundar saat kasus Artalita Suryani dan sejumlah jaksa agung muda “tertangkap” melakukan hubungan "terlalu intim". Artalita ini adalah kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI dan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan sedang makan suap waktu itu adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim (lihat tulisan saya sebelumnya di: http://jojor.blogspot.com/2008/06/kenaikan-bbm-dan-kejaksaan-agung.html ).

Saya jadi ingat seorang kriminolog Indonesia beberapa waktu yang lalu yang memberikan analisa tentang pembunuhan Nasrudin ini. Sayangnya saya lupa di mana saya baca itu. Dia bilang, di setiap negeri yang sedang menjelang peristiwa nasional seperti pemilu, sering terjadi kasus-kasus yang mengerikan seperti pembunuhan berlatar belakang politik. Nampaknya ada orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan yang dalam keadaan panik mudah sekali mengeluarkan watak psikopat-nya. Sigid Haryo (jika terbukti sebagai salah satu otak) adalah salah satu psikopat itu.

Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tecermin dari intensitasnya bermain golf dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. "Jadi, Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi," ujar Adrianus, Rabu (6/5), kepada Kompas.com ( http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/06/10012234/antasari.diduga.habisi.nasrudin.karena.terancam ).

Antasari pun mengendus hal ini dan merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang caddy muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, komisi antikorupsi yang dipimpinnya pun akan tercoreng.

Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. "AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main," ujarnya.

Tapi ingat! Ada hal yang lebih amat mengerikan dari peristiwa pembunuhan ini, yaitu terlibatnya seorang Kombes Polisi, mantan Kapolres Jakarta Selatan, WW. Jika perwira polisi ini memang betul menjadi kordinator lapangan dalam pembunuhan ini, maka di mana lagi rasa aman bisa diperoleh oleh orang biasa seperti saya? Mengapa seorang perwira polisi, mudah sekali untuk dijerumuskan atau dimanipulasi untuk melakukan sebuah perbuatan yang bisa menjadi bencana nasional yaitu hilangnya rasa aman dan kepastian hukum ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04195686/Kombes.Wiliardi.Merasa.Dijebak ).

Mari kita lihat kelanjutannya di media! Tapi saya ingatkan jangan berharap anda akan mendapatkan kebenarannya dalam waktu dekat ini atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Ini politik, bung!

Jojo Rahardjo

Sunday, June 29, 2008

KENAIKAN BBM DAN KEJAKSAAN AGUNG

http://www.mediakonsumen.com/Artikel2630.html

Penolakan kenaikan BBM masih terus digelar di mana-mana. Bahkan semakin emosional dan semakin dibarengi dengan kekerasan, bahkan kekisruhan sebagaimana sudah saya duga sebelumnya di MediaKonsumen ini beberapa waktu yang lalu (http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html , http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html).

Ini disebabkan oleh antara lain karena gagalnya program komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Namun demikian, bagaimana mungkin rakyat dapat memahami sebuah komunikasi yang tidak masuk akal mengenai alasan dinaikkannya BBM. Komunikasi yang buruk ini ditambah lagi dengan minimnya upaya pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikkan BBM ini, bahkan Badan Intelejen Negara pun beberapa hari terakhir ini ikut memperkeruh situasi dengan menebar tuduhan sana-sini.

Tulisan ini adalah untuk mengingatkan, bahwa kenaikan BBM berhubungan dengan adanya konspirasi jahat orang-orang di Kejaksaan Agung dengan konglomerat hitam. Ini menjadi salah satu penyebab pemerintah akhirnya kedodoran APBN dan menaikkan BBM sebagai solusi gampang dan gila sehingga membuat negeri ini semakin compang-camping dan boroknya terlihat.

Kejagung sebelumnya menjadi tumpuan harapan rakyat agar bisa mengembalikan dana BLBI sebesar ratusan trilyun rupiah yang dirampok konglomerat hitam. Sayangnya setelah jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap sedang disuap oleh Artalita Suryani, sejumlah jaksa agung muda lainnya justru juga “tertangkap” melakukan “telpon-ria” dengan Artalita, kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI. Jaksa Urip adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Ia diburu KPK dan tertangkap di rumah Sjamsul Nursalim sedang menerima uang sebesar lebih dari 6 milyar rupiah dari Artalita hanya beberapa hari setelah jaksa agung muda pidana khusus Kemas Yahya Rahman mengeluarkan SP3 untuk kasus BLBI Syamsul Nursalim dan Anthony Salim.

Kasus terbongkarnya borok kejagung ini mungkin juga sekaligus membongkar borok TNI yang tidak tahu ada anggotanya yang “magang” bertahun-tahun menjadi “ajudan” Artalita di Sjamsul Nursalim “Syndicate”.

Kejadian ini sudah menjadi keprihatinan kita bersama, karena ini seperti sering disebut orang adalah “gunung es” dari berbagai carut-marut di negeri morat-marit ini. Sebelum soal Urip, sang borok kejaksaan ini, di awal tahun 2007, seorang jenderal polisi dijebloskan ke penjara karena korupsi dalam kasus Andrian Woworunto. Kemudian KPK juga memenjarakan Irawadi Yoenus, salah seorang komisioner Komisi Yudisial di tangkap di akhir tahun 2007 lalu karena melakukan korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial yang baru. Baru beberapa bulan lalu di bulan Januari 2008 ini, KPK menahan mantan Kapolri Rusdihardjo, karena diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dubes RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Juga bulan April 2008 lalu seorang anggota DPR telah membuat geram para aktivis lingkungan hidup. Al-Amin Nasution tertangkap menerima suap dari pejabat kabupaten Bintan di Jakarta. Al-Amin Nasution sudah lama dibidik KPK terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan.

Meski pun mereka yang disebut di atas hanya beberapa orang saja, namun mereka sudah mewakili hampir semua lembaga negara yang penting di negeri ini yang seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat dalam mengelola negeri morat-marit ini. Ada yang mewakili kepolisian, Mahkamah Agung, pemerintah, DPR dan terakhir kejagung. Mereka yang tertangkap itu, seperti yang disebut oleh Permadi SH adalah sedang bernasib sial. Masih banyak bajingan-bajingan lain yang belum tertangkap.

Di mana-mana di seluruh dunia ini, termasuk di lobang tikus sekali pun, berlaku aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, bahwa penegak hukum tidak boleh berkomunikasi atau bertemu muka dengan bajingan dan kaki-tangannya yang sedang ditanganinya di tempat atau waktu yang tidak seharusnya. Meski jaksa-jaksa itu telah melakukan kesalahan yang amat memalukan dan merendahkan dirinya dan lembaganya, namun demikian Jaksa Agung Hendarman Supandji nampaknya masih akan sangat terlambat untuk menggunakan nuraninya dalam memperbaiki lembaga yang dipimpinnya.

Bukan berapa Rupiah suap yang diterima para jaksa agung itu yang menjadi persoalan kita, tetapi betapa mudahnya kita menyerahkan kepentingan rakyat banyak pada orang-orang durjana yang tidak peduli dengan masa depan negeri ini. Hanya dengan beberapa milyar rupiah saja, kejagung sudah bisa dengan mudah dibuntungi, padahal kasus yang BLBI ditanganinya adalah puluhan trilyun rupiah. Kita tidak bisa membayangkan negeri macam apa Indonesia ini jika SP3 untuk Sjamsul dan Anthony ini menjadi patokan untuk memberikan SP3 juga bagi kasus-kasus BLBI lainnya yang ratusan trilyun rupiah.

Murah sekali harga jiwa para jaksa itu….

Jojo Rahardjo