Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label Susno Duadji. Show all posts
Showing posts with label Susno Duadji. Show all posts

Thursday, April 29, 2010

KORUPSI, SEBUAH KUTUKAN UNTUK NEGERI INI?

Korupsi. Seolah kata itu baru saja populer beberapa bulan terakhir ini, padahal kata itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptus, dan dalam bahasa Inggris corrupt yang berarti merusak, sehingga corruption atau korupsi berarti juga kerusakan.

Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/corruption/ , menyebut latar belakang korupsi bukan hanya soal perbuatan mencuri uang atau memperkaya diri sendiri atau kelompoknya, tapi juga perbuatan penyalahgunaan kekuasaaan atau jabatan. Dalam beberapa kasus korupsi yang terjadi adalah bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Nah, di Indonesia kasus korupsi yang terjadi beberapa bulan terakhir ini untuk tujuan apa?

Economic corruption is an important form of corruption; however, it is not the only form of corruption. There are non-economic forms of corruption, including many types of police corruption, judicial corruption, political corruption, academic corruption, and so on. Indeed, there are at least as many forms of corruption as there are human institutions that might become corrupted. Further, economic gain is not the only motivation for corruption. There are a variety of different kinds of attractions that motivate corruption. These include status, power, addiction to drugs or gambling, and sexual gratification, as well as economic gain.

Kita sering melihat korupsi hanya sebagai sebuah perbuatan pencurian uang negara. Korupsi kurang terlihat berdampak kepada kehidupan sehari-hari kita. Padahal korupsi berdampak sangat luas. Korupsi bahkan sebenarnya mengancam keselamatan Bumi. Bayangkan jika karena korupsi di Pertamina (yang tak kunjung dibongkar) dan lembaga-lembaga yang berkaitan, Indonesia terus menggunakan minyak Bumi sebagai sumber energinya. Bayangkan kerusakan yang disumbangkan Indonesia untuk global warming. Padahal Indonesia kaya dengan sumber energi alternatif, seperti matahari atau panas bumi.

Beberapa kejadian akhir-akhir ini semakin menjelaskan perilaku korup para pemimpin negeri ini yang juga telah mengancam kehidupan masyarakat yang beradab atau yang seharusnya dimuliakan. Lihat tindakan Pemprov DKI yang memaksa dengan kekerasan untuk “melenyapkan” sebuah situs sejarah penyebaran agama di daerah Tanjung Priok. Padahal di tempat itu juga sudah menjadi tempat diadakannya kegiatan-kegiatan ritual agama selama puluhan tahun. Fauzi Bowo sebagai kepala pengelolaan kota Jakarta merasa lebih pintar dari para ahli pariwisata, ahli sejarah dan ahli agama apa pun dengan memaksa dengan kekerasan untuk merubah situs itu menjadi hanya sebuah tugu kecil di dalam sebuah terminal peti kemas semata. Padahal masih banyak cara dan tempat untuk membangun terminal peti kemas di daerah lain di Tanjung Priok. Padahal juga terminal peti kemas di Tanjung Priok bukan sebuah gagasan yang bagus jika sepanjang tahun jalan raya Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu dalam keadaan hancur.

INTERPOL di dalam situsnya, http://www.interpol.int/public/corruption/default.asp , menyatakan bahwa korupsi mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. “Corruption undermines political, social and economic stability. It threatens security and damages trust and public confidence in systems which affect people’s daily lives. Although corruption frequently occurs at local or national level, its consequences are global; its hidden costs immense.”

Oleh karena itu tulisan ini adalah catatan tentang bagaimana dampak korupsi terlihat sangat nyata di jalanan kota-kota besar, seperti Jakarta. Berjuta-juta orang harus bergelut, melindas, menyikut atau menginjak satu sama lainnya, bahkan bertaruh nyawa setiap pagi dan sore di jalanan kota Jakarta yang centang perenang, amburadul, acak-acakan, gara-gara korupsi di negeri ini.

Jalan raya kota besar, apalagi jalan raya ibukota sebuah negeri adalah sebuah potret yang akurat tentang kinerja pemerintahnya. Korupsi di negeri ini, sebagaimana yang katanya sedang diberantas, nampak jejaknya dengan jelas di jalan raya kota Jakarta, misalnya dalam bentuk kondisi permukaan jalan atau kondisi rambu-rambu atau lampu lalu-lintas yang tidak pernah dalam kondisi baik. Begitu juga kemacetan dan amburadulnya lalu-lintas di Jakarta menggambarkan bagaimana pemerintah bekerja dalam menegakkan hukum dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, misalnya kebutuhan pada tranportasi umum yang layak.

Angkutan umum justru dianggap sebagai pengelola kota Jakarta sebagai biang keladi atau penyebab kemacetan lalu-lintas. Angkutan umum tidak disiplin. Mereka berhenti di mana saja dan menyerobot apa saja untuk bisa lebih cepat untuk mendapatkan penumpang. Padahal, coba anda berada pada posisi pengemudi angkutan umum, seperti bis, metromini, angkot atau mikrolet. Beban hidup mereka sudah terlalu berat untuk mereka pikul, sementara itu mereka juga harus sekaligus memikul beban sebagai alat pemerintah dalam menyediakan transportasi umum bagi masyarakat luas. Beban hidup mereka antara lain adalah rumah yang layak, biaya sekolah anak-anak, biaya kesehatan, yang tidak termasuk biaya untuk rekreasi atau pun biaya untuk mendapatkan pendidikan tambahan agar bisa memiliki daya saing dibanding orang lain. Atau bahkan biaya untuk memperbaiki spritualitas mereka. Dengan beban hidup sebegitu besar kita mau berharap mereka bisa menjadi agen pemerintah yang baik dalam menyediakan transportasi umum? Tentu itu gila!

Transportasi umum seharusnya dianggap sebuah investasi bagi sebuah aktivitas ekonomi sebuah daerah. Jika aktivitas ekonomi lancar, maka pemerintah pun bisa diuntungkan. Sehingga jika tidak ada korupsi, pemerintah seharusnya mensubsidi transportasi umum dengan cara memberi tunjangan bagi para pengemudi angkutan umum, seperti tunjangan rumah, kesehatan, dan pendidikan. Besarnya tunjangan bagi para pengemudi angkutan umum ini tentu tidak akan lebih besar dari besar pemborosan bahan bakar yang terbuang pada saat terjadi kemacetan di jalan-jalan raya. Menurut Kompas (5/11/2007), kemacetan ini telah menimbulkan kerugian material sebesar 42 triliun rupiah. Apalagi jika mempertimbangkan sumbangan yang diberikan oleh kemacetan pada global warming.

Akibat dari gagalnya pemerintah dalam menyediakan transportasi umum ini, berjuta-juta orang memilih untuk menggunakan sepeda motor dengan amat sangat terpaksa sekali. Padahal sebenarnya mengendarai sepeda motor pada jam-jam macet bukan kegiatan yang nyaman atau membanggakan. Karena resikonya besar untuk mengalami berbagai kecelakaan dan sakit karena terkena polusi langsung di jalanan. Namun berjuta-juta orang itu telah memilih menggunakan sepeda motor karena sistem transportasi umum yang tersedia amat tidak handal dan bahkan relatif mahal dan terutama tidak layak karena tidak pernah berada pada prioritas teratas dari kerja pemerintah.

Mengendarai sepeda motor bukan hanya menghemat ratusan ribu rupiah setiap bulannya, tetapi juga bisa menghemat waktu. Lautan sepeda motor di jalan raya yang amburadul ini tentu akan otomatis hilang jika transportasi umum tersedia secara baik. Jadi silahkan salahkan siapa yang membuat sebuah situasi jalan raya Jakarta dan sekitarnya menjadi amburadul, sehingga orang memilih menggunakan sepeda motor untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Dan silahkan juga membayangkan di tahun depan berapa ribu motor lagi yang akan bertambah untuk membuat anda gila karena melengkapi kesemrawutan jalanan Jakarta.

Selain persoalan transportasi umum, persoalan pemeliharaan jalan adalah persoalan korupsi yang dampaknya setiap hari langsung dirasakan oleh masyarakat. Di mana-mana jalan rusak bertebaran. Tidak peduli di jalan protokol sekali pun. Tentu jalan rusak ini selalu diperbaiki oleh Pemerintah. Namun justru di sanalah masalahnya. Karena uang selalu dihamburkan untuk memperbaiki jalan yang selalu rusak. Tidak ada jalan yang bertahan lebih dari setahun. Tidak sulit memahami bagaimana pemerintah merawat jalan raya, karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak dalam hitungan bulan dan tanpa peduli korban sudah berjatuhan agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru yang masih kecil. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal beberapa centimeter di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini dan siapa yang memperoleh keuntungan dari cara kerja perbaikan jalan seperti ini. Bahkan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Rambu, baik tanda lalu-lintas hingga lampu lalu-lintas sering dalam kondisi rusak atau asal-asalan. Padahal kondisi itu menghasilkan ketidakpastian aturan sehingga jalan menjadi acak-acakan dan membahayakan pengguna jalan. Seharusnya tidak boleh ada satu pun, misalnya lampu-lintas yang boleh rusak dalam waktu lebih lama dari 1 jam. Di Jakarta berapa lampu lalu-lintas yang mati dari 10 lampu lalu-lintas? Lampu lalu-lintas yang mati itu bisa berlangsung hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Di mana pun orang tahu sebuah alat harus memiliki jaminan untuk terus-menerus bisa berfungsi pada periode tertentu dan diperlukan sistem perawatan yang tertentu pula. Pembuat dan pemasok dari lampu lalu-lintas itu harus diberi tanggung jawab untuk ini, bukan cuma asal membuat dan menjual lampu-lintas saja. Entah di mana fungsi KPK selama ini?

Banyak jalan raya digunakan oleh untuk tempat berdagang atau menjalankan usaha seperti bengkel dan lain-lain. Ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam mencari jalan keluar bagi sektor informal untuk berkembang secara tertib. Juga menggambarkan pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga miskin di kota-kota besar, sekaligus tidak mampu mengatur arus urbanisasi. Jika Pemerintah bisa dan sudah menyediakan lapangan kerja dan tempat yang layak bagi sektor informal ini, tentu jalan raya harus ditertibkan dengan keras dan tegas dari penggunaan yang melenceng, seperti berdagang.

Penegakan hukum di sebuah negeri juga langsung terlihat di jalan raya. Jika dipasang sebuah rambu untuk tidak parkir, maka hukum di tempat itu harus terus-menerus ditegakkan. Jalan raya di sekitar sekolah dan tempat ibadah harus menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum lalu-lintas, karena sekolah dan tempat ibadah adalah 2 tempat di mana orang belajar menjadi lebih baik dan di mana orang berserah-diri kepada Tuhan, bukan untuk melanggar aturan. Demikian juga jalan raya di sekitar lembaga atau instansi pemerintah harus menjadi contoh penegakan hukum lalu-lintas. Sementara itu aturan di jalan tol juga harus ditegakkan, seperti aturan kecepatan, agar tidak muncul kecenderungan pada ketidakpatuhan bagi pengguna jalan yang lain. Demikian juga larangan penggunaan bahu jalan yang kerap dilanggar tanpa ditegakkan.

Meski pun KPK sudah dibentuk bertahun-tahun yang lalu dan pemberantasan korupsi sudah digembar-gemborkan melalui televisi dan media lainnya, tetapi apakah sebenarnya yang dipahami oleh banyak orang tentang korupsi itu? Lihat apa yang dilakukan Departemen Perhubungan di jalan-jalan di kota-kota sekitar Jakarta, seperti Bekasi. Mereka dengan seragam Dishub menghentikan kendaraan umum atau kendaraan pengangkut barang seperti pick-up dan truk dan meminta uang seperti “jagoan pasar”. Entah uang itu untuk apa dan kemana dikumpulkan. Sangat jelas, bahwa Departemen Perhubungan amat kacau-balau dalam mengartikan korupsi. Departemen Perhubungan tentu telah ikut mendorong tumbuhnya pungutan-pungutan liar di jalanan. Selain mengganggu kelancaran lalu-lintas, uang yang dikumpulkan mudah diselewengkan entah ke mana. Departemen Perhubungan yang memungut uang jalanan ini katanya dipimpin oleh menteri, yang katanya lagi adalah pembantu presiden. Sedangkan presiden katanya adalah orang yang gembar-gembor memberantas korupsi di negeri ini.

Pungutan ini juga termasuk pungutan yang bernama “tarif tol” yang tujuannya sejak dulu telah diperdebatkan. Apalagi tarif tol ini selalu naik dalam jangka waktu yang relatif pendek, namun tidak sebanding dengan mutu jalan dan pelayanannya. Pengelola jalan tol selalu berkilah bahwa biaya pemeliharaan selalu naik dan tidak sebanding dengan pendapatan. Padahal pendapatan pengelola jalan tol tidak pernah dibuka secara transparan.

Pemilihan presiden baru saja digelar tahun lalu. SBY dan Partai Demokratnya kembali memimpin di Indonesia. Namun kasus-kasus korupsi besar justru menyeruak ke publik yang dilakukan oleh jajaran terpenting dari pemerintahannya yaitu jajaran ekonomi, seperti kasus Century, Gayus Tambunan dan Ramayana Department Store. Sehingga tidak mengherankan jika jalan raya kita masih amburadul dan memalukan karena melukiskan apa yang terjadi di pemerintahan ini.

Pasangan presiden SBY dan Boediono nampaknya akan terus membuat anda malu menjadi bangsa Indonesia, karena setiap hari berjam-jam bergumul di kemacetan dan amburadulnya pengelolaan jalan akibat korupsi yang merajalela. Apakah kita akan dibiarkan terus-menerus kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih produktif karena energi kita habis dibantai di jalanan? Apakah kita akan terus-menerus kehilangan kesempatan menjadi manusia yang lebih baik, karena harus saling sikat di jalan raya? Apakah kita akan terus-menerus menunduk malu ketika wisatawan mancanegara datang dan melihat jalan raya kita yang menggambarkan rendahnya derajat bangsa ini?

Nampaknya korupsi di negeri ini adalah watak bangsa Indonesia di (bukan sejak) jaman dahulu sekali yang muncul kembali. Berabad-abad Indonesia hanya memiliki satu struktur masyarakat, yaitu penguasa dan rakyat jelata hingga abad 20 ketika muncul kesadaran tentang “kemerdekaan”. Di jaman dahulu tidak pernah ada sistem politik yang menjadikan rakyat sebagai pendamping atau partner para raja dan bangsawan dalam mengelola sebuah wilayah, kecuali rakyat dijadikan kerbau untuk diperas habis. Feodalisme yang menjadi bagian utama dari sejarah bangsa Indonesia barangkali adalah akar dari perilaku korup di negeri ini. Portugis, Belanda dan Jepang bukan bangsa yang lebih buruk dari kita, namun hanya melengkapi watak bengis, perampok, penindas, pemeras dari bangsa Indonesia ini.

Untung saja ada pengaruh peradaban Islam (Sarekat Islam) dan renaissance Eropa (Boedhi Oetomo) di permulaan abad 20 yang telah memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia untuk membangun gerakan kemerdekaan. Saat itu berbagai etnis dari berbagai wilayah menyatukan diri dengan sukarela dan bukan dengan motif ekonomi atau pun motif kekuasaan.

Sayang, kini watak kita kembali ke jaman sebelum gerakan kemerdekaan itu. Sekarang muncul orang-orang dan kelompok-kelompok yang berwatak feodal atau korup yang mengatasnamakan “demokrasi” merajalela menipu, merampok dan memeras rakyat agar mereka terus memiliki kekuasaan. Lihat saja bagaimana mereka menunjukkan rasa amat bersuka-cita ketika terpilih misalnya menjadi presiden, menteri, wakil rakyat, kapolri, jagung atau jabatan-jabatan lain. Seolah-olah inilah rahmat Tuhan kepada mereka. Seolah-olah Tuhan telah menunjuk mereka untuk menjadi yang terbaik tanpa salah meski menipu, merampok atau memeras rakyat.

Jadi jangan terlalu berharap kita akan segera memberantas korupsi dalam waktu 5 atau 10 tahun ini, bahkan dalam beberapa dekade ini. Watak korup sudah berada di dalam gen kita, masih butuh berabad-abad lagi dari sebuah evolusi panjang untuk menghapus gen yang merusak itu, kecuali muncul sebuah revolusi kebudayaan sebagaimana terjadi pada pergerakan kemerdekaan sebelumnya.

Lihat saja ilustrasi berikut ini. Jika kita menyebut pemimpin kita korup, apakah yang lainnya tidak korup? Ternyata korup semua. Para pemimpin ternyata sudah dibekali oleh aturan atau undang-undang yang mencukupi untuk bertindak korup. Lihat misalnya Dirjen Pajak yang tidak bisa diaudit oleh BPK kecuali diizinkan oleh Menteri Keuangan, karena diatur oleh Undang-undang ( http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4272 ). Lihat juga misalnya kasus wajib pajak Ramayana Department Store yang bisa dibebaskan oleh Menteri Keuangan dari jerat hukum, karena memang ada aturannya. Siapa pembuat aturan atau undang-undang itu, tentu saja para wakil rakyat kita “yang mulia” itu. Praktek “demokratis” ini kemudian dilengkapi dengan perilaku kotor kepolisian, kejaksaan, dan para hakim yang siap mengukur kejahatan hanya dari berapa suap yang bisa disediakan.

Korupsi di Indonesia seperti sebuah kutukan kepada bangsa ini. Sehingga amat naif jika diserahkan hanya kepada KPK, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum…. kepolisian, kejaksaan atau menteri, dan apalagi pada seorang presiden yang lemah dan tambun.

Jojo Rahardjo

Thursday, April 15, 2010

TIKUS JALANAN DAN TIKUS TRUNOJOYO

Pagi itu, Jumat, 9 April, jam 04:00 pagi, dua orang sepupu saya bergegas menaiki sepeda motornya bernomor E XXXX RI dari rumah saya di kawasan Kalimalang untuk kembali pulang ke kotanya di Indramayu setelah 5 hari bekerja di Jakarta sebagai tukang listrik. Kira-kira 1 jam kemudian, mereka memasuki wilayah Cikarang. Di sebuah lampu merah mereka didatangi 3 orang yang menurut mereka adalah polisi, karena 3 orang ini mengaku polisi dan bergaya serta berbicara seperti polisi, sebagaimana yang mereka ceritakan kepada saya. Tiga orang yang mereka sangka polisi itu sebenarnya menggunakan jaket sehingga menutupi baju di baliknya apakah seragam kepolisian atau bukan dan tentu saja nama mereka juga tidak terlihat. Tiga orang ini meminta untuk melihat STNK dan SIM. Tanpa menyebut apa kesalahannya, tiga orang ini kemudian bersikeras untuk “menahan” motor milik sepupu saya ini, padahal STNK dan SIM sudah ditunjukan kepada 3 orang ini. Karena dikepung seperti penjahat oleh 3 orang yang mengaku polisi ini akhirnya sepupu saya berusaha “berdamai” dan akhirnya 3 orang yang mengaku polisi ini menerima “perdamaian” dengan uang dari sepupu saya sebesar Rp200.000,- tanpa menahan motor sepupu saya.

Tentu mendengar cerita ini saya amat marah, karena sepupu saya ini rakyat kecil yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sebagai tukang listrik di kotanya, Indramayu. Sepupu saya ini sedang mendapat rezeki yang lumayan karena mendapat order memperbaiki instalasi listrik beberapa rumah di Jakarta. Namun hasil kerja kerasnya yang tidak seberapa harus dirampas 3 orang sialan ini. Saya amat marah, karena mengapa sepupu saya tidak menelpon saya, dan mengapa mereka tidak meminta pertolongan dari orang-orang sekitar, karena mungkin saja 3 orang ini bukan polisi tetapi penjahat yang kerjanya merampok atau memeras orang-orang seperti sepupu saya yang mungkin bodoh karena dari kota kecil seperti Indramayu. Penjahat seperti ini beroperasi di pagi buta atau di tengah malam ketika polisi lain lengah. Meski mungkin juga mereka adalah polisi nakal yang aksinya tidak mau kalah dengan aksi jenderal-jenderal di jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan yang kerjanya menerima suap atau memeras koruptor. Tikus-tikus jalanan seperti ini tentu bukan rahasia lagi. Mereka berkeliaran mencari mangsa dari kota kecil hingga kota besar.

Melalui telpon dari Indramayu, sepupu saya yang pasrah berkata pada saya, biar aja, nanti juga mereka mendapat balasannya. Lalu saya bertanya pada sepupu saya, balasan dari mana? Coba lihat tikus-tikus yang lebih besar dari 3 orang itu Indonesia! Mereka yang disebut koruptor, polisi kotor, jaksa busuk, parasit di Dirjen Pajak, bandit kabinet yang merajalela sejak jaman Suharto dulu yang katanya represif hingga ke jaman sekarang yang katanya demokratis! Berapa orang yang mendapat balasan yang setimpal? Hanya sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka tetap bisa hidup nyaman, damai, tanpa gangguan, menikmati harta haramnya. Tuhan barangkali sudah lelah mengurus tikus-tikus itu di Indonesia. Hanya kita yang bisa menghajar atau memberi balasan yang setimpal. Begitu kata saya pada sepupu saya. Meski sebenarnya menghajar polisi kotor di jalanan hanya akan sedikit sekali pengaruhnya dibanding menghajar jenderal-jenderal di Trunojoyo sebagaimana yang dilakukan Susno Duadji. Tikus-tikus jalanan itu cuma meniru jenderal-jenderalnya di Trunojoyo, sehingga jangan tunggu sampai kita bersih dulu untuk menghajar tikus-tikus di Trunojoyo. Kalau tidak, kapan lagi? Atau jika ada yang meminta Susno atau kita untuk bersih dulu itu, dia mungkin salah satu tikus yang tidak ingin dihajar.

Ayo sikat tikus-tikus keparat !!

Sunday, March 02, 2008

KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA

photo Yusran Pare dari Tribun Jabar


Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.

Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?

Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.

Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.

Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?

Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.

Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.

Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.

Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.

Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.

Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.

Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”

Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”

Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”

Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”

Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”

Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?