Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label ekonomi. Show all posts
Showing posts with label ekonomi. Show all posts

Sunday, March 02, 2008

KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA

photo Yusran Pare dari Tribun Jabar


Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.

Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?

Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.

Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.

Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?

Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.

Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.

Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.

Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.

Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.

Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.

Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”

Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”

Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”

Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”

Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”

Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?

Saturday, August 25, 2007

LAGI, KENAIKAN TARIF TOL

MediaKonsumen http://www.mediakonsumen.com/Artikel777.html

Sebagaimana yang sudah diberitakan di berbagai media sejak beberapa bulan lalu, bahwa tarif jalan tol akan dinaikkan, maka masyarakat pengguna jalan tol pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya menjadi dasar bagi kenaikan tarif tol ini? Jawabannya sebenarnya sudah tersedia juga diberbagai media.

Bahkan JORR (outer ring road) Cikunir akan menerapkan tarif terbuka atau jauh dekat bertarif sama sebagaimana tertulis di situs BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol), www.bpjt.net/index.php?id=11&itemid=56 . Meski di situs itu belum ditulis berapa tarif terbukanya, penerapan tarif terbuka ini tentu melukai hati dan rasa keadilan masyarakat pengguna jalan tol dalam kota, terutama yang setiap hari menggunakan jalan tol dalam kota untuk jarak yang pendek.

Meski jalan tol sedang sepi, tapi bis ini terus melenggang di lajur kanan (Jojo Rahardjo)


Betapa tidak bertanya-tanya, masyarakat pengguna jalan tol belum pernah mendapatkan penjelasan yang sungguh-sungguh mengenai hasil audit yang telah (?) dilakukan terhadap pengelolaan jalan tol dalam kota ini. Pengguna jalan tol hanya bisa pasrah berkali-kali dengan hasil keputusan menaikkan tarif tol yang dilakukan oleh “para wakil rakyat” di Komisi V DPR beserta Pemerintah dan pengelola jalan tol.

Menurut paparan berbagai media, pihak pengelola atau investor memiliki alasan utama dalam menaikkan tarif tol, yaitu pengembalian investasi dan untuk menutup biaya operasi. Kalau tarif tidak dinaikan, maka mereka akan rugi. Alasan lain yang dikemukakan adalah untuk memperbaiki layanan.


Meski jalan tol bukan diperuntukkan bagi sepeda motor, namun JasaMarga membiarkan pengantin baru ini dikawal oleh seekor sepeda motor konyol (Jojo Rahardjo)

Hisnu Pawenang, Kepala BPJT, dalam sebuah talkshow di radio di Jakarta 23 Agustus kemarin mengemukakan, bahwa kenaikan tarif tol yang akan diumumkan pemerintah bulan Agustus ini merupakan penyesuaian terhadap besarnya inflasi. Sayang BPJT tidak terlihat sungguh-sungguh mulai menegakkan Kepmen No 392 tentang Persyaratan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diterbitkan pada Juli 2005 yang harus dipenuhi oleh pengelola jalan tol.

Bahkan Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, mengecam kenaikan tarif tol yang berdasarkan pada besar inflasi. "Di negara lain, kenaikan tarif juga memperhitungkan mutu pelayanan operator dan efisiensi pengguna," kata Sudaryatmo. Menurutnya, kenaikan tarif berdasarkan inflasi justru tak mendorong operator untuk memberikan pelayanan prima kepada pengguna. Hasil audit BPJT Departemen Pekerjaan Umum atas Standar Pelayanan Minimum bisa digunakan untuk menunda kenaikan tarif pada ruas yang operatornya yang tak memenuhi standar. Operator jalan tol juga perlu membuka rencana bisnisnya kepada publik agar penetapan kenaikan tarif lebih transparan (www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/24/brk,20070624-102449,id.html).

Alasan kenaikan tarif untuk memperbaiki layanan adalah omong kosong yang sudah dilakukan sejak lama. Alasan ini adalah alasan yang menggelikan dan menyakitkan hati pengguna, karena dari sekian kali kenaikan tarif, ternyata mutu layanan tidak berubah. Pengelola jalan tol sering berkilah bahwa layanan yang diberikan sudah maksimal. Padahal misalnya jelas terlihat sering kemacetan bertambah parah di jalan tol karena layanan yang tidak maksimal.

Dalam Buletin Lintas Tol yang diterbitkan oleh pengelola di tahun 2005 lalu, ada tulisan yang amat menonjolkan soal menyalahkan pengguna dalam kesemrawutan lalu-lintas di jalan tol dalam Kota Jakarta. Misalnya dalam rubrik Kontak Layanan Tol disebutkan: “Sebenarnya kepedulian petugas terhadap pengemudi dan masyarakat pemakai jalan tol, sudah sejak lama direalisasikan termasuk melakukan tindakan tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi, namun yang menjadi permasalahan justru tingkat kesadaran pengemudi pada umumnya masih sangat rendah. Perlu kami tegaskan bahwa pada prinsipnya petugas jalan tol tidak akan pernah berhenti untuk menertibkan setiap bentuk pelanggaran yang terjadi melalui program penegakkan hukum seperti selama ini kami laksanakan. Sesuai data yang kami miliki pada 3 bulan pertama tahun 2003 tercatat sebanyak 1001 kasus pelanggaran yang dikenakan sangsi hukum berupa tilang.”

Kalimat-kalimat yang dituliskan di rubrik itu adalah “omong kosong”. Saya pengguna jalan tol dalam kota setiap pagi dan sore, yaitu pada saat tol dalam keadaan sibuk, tetapi tidak pernah melihat tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, apalagi program penegakan hukum yang disebutkan. Misalnya, kita masih melihat setiap hari dan setiap waktu adanya kendaraan yang menaikkan dan menurunkan penumpang tepat di depan hidung para “Orang Tol”. Kita juga masih melihat bus dan truk, atau kendaraan besar berada di jalur paling kanan, padahal mereka berjalan amat lambat. Dan pelanggaran yang paling sering adalah berjalan di atas bahu jalan, padahal kalau terjadi situasi darurat, mobil polisi, derek atau ambulan mau lewat mana lagi, kalau bahu jalan dipenuhi kendaraan “setan”. Jadi, soal penegakan hukum itu adalah omong kosong.

Bukan jumlah tilang yang banyak sudah dilakukan yang bisa menjadi ukuran bahwa pengelola sudah melakukan upaya untuk memperbaiki layanannya. Sebab jika jumlah itu dibandingkan dengan pelanggaran yang sebenarnya bisa menjadi upaya yang amat tidak berarti. Di mana-mana, di seluruh muka bumi ini, termasuk di negeri maju sekali pun, kalau tidak ada penegakan aturan, situasi lalu-lintasnya akan seperti di jalan tol dalam kota Jakarta. Tingkat kesadaran pengguna jalan tol amat bergantung dari pengelola dalam menegakkan aturan. Jadi jangan menyalahkan pengguna jalan tol, karena saya lihat pengelola belum memiliki fasilitas yang cukup untuk menegakkan aturan.

Berikut di bawah ini adalah rendahnya mutu pelayanan yang tercatat dalam pengamatan saya.

1.
Pengelola ternyata telah membiarkan kegiatan yang bisa membahayakan jalan tol. Sebagai contoh yang paling segar adalah kebakaran bangunan-bangunan liar di bawah jalan layang tol dalam kota di sekitar interchange Pluit Kilometer 24,8 Jembatan Tiga, Penjaringan. Ada banyak bangunan yang dibiarkan berdiri di bawah jalan tol di Jakarta ini. Pada kasus yang baru saja terjadi di Penjaringan itu mengakibatkan jalan tol harus diteliti seksama apakah masih layak digunakan atau harus dihancurkan dan dibangun kembali. Besar kemungkin jalan tol itu harus dibangun kembali. Kebakaran ini merupakan kebakaran kedua di ruas tol tersebut pada tahun ini. Kebakaran pertama terjadi pada 22 Mei lalu di sekitar simpang susun Pluit yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran terakhir. Jika ternyata harus dibangun kembali, siapa yang akan membiayai ketololan itu, tentu pengguna, bukan pengelola.

2.
Tidak ada penegakan aturan secara sungguh-sungguh. Misalnya jalur tidak digunakan oleh pengguna jalan tol dengan semestinya karena tidak ada sistem untuk menjaga agar pengguna patuh pada peraturan. Misalnya, kendaraan besar dan berat, seperti bis dan truk, tidak boleh berada di jalur tengah dan paling kanan. Kendaraan besar dan berat mengganggu kelancaran dan kenyamanan kendaraan lain jika berada di jalur tengah dan paling kanan karena akselerasinya lebih lambat. Kendaraan berat juga membahayakan kendaraan di depannya yang lebih kecil jika menabrak. Juga peraturan kecepatan kendaraan harus ditegakkan, yaitu kendaraan dengan kecepatan lebih rendah harus berada di jalur lebih kiri dari yang lebih cepat.

3.
Jalan tol adalah jalan bebas hambatan, tetapi coba hitung berapa banyak lubang yang tersedia, termasuk potongan kayu atau benda-benda lain di jalan tol. Menurut saya benda-benda itu terlalu banyak di jalan tol dalam kota. Ini menunjukkan kurangnya patroli atau buruknya sistem untuk menjaga jalan tol agar terus-menerus bebas hambatan. Padahal dengan kecepatan cuma 80 km/jam benda-benda itu menjadi sangat berbahaya, baik karena melindasnya atau karena menghindarinya.

4.
Meski pun sudah ada, tetapi saya kira, pengelola kurang serius menyediakan petunjuk tentang nomor telepon yang dapat dihubungi untuk situasi darurat, mengeluh atau melaporkan adanya ketidakberesan di jalan tol. Misalnya melaporkan adanya pengemudi ugal-ugalan, perampokan, benda-benda atau hal-hal yang mengganggu di jalan tol.

5.
Kurang lengkapnya jenis kendaraan petugas jalan tol. Semestinya petugas jalan tol tidak hanya dilengkapi dengan kendaraan roda empat, tetapi juga dengan kendaraan roda dua seperti di beberapa negara. Dengan kendaraan roda dua petugas dapat melaju di sela-sela kendaraan untuk memantau dan membereskan situasi jalan tol agar selalu nyaman dan aman bagi penggunanya yang telah ikut susah payah membiayai pembangunan jalan tol (bukan hanya investor saja yang membangun jalan tol!).

6.
Pelayanan di loket atau pintu tol kurang maksimal. Sebagai contoh loket layanan uang pas yang tidak pernah diberlakukan, padahal tertulis di atas gerbang, loket UANG PAS. Saya adalah salah satu dari sekian pengguna tol yang kerap menegur petugas loket Uang Pas agar memberlakukan aturan Uang Pas itu. Bahkan beberapa teman yang saya kenal menulis email ke Jasa Marga. Sering juga saya menemukan loket tol yang tidak dibuka semuanya pada pagi hari, padahal antrian sudah panjang. Saya menduga, petugas tol belum datang sehingga loket yang tersedia belum bisa dibuka. Contoh yang lain adalah tidak adanya tindakan yang pasti diambil untuk pengguna yang melakukan tindakan penyerobotan di dekat gerbang tol terutama pada saat terjadi antrian panjang. Seharusnya ada sistem yang disediakan untuk pengguna seperti ini, karena situasi ini selain mengacaukan antrian, juga amat tidak membuat nyaman atau bahkan melukai hati pengguna yang rela antri atau patuh pada aturan. Bahkan setelah kenaikan tarif berkali-kali ini, seharusnya pada saat jam macet setiap gerbang bisa memberlakukan lebih dari hanya 1 loket, misalnya 2 atau 3 loket sekaligus untuk mempercepat proses pembayaran. Bahkan menurut saya, karena jumlah pengguna semakin hari semakin bertambah sudah saatnya (mengapa terlambat?) untuk menerapkan pembayaran dengan sistem kartu voucher misalnya. Dengan kartu seperti itu, pengguna cukup menggesekkan kartunya di loket untuk mengurangi waktu berada di loket.

7.
Harus sudah dibuat sebuah sistem untuk memprediksi dan mengantisipasi kemacetan yang mungkin dan akan terjadi. Kamera mungkin adalah sebuah solusi yang gampang. Satu kendaraan yang mogok di jalan tol, apalagi kecelakaan, bisa mengakibatkan kemacetan yang parah di belakangnya. Juga, kamera ini bisa untuk menegakkan aturan dengan memberikan sangsi bagi pengguna yang mengganggu kelancaran atau mengganggu pengguna lain.

Sebenarnya masih ada bentuk pelayanan-pelayan lain yang jika disebutkan di sini akan terlalu panjang, misalnya bentuk-bentuk pelayanan yang tidak terlihat nyata, tetapi pelayanan itu yang bisa memunculkan rasa aman, rasa nyaman atau bahkan rasa bangga sebagai warga sebuah kota atau negeri yang menegakkan aturan. Sebenarnya berbagai persoalan pelayanan atau keluhan yang muncul sudah didata oleh PU sebagaimana tertulis di http://www.pu.go.id/Common/Notice/Ntc_070704142624.pdf .

DPR harus memikirkan bagaimana agar pemerintah juga terlibat secara maksimal dalam pengelolaan jalan tol, bukan hanya diserahkan pada pengelola itu yang sudah jelas tidak mampu memberikan layanan yang maksimal. Misalnya jika pengelola “tidak mampu” menyediakan kamera atau alat-alat pemantau lain, pemerintah seharusnya turun tangan untuk membiayai. Karena bukankah jalan tol erat kaitannya dengan kegiatan pertumbuhan ekonomi? Bahkan secara budaya saya percaya bahwa situasi jalan di sebuah kota menggambarkan pemimpinnya yang dari jenis baboon atau manusia. Sehingga seharusnya yang menjadi pertimbangan utama kenaikan tarif jalan tol adalah kelancaran kegiatan pertumbuhan ekonomi bukan mempertimbangkan kelangsungan berjayanya para investor jalan tol atau pengelolanya. Apa gunanya menggairahkan investasi jalan tol, jika menghambat kegiatan pertumbuhan ekonomi di sektor lainnya.

Kita akan melihat dalam beberapa hari mendatang, apakah DPR lebih mengutamakan kepentingan segelintir pengusaha atau lebih mengutamakan kepentingan jutaan pengguna yang mewakili sebuah kegiatan pertumbuhan ekonomi sebuah kota bahkan negeri. Komisi V DPR betul-betul diharapkan masyarakat untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya, terutama mengenai tarif terbuka itu. Jika tidak, maka kami akan mengingat nama-nama anda dalam Pemilu 2009 nanti.

Jojo Rahardjo