http://www.mediakonsumen.com/Artikel2470.html
Apa yang terjadi setelah BBM dinaikkan? Yang paling gampang terlihat, karena sering menjadi berita di berbagai media, adalah mengeluhnya pengemudi kendaraan umum dan penumpangnya. Salah satu keluhan para pengemudi angkutan umum itu adalah dilema dalam menaikkan tarifnya, karena kuatir penumpang berkurang. Jika tidak mereka naikkan, maka penghasilan mereka yang sebelum BBM dinaikkan sudah kurang dari layak akan semakin berkurang.
Misalnya di salah satu TV swasta, seorang pengemudi taxi mengungkapkan, sekarang ia hanya bisa pulang ke rumah dengan mengantongi uang maksimal RP20.000,- setiap harinya, padahal sebelumnya bisa mencapai RP50.000,-. Dengan uang RP50.000 sehari saja, saya sulit membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka bersama keluarganya untuk bisa hidup layak, sehat dan apalagi untuk membangun masadepan keluarga mereka yang kompetitif. Saya sulit membayangkan bagaimana membiayai anak-anak mereka supaya tetap sehat dan bagaimana membiayai pendidikan yang cukup supaya bisa bersaing di masa depan nanti.
Itu sebabnya para pengemudi ini memiliki alasan yang tidak terhindari untuk saling serobot, melanggar rambu lalu-lintas, tidak perlu santun, dan lain-lain perilaku buruk di jalan. Demo sudah mereka lakukan sejak hari pertama BBM dinaikkan. Beberapa demo mereka sangat emosional. Tetapi akhirnya mereka menyadari demo tidak bisa mereka teruskan karena mereka bukan pada posisi untuk dapat berdemo, karena ketika mereka berdemo, mereka tidak menghasilkan uang, padahal tabungan pun tidak punya juga. Betapa takdir hidup mereka di tangan pemerintah, bukan di tangan Tuhan….
Apa pun yang terjadi, tarif angkutan umum akhirnya dinaikkan secara resmi oleh pemerintah. Namun berapa pun kenaikan tarif angkutan umum itu, apakah kenaikannya bisa mengatasi kesulitan hidup para pengemudi itu? Tentu tidak, karena daya beli mereka sudah berkurang karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kesulitan hidup mereka tentu bertambah, sehingga yang paling gampang mereka lakukan adalah tetap menjadi setan jalanan, bahkan dengan tingkat yang lebih parah lagi agar uang yang mereka bawa pulang bertambah. Polisi pun tetap berada dalam situasi yang gamang, antara menertibkan dengan menegakkan hukum dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan sepihak. Situasi jalanan yang tanpa hukum ini, tentu juga berpengaruh pada pengemudi kendaraan pribadi yang akhirnya juga ikut-ikutan menjadi biadab. Maka, akhirnya jalan raya kota-kota besar di Indonesia akan terus menjadi potret morat-maritnya sebuah negeri. Siapa pun yang datang ke Indonesia akan langsung menyaksikan kebiadaban para pengemudi kendaraan, baik yang umum maupun pribadi. Sebuah situasi yang konyol dan memalukan.
Kritik saya di atas bukan tanpa tawaran solusi atau saran. Menurut saya, sudah saatnya pemerintah memberikan tunjangan kepada para pengemudi angkutan umum ini. Meski pun langkah ini sesaat dan menyerderhanakan persoalan, tetapi itu lebih baik dibanding tidak melakukan apa pun untuk mengurangi dampak kenaikan BBM pada sektor transportasi umum di perkotaan. Tunjangan itu terutama diberikan untuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Supaya kesempatan mereka untuk berubah nasib menjadi lebih besar. Jika orangtuanya hanya pengemudi angkutan umum, maka berilah kesempatan pada anak-anaknya untuk menjadi lebih baik dari itu, dengan memberikan mereka kesehatan yang baik dan pendidikan yang cukup. Selebihnya orang tua tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya.
Kemudian jika mau lebih jauh lagi menangani angkutan umum di kota-kota besar, tentu harus juga memikirkan konsep yang lebih terpadu. Misalnya di dalam konsep yang lebih terpadu itu diperhitungkan penggunaan BBM secara efisien. Misalnya, jenis kendaraan yang digunakan dalam transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan tipe kecil dengan kapasitas 10 atau 12 orang (seperti angkot atau mikrolet) tentu harus dipertimbangkan karena lebih boros BBM dibandingkan kendaraan dengan kapasitas lebih besar (seperti type Isuzu Elf). Dengan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar ini tentu juga bisa sekaligus mengurangi jumlah kendaraan umum yang berada di jalanan, sehingga jumlah kendaraan umum yang harus berlomba-lomba mendapatkan penumpang pun berkurang. Berkurangnya jumlah kendaraan umum ini bisa mengurangi kesemrawutan lalu-lintas dan tentu mengurangi penyebab gangguan jiwa atau gangguan prilaku bagi rakyat, bahkan mungkin juga bisa mendorong rakyat di lapis bawah untuk tidak mudah tertarik pada ideologi kekerasan.
Apa yang saya tulis di atas hanya contoh saja dari berbagai persoalan hidup di tingkat bawah yang tidak kunjung dicarikan jalan keluarnya sejak dulu hingga sekarang. Padahal persoalan hidup yang meracuni nurani ini bisa menjerumuskan orang untuk mengidap ideologi kekerasan.
Perasaan tidak diperlakukan dengan adil tidak hanya dirasakan oleh pengemudi angkutan umum, tetapi di berbagai sektor. Misalnya pekerja di sektor industri juga paling rentan terhadap ideologi kekerasan. Terutama karena pengusaha sekarang diberi “kehormatan” dan “kemuliaan” yang amat tinggi untuk memberangus masa depan para pekerja Indonesia agar tetap menjadi “kuli kontrak” sejak tahun pertama bekerja hingga tua-renta karena memikul hidup yang berat. Mereka adalah orang-orang yang kurang memiliki kesempatan untuk menambah skill kerjanya dan pendidikannya, namun sayang pemerintah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Mereka telah diberi “takdir” untuk selama-lamanya menjadi “budak” yang angka penghasilannya hanya ditentukan oleh pemerintah dan pengusaha melalui apa yang disebut “upah minimum” setiap beberapa tahun sekali saja.
Belum lagi persoalan-persoalan masyarakat miskin kota yang salah satu pembelanya adalah Wardah Hafidz. Persoalan mereka misalnya, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja atau berpenghasilan, mereka menciptakan usaha kaki-lima untuk memiliki penghasilan. Tapi sayang usaha kaki-lima ini begitu mudah dipandang oleh pemerintah sebagai musuh negara yang pantas diburu dan dimusnahkan dari pemandangan kota-kota besar. Mereka yang bukan karena pilihan bebasnya telah menjadi pengusaha kaki-lima itu tidak diberikan pilihan lain atau solusi jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki-lima. Barangkali pemerintah memang bermaksud untuk menjebak mereka untuk menjadi pencoleng atau penjahat. Atau menjerumuskan mereka ke dalam kelompok yang menyebarkan atau menanam ideologi kekerasan.
Jika persoalan-persoalan kelas bawah seperti itu bisa diminimalkan, tentu kita bisa lebih giat berdoa atau berharap, agar masyarakat bawah tidak mudah tertarik pada para penyebar ideologi kekerasan yang ditawarkan individu, kelompok, organisasi, atau aliran agama apa pun. Meniti kehidupan yang lebih baik atau membangun masa depan yang lebih baik tentu lebih menarik dibandingkan masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang di dalamnya diajarkan kebenaran mutlak hanya miliknya sendiri. Sayangnya kelompok seperti ini sering berlatarbelakang agama.
Kepercayaan kepada Tuhan atau agama sebelum datangnya para nabi yang “samawi” menurut ilmu psikologi dan sosiologi tumbuh karena ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kehidupan ini atau misteri munculnya kehidupan ini dan kemana kehidupan ini berakhir. Pemahaman tentang Tuhan dan agama kemudian terus berkembang lebih jauh menjadi jawaban bagi persoalan bertahan hidup hingga menjadi arah perkembangan peradaban manusia. Agama, bahkan menurut sains, amat dibutuhkan umat manusia. Betapa banyak sekali arah peradaban manusia terinspirasi dari agama. Begitu juga banyak aturan hidup sehari-hari atau aturan hidup bernegara yang berasal atau terinspirasi dari ajaran agama, termasuk larangan untuk melakukan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Bahkan secara individual, kepercayaan kepada Tuhan memberi kepuasan bathin tiada terkira bagi para pencari kebenaran tentang hidup.
Sayangnya sebagian dari kita telah menjadikan pemahaman terhadap agamanya atau keyakinannya sebagai kebenaran mutlak. Dunia ini dianggap hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Orang-orang yang tidak mengikuti mereka atau menghalangi akan dianggap kafir atau musuh yang pantas dilenyapkan. Persoalan berkeyakinan seperti ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak pertama kali manusia mulai mempercayai adanya pencipta, penguasa, dan pengatur kehidupan manusia atau alam semesta. Persoalan ini juga dialami oleh pengikut agama apa pun, di Eropa, Arab, Afrika, Asia atau di mana saja. Tanpa bermaksud menjadi pesimistis terhadap perkembangan peradaban manusia, sejarah umat manusia sebenarnya di berbagai tempat di permukaan Bumi penuh dengan pertumpahan darah beratasnama agama.
Ada pertanyaan besar yang sudah sejak lama ditanyakan banyak orang, yaitu (jika begitu) apakah agama mengajarkan kekerasan? Tentu saya tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena memancing diskusi panjang dan sekaligus memprovokasi adanya kekerasan terhadap diskusi itu. Tulisan ini hanya mencoba mengindentifikasi atau menggambarkan apa-apa yang di luar agama tetapi bisa memicu kekerasan di sekitar kita dengan beratasnama agama.
Namun tulisan ini, akhirnya terpaksa menyinggung sebuah persoalan yang sedang menjadi “hantu perpecahan” di Indonesia akhir-akhir ini dan persoalan ini muncul karena situasi morat-marit yang saya gambarkan di atas. Front Pembela Islam (FPI) disebut telah melakukan kekerasan sepanjang keberadaannya selama 10 tahun terakhir ini dan terutama kekerasan di Monas.
Apakah FPI harus dibubarkan? Begitulah wacana ini menjejali seluruh media akhir-akhir ini. Tentu pembubaran FPI tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya sebagaimana sudah saya gambarkan di atas. Akar persoalan tentu saja bukan Ahmadiyah, sebagaimana dijadikan pembenaran pada kekerasan yang dilakukan FPI di Monas. Ahmadiyah hanya menjadi picu bagi FPI yang terlanjur sering merasa pemerintah tidak mengakomodasikan aspirasi mereka tentang negeri yang saleh tanpa maksiat, tanpa kebobrokan moral, tanpa pertunjukan aurat atau pornography, atau tanpa penodaan agama.
Persoalan Ahmadiyah yang dianggap sesat, menyimpang dan menodai Islam sebaiknya diselesaikan dengan memberi cap bahwa Ahmadiyah sesat. menyimpang dan menodai. Pembubaran Ahmadiyah nampaknya bukan penyelesaian yang baik jika mengambil contoh sikap Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak pernah menggunakan kekerasan ketika menghadapi kelompok lain yang berbeda keyakinan. Saya tidak ingin lebih jauh berargumen mengenai apakah Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, karena itu bukan porsi saya. Tetapi saya yakin porsi saya adalah untuk mengatakan, bahwa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan apa pun termasuk untuk berkeyakinan adalah menyalahi aturan apa pun. Itu berlaku juga untuk orang-orang yang mendorong atau menginspirasikan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi pengikutnya untuk melakukan kekerasan.
Kesalahan pemerintah SBY yang utama adalah bukan karena tidak membubarkan Ahmadiyah, tetapi karena tidak mampu mengurus negeri morat-marit ini. Jadi mari bantu mereka yang menjadi korban kebijakan kenaikan tarif BBM. Mereka adalah misalnya para pengemudi angkutan umum, pekerja yang terus-menerus dikontrak, pengusaha kaki-lima yang diburu seperti musuh negara, atau masyarakat miskin di kota-kota besar yang hidupnya terombang-ambing para gubernur yang terus menerus ingin “membasmi” mereka. Jadi jangan membuang-buang waktu untuk bertengkar satu sama lain dengan menggunakan omong-kosong soal agama.
Jojo Rahardjo
Showing posts with label transportasi. Show all posts
Showing posts with label transportasi. Show all posts
Tuesday, June 10, 2008
Tuesday, May 22, 2007
TEROWONGAN AIR SENILAI 16,3 TRILIUN UNTUK MENGATASI BANJIR DI JAKARTA

Media Konsumen 22 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
Labels:
banjir,
banjir kanal,
ciliwung,
dki,
dtss,
pam,
terowongan bawah tanah,
transportasi
Wednesday, January 10, 2007
DUNIA TRANSPORTASI INDONESIA DAN HARGA SEBUAH KECELAKAAN?
http://www.mediakonsumen.com/Artikel338.html 7 Januari 2007
Rasa prihatin saya yang sedalam-dalamnya untuk para korban kecelakan laut dan udara yang baru saja berjatuhan di Indonesia.
Banyak yang menyebut pada masa pemerintahan SBY banyak bencana dan kecelakaan terjadi yang merenggut banyak korban jiwa. Bencana dan kecelakaan adalah Tuhan yang menentukan, siapa pun pemerintahannya. Jadi bukan karena ini masa SBY atau bukan. Juga bukan karena ini masa Hatta Radjasa atau bukan. Namun demikian usaha kita dalam mengatasi atau menghadapi bencana dan kecelakaan, dan bahkan kesiapan kita dalam menghadapi bencana dan kecelakaan yang mungkin atau kita perkirakan akan muncul adalah menunjukkan kualitas kita sebagai manusia atau bangsa....
Banyak yang masih ingat bagaimana KM Lampung akhir November 2006 lalu di selat Sunda terbakar.... Para awak kapal kocar-kacir menyelamat diri sendiri dan lupa dengan peralatan keselamatan bagi penumpang di kapal itu. Itupun kalau bisa digunakan jumlahnya amat sedikit. Lebih parah lagi, ternyata unit-unit penyelamatan penumpang dari pelabuhan Merak bekerja amat tidak maksimal, padahal kebakaran itu masih dekat dengan pelabuhan, bagaimana kalo sudah jauh? Maka sekarang yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan di hari-hari terakhir ini pada kapal Senopati di laut Jawa. Para penumpang dipersilahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri-sendiri.... Yang nggak bisa berenang, silahkan mati, dan yang bisa berenang, silahkan capek menunggu diselamatkan sampai keriput dimakan air laut....
Sejak dulu saya berpikir, ada satu hal yang bisa dijadikan ukuran bagi sebuah kapal yang layak laut, yaitu toilet. Jika tidak mampu menyediakan toilet yang baik, maka bisa dipastikan awak kapal juga tidak mampu menyediakan fasilitas penting lainnya, terutama fasilitas untuk situasi darurat, seperti pelampung, sekoci termasuk penguasaan terhadap standard operational procedure-nya. Jika anda pernah menyeberangi selat Sunda atau Bali, toiletnya sangat jorok. Meski kapal ferynya bagus, dan toiletnya bersih, silahkan tunggu sampai 30 menit, nanti baunya akan luar biasa karena air untuk membilas biasanya akan cepat habis setelah dipakai beberapa orang saja.
Setelah malapetaka KM Lampung itu, departemen perhubungan sudah dikritik dengan amat keras dan berkali-kali, ternyata departemen yang dipimpin oleh orang dari salah satu partai politik di Indonesia itu tidak melakukan apa-apa yang berarti untuk keselamatan penumpang (apalagi kenyamanan). Rakyat kecil yang biasa menggunakan kapal laut atau kapal penyeberangan mungkin cepat lupa pada malapetaka di Selat Sunda itu (karena nggak punya pilihan), tapi seharusnya departemen Perhubungan tidak boleh cepat lupa hingga tiba-tiba malapetaka kapal Senopati menyeruak ke hadapan kita. Rakyat yang tidak memiliki pilihan akan terus menaiki kapal-kapal itu buruk atau baik, nyaman atau seperti penggorengan, indah atau bau, bahkan pencabut nyawa atau bukan....
Menteri perhubungan ini memang sedang mendapat “tugas maut” untuk mempertontonkan kebegoannya sejak pertama kali menjabat dan terutama beberapa hari terakhir ini. Ketika korban kapal Senopati belum lagi tertolong, hilang pula pesawat Adam Air dari Surabaya ke Menado. Proses pencarian pesawat Adam Air ini terus diberitakan oleh berbagai media termasuk mengenai langkah-langkah ngawur menteri perhubungan yang menimbulkan tanda-tanya banyak orang, misalnya mengenai bagaimana mungkin menteri perhubungan begitu gampang mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan hal-hal yang belum dikonfirmasi, yaitu mengenai penemuan letak jatuhnya pesawat Adam Air 2 hari setelah jatuh (ternyata salah). Kok, kayak para artis Indonesia yang gemar tampil diwawancara untuk soal-soal nggak penting.... Ini kan soal negara yang nggak mungkin dipimpin oleh seorang yang amat tidak cermat terhadap informasi yang ada dan langkah yang harus diambil dalam situasi darurat, kecuali keselamatan dan nyawa bukan soal penting bagi Pak Menteri.
Menteri Perhubungan pun sempat berpolemik di media dengan pihak menara kontrol di Makasar tentang radar yang katanya rusak, padahal pihak menara kontrol mati-matian membantahnya. Entah dapat informasi dari mana Menteri ini tentang radar yang rusak....
Mungkin, sudah banyak yang lupa dengan kecelakaan pesawat Mandala yang terjadi di Bandara Polonia Medan, September 2005 silam. Lepas dari penyebab kecelakaan (yang juga human error), ada pelajaran yang amat menonjol dari kecelakaan itu, yaitu sebuah kecelakaan udara (dan di sekitar Bandara pula) ditangani oleh orang-orang yang tidak dilatih dan tidak memiliki pengetahuan untuk menghadapi sebuah pesawat yang celaka. Mereka juga tentu tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Akibatnya korban jatuh sebanyak 101 penumpang tewas dan 42 orang penduduk tewas.... yang menurut saya jumlah korban tewas dan celaka bisa dikurangi jika ada sebuah resque team yang sebenarnya di setiap bandara di Indonesia. Resque team, mahal? Mewah? Mungkin itu yang ada di dalam pikiran departemen perhubungan sehingga resque team bukan menjadi prioritas untuk dipikirkan. Padahal setiap terjadi kecelakaan pesawat berapa banyak sumber daya kita yang terkuras ke sana, belum lagi waktu yang terbuang.... Eddy Budi Setiawan, pemerhati dunia penerbangan, Alumni Teknik Penerbangan – ITB mengatakan bahwa mengenai hal keselamatan penerbangan : "If you think safety is too costly, try an accident !" ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/08/cakrawala/utama01.htm )
Sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan oleh menteri perhubungan setelah malapetaka yang beruntun terjadi ini?
Saya kira amat sederhana dan klise, yaitu menerapkan aturan dan undang-undang yang sudah ada. Ya, memangnya apa lagi yang harus dilakukan kalau bukan itu? Misalnya, bagaimana mencegah penumpang yang over-capacity adalah sebuah contoh penerapan aturan yang sudah ada. Kalau itu tidak bisa dilakukan, berarti sekali lagi dan satu departemen lagi telah mempertontonkan adanya korupsi.
Korupsi adalah hambatan terbesar departemen perhubungan untuk bekerja maksimal. Contoh korupsi di departemen perhubungan adalah lihat saja di jalan-jalan raya terutama di jalan-jalan kecil.... Mengapa jajaran departemen perhubungan yang terbawah diberi kesempatan untuk menjadi tukang palak bagi truk, kendaraan umum termasuk kendaraan bak terbuka. Mereka menyetop kendaraan umum itu untuk meminta bayaran tanpa memberikan karcis. Bukankah sudah ada pajak kendaraan yang dibayar setiap tahun? Mengapa mereka harus membayar pajak lagi? Apalagi pajak itu hanya akan masuk ke kantong para sontoloyo di departemen perhubungan.
Satu pesan penting saya untuk menteri perhubungan dan menteri lain, termasuk presiden agar jangan melakukan sidak-sidak, karena itu seharusnya bukan pekerjaannya. Menteri seharusnya adalah seorang konseptor atau panglima perang yang berada di markas besar untuk menentukan strategi, bukan selebriti yang senang melakukan sidak untuk tampil di media.
Jojo Rahardjo
Rasa prihatin saya yang sedalam-dalamnya untuk para korban kecelakan laut dan udara yang baru saja berjatuhan di Indonesia.
Banyak yang menyebut pada masa pemerintahan SBY banyak bencana dan kecelakaan terjadi yang merenggut banyak korban jiwa. Bencana dan kecelakaan adalah Tuhan yang menentukan, siapa pun pemerintahannya. Jadi bukan karena ini masa SBY atau bukan. Juga bukan karena ini masa Hatta Radjasa atau bukan. Namun demikian usaha kita dalam mengatasi atau menghadapi bencana dan kecelakaan, dan bahkan kesiapan kita dalam menghadapi bencana dan kecelakaan yang mungkin atau kita perkirakan akan muncul adalah menunjukkan kualitas kita sebagai manusia atau bangsa....
Banyak yang masih ingat bagaimana KM Lampung akhir November 2006 lalu di selat Sunda terbakar.... Para awak kapal kocar-kacir menyelamat diri sendiri dan lupa dengan peralatan keselamatan bagi penumpang di kapal itu. Itupun kalau bisa digunakan jumlahnya amat sedikit. Lebih parah lagi, ternyata unit-unit penyelamatan penumpang dari pelabuhan Merak bekerja amat tidak maksimal, padahal kebakaran itu masih dekat dengan pelabuhan, bagaimana kalo sudah jauh? Maka sekarang yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan di hari-hari terakhir ini pada kapal Senopati di laut Jawa. Para penumpang dipersilahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri-sendiri.... Yang nggak bisa berenang, silahkan mati, dan yang bisa berenang, silahkan capek menunggu diselamatkan sampai keriput dimakan air laut....
Sejak dulu saya berpikir, ada satu hal yang bisa dijadikan ukuran bagi sebuah kapal yang layak laut, yaitu toilet. Jika tidak mampu menyediakan toilet yang baik, maka bisa dipastikan awak kapal juga tidak mampu menyediakan fasilitas penting lainnya, terutama fasilitas untuk situasi darurat, seperti pelampung, sekoci termasuk penguasaan terhadap standard operational procedure-nya. Jika anda pernah menyeberangi selat Sunda atau Bali, toiletnya sangat jorok. Meski kapal ferynya bagus, dan toiletnya bersih, silahkan tunggu sampai 30 menit, nanti baunya akan luar biasa karena air untuk membilas biasanya akan cepat habis setelah dipakai beberapa orang saja.
Setelah malapetaka KM Lampung itu, departemen perhubungan sudah dikritik dengan amat keras dan berkali-kali, ternyata departemen yang dipimpin oleh orang dari salah satu partai politik di Indonesia itu tidak melakukan apa-apa yang berarti untuk keselamatan penumpang (apalagi kenyamanan). Rakyat kecil yang biasa menggunakan kapal laut atau kapal penyeberangan mungkin cepat lupa pada malapetaka di Selat Sunda itu (karena nggak punya pilihan), tapi seharusnya departemen Perhubungan tidak boleh cepat lupa hingga tiba-tiba malapetaka kapal Senopati menyeruak ke hadapan kita. Rakyat yang tidak memiliki pilihan akan terus menaiki kapal-kapal itu buruk atau baik, nyaman atau seperti penggorengan, indah atau bau, bahkan pencabut nyawa atau bukan....
Menteri perhubungan ini memang sedang mendapat “tugas maut” untuk mempertontonkan kebegoannya sejak pertama kali menjabat dan terutama beberapa hari terakhir ini. Ketika korban kapal Senopati belum lagi tertolong, hilang pula pesawat Adam Air dari Surabaya ke Menado. Proses pencarian pesawat Adam Air ini terus diberitakan oleh berbagai media termasuk mengenai langkah-langkah ngawur menteri perhubungan yang menimbulkan tanda-tanya banyak orang, misalnya mengenai bagaimana mungkin menteri perhubungan begitu gampang mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan hal-hal yang belum dikonfirmasi, yaitu mengenai penemuan letak jatuhnya pesawat Adam Air 2 hari setelah jatuh (ternyata salah). Kok, kayak para artis Indonesia yang gemar tampil diwawancara untuk soal-soal nggak penting.... Ini kan soal negara yang nggak mungkin dipimpin oleh seorang yang amat tidak cermat terhadap informasi yang ada dan langkah yang harus diambil dalam situasi darurat, kecuali keselamatan dan nyawa bukan soal penting bagi Pak Menteri.
Menteri Perhubungan pun sempat berpolemik di media dengan pihak menara kontrol di Makasar tentang radar yang katanya rusak, padahal pihak menara kontrol mati-matian membantahnya. Entah dapat informasi dari mana Menteri ini tentang radar yang rusak....
Mungkin, sudah banyak yang lupa dengan kecelakaan pesawat Mandala yang terjadi di Bandara Polonia Medan, September 2005 silam. Lepas dari penyebab kecelakaan (yang juga human error), ada pelajaran yang amat menonjol dari kecelakaan itu, yaitu sebuah kecelakaan udara (dan di sekitar Bandara pula) ditangani oleh orang-orang yang tidak dilatih dan tidak memiliki pengetahuan untuk menghadapi sebuah pesawat yang celaka. Mereka juga tentu tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Akibatnya korban jatuh sebanyak 101 penumpang tewas dan 42 orang penduduk tewas.... yang menurut saya jumlah korban tewas dan celaka bisa dikurangi jika ada sebuah resque team yang sebenarnya di setiap bandara di Indonesia. Resque team, mahal? Mewah? Mungkin itu yang ada di dalam pikiran departemen perhubungan sehingga resque team bukan menjadi prioritas untuk dipikirkan. Padahal setiap terjadi kecelakaan pesawat berapa banyak sumber daya kita yang terkuras ke sana, belum lagi waktu yang terbuang.... Eddy Budi Setiawan, pemerhati dunia penerbangan, Alumni Teknik Penerbangan – ITB mengatakan bahwa mengenai hal keselamatan penerbangan : "If you think safety is too costly, try an accident !" ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/08/cakrawala/utama01.htm )
Sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan oleh menteri perhubungan setelah malapetaka yang beruntun terjadi ini?
Saya kira amat sederhana dan klise, yaitu menerapkan aturan dan undang-undang yang sudah ada. Ya, memangnya apa lagi yang harus dilakukan kalau bukan itu? Misalnya, bagaimana mencegah penumpang yang over-capacity adalah sebuah contoh penerapan aturan yang sudah ada. Kalau itu tidak bisa dilakukan, berarti sekali lagi dan satu departemen lagi telah mempertontonkan adanya korupsi.
Korupsi adalah hambatan terbesar departemen perhubungan untuk bekerja maksimal. Contoh korupsi di departemen perhubungan adalah lihat saja di jalan-jalan raya terutama di jalan-jalan kecil.... Mengapa jajaran departemen perhubungan yang terbawah diberi kesempatan untuk menjadi tukang palak bagi truk, kendaraan umum termasuk kendaraan bak terbuka. Mereka menyetop kendaraan umum itu untuk meminta bayaran tanpa memberikan karcis. Bukankah sudah ada pajak kendaraan yang dibayar setiap tahun? Mengapa mereka harus membayar pajak lagi? Apalagi pajak itu hanya akan masuk ke kantong para sontoloyo di departemen perhubungan.
Satu pesan penting saya untuk menteri perhubungan dan menteri lain, termasuk presiden agar jangan melakukan sidak-sidak, karena itu seharusnya bukan pekerjaannya. Menteri seharusnya adalah seorang konseptor atau panglima perang yang berada di markas besar untuk menentukan strategi, bukan selebriti yang senang melakukan sidak untuk tampil di media.
Jojo Rahardjo
Subscribe to:
Posts (Atom)