Showing posts with label banjir. Show all posts
Showing posts with label banjir. Show all posts
Thursday, June 25, 2009
PEMERINTAHAN DAN PILPRES
fdakfjadf asjdflkajf kajsdflkajf kasjflkajf askfjlaf
Labels:
banjir,
dki,
fauzi bowo,
gubernur,
infrastruktur,
jalan raya,
korupsi,
kpk,
megapolitan,
pemerintah,
sby
Sunday, March 02, 2008
KAPOLDA JABAR YANG BARU DAN JALAN RAYA
Judul tulisan ini mungkin memang aneh. Namun saya ingin menyederhanakan cara kita melihat persoalan-persoalan besar di negeri ini. Yaitu menjadikan jalan raya sebagai barometer bagi baik dan buruknya pengelolaan negeri ini.
Sudah sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa situasi jalan sebuah kota menggambarkan pemerintahan kota itu. Bahkan jika itu sebuah situasi jalan ibu kota, maka itu menggambarkan pemerintahan negeri itu secara keseluruhan. Bagaimana tidak, jika jalan-jalan ibu kota sebuah negara saja tidak bisa diurus, apalagi mengurus kota-kota lainnya? Atau bagaimana bisa memberdayakan rakyat yang membutuhkan jalan raya untuk berkegiatan ekonomi di dalam kota dan antar kota?
Jakarta beberapa bulan ini sedang mengalami musim hujan yang lama. Jalan-jalan di seantero kota rusak parah. Usaha perbaikan yang sungguh-sungguh tidak terlihat. Alasannya tentu sama dari tahun ke tahun dari bahkan dari akhir 60-an hingga 2008 ini, yakni lebih dari 48 tahun. Alasannya adalah di saat musim hujan tidak bisa memperbaiki jalan.
Alasan yang digunakan ini menggambarkan tingkat pemimpin kota ini, yaitu tingkat baboon saja. Pertama adalah, karena jalan yang sudah dibuat ternyata tidak bertahan pada musim hujan. Seolah-olah musim hujan cuma terjadi di Jakarta saja, bukan di kota-kota lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, Brunei dan kota-kota lain yang jalan-jalannya tidak hancur karena datangnya musim hujan. Kedua adalah, karena hanya baboon yang tidak bisa melahirkan cara untuk memperbaiki jalanan yang rusak pada musim hujan agar tidak terlalu parah. Ketiga adalah, karena baboon tidak bisa mengerti berapa kerugian yang harus ditanggung negeri ini jika ibu kotanya tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dengan lancar karena jalan-jalannya rusak parah selama berbulan-bulan. Baboon tidak bisa menghitung hanya berapa bulan dalam setahun kegiatan ekonomi di kota ini bisa berjalan dengan lancar, jika selama musim hujan yang kira-kira 3 bulan lamanya jalan-jalan menjadi hancur. Kemudian 3 bulan berikutnya adalah masa perbaikan yang biasanya memang lamaaaaaa…. sekali…. Berarti tinggal 6 bulan sisanya yang bisa digunakan kota ini untuk berkegiatan ekonomi dengan lancar. Itu pun jika tidak ada gangguan lain seperti perubahan fungsi jalan (busway), pelebaran jalan, peninggian atau pengaspalan baru yang kerap dilakukan di jalan-jalan Jakarta. Seolah-olah Jakarta adalah kota yang selalu sibuk memperbaiki diri. Padahal yang terjadi adalah Jakarta adalah kota di mana kontraktor jalan selalu mendapat order kerja tanpa peduli pekerjaan itu amat mengganggu kegiatan ekonomi di kota ini atau tidak.
Lalu kapan kota ini sibuk memikirkan untuk menjadi kota yang maju, jika mengelola jalan saja tidak becus? Kapan kita sebagai warga Jakarta mulai memiliki cukup waktu untuk memikirkan soal-soal lain yang lebih produktif dibanding memikirkan jalan rusak dan kemacetan yang berjam-jam setiap pagi dan sore? Kapan kita bisa pulang di rumah lebih awal dan berkumpul dengan tetangga dan membicarakan tempat bermain anak dan remaja di lingkungan perumahan kita? Atau kapan kita bisa menjadi manusia yang lebih beradab karena selalu saling serobot di jalanan yang semrawut minta ampun?
Ini lah yang terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta. Sejak jaman Soeharto yang katanya amat korup hingga jaman kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Bahkan kondisi jalanan Jakarta sekarang jauh lebih parah dibanding jaman Soeharto dulu. Padahal sekarang semua orang bisa dan boleh mengkritik pemerintah. Tapi itu ternyata tidak cukup. Kritik atau demo saja hanya akan bergaung sehari-semalam saja, meskipun diberitakan oleh puluhan stasiun TV, ratusan surat kabar, radio atau media on-line sekali pun. Kita butuh sebuah sistem untuk menghukum para baboon yang menjadi pemimpin di negeri ini jika mereka berbuat salah, bahkan ketika mereka tidak berbuat apa pun.
Tanpa hukuman buat para pemimpin, Jakarta akan terus bobrok seperti ini. Lihat saja apa yang dikatakan Fauzi Bowo hanya sekejab setelah terpilih menjadi gubernur kota ini. Cuaca yang bikin banjir Jakarta, katanya. Alasan ini diucapkan pada saat Jakarta dilanda banjir kembali pada tanggal 1 Februari 2008. Tepat 1 tahun setelah banjir besar di Jakarta pada tanggal 3-4 Februari 2007 lalu. Padahal, kita berharap pada setiap gubernur baru yang terpilih untuk memiliki solusi atau konsep mengatasi banjir yang lebih baik dari gubernur sebelumnya. Bukan lagi-lagi menyumpali telinga kita dengan omong-kosong tentang cuaca atau iklim yang berubah, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Harus ada solusi yang tidak hanya sekedar membangun Banjir Kanal yang biayanya sangat besar itu dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terlihat hasilnya jika sistem drainase belum dirubah. Itu pun seharusnya mereka selalu menyadari biaya untuk membangun Banjir Kanal itu diperoleh dari rakyat, bukan dari kantong nenek-moyang gubernur itu, sehingga harus dijaga jangan sampai bocor se-sen pun. Gubernur harus selalu ingat, pembangunan Banjir Kanal bukan proyek memakmurkan para kontraktor, tetapi memakmurkan rakyat Jakarta, sehingga penggusuran pun harus dengan solusi yang bijak. Bukan dengan terburu-buru seperti sedang berperang melawan musuh nan durjana atau jangan menjadi penindas rakyat. Bagaimana pun solusi atau konsep banjir kanal adalah sebuah dilema karena beberapa ahli lingkungan mengatakan ini bukan solusi yang tepat untuk Jakarta. Sehingga gubernur harus juga menyediakan solusi lain di samping Banjir Kanal ini, misalnya dengan menjalin kerjasama yang lebih serius dengan wilayah pengirim banjir, yakni Bogor, mengelola danau-danau yang sudah ada, membangun danau-danau baru, dan membangun sumur-sumur resapan. Biaya yang diperlukan jauh lebih murah dibandingkan dengan Banjir Kanal dan dampak sosialnya jauh lebih kecil karena tidak menggusur begitu banyak tempat tinggal dan tempat mendapatkan penghasilan sehari-hari rakyat kecil.
Memang memprihatikan, jika gubernur Jakarta hanya seolah-olah dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi sebenarnya dipilih dulu oleh partai-partai, baru kita bisa memilih gubernur. Padahal pilihan partai-partai itu bukan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi berorientasi pada politik. Saya yakin wakil-wakil rakyat yang juga katanya kita pilih melalui pemilihan langsung itu akan terus berkacak-pinggang untuk terus melakukan itu sampai lebih dari sepuluh tahun ke depan. Sehingga Jakarta akan terus dikelola oleh para baboon. Jadi cara yang tepat untuk mendapatkan pengelola kota Jakarta adalah dengan cara menyediakan sistem untuk menghukum mereka jika berbuat salah atau bahkan tidak berbuat apa pun.
Di tengah keprihatian banjir dan jalan rusak di Jakarta, tiba-tiba beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah wawancara dengan Kapolda Jawa Barat yang baru Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc. (http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11295). Sesaat setelah pidato di depan jajaran barunya yang cuma kurang dari 10 menit, Susno Duadji meminta anak buahnya, yang perwira, untuk membuat pakta kesepakatan bersama yang inti dari isinya adalah larangan untuk menjadi polisi korup. Segera saja dalam beberapa hari berikutnya, peristiwa ini menjadi wacana yang seru di berbagai forum di Internet. Bahkan mungkin hampir semua orang mendapatkan forward dari berita ini melalui e-mail.
Saya yakin ini yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin polisi di tingkat propinsi. Bahkan Kapolri Sutanto yang menabuh genderang perang terhadap judi dan narkoba sekali pun tidak melakukan ini. Apa yang dilakukan Susno Duadji amat sederhana dalam memerangi perbuatan korup, tetapi akan memiliki dampak yang amat luas.
Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Sehingga dilakukan jauh lebih terencana sehingga sulit menelusuri atau mendapatkan bukti-buktinya. Pengacara akan dengan mudah memberikan atau menemukan celah hukum untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum, misalnya dengan alasan sakit, tidak ada bukti yang cukup, dakwaan tidak memiliki dasar yang jelas dan lain-lain. Sehingga tantangan bagi KPK dalam memberantas korupsi sesungguhnya amat besar. Namun apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini tentu bisa memangkas kerja panjang dan berliku dari KPK dalam memberantas korupsi. Jika sebuah perbuatan korup (yang ketahuan) langsung diberikan sangsi berupa pemecatan oleh orang yang paling dekat (atasan), maka perbuatan korup lainnya akan otomatis dapat dihambat atau diminimalkan.
Apa yang dilakukan oleh Susno Duadji ini bisa disebut sebagai upaya yang paling serius dalam memberantas korupsi. Bukan sekedar omong-kosong belaka. Kalau Susno Duadji membabat anak buahnya sendiri, tentu anak buahnya juga siap membabat Susno Duadji jika ternyata Susno Duadji melakukan perbuatan korup.
Susno Duadji bahkan menjadi contoh yang amat mencolok di antara sikap hipokrit kebanyakan pengelola negeri ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. Sebagai misal yang paling menonjol adalah bagaimana Menteri Keuangan bersama-sama dengan DPR mencoba menghambat kerja KPK dalam memeriksa kinerja Ditjen Pajak dengan dikeluarkannya UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=17390&cl=Berita).
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”
Dalam pasal 34 UU ini, BPK tidak memiliki keleluasaan dalam mendapatkan bukti-bukti langsung dari wajib pajak kecuali diizinkan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Padahal BPK sudah 3 tahun terakhir berturut-turut tidak dapat menilai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, alias mendapat disclaimer. Bahkan ketua BPK, Anwar Nasution, menyebut Ditjen Pajak seperti ini: “bahwa Ditjen Pajak tidak transparan, tidak bisa diaudit. ”Hanya Direktorat Jenderal Pajak dan Tuhan yang tahu informasi pajak.”
Anwar Nasution juga menambahkan: “selama ini Ditjen Pajak merupakan institusi yang tidak akuntabel karena tidak bisa melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar BPK. ”Informasi kita mengenai pajak itu nol, DPR, BPK tidak tahu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) apalagi.”
Susno Duadji bukan orang baru dalam pemberantasan korupsi. Ia sudah pergi ke 90-an negara untuk belajar memberantas korupsi. Bahkan ia pernah menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia juga lulusan S1 Hukum, dan S2 Manajemen.
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”
Susno dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat itu, bahkan menganjurkan untuk mencopot gubernur sebagai pemimpin tertinggi. Begini kata-katanya: “Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.”
Mengenai memberantas korupsi di lingkungan sendiri, Susno juga menambahkan: “Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat.”
Atau simak pandangannya tentang seorang pemimpin: “Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.”
Jadi, Bang Foke, siap nggak ente ngurus kote Jakarta dengan komitmen seperti Susno Duadji? Kalo jalanan masih rusak, kalo jalan masih macet dan semrawut, kalo Jakarta masih banjir, ente ngapain aje? Ngurus kumis?
Labels:
banjir,
ekonomi,
fauzi bowo,
jakarta,
korupsi,
macet,
pemerintahan,
polisi,
Susno Duadji
Tuesday, May 22, 2007
TEROWONGAN AIR SENILAI 16,3 TRILIUN UNTUK MENGATASI BANJIR DI JAKARTA

Media Konsumen 22 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
Labels:
banjir,
banjir kanal,
ciliwung,
dki,
dtss,
pam,
terowongan bawah tanah,
transportasi
Subscribe to:
Posts (Atom)