Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label sosial. Show all posts
Showing posts with label sosial. Show all posts

Thursday, April 19, 2007

KARTINI, SANG PEMIKIR KEMERDEKAAN INDONESIA


Media Konsumen, 19 April 2007

Tidak banyak yang tahu dari mana berasal judul kumpulan surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ternyata di dalam surat-suratnya, Kartini sering menulis kata-kata itu berulang-ulang yang terinspirasi dari Minadz zhulumaati ilan Nur yang berarti Dari Gelap Kepada Cahaya (al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 257). Begitu pun E.C. Abendanon yang mengumpulkan, mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu yang kemudian diberi judul “Door Duisternis tot Licht” tentu saja tidak mengetahui bahwa judul itu berasal dari al-Qur'an (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).

Kartini bukan pejuang pergerakan wanita semata. Kartini adalah pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya. Ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya.

Kartini wafat dalam usia yang sangat muda, yaitu usia 25 tahun, sebelum usai pencariannya dan perjuangannya. Namun dalam usia yang singkat itu ia telah menorehkan jejak perjuangan yang panjang dan dalam. Perjuangan mencari “cahaya” amat melelahkannya, namun membuahkan hasil.

Dalam usianya begitu muda ia bahkan telah dapat menginspirasikan sebuah pekerjaan besar bagi umat Islam di tanah Jawa waktu itu, yaitu terjemahan atau intepretasi kandungan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa yang belum ada waktu itu kepada seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad Soleh bin Umar (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001). Berkat pertemuannya dengan Kartini, Kiai Soleh tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid ke I yang terdiri dari (hanya) 13 juz yang kemudian diberikannya sebagai hadiah pernikahan Kartini. Bayangkan sebuah hadiah perkawinannya adalah sebuah karya besar bagi sebuah komunitas besar manusia.. Sayang Kiai Soleh wafat sebelum menyelesaikan pekerjaan besar itu.

Sungguh menakjubkan, ternyata Kartini juga mempersoalkan persoalan mendasar umat Islam hampir di mana-mana hingga sekarang bahwa jika menjadi Muslim tidak perlu menguasai bahasa Arab. Cukup lah para ulama saja yang menguasai bahasa Arab, sehingga banyak Muslim yang tidak mengerti apa yang diucapkannya (dalam bahasa Arab) setiap hari. Lebih jauh lagi, hingga kini banyak Muslim yang tersesat karena selalu dan sering bertanya-tanya “apa hukum-nya mengenai sesuatu hal di dalam kehidupan sehari-harinya?”

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899,


Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan “home schooling” melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang. Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.

Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”. Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.”

Kartini pun tidak sekedar menulis tentang nasionalisme atau kesetiakawanan itu, tetapi juga mempraktekkannya dengan memberikan atau mengalihkan beasiswa ke Belanda yang seharusnya ia nikmati kepada seorang pemuda dari tanah Sumatra, yaitu Agus Salim. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Bahkan, ia pun menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan “orang Indonesia” lain yang tergambar dalam sebuah surat di tahun 1902 kepada Stella Zeehandelaar, tentang rencana Kartini: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."

105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda di tahun 1911, beberapa tahun setelah kematian Kartini di tahun 1904, dengan judul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini terbit di kota besar seperti Den Haag, Semarang atau Surabaya dan menjadi salah satu inspirasi bagi pemikir kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane lah yang pertama kali menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” di tahun 1922 sehingga buku ini bisa dibaca banyak orang dan menjadi lebih populer. Kemudian Pramoedya Ananta Toer dari tahun 1956 hingga 1961 mencoba menggali sejarah tokoh ini dan menjadi biografi Kartini yang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Seharusnya buku ini akan ditulis dalam 4 jilid. Namun Pemerintah Orde Baru yang ganas menuduhnya PKI, dan memusnahkan jilid ke 3 dan ke 4.

Kartini memang kalah bahkan mati muda. Kartini memang dipingit. Kartini memang menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme. Kartini memang cuma sekedar menjadi pemikir yang penulis bukan pembuat aksi. Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya yang ia tulis dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa.

Kartini hidup dalam masa kebijakan Tanam Paksa karena kebangkrutan Pemerintah Belanda akibat Perang Diponegoro. Yohannes Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan Tanam Paksa sekitar tahun 1835. Karena kebijakan itu, rakyat pribumi diwajibkan menanam seperlima dari ladangnya untuk menananm tanaman perdanganan dunia yang menempatkan Belanda pada peringkat teratas, yaitu tanaman nila, rempah, tebu, kopi, tembakau, kayu manis dan lada. Rakyat juga diwajibkan dalam setahun memberikan waktu bekerja untuk pemerintah penjajahan selama 66 hari secara suka rela.

Para operator Tanam Paksa adalah orang Belanda dibantu oleh kaki tangannya dari elite priyayi Pribumi yang bisa disebut sebagai para raja kecil, seperti ayah Kartini sendiri yang Bupati Jepara. Atas nama atau dengan mengusung nama Pemerintahan Negara, para raja kecil ini banyak yang berlaku keji dan korup kepada bangsanya sendiri. Perilaku ini ternyata sudah terbangun semasa Kartini hidup dan menjadi watak bangsa Indonesia hingga sekarang. Belanda dengan licik mempertahankan dan melindungi kekuasaan para raja kecil ini agar bisa terus menjadi kaki tangan dalam merampok hak-hak dan kemakmuran rakyat. Pendidikan hanya diberikan seperlunya saja, yaitu hanya kepada elite priyayi pribumi saja dan hanya laki-laki saja agar tradisi feodal yang tidak mencerdaskan bisa terus dilestarikan. Belanda yang menempatkan pusat pemerintahan Hindia Belanda di tanah Jawa sengaja melestarikan tradisi feodalisme Jawa itu agar aktivitas penjajahan bisa mulus berjalan. Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba memberontak dengan menggambarkan situasi feodalisme itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”

Posisi Belanda sekarang ini digantikan dengan negara-negara super power dan bahkan juga negara-negara tetangga (padahal negara kecil). Mereka sibuk menyedot dan mengangkuti kekayaan alam Indonesia mulai dari hutan, emas, minyak hingga pasir tanpa peduli pada global issues mengenai climate change atau global warming. Kesempatan rakyat untuk memberdayakan hidupnya dipangkas lewat berbagai kebijakan keji. Lihat misalnya kebijakan yang membuat Internet Murah menjadi sebuah mimpi di siang bolong (http://jojor.blogspot.com/2007/01/copy-paste-dari-internet.html), padahal Internet banyak diharapkan dapat mengakselerasi tingkat pendidikan atau pengetahuan. Sementara itu, Wakil Rakyat, para elite priyayi jaman modern ini gemar mangap menikmati berbagai suap dan tunjangan, seperti mesin cuci, laptop, studi banding dan lain-lain tanpa harus kerja membela rakyat. Watak korup dan keji itu juga menjadi selempang yang mengkilat pada para pejabat masa kini. Mereka tak pernah sibuk membela atau mengusung rakyat, tetapi sibuk tanpa takut dan malu sedikit pun untuk menjadi centeng, pelindung para bajingan. Mereka juga sibuk mencetak setan-setan berseragam coklat muda di IPDN (http://jojor.blogspot.com/2007/04/jejak-setan-di-ipdn.html) .

Ternyata kolonialisme di jaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini. Perempuan pun tak pernah dianggap utuh sebagai manusia. Apalagi perempuan miskin, yang karena tiadanya kesempatan untuk merubah nasib, akan menjadi manusia nista yang boleh dikirim oleh setan pengirim TKW ke kandang monster gila di luar negeri untuk dianiaya, diperkosa dan dibunuh. Jika tetap tinggal di negeri ini, mereka akan mencucurkan keringat darahnya di pabrik-pabrik busuk dan pengap, bukan menjalani salah satu tugas mulianya, yaitu mengasuh anak-anaknya agar-agar anak-anaknya tumbuh sehat dan menjadi calon warga terhormat dunia yang lebih baik. Sedangkan para laki-laki petani yang bercocok tanam di negeri ini dijerumuskan untuk menjadi pecundang yang tolol dan selalu miskin. Para priyayi lebih suka mereka menjadi robot dungu di kawasan-kawasan industri. Ini ‘kan jaman industri, kata mereka.

Sekali lagi, sejak jaman Kartini hingga sekarang, situasi itu lah yang kita hadapi dari hari ke hari. Lebih dari 100 tahun kemudian! Para pengusaha, yang jelmaan baru para penjajah, terus menguasai para raja-raja kecil di pemerintahan meski rakyat menjerit tersapu lumpur panas atau tersapu banjir bandang misalnya. Para penjajah pun dengan “kagum” terus menyeringai memandangi rakyat yang menjerit-jerit karena tempatnya mencari makan digusur tanpa diberi jalan keluar. Sementara itu penjajah di negeri seberang bertambah jaya dan makmur, sambil terus memberikan kita mainan perang-perangan melawan teroris atau mainan kebencian antar agama.

Jadi, jangan menyebut diri anda sebagai manusia Indonesia modern atau manusia Indonesia yang maju ketika ada perempuan di negeri ini yang sudah memperoleh kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya atau berkarier setinggi-tingginya atau menjadi pengusaha besar atau bahkan menjadi presiden perempuan di Indonesia, jika situasi penjajahan yang digambarkan oleh Kartini belum berubah....

Jojo Rahardjo

Tuesday, April 10, 2007

JEJAK SETAN DI IPDN

Hampir semua agama dan kitab suci memperingatkan kita tentang bahaya setan yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam neraka.

Namun apakah setan itu atau bagaimana bentuk setan itu? Di sini semua agama memiliki perbedaan dalam menggambarkannya. Sehingga muncul berbagai cerita tentang setan yang sering kali lucu bahkan tidak berdasarkan pada apa yang disampaikan kitab-kitab suci. Sering setan digambarkan seperti tukang sulap, illusionist atau bahkan sebuah species, bukan sebuah makhluk spritual atau makhluk metafisika. Cerita tentang setan memang begitu banyak dan hampir semuanya tidak layak dicerna di zaman IT ini.

Setan seharusnya adalah sebuah konsep tentang sifat-sifat jahat yang ada dalam diri manusia. Sifat-sifat paling primitif yang masih dimiliki manusia dan memerlukan kekang, bahkan kerangkeng agar tidak terlepas. Keinginan untuk bereproduksi (berketurunan) dan bertahan hidup adalah sifat-sifat paling primitif yang memerlukan kekang dan kerangkeng. Agama telah banyak menginsipirasikan manusia dalam membuat norma atau aturan untuk menjadi kekang dan kerangkeng bagi sifat-sifat primitif itu.

Namun apa yang kita saksikan beberapa hari terakhir ini di IPDN, sungguh merupakan kebangkitan setan di Indonesia. Bagaimana tidak, lembaga itu yang dulunya bernama APDN, sudah menerapkan cara-cara setan sejak tahun 1991 dalam metoda pengajarannya, yaitu kekerasan, tewas atau pun tidak. Para calon pengelola negeri ini diajarkan untuk menebarkan ketakutan dibanding menggunakan ilmu-ilmu yang sudah dicapai peradaban manusia modern. Hanya calon dengan mental dan jasmani yang kuat saja boleh lulus dari IPDN. Yang tidak kuat, silahkan mampus seketika atau pelan-pelan. Itu berlangsung begitu lama sekali! belasan tahun!

Meski pun membuat jiwa gemetar, pilu, tidak percaya pada menggelindingnya kematian demi kematian di IPDN, namun tragedi itu telah mendentangkan lonceng peringatan tentang budaya kekerasan yang diam-diam dibangun di sebuah tempat tersembunyi yang juga bisa di mana saja. Tentu bukan hanya kematian dan luka-luka yang membuat kita prihatin, namun ditinggalkannya akal budi lah yang membuat kita amat gentar dan sempoyongan melihat masa depan Indonesia.

Itu lah setan yang diperingatkan oleh semua agama!

Tidak seorang pun atau sebuah kelompok manusia pun yang bisa menghalangi setan itu sejak awal kebangkitannya. Apalagi cuma SBY yang memang seorang yang lemah. Banyak yang kecewa dengan langkah-langkah melempem yang diambilnya baru-baru ini. Rektor yang seharusnya paling bertanggung-jawab dalam membangkitkan setan dibiarkan mengangkang berkacak-pinggang. Padahal setan itu bangkit di sebuah departemen pemerintah yang memiliki pengaruh pada cara-cara mengurus rakyat negeri yang dilanda sengsara berkepanjangan ini.

Di zaman yang sesungguhnya amat modern ini, di zaman di mana proses belajar menjadi begitu praktis, di zaman di mana informasi bisa diperoleh hanya dengan menjentikkan jari, ada sekelompok manusia yang justru dikendalikan oleh setan. Mereka, species manusia, dikendalikan oleh sifat-sifat paling primitif yang diturunkan dari nenek-moyangnya, species hewan. Ilmu bela-diri untuk kesehatan jasmani dan ilmu pengetahuan manusia yang telah dibangun untuk peradaban manusia yang begitu cemerlang dalam beberapa abad terakhir ini menjadi amat percuma di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. IPDN adalah kawah candradimuka tempat menetaskan setan-setan kecil untuk dijelmakan menjadi setan durjana di kemudian hari.

Tuan Presiden negeri ini, saya akan amat memuja tuan, jika tuan seorang yang lantang berkata sambil menepuk dada dengan amat keras di depan moncong-moncong setan: “Saya, Soesilo Bambang Yudoyono, adalah seorang yang anti kekerasan dan kalian adalah hewan.... oleh karena itu kalian harus kembali ke neraka....”

Namun ternyata tuan bukan orang yang seperti itu dan tuan pun tidak menunjukkan bahwa tuan anti kekerasan, kecuali seorang manusia yang melempem di depan moncong kekerasan yang menyeringai. Mohon tuan agar tidak berkilah sebagai seorang demokrat. Karena seorang demokrat tidak akan menyediakan jalan bagi kekerasan untuk tegak. Karena kekerasan adalah anti demokrasi. Karena kekerasan membariskan robot-robot kejam. Karena kekerasan membekukan daya cipta. Karena kekerasan memandegkan peradaban. Karena kekerasan hanya dimiliki oleh hewan....

Sekali lagi, ini jejak setan. Semua harus bersama menumpasnya. Apakah kita, bangsa Indonesia, cukup memiliki „adab” untuk menumpasnya?

Thursday, January 11, 2007

KARTU KREDIT, GAYA HIDUP MODERN & INDUSTRI PENGHISAP DARAH

Di muat di Media Konsumen (www.mediakonsumen.com), Januari 2007

Sejak bertahun-tahun lalu hingga kini, untuk memiliki Kartu Kredit (KK) semakin hari semakin mudah saja. KK yang saat pertama kali diterbitkan di Amerika oleh Diners Club (1950), dan dua kartu selanjutnya di tahun 1958, American Express dan Americard (Visa) adalah alat pembayaran tanpa uang tunai, telah berubah menjadi alat untuk berhutang dibanding alat pembayaran tanpa uang tunai.

Memang, di tengah kehidupan yang menuntut serba cepat ini, semakin lumrah saja hidup dengan kredit atau hutang. Semakin mudah anda bisa berhutang, semakin “modern” hidup anda. Lihat saja di tahun 2002 orang-orang Amerika sekalipun memiliki total hutang senilai hampir 1 trilyun Dollar Amerika atau USD 979 kepada perusahaan pemberi hutang (bank, perusahaan KK dan perusahaan pemberi hutang lainnya). Mereka yang hidup di Amerika sama dengan Indonesia, mereka banyak yang memiliki rumah bagus, mobil bagus, perabotan dan peralatan rumah yang bagus namun sehari-hari hidup miskin, karena penghasilannya setiap bulan habis untuk membayar berbagai cicilan yang seakan tidak pernah lunas.

Di luar soal kredit atau pinjaman dengan berbagai bank, tulisan ini adalah mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam industri KK sebagaimana yang dilaporkan oleh Frontline (seperti “60 minutes” dari CBSNews), sebuah acara televisi investigasi dari PBS di Amerika yang terkenal sejak 1983. Judul laporan itu memancing keinginantahu, yaitu “Secret History of the Credit Card,” dan subjudulnya: “FRONTLINE and New York Times join force to investigate an industry few American fully understand.” Frontline menyebut Industri ini sebagai industri yang selalu untung namun industri yang customernya paling banyak kecewa, mengeluh, merasa tidak nyaman dan dirugikan.

Banyak soal yang tidak dimengerti oleh pemegang KK di mana-mana, karena memang dibuat untuk sulit dimengerti oleh perusahaan penerbit KK. Sedikit sekali pemegang KK yang mau dan mampu membaca agreement yang dikeluarkan oleh perusahaan KK, juga ketentuan yang biasanya dicetak dengan huruf kecil dan abu-abu di belakang tagihan bulanan. Di dalam agreement selalu ada klausul bahwa agreement itu dapat dirubah kapan saja dengan pemberitahuan 15 hari sebelumnya. Perubahan itu biasanya menyangkut soal yang paling dapat merugikan pemegang KK, yaitu bunga dan denda (biaya keterlambatan, biaya over-limit atau kadang disebut sebagai biaya administrasi). Bunga dan denda ini bisa menjadi berapa saja, terserah perusahaan KK. Meski anda selalu membayar tagihan KK anda tepat waktu, perusahaan KK bisa atau selalu menaikkan bunga terutama karena berbagai hal, misalnya setelah periode promosi berakhir, 1 tahun setelah anda apply misalnya (kadang hanya 3 bulan saja), terlambat bayar di KK dari perusahaan lain, terlambat bayar tagihan telepon, listrik, kredit mobil, rumah atau karena perusahaan KK menganggap anda terlalu banyak pinjaman di sana dan sini. Praktek ini disebut klausul “universal default” yang menjadi klausul standar dalam agreement antara pemegang KK dan perusahaan KK.

Los Angeles Times, tahun 1999 lalu memberitakan adanya perusahaan KK di Amerika, yaitu Providian dan First USA ketahuan telah membebankan denda keterlambatan kepada pemegang KK-nya untuk pembayaran yang sebenarnya dilakukan pada waktunya (on time). Para pemegang KK tersebut kemudian memperkarakan kedua perusahaan ini dan jutaan dolar telah dikembalikan kepada para pemegang KK ini. Menurut dua perusahaan KK ini, kesalahan terletak pada processing systems. Padahal ini bukanlah suatu kesalahan tetapi telah mereka lakukan dengan sengaja yang mungkin juga dilakukan di Indonesia, namun tidak ketahuan.

Banyak orang, tanpa disadari, menjadikan KK sebagai jerat hutang seumur hidup, yaitu mereka yang membayar tagihan KK mereka hanya sejumlah minimum payment yang tercantum atau sedikit lebih besar dari minimum payment karena berbagai hal, terutama karena ada hutang lain seperti kredit rumah, kendaraan, peralatan rumah tangga atau kredit lainnya. Minimum payment yang biasanya ditetapkan oleh perusahaan KK hanya 2% dari jumlah total tagihan inilah yang menjadi jerat hutang seumur hidup. Berapa pun tagihan anda, jika anda membayar hanya sejumlah minimum payment itu, maka anda akan baru bisa melunasi tagihan KK anda dalam 30 tahun sebagaimana juga disebutkan oleh Frontline atau Oprah.com dalam edisinya yang berjudul “Debt Diet.” Itu pun jika bunga yang dikenakan pada anda sebesar tidak lebih dari 18% setahun. Sialnya perusahaan KK di mana-mana sering menetapkan bunga hingga 48% setahun. Gila bukan? Artinya jangka waktu pembayaran anda jika anda membayar hanya minimum payment bisa lebih jauh dari 30 tahun! Kecuali anda membayar lebih dari minimum payment, misalnya sebesar 10% dari total tagihan setiap bulan.

Semakin baik anda menyelesaikan tagihan KK anda, itu berarti anda semakin sedikit perusahaan KK mendapatkan untung. Karena itu ada banyak permainan yang dijalankan oleh perusahaan KK untuk menjerat anda agar terus berada di dalam permainan mereka selama-lamanya. Permainan ini legal alias tidak melanggar hukum, namun bisa membuat anda menjadi penghutang sepanjang sisa hidup. Anda bisa menghindari masuk ke dalam permainan ini, jika anda tahu kiatnya sebagaimana disarankan di banyak situs Internet tentang permainan KK. Biasanya di Internet kiat ini diberi judul “Winning the Credit Card Game.”

1. Baca dengan amat teliti seluruh formulir, agreement atau apa pun yang dikirimkan ke anda oleh perusahaan KK.

Baca apa yang dikirimkan kepada anda bersama dengan tagihan karena perusahaan KK berhak untuk merubah kesepakatan apa pun dengan pemberitahuan hanya 15 hari sebelumnya. Celakanya pemberitahuan itu sering dibuat agar anda tidak membacanya, misalnya dengan huruf kecil dan berwarna abu-abu. Juga di sinilah perusahaan KK menjebak anda untuk berbagai hal yang tidak anda perlukan, seperti misalnya membeli asuransi KK, asuransi jiwa, atau asuransi lain

2. Jangan terlambat membayar tagihan.

Anda akan terkejut dengan dendanya yang biasanya mereka menyebut dengan sebutan yang halus, misalnya biaya administrasi atau biaya keterlambatan. Besar tagihan akan membengkak dan minimum payment juga tentu akan membengkak. Karena satu denda, perusahaan KK akan menjadikannya alasan untuk menaikkan bunga hingga lebih dari 40%, padahal saat pertama kali anda ditawarkan KK hanya sebesar misalnya 16%.

3. Jangan menjadi Revolver.

Yaitu pemegang KK yang mempertahankan tagihan KKnya dengan membayar tagihan hanya sebesar minimum pembayaran yang tertera di tagihannya. Jadilah seorang Freeloader, yaitu orang yang selalu membayar seluruh tagihannya setiap bulan dalam grace-period (periode antara penggunaan KK dan jatuh tempo tagihan). Freeloader tidak akan terjebak dalam situasi “membayar bunga”. Intinya adalah jangan menjadikan KK sebagai alat untuk berhutang, tetapi sebagai alat pembayaran tanpa uang tunai. Segeralah membayar apa yang anda sudah bayar sebelumnya dengan KK anda agar anda tidak perlu membayar bunga dan terjatuh di dalam lubang hutang yang dalam. Oleh karena itu, anda juga sangat dianjurkan untuk tidak memiliki KK lebih dari satu untuk menghindari resiko terkena bunga, denda keterlambatan dan denda over limit serta iuran tahunan lebih dari satu kali.
4. Jangan ragu-ragu untuk menyerang perusahaan KK dengan segala cara yang legal.

Apakah perusahaan KK anda menghisap darah anda? Bikin complain dan bahkan serang mereka melalui berbagai media, cetak, TV, radio, dan Internet. Persaingan di antara perusahaan KK membuat mereka kadang harus melemah oleh tuntutan seorang customer yang agresif. Denda bisa saja diminta untuk dihapus atau bunga diturunkan jika anda minta dengan keras, misalnya dengan alasan bahwa anda.sudah menjadi customer yang baik selama 1 tahun terakhir ini atau bahkan hanya 6 bulan terakhir ini.

5. Buat perbandingan antar perusahaan KK.

Jangan berpegang pada ”luar-negeri minded”. Meski anda juga sering berpergian ke luar negeri, jangan jadikan alasan anda untuk menjadi pemegang KK dari perusahaan luar-negeri yang berbunga tinggi. Karena banyak cara untuk keluar-negeri tanpa uang cash selain dengan KK, misalnya travel-check dan lain-lain. Atau jika anda merasa lebih nyaman ketika di luar negeri dengan KK luar negeri, anda bisa apply KK luar negeri dan mendapatkan KK hanya dalam waktu 2 hari paling lama jika anda menyetorkan uang sejumlah yang anda pikir akan dibelanjakan di luar negeri. Sesudah pulang kembali ke Indonesia atau jika anda tidak memerlukan KK itu lagi, segera tutup kembali KK itu.

6. Minta perusahaan KK agar memberi reward secara teratur (6 bulan sekali) kepada anda berupa catatan atau rekomendasi bahwa anda adalah seorang pemegang KK yang baik.

Jarang sekali perusahaan KK yang tanpa diminta berbaik hati untuk membuat catatan tentang aktivitas pembayaran yang baik (tidak pernah mangkir). Mungkin ini ada gunanya ketika anda berencana untuk mengajukan pinjaman pada sebuah bank.

7. Yang paling penting dari semuanya adalah jangan termakan dengan bunyi-bunyi iklan perusahaan KK, seperti ini “don’t leave home without it.”

Oprah.com dalam edisi ”Debt Diet” menganjurkan anda untuk meninggalkan KK anda di rumah, karena sebaiknya anda membawa KK hanya setelah anda merencanakan untuk berbelanja atau melakukan transaksi. Anda cukup membawa uang tunai sebesar 3 kali uang yang biasanya anda perlukan setiap hari. Apalagi hampir setiap orang sekarang memiliki tabungan di Bank dengan kartu ATM-nya yang sama artinya anda memiliki uang tunai di tangan (ATM ada di mana-mana). Jika anda ingin berhutang, gunakan fasilitas pinjaman yang tersedia di banyak bank. Meskipun prosesnya panjang (maksimum 14 hari kerja), jangan sekali-kali menggunakan KK sebagai jalan untuk berhutang. KK pada awalnya adalah alat pembayaran tanpa uang tunai, namun perusahaan KK sekarang telah membengkokkannya menjadi alat untuk berhutang yang sialnya bisa menjerat orang untuk seumur hidupnya.

Jangan juga termakan dengan bunyi iklan mereka lainnya yang muluk-muluk, seperti hidup yang lebih baik, praktis, nyaman dan kemewahan dengan berbagai barang. Memang, hidup di jaman yang waktu menjadi amat sempit ini, maka efisiensi sering menjadi pertimbangan yang pertama ketika anda membeli sesuatu, kendaraan misalnya. Anda pikir jika membeli kendaraan baru, maka anda terbebas dari persoalan perawatan kendaraan yang ruwet atau resiko rusak di jalan pada saat-saat penting. Padahal dengan kendaraan bekas yang betul-betul anda rekondisi di bengkel yang anda percayai, segala keruwetan itu bisa diatasi dengan mudah dan dengan harga di bawah harga uang muka pembelian kendaraan secara kredit. Bahkan sejumlah uang (rata-rata 4 juta rupiah) per bulan yang biasanya disetorkan ke perusahaan kredit kendaraan bisa digunakan untuk keperluan yang lebih produktif atau untuk rekreasi setiap bulannya.

Thursday, July 27, 2006

TIPS SAAT GEMPA; MENURUT DOUG COPP, METRO TV, DAN AMERICAN RED CROSS

Beberapa hari setelah gempa di Jogya beredar e-mail yang berisi tips dari Doug Copp, kepala American Rescue Team International Inc. (ARTI), tentang bagaimana menyelamatkan diri pada saat terjadi gempa. Kemudian setelah gempa Pangandaran dan Cilacap terjadi, Metro TV menayangkan beberapa tips Doug Copp yang menurut Metro TV penting (bukan semua tips). ARTI ini adalah sebuah perusahaan swasta, yang tidak berafiliasi dengan pemerintah atau sebuah lembaga. Karena tips dari Doug Copp ini sudah ditayangkan oleh Metro TV maka amat penting untuk mencermatinya dengan melihat apa komentar dari ahli bencana lainnya tentang Doug Copp itu.

Tips yang diberikan Doug Copp kelihatannya masuk akal dan bisa diterapkan. Misalnya berbaring di samping tempat tidur (bukan di bawah tempat tidur) atau merunduk di samping meja ketika gempa terjadi bisa mengurangi resiko terhimpit atau tertindih tempat tidur yang dijatuhi langit-langit kamar. Berbaring di samping tempat tidur mungkin juga tertimpa potongan-potongan langit-langit, namun ada ruang kosong berbentuk segitiga yang tidak terlalu menghimpit orang yang berbaring di sana. Segitiga kosong ini juga terbentuk di samping meja, sofa, lemari dan lain-lain.

Tips dari Doug Copp ini boleh dibilang menentang tips menghadapi gempa yang sudah diterapkan di banyak tempat di seluruh dunia, terutama Jepang yang memang gempa sering terjadi di sana.

Tetapi Rocky Lopes, PhD, Manager, Community Disaster Education, American Red Cross National Headquarters menyatakan bahwa tips Doug Copp ini tidak tepat. Tips Doug Copp tidak bisa diterapkan di Amerika karena standar bangunan berbeda dengan di negeri lain (Turkey). Bahkan Kimberly Shoaf, Public Healt Expert dari UCLA menyebut di Knight Ridder Newspapers, November 2004, bahwa beberapa tips dari Doug Copp bisa membahayakan, seperti keluar dari mobil dan berbaring di sampingnya.

Seperti Doug Copp menyebut sendiri, teorinya ini memang berdasarkan percobaannya membuat gempa buatan pada sebuah sekolah dan rumah dengan menggunakan 20 mannequins di Turkey tahun 1996. 10 mannequins yang menerapkan teori lama "drop, cover and hold on" (yang berlaku dan sudah diterapkan dimana-mana sejak lama) ternyata tidak selamat. Sedangkan 10 mannequins lainnya bisa selamat karena menerapkan teori Doug Copp, "Triangle of Life".

Mantan deputy director of the California Office of Emergency Services, Mark Ghilarducci, bahkan mempertanyakan klaim Doug Copp, bahwa dirinya seorang "disaster expert", karena meragukan.

The Red Cross tetap konsisten dengan tipsnya di http://www.disastereducation.org/guide.html . Salah satunya misalnya adalah tetap tinggal di atas tempat tidur ketika gempa terjadi, karena berbaring di lantai di samping tempat tidur lebih memiliki resiko terluka. Tips yang selama ini sudah diterapkan adalah tips yang paling sederhana, andal, dan paling mudah diajarkan, terutama kepada anak-anak.

Meski demikian American Red Cross, sebagai organisasi yang berbasis di Amerika tidak merekomendasikan untuk mengaplikasikan tipsnya di negeri lain. Mengidentifikasi area berbahaya dalam sebuah bangunan atau rumah adalah amat penting bagi semua individu, meski pada saat panik seringkali sulit untuk mengingatnya. Sehingga juga amat penting untuk memiliki tips sendiri yang dibuat oleh organisasi SAR di tiap-tiap kota atau negara.

Jojo Rahardjo



http://www2.bpaonline.org/Emergencyprep/arc-on-doug-copp.html

American Red Cross response to "Triangle of Life" by Doug Copp Sent from Rocky Lopes, PhD Manager, Community Disaster Education American Red Cross National Headquarters Recently it has been brought to my attention that an email from Doug Copp, titled "Triangle of Life," is making its rounds again on the Internet. "Drop, Cover, and Hold On" is CORRECT, accurate, and APPROPRIATE for use in the United States for Earthquake safety. Mr. Copp's assertions in his message that everyone is always crushed if they get under something is incorrect.

Recently, the American Red Cross became aware of a challenge to the earthquake safety advice "Drop, Cover, and Hold On." This is according to information from Mr. Doug Copp, the Rescue Chief and Disaster Manager of American Rescue Team International (a private company not affiliated with the U.S. Government or other agency.) He says that going underneath objects during an earthquake [as in children being told to get under their desks at school] is very dangerous, and fatal should the building collapse in a strong earthquake. He also states that "everyone who gets under a doorway when a building collapses is killed." He further states that "if you are in bed when an earthquake happens, to roll out of bed next to it," and he also says that "If an earthquake happens while you are watching television and you cannot easily escape by getting out the door or window, then lie down and curl up in the fetal position next to a sofa, or large chair." These recommendations are inaccurate for application in the United States and inconsistent with information developed through earthquake research. Mr. Copp based his statements on observations of damage to buildings after an earthquake in Turkey. It is like "apples and oranges" to compare building construction standards, techniques, engineering principles, and construction materials between Turkey and the United States.

We at the American Red Cross have studied the research on the topic of earthquake safety for many years. We have benefited from extensive research done by the California Office of Emergency Services, California Seismic Safety Commission, professional and academic research organizations, and emergency management agencies, who have also studied the recommendation to "drop, cover, and hold on!" during the shaking of an earthquake. Personally, I have also benefited from those who preceded me in doing earthquake education in California since the Field Act was passed in 1933.

What the claims made by Mr. Copp of ARTI, Inc., does not seem to distinguish is that the recommendation to "drop, cover, and hold on!" is a U.S.-based recommendation based on U.S. Building Codes and construction standards. Much research in the United States has confirmed that "Drop, Cover, and Hold On!" has saved lives in the United States. Engineering researchers have demonstrated that very few buildings collapse or "pancake" in the U.S. as they might do in other countries. Using a web site to show one picture of one U.S. building that had a partial collapse after a major quake in an area with thousands of buildings that did not collapse during the same quake is inappropriate and misleading.

According to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), which collects data on injuries and deaths from all reportable causes in the U.S., as well as data from three University-based studies performed after the Loma Prieta (September, 1989) and Northridge (January, 1994) earthquakes in California, the following data are indicated: Loma Prieta: 63 deaths, approximately 3,700 people were injured. Most injuries happened as a result of the collapse of the Cypress Street section of I-880 in Oakland. Northridge: 57 deaths, 1,500 serious injuries. Most injuries were from falls caused by people trying to get out of their homes, or serious cuts and broken bones when people ran, barefooted, over broken glass (the earthquake happened in the early morning on a federal holiday when many people were still in bed.) There were millions of people in each of these earthquake-affected areas, and of those millions, many of them reported to have "dropped, covered, and held on" during the shaking of the earthquake. We contend that "Drop, Cover, and Hold On" indeed SAVED lives, not killed people. Because the research continues to demonstrate that, in the U.S., "Drop, Cover, and Hold On!" works, the American Red Cross remains behind that recommendation. It is the simplest, reliable, and easiest method to teach people, including children. The American Red Cross has not recommended use of a doorway for earthquake protection for more than a decade. The problem is that many doorways are not built into the structural integrity of a building, and may not offer protection. Also, simply put, doorways are not suitable for more than one person at a time.

The Red Cross, remaining consistent with the information published in "Talking About Disaster: Guide for Standard Messages," (visit http://www.disastereducation.org/guide.html ) states that if you are in bed when an earthquake happens, remain there. Rolling out of bed may lead to being injured by debris on the floor next to the bed. If you have done a good job of earthquake mitigation (that is, removing pictures or mirrors that could fall on a bed; anchoring tall bedroom furniture to wall studs, and the like), then you are safer to stay in bed rather than roll out of it during the shaking of an earthquake.

Also, the Red Cross strongly advises not try to move (that is, escape) during the shaking of an earthquake. The more and the longer distance that someone tries to move, the more likely they are to become injured by falling or flying debris, or by tripping, falling, or getting cut by damaged floors, walls, and items in the path of escape. Identifying potential "void areas" and planning on using them for earthquake protection is more difficult to teach, and hard to remember for people who are not educated in earthquake engineering principles. The Red Cross is not saying that identifying potential voids is wrong or inappropriate. What we are saying is that "Drop, Cover, and Hold On!" is NOT wrong -- in the United States. The American Red Cross, being a U.S.-based organization, does not extend its recommendations to apply in other countries. What works here may not work elsewhere, so there is no dispute that the "void identification method" or the "Triangle of Life" may indeed be the best thing to teach in other countries where the risk of building collapse, even in moderate earthquakes, is great.

http://urbanlegends.about.com/library/bl_triangle_of_life.htm

'Triangle of Life' Earthquake Survival Measures

Netlore Archive: Doug Copp's emailed advice on earthquake survival tactics entitled 'Triangle of Life' is disputed by search-and-rescue experts from the American Red Cross and elsewhere

Description: Email flier Circulating since: Aug. 2004 (this version) Status: Inaccurate Analysis: See below

Email example contributed by Marc G., 25 August 2004: EXTRACT FROM DOUG COPP'S ARTICLE ON THE "TRIANGLE OF LIFE", Edited by Larry Linn for MAA Safety Committee brief on 4/13/04.

My name is Doug Copp. I am the Rescue Chief and Disaster Manager of the American Rescue Team International (ARTI), the world's most experienced rescue team. The information in this article will save lives in an earthquake.

I have crawled inside 875 collapsed buildings, worked with rescue teams from 60 countries, founded rescue teams in several countries, and I am a member of many rescue teams from many countries. I was the United Nations expert in Disaster Mitigation (UNX051 -UNIENET) for two years. I have worked at every major disaster in the world since 1985, except for simultaneous disasters.

In 1996 we made a film which proved my survival methodology to be correct. The Turkish Federal Government, City of Istanbul, University of Istanbul, Case Productions and ARTI cooperated to film this practical, scientific test. We collapsed a school and a home with 20 mannequins inside. Ten mannequins did "duck and cover," and ten mannequins I used in my "triangle of life" survival method. After the simulated earthquake collapse we crawled through the rubble and entered the building to film and document the results. The film, in which I practiced my survival techniques under directly observable, scientific conditions, relevant to building collapse, showed there would have been zero percent survival for those doing duck and cover. There would likely have been 100 percent survivability for people using my method of the "triangle of life." This film has been seen by millions of viewers on television in Turkey and the rest of Europe, and it was seen in the USA, Canada and Latin America on the TV program Real TV.

The first building I ever crawled inside of was a school in Mexico City during the 1985 earthquake. Every child was under their desk. Every child was crushed to the thickness of their bones. They could have survived by lying down next to their desks in the aisles. It was obscene, unnecessary and I wondered why the children were not in the aisles. I didn't at the time know that the children were told to hide under something.

Simply stated, when buildings collapse, the weight of the ceilings falling upon the objects or furniture inside crushes these objects, leaving a space or void next to them. This space is what I call the "triangle of life". The larger the object, the stronger, the less it will compact. The less the object compacts, the larger the void, the greater the probability that the person who is using this void for safety will not be injured. The next time you watch collapsed buildings, on television, count the "triangles" you see formed. They are everywhere. It is the most common shape, you will see, in a collapsed building. They are everywhere. I trained the Fire Department of Trujillo (population 750,000) in how to survive, take care of their families, and to rescue others in earthquakes.

The chief of rescue in the Trujillo Fire Department is a professor at Trujillo University. He accompanied me everywhere. He gave personal testimony: "My name is Roberto Rosales. I am Chief of Rescue in Trujillo. When I was 11 years old, I was trapped inside of a collapsed building. My entrapment occurred during the earthquake of 1972 that killed 70,000 people. I survived in the "triangle of life" that existed next to my brother's motorcycle. My friends who got under the bed and under desks were crushed to death [he gives more details, names, addresses etc.]...I am the living example of the "triangle of life". My dead friends are the example of "duck and cover".

TIPS DOUG COPP PROVIDES:

1) Everyone who simply "ducks and covers" WHEN BUILDINGS COLLAPSE is crushed to death -- Every time, without exception. People who get under objects, like desks or cars, are always crushed.

2) Cats, dogs and babies all naturally often curl up in the fetal position. You should too in an earthquake. It is a natural safety/survival instinct. You can survive in a smaller void. Get next to an object, next to a sofa, next to a large bulky object that will compress slightly but leave a void next to it.

3) Wooden buildings are the safest type of construction to be in during an earthquake. The reason is simple: the wood is flexible and moves with the force of the earthquake. If the wooden building does collapse, large survival voids are created. Also, the wooden building has less concentrated, crushing weight. Brick buildings will break into individual bricks. Bricks will cause many injuries but less squashed bodies than concrete slabs.

4) If you are in bed during the night and an earthquake occurs, simply roll off the bed. A safe void will exist around the bed. Hotels can achieve a much greater survival rate in earthquakes, simply by posting a sign on the back of the door of every room, telling occupants to lie down on the floor, next to the bottom of the bed during an earthquake.

5) If an earthquake happens while you are watching television and you cannot easily escape by getting out the door or window, then lie down and curl up in the fetal position next to a sofa, or large chair.

6) Everybody who gets under a doorway when buildings collapse is killed. How? If you stand under a doorway and the doorjamb falls forward or backward you will be crushed by the ceiling above. If the door jam falls sideways you will be cut in half by the doorway. In either case, you will be killed!

7) Never go to the stairs. The stairs have a different "moment of frequency" (they swing separately from the main part of the building). The stairs and remainder of the building continuously bump into each other until structural failure of the stairs takes place. The people who get on stairs before they fail are chopped up by the stair treads. They are horribly mutilated. Even if the building doesn't collapse, stay away from the stairs. The stairs are a likely part of the building to be damaged. Even if the stairs are not collapsed by the earthquake, they may collapse later when overloaded by screaming, fleeing people. They should always be checked for safety, even when the rest of the building is not damaged.

8) Get Near the Outer Walls Of Buildings Or Outside Of Them If Possible - It is much better to be near the outside of the building rather than the interior. The farther inside you are from the outside perimeter of the building the greater the probability that your escape route will be blocked;

9) People inside of their vehicles are crushed when the road above falls in an earthquake and crushes their vehicles; which is exactly what happened with the slabs between the decks of the Nimitz Freeway. The victims of the San Francisco earthquake all stayed inside of their vehicles. They were all killed. They could have easily survived by getting out and sitting or lying next to their vehicles, says the author. Everyone killed would have survived if they had been able to get out of their cars and sit or lie next to them. All the crushed cars had voids 3 feet high next to them, except for the cars that had columns fall directly across them.

10) I discovered, while crawling inside of collapsed newspaper offices and other offices with a lot of paper, that paper does not compact. Large voids are found surrounding stacks of paper.

Comments: The American Red Cross took the unusual step of contacting me directly to refute the above text, which a representative of the group politely characterized as "incorrect."

According to Red Cross community disaster education manager Ricky Lopes, author Doug Copp's earthquake survival suggestions don't apply in the United States because they're based on observations made in Turkey, where engineering and construction standards are different. "Much research in the United States has confirmed that 'Drop, Cover, and Hold On!' has saved lives in the United States," writes Lopes. "Engineering researchers have demonstrated that very few buildings collapse or 'pancake' in the U.S. as they might do in other countries."

Other experts concur, even to the point of suggesting that some of Copp's advice could endanger people's lives rather than save them. "Some of the things he recommends are absolutely dangerous, like getting out of your car and lying down next to the car," UCLA public health expert Kimberley Shoaf told Knight Ridder Newspapers in November 2004. A former deputy director of the California Office of Emergency Services, Mark Ghilarducci, agreed that "duck, cover and hold on" remains the best overall strategy for survival during an earthquake.

I should also point out that although Mr. Copp has proclaimed himself a disaster expert, his credentials are in question.