Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label sutiyoso. Show all posts
Showing posts with label sutiyoso. Show all posts

Wednesday, March 14, 2007

MALAPETAKA TRANSPORTASI BANGSA YANG BEBAL

Dimuat di http://www.mediakonsumen.com/Artikel429.html

Sebuah pesawat Garuda terbakar kemarin pagi 7 Maret 2007, di bandara Adisutjipto Yogyakarta. Malapetaka udara, laut, kereta api yang terjadi akhir-akhir ini adalah potret lengkap kemalangan dunia transportasi bangsa ini. Rasa duka yang mendalam saya sampaikan pada para korban....

Mungkin sedikit yang masih ingat pada malapetaka terbakarnya pesawat Mandala di Medan pada September 2005 silam. Saat itu, pesawat Mandala yang terbakar itu ditangani secara seadanya, padahal Bandara Polonia Medan bukan Bandara yang kecil yang seharusnya memiliki Search and Rescue (SAR) yang memadai, sehingga mungkin jumlah korban dapat dikurangi secara signifikan. Kebakaran Mandala saat itu seharusnya menjadi tonggak besar peringatan tentang perlunya perbaikan yang fundamental pada dunia transportasi Indonesia serta pengembangan SAR di Bandara dan di pelabuhan laut Indonesia. Sayang, hingga kini tetap tidak nampak hasil perbaikan dalam dunia transportasi Indonesia dan SAR, meskipun Hatta Radjasa menyatakan sudah dan sedang dilakukan perbaikan dalam wawancara dengan sebuah TV Swasta kemarin pagi. Sebuah pernyataan yang kurang ajar!

Saya amat prihatin dengan perlengkapan SAR bandara Adisutjipto yang digunakan untuk memadamkan api dari sebuah pesawat jet hanya dengan satu selang air saja bukan dengan busa kimia. Api padam beberapa jam kemudian ternyata bukan karena dipadamkan, tetapi karena semua terbakar habis tidak bersisa. Begitu juga jumlah anggota team yang nampaknya sangat kurang. Itu pun saya belum menyebut kemampuan atau keahlian yang dimiliki SAR itu yang saya tidak tahu levelnya. Tentu yang salah bukan mereka, para anggota SAR itu, tetapi pemerintah yang tidak menempatkannya sebagai sebuah lembaga yang amat penting pada suatu situasi darurat.

Tulisan di bawah ini bukan tentang transportasi udara, laut atau kereta api, tetapi tentang infrastruktur transportasi darat atau kondisi jalan raya yang amburadul namun kurang dianggap sebagai sebuah kemalangan atau malapetaka oleh banyak orang. Mungkin karena tidak adanya drama berdarah-darah atau api yang menyala-nyala. Padahal sesungguhnya berita atau tulisan mengenai buruknya kondisi jalan raya, khususnya di sekitar wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, terutama Cilincing ke Cakung sudah sering muncul di berbagai media, bahkan di media-media besar dalam skala nasional. Meski tidak berdarah dan menyala, Bank Dunia dalam sebuah kajian mengenai pemulihan daya saing Indonesia menyebut, ekspor Indonesia bisa naik di atas 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara APEC. Artinya, jika pemerintah mampu mengelola jalan raya dari dan ke pelabuhan, maka pertumbuhannya bisa jauh di atas 18 persen. Angka 18 persen itu tentu besar artinya bagi bangsa ini. Yang lebih mengherankan lagi, saya tidak pernah mendengar menteri perekonomian menekan menteri perhubungan untuk soal jalan raya ini.

Meski rejim yang katanya korup sudah dijatuhkan, dan meski sudah digantikan dengan rejim yang katanya sudah direformasi, wilayah Tanjung Priok, terutama yang dari dan ke arah Cilincing dan Cakung (CaCing) nampaknya tidak akan lepas dari pemandangan kemacetan lalu-lintas karena rusaknya jalan raya yang terus menerus sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun. Beberapa bulan lalu, di kwartal ketiga tahun 2006, sebelum musim hujan datang, jalan-jalan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok ditinggikan. Peninggian jalan ini adalah untuk kesekian kalinya dalam 5 tahun terakhir ini. Sekarang, perbaikan jalan diteruskan hingga ke Cilincing.

Perbaikan itu bukan untuk memperbaiki kerusakan jalan yang ringan, namun kerusakan berat yang sebenarnya sudah rusak berat jauh sebelum musim hujan tiba. Perbaikan jalan di wilayah ini memang selalu dilakukan ketika jalan sudah rusak parah, bukan pada saat masih rusak ringan. Meski demikian Walikota Jakarta Utara baru-baru ini menyebut bahwa kerusakan jalan di Priok-Cilincing disebabkan oleh banjir atau musim hujan. Sayangnya, meski bermaksud memperbaiki, namun pekerjaan memperbaiki itu, sebagaimana selalu terjadi, tidak pernah dengan mempertimbangkan kenyamanan pengguna jalan atau mempertimbangkan kelancaran arus lalu-lintas. Padahal biasanya perbaikan jalan di sana bisa memakan waktu paling cepat 3 bulan dan sementara itu bagian lain dari jalan itu yang tidak diperbaiki sudah mengalami kerusakan, sehingga jalan di sekitar Pelabuhan – Cilincing – Cakung tidak akan pernah dalam keadaan baik.

Lalu-lintas yang selalu padat di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu ada bagian-bagian yang dipersempit karena pekerjaaan perbaikan atau peninggian jalan. Kendaraan harus berjalan melata, karena harus bergantian menggunakan jalan yang lebarnya tinggal hanya satu kendaraan saja. Jalan-jalan di sekitar Pelabuhan ini memang jalan yang rawan banjir pada setiap musim hujan. Barangkali Pemkot Jakarta ingin membuat jalan ini bebas banjir dengan meninggikannya. Bagaimanapun, peninggian jalan di sekitar Pelabuhan ini bukan solusi yang bijak, karena jika banjir datang kemana air akan pergi? Tentu saja ke wilayah di sekitar jalan itu, dan terutama wilayah perumahan di sekitar jalan itu yang dianggap mudah dan boleh saja “dibiadabi”.

Cara pekerjaan peninggian dan perbaikan jalan di wilayah Tanjung Priok ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus ditutup untuk ditinggikan atau diperbaiki separuhnya hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja dulu, mungkin tidak akan terlalu menghasilkan ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Perbaikan dan peninggian jalan ini biasanya dilakukan sambil tidur, bukan dilakukan dengan amat cepat agar tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas terlalu lama. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama dan satu-satunya di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan Bus Way bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, 4 tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini juga harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang terkesan amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” polisi atau aparat untuk membantu mengatur lalu-lintas agar tidak saling serobot.

Cara bekerja seperti ini sungguh amat bertentangan dengan harapan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan dan menegakkan hukum di Jakarta. Kalau becak ditertibkan, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?

Jakarta adalah kota yang jalan rayanya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Lalainya pemerintah ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.

Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Pemerintah tidak mungkin tidak mampu melakukan pemeliharaan jalan raya dengan baik, karena mereka yang duduk di pemerintahan pasti bukan sejenis baboon. Cara memelihara jalan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok itu adalah contoh cara memelihara jalan yang umum terjadi di semua wilayah di Jakarta yang bisa menjadi indikator dari pemerintahan yang bukan hanya kurang mampu berfungsi, tetapi juga tidak memiliki moral. Ini memang persoalan moral! Mungkin bukan karena para baboon itu memakan duit rakyat, tetapi karena secara moral mereka tidak peduli pada keselamatan orang lain, baik celaka atau kehilangan nyawa karena jalan rusak. Lebih jauh lagi, baboon itu pun juga tidak perduli dengan nasib bangsa ini jika negeri ini dipandang bukan tempat yang tepat untuk berinvestasi atau dipandang sebagai negeri dengan 200-an juta manusia bebal.

Jadi, Gubernur atau menteri apa pun yang akan datang seharusnya tidak hanya wajib memiliki leadership dan pintar, tetapi juga sekaligus memiliki moral. Sehingga Gubernur atau menteri ini bukan hanya bekerja untuk sebuah permainan politik atau untuk sebuah partai yang mengusungnya, tetapi juga bekerja untuk mempersiapkan masa depan bangsa ini, negeri ini dan bahkan peradaban manusia.

Jojo Rahardjo

Thursday, February 15, 2007

JIKA PEMERINTAH TIDAK BISA MENGATASI BANJIR, APA YANG KITA BISA?

Tulisan ini tidak akan membahas mengapa banjir bisa terjadi, karena sudah terlalu banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu yang membahas penyebab banjir itu, yaitu dua yang paling menonjol adalah, pengaturan daerah resapan hujan dan sistem drainase yang kacau. Tulisan ini pun tidak ingin membahas mengapa 2 hal penting itu bisa menjadi kacau selama puluhan tahun, karena itu sudah pasti karena sifat korup dan ketidakmampuan secara intelektual dari pejabat pemerintah.

Saya adalah salah satu korban banjir awal Februari 2007 ini. Saya tinggal di Bintara, perbatasan Jakarta dan Bekasi, tempat yang sudah saya pilih karena tidak pernah mengalami banjir, bahkan ketika banjir tahun 2002 melanda Jakarta dan sekitarnya. Namun ternyata banjir melanda daerah itu tanggal 2 Februari lalu…. Forum komunikasi warga di Internet (milis) di daerah Bintara ramai membicarakan apa yang menjadi penyebab banjir. Lagi-lagi mereka menyebut sebagaimana yang sudah disampaikan para ahli di berbagai media tentang penyebab banjir di Jakarta dan sekitarnya adalah 2 hal yang sudah disebut di atas.

Sebelum tahun 90-an dan sebelum perumahan-perumahan di bangun, (Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara), daerah Bintara adalah daerah persawahan dan di sana ada sebuah danau besar yang kini sama sekali tidak terlihat bekasnya karena sudah ditimbun. Padahal danau itu pasti bisa menyelamatkan daerah Bintara dari luapan air hujan yang begitu deras awal Februari itu. Bukan hanya perumahan yang telah menimbuni danau itu, bahkan jalan tembus Gusti Ngurah Rai yang menuju ke Kranji Fly Over pun menimbun danau itu.

Kini, daerah Bintara menyalurkan atau membuang air hujan ke wilayah utara menyeberangi bawah rel KA (melalui gorong-gorong kecil). Padahal di wilayah itu ada perumahan Harapan Baru yang tentu saja menjadi banjir lebih parah karena menerima kiriman dari wilayah Bintara. Sementara itu, Bintara pun menerima banjir kiriman melalui sungai kecil dari arah perumahan Mas Naga di selatan. Hebat ‘kan? Situasi ini tentu menyimpan potensi konflik warga antar perumahan. Misalnya Harapan Baru bisa saja menutup saluran air dari Bintara agar tidak menerima banjir kiriman.

Karena tidak menyangka akan datangnya banjir dan tidak memiliki pengalaman dalam menghadapi banjir, banyak barang-barang di dalam rumah saya dan warga lainnya yang tidak bisa diselamatkan yang menyebabkan kerugian yang cukup mengganggu keuangan di hari-hari mendatang. Belum lagi kerugian waktu dan kehilangan rasa nyaman dan aman selama beberapa hari setelah banjir itu. Hingga sekarang, masih sulit untuk berkonsentrasi ke pekerjaan rutin. Jadi nggak produktif, nih!

Meski memiliki milis (http://groups.yahoo.com/group/Griya_Bintara_Indah), warga Bintara tidak mungkin memanfaatkannya untuk melakukan kordinasi untuk menghadapi banjir itu, apalagi jika datangnya tiba-tiba. Meski peringatan-peringatan akan banjir sudah diterapkan secara rutin, terutama menjelang datangnya musim hujan, namun tak seorang pun yang menduga banjir datang sedemikian besar hingga rata-rata setinggi di atas lutut. Hari itu, banyak warga yang sudah terlanjur berangkat menuju tempat kerja dan hampir semuanya tidak sampai di tempat kerja karena terjebak di jalanan. Tinggal istri dan anak-anak di rumah berjuang menyelamatkan barang-barang agar tidak rusak. Hanya dalam waktu dua setengah jam saja, air naik dengan cepat mulai jam 10:30 pagi hingga jam 13:00. Dalam waktu yang singkat itu dan rasa tidak percaya, tentu tidak banyak hasil dari usaha penyelamatan barang-barang itu.

Sekali lagi, penyebab banjir ini adalah bukan karena cuaca atau perubahan cuaca yang disebabkan oleh global warming misalnya, gravitasi bulan purnama, letak Jakarta yang rendah di bagian Utara dan Timur sebagaimana yang sudah disebutkan di berbagai media massa. Tetapi banjir ini karena salah urus oleh Pemerintah Provinsi dan Pusat. Banjir tidak akan terjadi atau tidak separah itu, jika ada cukup tanah untuk resapan air hujan dan ada sistem drainase yang tertata dengan baik.

Situasi ini tentu amat mengerikan, karena akan butuh waktu cukup banyak dan biaya yang besar untuk menyediakan daerah resapan air hujan. Begitu juga untuk menata kembali sistem drainase. Padahal cara kerja pemerintah ini begitu korup. Sementara itu menurut BMG, musim hujan belum selesai hingga April 2007 mendatang. Ditambah lagi “SIKLUS 5 TAHUNAN” (yang rajin digembar-gemborkan oleh pejabat pemerintah untuk “sembunyi-tangan” dari pekerjaan tololnya) yang sebenarnya tidak pernah ada, sehingga awal tahun 2008 depan bisa saja hujan deras akan kembali membanjiri Jakarta dan sekitarnya untuk menimbulkan penderitaan panjang lagi dan kehilangan produktivitas lagi. Entah mau jadi apa negeri ini jika terus diurus oleh para baboon.

Oleh karena itu secara individual, kita perlu mempersiapkan rumah kita masing-masing agar lebih tahan banjir. Cara termurah, untuk orang-orang seperti saya, adalah membuat tanggul di depan pintu-pintu rumah yang menghadap ke luar, serta meninggikan kamar mandi agar air dari luar tidak masuk melalui lubang saluran di sini. Tanggul di depan pintu depan rumah bisa disamarkan supaya tidak terlalu merusak pemandangan. Namun bagi yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar tentu dengan meninggikan lantai dan atap bangunan dan bahkan dengan membuat lantai ke-2 untuk antisipasi banjir yang amat besar. Memiliki generator pembangkit listrik kecil tentu akan sangat berguna saat listrik dipadamkan oleh PLN untuk menghidupkan penerangan, alat komunikasi, alat penyimpan makanan, dan pompa air. Generator kecil ini seharga 1 jutaan sekarang.

Sedangkan secara bersama-sama dengan warga di setiap wilayah, paling tidak selingkup wilayah perumahan harus berkumpul untuk membicarakan persiapan yang perlu dilakukan dalam menghadapi musim hujan berikutnya. Meski sebuah wilayah tidak banjir, tetapi harus juga dipikirkan untuk tidak mengirimkan banjir ke wilayah lain. Untuk efesiensi, milis bisa digunakan untuk membicarakan soal ini dibanding melakukan pertemuan atau rapat.

Dalam kasus di perumahan saya, sistem peringatan dini menjadi prioritas pertama untuk dipikirkan. Dengan semua cara dan alat, sistem peringatan dini mesti disiapkan mulai dari lonceng atau kentongan hingga radio komunikasi dan SMS. Dengan peringatan dini ini, penyelamatan jiwa dan barang-barang bisa lebih awal dilakukan dan tidak tergesa-gesa.

Jika memungkinkan, dilakukan pengumpulan dana yang lebih besar untuk menyediakan peralatan yang akan berguna pada saat banjir dan menyediakan tempat evakuasi dan dapur umum serta MCK. Ingat, perumahan mewah seperti Kelapa Gading pun tidak luput dari banjir berhari-hari, bukan satu hari !!! Sehingga kita harus siap menghadapi yang terburuk untuk menyediakan alat-alat di bawah ini yang mungkin tidak perlu sekaligus, tetapi bertahap hingga mendekati Desember 2007.

1. Perahu karet – untuk evakuasi – untuk patroli – untuk distribusi peralatan atau logistik.
Lampu senter – biasanya listrik padam. 2. Persediaan air bersih selama 1 minggu – biasanya listrik padam dan PAM ikut mati. 3. Alat komunikasi – radio komunikasi – lonceng atau kentongan. 4. Pembangkit listrik cadangan untuk menghidupkan alat penyimpan makanan, pompa air, alat-alat komunikasi dan penerangan untuk keamanan. 5. Tempat evakuasi yang lebih tinggi dan tempat untuk menyelenggarakan dapur umum.

Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah, membentuk tim sukarelawan yang bukan hanya dibutuhkan di lingkungan sendiri, tetapi jika diminta oleh wilayah lain bisa bersedia membantu. Tim sukarelawan ini lah yang selalu tidak pernah didorong oleh pemerintah dalam setiap bencana yang terjadi di negeri ini. Padahal ada begitu banyak orang yang bersedia menjadi sukarelawan, namun tidak tahu harus kemana dan pemerintah kurang mampu mengkordinasikannya. Dalam setiap bencana, nampak pemerintah tidak tidak pernah menghimbau melalui media massa untuk mengundang sukarelawan. Padahal pemerintah tidak punya sumber daya yang cukup untuk mengatasi bencana. Lihat saja pasca banjir 2007 ini. Pemerintah kewalahan untuk membuang sampah, padahal banjir telah berlalu berhari-hari yang lalu.

Jadi bersiaplah menghadapi banjir berikutnya atau bencana lain yang kita tidak tahu dengan berkumpul bersama. Persiapan ini adalah untuk mengurangi dampak banjir yang parah dan agar kegiatan rutin bisa kembali pulih lebih cepat. Ingat, pemerintah tidak bisa diharapkan untuk membantu kita!

Jojo Rahardjo

Friday, December 08, 2006

ANCAMAN BANJIR; BELAJAR LAH HINGGA KE NEGERI SETAN BESAR

Amerika selama ini dikenal sebagai anjing najis, setan besar, super power, atau bangsa arogan. Namun itu karena yang menyebutnya bukan orang Amerika dan tidak dapat membayangkan hidup di Amerika sebagai orang Amerika. Bagi saya, di Amerika banyak orang-orang yang berperilaku lebih muslim dari saya yang lahir sebagai muslim.

Bangsa Amerika dapat mencapai kehidupan yang seperti mereka nikmati sekarang ini bukan tanpa upaya keras seperti yang belum dilakukan di Indonesia. Dulu, kebejatan seperti di Indonesia juga merajalela di Amerika. Ada bajingan seperti Al Capone yang sulit dipenjara karena rajin menyuap pejabat pemerintah dan polisi. Sekarang bukannya tidak ada kasus seperti itu di Amerika, tetapi kontrol terus dilakukan terhadap pejabat pemerintah sehingga peluang untuk munculnya kasus itu semakin diperkecil.

Indonesia lebih bejat dari Amerika. Misalnya, minuman beralkohol tidak dapat dibeli serampangan di Amerika oleh remaja di bawah 18 tahun, sementara di Indonesia di samping bangunan sekolah ada penjual minuman beralkohol yang tidak kunjung mendekam di penjara untuk waktu yang lama. Orang banyak beranggapan di Amerika, sex adalah kegiatan yang bebas dilakukan, padahal pelacuran di Amerika dilarang dan tidak ada lokalisasi, sementara di Indonesia yang dipimpin orang-orang muslim menyediakan lokalisasi untuk rakyatnya yang mau melacur dan dilacuri.

Di Amerika anda bisa bermimpi dan dream come true. Erin Brokovich, wanita muda beranak 3 yang cuma lulusan SMA bermimpi mengganjar perusahaan energi raksasa di seluruh Amerika yang telah meracuni warga sebuah wilayah di sebuah kota kecil. Mimpi rakyat kecil Erin Brokovich ternyata bisa dicapai, tuntutan ganti ruginya, mewakili warga yang diracuni itu, menjadi ganti rugi terbesar dalam sejarah Amerika.

Ada beberapa kisah kepahlawanan di Amerika yang membuat kita bertanya apakah kita sesama muslim masih saling bersaudara jika kita tidak memiliki kegiatan-kegiatan yang menunjukkan bahwa kita bersaudara. Kita menunjukkan persaudaraan hanya jika sebuah kelompok muslim “dihantam” oleh kelompok bukan muslim. Sungguh menyedihkan!

Saya, beberapa tahun lalu menyaksikan sebuah film lepas di sebuah tv swasta tentang sebuah kota kecil di negeri setan besar yang warganya berlatih bertahun-tahun lamanya tanpa lelah dan bosan untuk menghadapi sebuah bencana yang tidak pernah diketahui besar dan macamnya, bahkan tidak terjadi (secepat yang mereka sangka).

Awalnya adalah, belasan warga kota itu yang menghabiskan akhir pekannya secara lebih bermanfaat, yaitu dengan berlatih menggunakan tali-temali, alat-alat pemadam kebakaran, P3K, alat komunikasi untuk menghadapi sebuah situasi darurat. Meski tidak pernah ada bencana besar selain mencari hewan peliharaan dan anak hilang karena tersesat, mereka terus berlatih tanpa bosan dan lelah, bahkan anggota kelompok itu semakin berpuluh-puluh jumlahnya.

Tahun-tahun berlalu tanpa sebuah bencana pun, namun mereka terus berlatih tanpa bosan hingga lebih dari 15 tahun. Kelompok sukarelawan ini kemudian memiliki kantor besar dan peralatan lengkap berkat dukungan seluruh warga kota serta para pemimpinnya (yang mereka pilih dan seleksi sendiri dengan hati-hati, tidak seperti di Indonesia yang memilih anjing buduk, di masa lalu, sebagai pemimpinnya).

Tiba-tiba pada suatu hari, bencana itu datang juga, meski bencana itu bukan untuk warga kota itu, karena bencana itu adalah jatuhnya sebuah pesawat penumpang berjumlah ratusan orang di sebuah tempat yang tak berpenduduk. Namun, berkat latihan bertahun-tahun dan peralatan lengkap, mereka berhasil menyelamatkan sebagian besar penumpang pesawat. Jika tidak maka nasib para penumpangnya akan seperti penumpang Lions Air, tewas karena tak sempat tertolong.

Perjuangan bertahun-tahun warga kota itu berlatih menghadapi bencana membuat kagum banyak orang. Pemerintah federal memberikan penghargaan tertinggi dan menjadikan kota itu sebagai kota contoh terbaik dalam menghadapi bencana. Sayang, nama kota itu saya tidak ingat.

Warga Jakarta, terutama di sekitar aliran Sungai Ciliwung, boleh meniru apa yang dilakukan warga kota itu. Dana untuk latihan dan peralatannya, tentu saja, tinggal minta kepada Pemda DKI, dan harus ada!

Sekarang, bencana banjir di Jakarta sedang mengancam. Apa yang pantas disiapkan oleh warga Jakarta tanpa atau dengan dukungan Gubernur Jakarta?

1. Penampungan korban banjir dengan mendirikan tenda-tenda atau ditempatkan di gedung-gedung yang bisa digunakan.
2. Makanan sehat dari dapur-dapur umum
3. Sanitasi agar tidak menimbulkan masalah baru.
4. Obat-obatan
5. Pakaian

Warga Jakarta sebaiknya jangan berpikir Gubernur cukup punya rasa persaudaraan sesama muslim untuk menyediakan 5 kebutuhan di atas itu. SBY juga sudah terbukti gagal beberapa kali di setiap bencana alam yang terjadi dalam menghimpun seluruh kekuatan bangsa. Jika ia memang memiliki sense of crisis, pasti sense itu belum turun ke bawah, misalnya ke Gubernur gila, Sutiyoso, apalagi ke para walikota dan lurahnya.

Kasus sampah di Bojong sudah cukup menggambarkan betapa gilanya Sutiyoso itu. Ketika negara-negara lain amat serius menangani masalah sampahnya, Sutiyoso cukup melemparkannya ke Bojong.

Thursday, December 07, 2006

MEGAPOLITAN, MEGALOPOLITAN, MEGAPOLONTOS, MEGAL-MEGAL ATAU “KETERPADUAN-WILAYAH”

Jalan di depan Pintu IX Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas menuju ke Cilincing sedang diperbaiki (ditinggikan). Begitu juga di beberapa bagian jalan di Cilincing dari dan ke Tanjung Priok. Sebagaimana sudah terjadi bertahun-tahun, perbaikan jalan ini sering berjalan amat lambat atau terhenti entah karena apa, padahal jalan yang diperbaiki dalam keadaan hanya separuh dapat digunakan hingga mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang panjang. Yang aneh jalan di depan pintu 9 Pelabuahan Tg. Priok ini sudah pernah ditinggikan sebelumnya. Sebelum ditinggikan jalan ini adalah jalan yang rawan banjir. Sekarang jalan itu memang tidak banjir lagi, tetapi jika hujan air akan membanjiri daerah sekitar jalan itu yang sebagian adalah perumahan penduduk. Sebuah strategi mengatasi banjir yang “luar biasa”.

Cara pekerjaan perbaikan atau peninggian jalan ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus sekarang ditutup separuh untuk ditinggikan hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja, akan bisa mengurangi ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Bukankah wilayah itu adalah wilayah kegiatan ekonomi yang amat penting, paling tidak di pulau Jawa ini, karena lalu-lintas barang datang dan pergi melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di Tanjung Priok dan di tempat-tempat lain di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan BusWay bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, beberapa tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” hukum atau kesantunan untuk tidak saling serobot.

Cara bekerja yang serampangan ini sungguh amat bertentangan dengan keinginan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan Jakarta. Kalau becak dulu ditertibkan, kakilima digusur, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Pintu IX dan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?

Pemeliharaan jalan ini sungguh menggambarkan bobroknya pengelolaan Jakarta oleh Pemerintah Daerah. Jakarta adalah kota yang jalannya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta tidak memiliki sistem pemeliharaan jalan yang memberi jaminan jalan hanya memiliki lubang minimal. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi bahkan lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Situasi ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.

Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit. Biasanya perbaikan jalan dilakukan dengan cara memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.

Saya pikir pemeliharaan jalan yang bukan jalan protokol akan lebih baik dibagi-bagi kepada tiap kecamatan setempat. Karena wilayahnya lebih sedikit, kecamatan dapat lebih baik memantau dan memberikan pekerjaan perbaikan kepada remaja atau pemuda yang menginginkan pekerjaaan sambilan atau pekerjaan ini diberikan kepada tuna karya di kecamatan itu. Dengan lubang yang masih kecil tentu tidak diperlukan peralatan-peralatan besar seperti mesin giling jalan dan lain-lainnya, cukup dengan mesin penumbuk aspal yang dapat dioperasikan dengan tangan oleh satu orang. Uang ratusan juta setiap bulannya dapat dicegah untuk masuk ke dalam kantung para kontraktor perbaikan jalan dan dialokasikan ke pembangunan sarana olah raga atau kegiatan produktif lainnya bagi para remaja atau hal-hal lainnya.

Situasi lalu-lintas atau jalan di Jakarta ini atau apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola jalan Jakarta ini membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud orang-orang yang sedang mencoba meluncurkan proyek Megapolitan. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin memikul proyek yang kelihatan (dari namanya) besar itu (megapolitan) jika mengelola jalan saja amat tidak efisien dan sekaligus buruk. Sepanjang pertama kali kata megapolitan itu menjadi wacana, saya belum melihat pemaparan megapolitan yang memuaskan hingga saya membaca presentasi Sarwono Kusumaatmadja dalam sebuah diskusi di Jakarta bulan April 2006 lalu.

Penggunaan kata “megapolitan” adalah salah kaprah, menurut Sarwono. Mungkin itu dibuat secara gampangan dengan meniru kata “metropolitan” yang disangka dari 2 buah kata “metro” dan “politan”. Sarwono yang salah satu tokoh yang mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Jakarta berikutnya ini juga mempertanyakan konsep megapolitan: “konsep apa yang ada dalam pemikiran Gubernur Sutiyoso?”

Lebih lanjut Sarwono menjelaskan: “Karena yang pernah terdengar sebelumnya adalah megalopolitan, yaitu salah satu gejala di sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa kota besar yang jauh dihubungkan melalui sistem transportasi terpadu dalam menunjang berbagai aktivitas warga masyarakat antarkota tersebut termasuk dengan kota-kota kecil yang berdekatan. Penghubung antarkota melalui jalur jalan bebas hambatan, jaringan rel kereta api bahkan kereta bawah tanah (subway) termasuk jalur udara. Dengan demikian akan membentuk satu kesatuan ekonomi antarwarga antarwilayah bersangkutan”.

Apa pun namanya megapolitan, megalopolitan, megapolontos, megal-megal atau “keterpaduan-wilayah”, yang penting adalah konsepnya apa, sebagaimana dipertanyakan Sarwono.

TRANSJAKARTA, BOGOTA, SUTIYOSO = BABOON

Sejak pertama kali ide transjakarta (bukan busway, karena busway sudah ada sejak sutiyoso belom dibikin oleh emak dan babenya) dilemparkan, sudah banyak yang bertanya mengapa meniru Bogota, Columbia? Mengapa tidak meniru negara-negara lain yang tidak ada bus dengan model seperti transjakarta itu ? Mengapa tidak menyempurnakan busway yang sudah kita punya sejak dulu itu? Pertanyaan itu tidak digubris oleh sutiyoso dan anteknya.

Mengapa pertanyaan itu diajukan? Karena jauh lebih sederhana menyempurnakan busway yang sudah ada (kecuali dengan kesungguhan dan tekad yang besar untuk memberadabkan jalanan kita) daripada membangun jalur untuk transjakarta yang menciptakan masa transisi selama jalur itu dibangun selama bertahun-tahun.

Memang betul, nanti setelah transjakarta selesai semua, akan memberikan alternatif untuk public transportation di Jakarta. Tetapi berapa kerugian yang kita (warga) tanggung dalam masa transisi itu, belum lagi image kota yang menjadi amburadul bagi orang-orang asing. Situasi jalanan Jakarta sekarang menjadi amat tidak beradab berkat sutiyoso sang baboon. Padahal sudah banyak orang bilang situasi jalan sebuah kota menggambarkan bangsa itu.... Saya amat setuju itu, karena kita nggak mampu menghalangi para baboon untuk membuat jalur khusus untuk transjakarta. Entah kemana anggota DPR yang sudah kita pilih itu (saya nggak pilih mereka, pemilu lalu).

Memang amat gila, kalo negara tetangga kita nggak pake bus model transjakarta itu bisa sukses mengatur dan memberikan public transportation yang nyaman dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakatnya, tetapi kita malah memilih Bogota dan mengkacau-balaukan lalulintas yang udah kacau sebelumnya dengan transjakarta keparat....