Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Showing posts with label ali ibn abi thalib. Show all posts
Showing posts with label ali ibn abi thalib. Show all posts

Wednesday, March 24, 2010

GREEN ZONE VERSUS BOM BUNUH DIRI

filHollywood memang kadang mengejutkan. Sebuah film baru saja diedarkan awal Maret 2010 di seluruh dunia. Green Zone, begitu judul film baru itu, bercerita tentang apa yang selama ini menjadi perdebatan di seluruh dunia, yaitu alasan mengapa Amerika menginvasi Irak?

Film itu membeberkan kembali ingatan orang di seluruh dunia yang mungkin hampir lupa, mengenai tuduhan mantan presiden Amerika, Bush, bahwa Saddam Hussein memiliki senjata WMD (Weapons of Mass Destruction) yang disembunyikan di wilayah Irak ternyata tidak terbukti atau hanya isapan jempol Bush semata. Berdasarkan tuduhan ini lah Irak diserang dan diduduki oleh Amerika. Padahal seharusnya alasannya adalah karena Saddam adalah seorang tyran yang kejam terhadap rakyatnya sendiri.

Film yang justru dibuat oleh orang-orang Amerika sendiri ini, seakan menjebloskan bangsa Amerika menjadi bangsa pembohong dan haus perang. Karena itu, beberapa pihak memandang film ini sebagai film anti Amerika, sebagiamana seorang movie reviewer, Kyle Smith, menyebut film ini sebagai "appallingly anti-American." Namun film ini menyegarkan kembali ingatan kita tentang bagaimana PBB sendiri tidak dapat menemukan apa yang dituduhkan oleh Bush itu. Pasukan Amerika digambarkan selalu gagal menemukan di mana WMD disembunyikan di Irak.
Film ini bisa menjadi salah satu alasan yang amat kuat untuk mematahkan cara pandang para suicide bomber atau terorist, karena melalui film ini, terlihat perang Irak bukan perang antara Amerika dengan Irak, atau Amerika dengan umat Islam, atau juga perang bangsa barat dengan bangsa timur, tetapi sebuah perang yang dikobarkan oleh segelintir orang gila, yaitu Bush dan gerombolannya.

Di dalam film ini digambarkan seorang komandan pasukan Amerika yang tugasnya mencari di mana WMD disembunyikan. Pasukan ini bekerja berdasarkan informasi yang diberikan oleh intelejen yang anehnya informasi yang diberikan selalu salah, atau WMD tidak pernah ditemukan. Karena penasaran, penyelidikan komandan ini terhadap mengapa informasi yang diberikan ini selalu salah ternyata secara mengejutkan membawanya kepada sebuah jaringan kebohongan yang berujung di Pentagon hingga White House.

Film ini terinspirasi dari sebuah buku non-fiction berjudul “Imperial Life in the Emerald City” yang ditulis oleh seorang journalist dari The Washington Post, Rajiv Chandrasekaran. Sayang film ini kekurangan konflik kejiwaan yang seharusnya dialami oleh komandan ini karena harus membeberkan kebohongan pemerintahan Amerika ke seluruh dunia dengan menulis surat ke seluruh media terkenal di dunia. Sebagai komandan pasukan Amerika tentu saja ini tindakan penghianatan atau tidak patriotik. Konflik kejiwaan seperti ini tidak digambarkan di dalam film ini. Tapi itu menjadi tidak penting, karena mungkin film ini maksudnya memang sekedar ingin mempertontonkan kebohongan itu semata, bukan bermaksud untuk menjadi film yang bercerita dengan bagus mengenai profile seorang komandan pasukan Amerika.

Sutradara film ini, Paul Greengrass (Inggris) dan aktornya, Matt Damon (Amerika), tentu saja hanya wakil dari salah satu dari sekian juta orang Amerika dan Inggris, bahkan juga sekian ratus juta orang di seluruh dunia yang tidak menyukai atau tidak menyetujui perang di Irak. Tidak semua orang Amerika, atau tidak semua orang yang berkulit putih, atau beragama bukan Islam adalah musuh, karena ternyata mereka juga tidak berpihak pada Bush dan gerombolannya.

Film ini, sekali lagi, menjadi salah satu alasan yang tepat, bahwa bom bunuh diri yang selama ini dilakukan oleh orang-orang yang merasa berada di jalan Allah SWT adalah salah. Film ini pantas dijadikan alat untuk mengedukasi masyarakat kita yang mudah terjerumus pada radikalisme sempit atau terorisme.

Tulisan ini memang bermaksud untuk menggembosi terorisme yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku atau berkeyakinan berada di jalan Allah SWT. Mereka ini termasuk orang-orang yang mengiringi penguburan terorist yang tewas dengan memekikkan nama-nama Allah SWT dan menyebut terorist dengan sebutan mujahid (pejuang di jalan Allah SWT). Oleh karena itu saya menambahkan satu kisah di bawah ini yang diambil dari catatan sejarah Islam mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang pada periode awal pasca wafatnya Nabi Muhammad. Celakanya kelompok ini yakin berada di jalan Allah SWT ketika melakukan kekerasan itu. Kisah di bawah ini sebenarnya telah saya tulis untuk sebuah kerangka yang berbeda di tulisan yang lain.

ABDURRAHMAN IBN MULJAM, TERORIST YANG “BERADA DI JALAN ALLAH SWT”

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini sebenarnya didalangi oleh kelompok yang kemudian disebut sebagai Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding orang-orang yang mereka anggap musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi suicide bomber, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah SWT untuk berjuang di jalan Allah SWT dengan cara suicide bomber, berhati-hatilah, karena mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah contoh tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang dilakukannya kemudian.

Jojo Rahardjo

Monday, March 22, 2010

ABDURRAHMAN IBN MULJAM BERADA DI JALAN ALLAH SWT, BEGITU JUGA PARA PEMIMPIN INDONESIA ???

Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.

Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).

Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini didalangi oleh kelompok Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.

Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding musuh-musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi “pengantin” atau pengebom bunuh diri, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.

Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah, berhati-hatilah, karena bagi saya atau orang-orang seperti saya, mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang saya maksud adalah pejabat negara yang bersumpah dengan nama Allah karena sedang dicurigai atau dituduh melakukan kejahatan terhadap negeri ini. Mereka juga sekaligus berkoar-koar, bahwa mereka lebih memiliki “kebenaran” dibanding siapa pun. Padahal bukan sumpah yang diharapkan keluar dari moncong mereka, karena mereka sesungguhnya pejabat negara yang dituntut sepanjang waktu untuk terbuka dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka juga dituntut untuk tidak arogan atau merasa sebagai orang yang tepat di tempatnya, karena bukan ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu agama yang mereka pelajari dan praktekkan bertahun-tahun yang menjadi ukuran baik atau benarnya apa yang mereka kerjakan, tapi moral yang berkembang di masyarakat lah yang menjadi ukuran.

Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah hanya sebuah contoh ekstrim tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang diduga dilakukannya.

Di bawah ini adalah contoh ucapan para pejabat negara yang ingin terlihat religius.

"Di segala zaman, Tuhan selalu pada pihak kebenaran," kata Wakil Presiden Boediono (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/04/10045551/Boediono.Tuhan.Selalu.Berpihak.pada.Kebenaran ).

Presiden Yudhoyono: "Kebenaran dan keadilan akan datang. Barangkali terlambat, tapi Insya Allah akan datang karena itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa" (http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38829&Itemid=1122 ).

"Demi Allah saya bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi petunjuk pada saya," demikian kata Sri Mulyani saat disumpah Ketua Pansus Century Idrus Marham (http://www.kabarbisnis.com/keuangan/nasional/288700-Sri_Mulyani_bersumpah__Demi_ALLAH_.html ).

Sekali lagi, “kebenaran”, entah apa pun artinya itu, ternyata tidak terletak pada orang-orang yang nampak religius, tapi terletak entah di mana….

Jojo Rahardjo