http://www.mediakonsumen.com/Artikel2630.html
Penolakan kenaikan BBM masih terus digelar di mana-mana. Bahkan semakin emosional dan semakin dibarengi dengan kekerasan, bahkan kekisruhan sebagaimana sudah saya duga sebelumnya di MediaKonsumen ini beberapa waktu yang lalu (http://www.mediakonsumen.com/Artikel2379.html , http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html).
Ini disebabkan oleh antara lain karena gagalnya program komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Namun demikian, bagaimana mungkin rakyat dapat memahami sebuah komunikasi yang tidak masuk akal mengenai alasan dinaikkannya BBM. Komunikasi yang buruk ini ditambah lagi dengan minimnya upaya pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikkan BBM ini, bahkan Badan Intelejen Negara pun beberapa hari terakhir ini ikut memperkeruh situasi dengan menebar tuduhan sana-sini.
Tulisan ini adalah untuk mengingatkan, bahwa kenaikan BBM berhubungan dengan adanya konspirasi jahat orang-orang di Kejaksaan Agung dengan konglomerat hitam. Ini menjadi salah satu penyebab pemerintah akhirnya kedodoran APBN dan menaikkan BBM sebagai solusi gampang dan gila sehingga membuat negeri ini semakin compang-camping dan boroknya terlihat.
Kejagung sebelumnya menjadi tumpuan harapan rakyat agar bisa mengembalikan dana BLBI sebesar ratusan trilyun rupiah yang dirampok konglomerat hitam. Sayangnya setelah jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap sedang disuap oleh Artalita Suryani, sejumlah jaksa agung muda lainnya justru juga “tertangkap” melakukan “telpon-ria” dengan Artalita, kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI. Jaksa Urip adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Ia diburu KPK dan tertangkap di rumah Sjamsul Nursalim sedang menerima uang sebesar lebih dari 6 milyar rupiah dari Artalita hanya beberapa hari setelah jaksa agung muda pidana khusus Kemas Yahya Rahman mengeluarkan SP3 untuk kasus BLBI Syamsul Nursalim dan Anthony Salim.
Kasus terbongkarnya borok kejagung ini mungkin juga sekaligus membongkar borok TNI yang tidak tahu ada anggotanya yang “magang” bertahun-tahun menjadi “ajudan” Artalita di Sjamsul Nursalim “Syndicate”.
Kejadian ini sudah menjadi keprihatinan kita bersama, karena ini seperti sering disebut orang adalah “gunung es” dari berbagai carut-marut di negeri morat-marit ini. Sebelum soal Urip, sang borok kejaksaan ini, di awal tahun 2007, seorang jenderal polisi dijebloskan ke penjara karena korupsi dalam kasus Andrian Woworunto. Kemudian KPK juga memenjarakan Irawadi Yoenus, salah seorang komisioner Komisi Yudisial di tangkap di akhir tahun 2007 lalu karena melakukan korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial yang baru. Baru beberapa bulan lalu di bulan Januari 2008 ini, KPK menahan mantan Kapolri Rusdihardjo, karena diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dubes RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Juga bulan April 2008 lalu seorang anggota DPR telah membuat geram para aktivis lingkungan hidup. Al-Amin Nasution tertangkap menerima suap dari pejabat kabupaten Bintan di Jakarta. Al-Amin Nasution sudah lama dibidik KPK terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan.
Meski pun mereka yang disebut di atas hanya beberapa orang saja, namun mereka sudah mewakili hampir semua lembaga negara yang penting di negeri ini yang seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat dalam mengelola negeri morat-marit ini. Ada yang mewakili kepolisian, Mahkamah Agung, pemerintah, DPR dan terakhir kejagung. Mereka yang tertangkap itu, seperti yang disebut oleh Permadi SH adalah sedang bernasib sial. Masih banyak bajingan-bajingan lain yang belum tertangkap.
Di mana-mana di seluruh dunia ini, termasuk di lobang tikus sekali pun, berlaku aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, bahwa penegak hukum tidak boleh berkomunikasi atau bertemu muka dengan bajingan dan kaki-tangannya yang sedang ditanganinya di tempat atau waktu yang tidak seharusnya. Meski jaksa-jaksa itu telah melakukan kesalahan yang amat memalukan dan merendahkan dirinya dan lembaganya, namun demikian Jaksa Agung Hendarman Supandji nampaknya masih akan sangat terlambat untuk menggunakan nuraninya dalam memperbaiki lembaga yang dipimpinnya.
Bukan berapa Rupiah suap yang diterima para jaksa agung itu yang menjadi persoalan kita, tetapi betapa mudahnya kita menyerahkan kepentingan rakyat banyak pada orang-orang durjana yang tidak peduli dengan masa depan negeri ini. Hanya dengan beberapa milyar rupiah saja, kejagung sudah bisa dengan mudah dibuntungi, padahal kasus yang BLBI ditanganinya adalah puluhan trilyun rupiah. Kita tidak bisa membayangkan negeri macam apa Indonesia ini jika SP3 untuk Sjamsul dan Anthony ini menjadi patokan untuk memberikan SP3 juga bagi kasus-kasus BLBI lainnya yang ratusan trilyun rupiah.
Murah sekali harga jiwa para jaksa itu….
Jojo Rahardjo
Showing posts with label bbm. Show all posts
Showing posts with label bbm. Show all posts
Sunday, June 29, 2008
Tuesday, June 10, 2008
BBM dan Ideologi Kekerasan Di Negeri Morat-Marit
http://www.mediakonsumen.com/Artikel2470.html
Apa yang terjadi setelah BBM dinaikkan? Yang paling gampang terlihat, karena sering menjadi berita di berbagai media, adalah mengeluhnya pengemudi kendaraan umum dan penumpangnya. Salah satu keluhan para pengemudi angkutan umum itu adalah dilema dalam menaikkan tarifnya, karena kuatir penumpang berkurang. Jika tidak mereka naikkan, maka penghasilan mereka yang sebelum BBM dinaikkan sudah kurang dari layak akan semakin berkurang.
Misalnya di salah satu TV swasta, seorang pengemudi taxi mengungkapkan, sekarang ia hanya bisa pulang ke rumah dengan mengantongi uang maksimal RP20.000,- setiap harinya, padahal sebelumnya bisa mencapai RP50.000,-. Dengan uang RP50.000 sehari saja, saya sulit membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka bersama keluarganya untuk bisa hidup layak, sehat dan apalagi untuk membangun masadepan keluarga mereka yang kompetitif. Saya sulit membayangkan bagaimana membiayai anak-anak mereka supaya tetap sehat dan bagaimana membiayai pendidikan yang cukup supaya bisa bersaing di masa depan nanti.
Itu sebabnya para pengemudi ini memiliki alasan yang tidak terhindari untuk saling serobot, melanggar rambu lalu-lintas, tidak perlu santun, dan lain-lain perilaku buruk di jalan. Demo sudah mereka lakukan sejak hari pertama BBM dinaikkan. Beberapa demo mereka sangat emosional. Tetapi akhirnya mereka menyadari demo tidak bisa mereka teruskan karena mereka bukan pada posisi untuk dapat berdemo, karena ketika mereka berdemo, mereka tidak menghasilkan uang, padahal tabungan pun tidak punya juga. Betapa takdir hidup mereka di tangan pemerintah, bukan di tangan Tuhan….
Apa pun yang terjadi, tarif angkutan umum akhirnya dinaikkan secara resmi oleh pemerintah. Namun berapa pun kenaikan tarif angkutan umum itu, apakah kenaikannya bisa mengatasi kesulitan hidup para pengemudi itu? Tentu tidak, karena daya beli mereka sudah berkurang karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kesulitan hidup mereka tentu bertambah, sehingga yang paling gampang mereka lakukan adalah tetap menjadi setan jalanan, bahkan dengan tingkat yang lebih parah lagi agar uang yang mereka bawa pulang bertambah. Polisi pun tetap berada dalam situasi yang gamang, antara menertibkan dengan menegakkan hukum dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan sepihak. Situasi jalanan yang tanpa hukum ini, tentu juga berpengaruh pada pengemudi kendaraan pribadi yang akhirnya juga ikut-ikutan menjadi biadab. Maka, akhirnya jalan raya kota-kota besar di Indonesia akan terus menjadi potret morat-maritnya sebuah negeri. Siapa pun yang datang ke Indonesia akan langsung menyaksikan kebiadaban para pengemudi kendaraan, baik yang umum maupun pribadi. Sebuah situasi yang konyol dan memalukan.
Kritik saya di atas bukan tanpa tawaran solusi atau saran. Menurut saya, sudah saatnya pemerintah memberikan tunjangan kepada para pengemudi angkutan umum ini. Meski pun langkah ini sesaat dan menyerderhanakan persoalan, tetapi itu lebih baik dibanding tidak melakukan apa pun untuk mengurangi dampak kenaikan BBM pada sektor transportasi umum di perkotaan. Tunjangan itu terutama diberikan untuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Supaya kesempatan mereka untuk berubah nasib menjadi lebih besar. Jika orangtuanya hanya pengemudi angkutan umum, maka berilah kesempatan pada anak-anaknya untuk menjadi lebih baik dari itu, dengan memberikan mereka kesehatan yang baik dan pendidikan yang cukup. Selebihnya orang tua tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya.
Kemudian jika mau lebih jauh lagi menangani angkutan umum di kota-kota besar, tentu harus juga memikirkan konsep yang lebih terpadu. Misalnya di dalam konsep yang lebih terpadu itu diperhitungkan penggunaan BBM secara efisien. Misalnya, jenis kendaraan yang digunakan dalam transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan tipe kecil dengan kapasitas 10 atau 12 orang (seperti angkot atau mikrolet) tentu harus dipertimbangkan karena lebih boros BBM dibandingkan kendaraan dengan kapasitas lebih besar (seperti type Isuzu Elf). Dengan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar ini tentu juga bisa sekaligus mengurangi jumlah kendaraan umum yang berada di jalanan, sehingga jumlah kendaraan umum yang harus berlomba-lomba mendapatkan penumpang pun berkurang. Berkurangnya jumlah kendaraan umum ini bisa mengurangi kesemrawutan lalu-lintas dan tentu mengurangi penyebab gangguan jiwa atau gangguan prilaku bagi rakyat, bahkan mungkin juga bisa mendorong rakyat di lapis bawah untuk tidak mudah tertarik pada ideologi kekerasan.
Apa yang saya tulis di atas hanya contoh saja dari berbagai persoalan hidup di tingkat bawah yang tidak kunjung dicarikan jalan keluarnya sejak dulu hingga sekarang. Padahal persoalan hidup yang meracuni nurani ini bisa menjerumuskan orang untuk mengidap ideologi kekerasan.
Perasaan tidak diperlakukan dengan adil tidak hanya dirasakan oleh pengemudi angkutan umum, tetapi di berbagai sektor. Misalnya pekerja di sektor industri juga paling rentan terhadap ideologi kekerasan. Terutama karena pengusaha sekarang diberi “kehormatan” dan “kemuliaan” yang amat tinggi untuk memberangus masa depan para pekerja Indonesia agar tetap menjadi “kuli kontrak” sejak tahun pertama bekerja hingga tua-renta karena memikul hidup yang berat. Mereka adalah orang-orang yang kurang memiliki kesempatan untuk menambah skill kerjanya dan pendidikannya, namun sayang pemerintah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Mereka telah diberi “takdir” untuk selama-lamanya menjadi “budak” yang angka penghasilannya hanya ditentukan oleh pemerintah dan pengusaha melalui apa yang disebut “upah minimum” setiap beberapa tahun sekali saja.
Belum lagi persoalan-persoalan masyarakat miskin kota yang salah satu pembelanya adalah Wardah Hafidz. Persoalan mereka misalnya, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja atau berpenghasilan, mereka menciptakan usaha kaki-lima untuk memiliki penghasilan. Tapi sayang usaha kaki-lima ini begitu mudah dipandang oleh pemerintah sebagai musuh negara yang pantas diburu dan dimusnahkan dari pemandangan kota-kota besar. Mereka yang bukan karena pilihan bebasnya telah menjadi pengusaha kaki-lima itu tidak diberikan pilihan lain atau solusi jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki-lima. Barangkali pemerintah memang bermaksud untuk menjebak mereka untuk menjadi pencoleng atau penjahat. Atau menjerumuskan mereka ke dalam kelompok yang menyebarkan atau menanam ideologi kekerasan.
Jika persoalan-persoalan kelas bawah seperti itu bisa diminimalkan, tentu kita bisa lebih giat berdoa atau berharap, agar masyarakat bawah tidak mudah tertarik pada para penyebar ideologi kekerasan yang ditawarkan individu, kelompok, organisasi, atau aliran agama apa pun. Meniti kehidupan yang lebih baik atau membangun masa depan yang lebih baik tentu lebih menarik dibandingkan masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang di dalamnya diajarkan kebenaran mutlak hanya miliknya sendiri. Sayangnya kelompok seperti ini sering berlatarbelakang agama.
Kepercayaan kepada Tuhan atau agama sebelum datangnya para nabi yang “samawi” menurut ilmu psikologi dan sosiologi tumbuh karena ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kehidupan ini atau misteri munculnya kehidupan ini dan kemana kehidupan ini berakhir. Pemahaman tentang Tuhan dan agama kemudian terus berkembang lebih jauh menjadi jawaban bagi persoalan bertahan hidup hingga menjadi arah perkembangan peradaban manusia. Agama, bahkan menurut sains, amat dibutuhkan umat manusia. Betapa banyak sekali arah peradaban manusia terinspirasi dari agama. Begitu juga banyak aturan hidup sehari-hari atau aturan hidup bernegara yang berasal atau terinspirasi dari ajaran agama, termasuk larangan untuk melakukan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Bahkan secara individual, kepercayaan kepada Tuhan memberi kepuasan bathin tiada terkira bagi para pencari kebenaran tentang hidup.
Sayangnya sebagian dari kita telah menjadikan pemahaman terhadap agamanya atau keyakinannya sebagai kebenaran mutlak. Dunia ini dianggap hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Orang-orang yang tidak mengikuti mereka atau menghalangi akan dianggap kafir atau musuh yang pantas dilenyapkan. Persoalan berkeyakinan seperti ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak pertama kali manusia mulai mempercayai adanya pencipta, penguasa, dan pengatur kehidupan manusia atau alam semesta. Persoalan ini juga dialami oleh pengikut agama apa pun, di Eropa, Arab, Afrika, Asia atau di mana saja. Tanpa bermaksud menjadi pesimistis terhadap perkembangan peradaban manusia, sejarah umat manusia sebenarnya di berbagai tempat di permukaan Bumi penuh dengan pertumpahan darah beratasnama agama.
Ada pertanyaan besar yang sudah sejak lama ditanyakan banyak orang, yaitu (jika begitu) apakah agama mengajarkan kekerasan? Tentu saya tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena memancing diskusi panjang dan sekaligus memprovokasi adanya kekerasan terhadap diskusi itu. Tulisan ini hanya mencoba mengindentifikasi atau menggambarkan apa-apa yang di luar agama tetapi bisa memicu kekerasan di sekitar kita dengan beratasnama agama.
Namun tulisan ini, akhirnya terpaksa menyinggung sebuah persoalan yang sedang menjadi “hantu perpecahan” di Indonesia akhir-akhir ini dan persoalan ini muncul karena situasi morat-marit yang saya gambarkan di atas. Front Pembela Islam (FPI) disebut telah melakukan kekerasan sepanjang keberadaannya selama 10 tahun terakhir ini dan terutama kekerasan di Monas.
Apakah FPI harus dibubarkan? Begitulah wacana ini menjejali seluruh media akhir-akhir ini. Tentu pembubaran FPI tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya sebagaimana sudah saya gambarkan di atas. Akar persoalan tentu saja bukan Ahmadiyah, sebagaimana dijadikan pembenaran pada kekerasan yang dilakukan FPI di Monas. Ahmadiyah hanya menjadi picu bagi FPI yang terlanjur sering merasa pemerintah tidak mengakomodasikan aspirasi mereka tentang negeri yang saleh tanpa maksiat, tanpa kebobrokan moral, tanpa pertunjukan aurat atau pornography, atau tanpa penodaan agama.
Persoalan Ahmadiyah yang dianggap sesat, menyimpang dan menodai Islam sebaiknya diselesaikan dengan memberi cap bahwa Ahmadiyah sesat. menyimpang dan menodai. Pembubaran Ahmadiyah nampaknya bukan penyelesaian yang baik jika mengambil contoh sikap Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak pernah menggunakan kekerasan ketika menghadapi kelompok lain yang berbeda keyakinan. Saya tidak ingin lebih jauh berargumen mengenai apakah Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, karena itu bukan porsi saya. Tetapi saya yakin porsi saya adalah untuk mengatakan, bahwa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan apa pun termasuk untuk berkeyakinan adalah menyalahi aturan apa pun. Itu berlaku juga untuk orang-orang yang mendorong atau menginspirasikan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi pengikutnya untuk melakukan kekerasan.
Kesalahan pemerintah SBY yang utama adalah bukan karena tidak membubarkan Ahmadiyah, tetapi karena tidak mampu mengurus negeri morat-marit ini. Jadi mari bantu mereka yang menjadi korban kebijakan kenaikan tarif BBM. Mereka adalah misalnya para pengemudi angkutan umum, pekerja yang terus-menerus dikontrak, pengusaha kaki-lima yang diburu seperti musuh negara, atau masyarakat miskin di kota-kota besar yang hidupnya terombang-ambing para gubernur yang terus menerus ingin “membasmi” mereka. Jadi jangan membuang-buang waktu untuk bertengkar satu sama lain dengan menggunakan omong-kosong soal agama.
Jojo Rahardjo
Apa yang terjadi setelah BBM dinaikkan? Yang paling gampang terlihat, karena sering menjadi berita di berbagai media, adalah mengeluhnya pengemudi kendaraan umum dan penumpangnya. Salah satu keluhan para pengemudi angkutan umum itu adalah dilema dalam menaikkan tarifnya, karena kuatir penumpang berkurang. Jika tidak mereka naikkan, maka penghasilan mereka yang sebelum BBM dinaikkan sudah kurang dari layak akan semakin berkurang.
Misalnya di salah satu TV swasta, seorang pengemudi taxi mengungkapkan, sekarang ia hanya bisa pulang ke rumah dengan mengantongi uang maksimal RP20.000,- setiap harinya, padahal sebelumnya bisa mencapai RP50.000,-. Dengan uang RP50.000 sehari saja, saya sulit membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka bersama keluarganya untuk bisa hidup layak, sehat dan apalagi untuk membangun masadepan keluarga mereka yang kompetitif. Saya sulit membayangkan bagaimana membiayai anak-anak mereka supaya tetap sehat dan bagaimana membiayai pendidikan yang cukup supaya bisa bersaing di masa depan nanti.
Itu sebabnya para pengemudi ini memiliki alasan yang tidak terhindari untuk saling serobot, melanggar rambu lalu-lintas, tidak perlu santun, dan lain-lain perilaku buruk di jalan. Demo sudah mereka lakukan sejak hari pertama BBM dinaikkan. Beberapa demo mereka sangat emosional. Tetapi akhirnya mereka menyadari demo tidak bisa mereka teruskan karena mereka bukan pada posisi untuk dapat berdemo, karena ketika mereka berdemo, mereka tidak menghasilkan uang, padahal tabungan pun tidak punya juga. Betapa takdir hidup mereka di tangan pemerintah, bukan di tangan Tuhan….
Apa pun yang terjadi, tarif angkutan umum akhirnya dinaikkan secara resmi oleh pemerintah. Namun berapa pun kenaikan tarif angkutan umum itu, apakah kenaikannya bisa mengatasi kesulitan hidup para pengemudi itu? Tentu tidak, karena daya beli mereka sudah berkurang karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kesulitan hidup mereka tentu bertambah, sehingga yang paling gampang mereka lakukan adalah tetap menjadi setan jalanan, bahkan dengan tingkat yang lebih parah lagi agar uang yang mereka bawa pulang bertambah. Polisi pun tetap berada dalam situasi yang gamang, antara menertibkan dengan menegakkan hukum dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan sepihak. Situasi jalanan yang tanpa hukum ini, tentu juga berpengaruh pada pengemudi kendaraan pribadi yang akhirnya juga ikut-ikutan menjadi biadab. Maka, akhirnya jalan raya kota-kota besar di Indonesia akan terus menjadi potret morat-maritnya sebuah negeri. Siapa pun yang datang ke Indonesia akan langsung menyaksikan kebiadaban para pengemudi kendaraan, baik yang umum maupun pribadi. Sebuah situasi yang konyol dan memalukan.
Kritik saya di atas bukan tanpa tawaran solusi atau saran. Menurut saya, sudah saatnya pemerintah memberikan tunjangan kepada para pengemudi angkutan umum ini. Meski pun langkah ini sesaat dan menyerderhanakan persoalan, tetapi itu lebih baik dibanding tidak melakukan apa pun untuk mengurangi dampak kenaikan BBM pada sektor transportasi umum di perkotaan. Tunjangan itu terutama diberikan untuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Supaya kesempatan mereka untuk berubah nasib menjadi lebih besar. Jika orangtuanya hanya pengemudi angkutan umum, maka berilah kesempatan pada anak-anaknya untuk menjadi lebih baik dari itu, dengan memberikan mereka kesehatan yang baik dan pendidikan yang cukup. Selebihnya orang tua tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya.
Kemudian jika mau lebih jauh lagi menangani angkutan umum di kota-kota besar, tentu harus juga memikirkan konsep yang lebih terpadu. Misalnya di dalam konsep yang lebih terpadu itu diperhitungkan penggunaan BBM secara efisien. Misalnya, jenis kendaraan yang digunakan dalam transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan tipe kecil dengan kapasitas 10 atau 12 orang (seperti angkot atau mikrolet) tentu harus dipertimbangkan karena lebih boros BBM dibandingkan kendaraan dengan kapasitas lebih besar (seperti type Isuzu Elf). Dengan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar ini tentu juga bisa sekaligus mengurangi jumlah kendaraan umum yang berada di jalanan, sehingga jumlah kendaraan umum yang harus berlomba-lomba mendapatkan penumpang pun berkurang. Berkurangnya jumlah kendaraan umum ini bisa mengurangi kesemrawutan lalu-lintas dan tentu mengurangi penyebab gangguan jiwa atau gangguan prilaku bagi rakyat, bahkan mungkin juga bisa mendorong rakyat di lapis bawah untuk tidak mudah tertarik pada ideologi kekerasan.
Apa yang saya tulis di atas hanya contoh saja dari berbagai persoalan hidup di tingkat bawah yang tidak kunjung dicarikan jalan keluarnya sejak dulu hingga sekarang. Padahal persoalan hidup yang meracuni nurani ini bisa menjerumuskan orang untuk mengidap ideologi kekerasan.
Perasaan tidak diperlakukan dengan adil tidak hanya dirasakan oleh pengemudi angkutan umum, tetapi di berbagai sektor. Misalnya pekerja di sektor industri juga paling rentan terhadap ideologi kekerasan. Terutama karena pengusaha sekarang diberi “kehormatan” dan “kemuliaan” yang amat tinggi untuk memberangus masa depan para pekerja Indonesia agar tetap menjadi “kuli kontrak” sejak tahun pertama bekerja hingga tua-renta karena memikul hidup yang berat. Mereka adalah orang-orang yang kurang memiliki kesempatan untuk menambah skill kerjanya dan pendidikannya, namun sayang pemerintah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Mereka telah diberi “takdir” untuk selama-lamanya menjadi “budak” yang angka penghasilannya hanya ditentukan oleh pemerintah dan pengusaha melalui apa yang disebut “upah minimum” setiap beberapa tahun sekali saja.
Belum lagi persoalan-persoalan masyarakat miskin kota yang salah satu pembelanya adalah Wardah Hafidz. Persoalan mereka misalnya, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja atau berpenghasilan, mereka menciptakan usaha kaki-lima untuk memiliki penghasilan. Tapi sayang usaha kaki-lima ini begitu mudah dipandang oleh pemerintah sebagai musuh negara yang pantas diburu dan dimusnahkan dari pemandangan kota-kota besar. Mereka yang bukan karena pilihan bebasnya telah menjadi pengusaha kaki-lima itu tidak diberikan pilihan lain atau solusi jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki-lima. Barangkali pemerintah memang bermaksud untuk menjebak mereka untuk menjadi pencoleng atau penjahat. Atau menjerumuskan mereka ke dalam kelompok yang menyebarkan atau menanam ideologi kekerasan.
Jika persoalan-persoalan kelas bawah seperti itu bisa diminimalkan, tentu kita bisa lebih giat berdoa atau berharap, agar masyarakat bawah tidak mudah tertarik pada para penyebar ideologi kekerasan yang ditawarkan individu, kelompok, organisasi, atau aliran agama apa pun. Meniti kehidupan yang lebih baik atau membangun masa depan yang lebih baik tentu lebih menarik dibandingkan masuk ke dalam kumpulan orang-orang yang di dalamnya diajarkan kebenaran mutlak hanya miliknya sendiri. Sayangnya kelompok seperti ini sering berlatarbelakang agama.
Kepercayaan kepada Tuhan atau agama sebelum datangnya para nabi yang “samawi” menurut ilmu psikologi dan sosiologi tumbuh karena ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kehidupan ini atau misteri munculnya kehidupan ini dan kemana kehidupan ini berakhir. Pemahaman tentang Tuhan dan agama kemudian terus berkembang lebih jauh menjadi jawaban bagi persoalan bertahan hidup hingga menjadi arah perkembangan peradaban manusia. Agama, bahkan menurut sains, amat dibutuhkan umat manusia. Betapa banyak sekali arah peradaban manusia terinspirasi dari agama. Begitu juga banyak aturan hidup sehari-hari atau aturan hidup bernegara yang berasal atau terinspirasi dari ajaran agama, termasuk larangan untuk melakukan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Bahkan secara individual, kepercayaan kepada Tuhan memberi kepuasan bathin tiada terkira bagi para pencari kebenaran tentang hidup.
Sayangnya sebagian dari kita telah menjadikan pemahaman terhadap agamanya atau keyakinannya sebagai kebenaran mutlak. Dunia ini dianggap hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Orang-orang yang tidak mengikuti mereka atau menghalangi akan dianggap kafir atau musuh yang pantas dilenyapkan. Persoalan berkeyakinan seperti ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak pertama kali manusia mulai mempercayai adanya pencipta, penguasa, dan pengatur kehidupan manusia atau alam semesta. Persoalan ini juga dialami oleh pengikut agama apa pun, di Eropa, Arab, Afrika, Asia atau di mana saja. Tanpa bermaksud menjadi pesimistis terhadap perkembangan peradaban manusia, sejarah umat manusia sebenarnya di berbagai tempat di permukaan Bumi penuh dengan pertumpahan darah beratasnama agama.
Ada pertanyaan besar yang sudah sejak lama ditanyakan banyak orang, yaitu (jika begitu) apakah agama mengajarkan kekerasan? Tentu saya tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena memancing diskusi panjang dan sekaligus memprovokasi adanya kekerasan terhadap diskusi itu. Tulisan ini hanya mencoba mengindentifikasi atau menggambarkan apa-apa yang di luar agama tetapi bisa memicu kekerasan di sekitar kita dengan beratasnama agama.
Namun tulisan ini, akhirnya terpaksa menyinggung sebuah persoalan yang sedang menjadi “hantu perpecahan” di Indonesia akhir-akhir ini dan persoalan ini muncul karena situasi morat-marit yang saya gambarkan di atas. Front Pembela Islam (FPI) disebut telah melakukan kekerasan sepanjang keberadaannya selama 10 tahun terakhir ini dan terutama kekerasan di Monas.
Apakah FPI harus dibubarkan? Begitulah wacana ini menjejali seluruh media akhir-akhir ini. Tentu pembubaran FPI tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya sebagaimana sudah saya gambarkan di atas. Akar persoalan tentu saja bukan Ahmadiyah, sebagaimana dijadikan pembenaran pada kekerasan yang dilakukan FPI di Monas. Ahmadiyah hanya menjadi picu bagi FPI yang terlanjur sering merasa pemerintah tidak mengakomodasikan aspirasi mereka tentang negeri yang saleh tanpa maksiat, tanpa kebobrokan moral, tanpa pertunjukan aurat atau pornography, atau tanpa penodaan agama.
Persoalan Ahmadiyah yang dianggap sesat, menyimpang dan menodai Islam sebaiknya diselesaikan dengan memberi cap bahwa Ahmadiyah sesat. menyimpang dan menodai. Pembubaran Ahmadiyah nampaknya bukan penyelesaian yang baik jika mengambil contoh sikap Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak pernah menggunakan kekerasan ketika menghadapi kelompok lain yang berbeda keyakinan. Saya tidak ingin lebih jauh berargumen mengenai apakah Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, karena itu bukan porsi saya. Tetapi saya yakin porsi saya adalah untuk mengatakan, bahwa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan apa pun termasuk untuk berkeyakinan adalah menyalahi aturan apa pun. Itu berlaku juga untuk orang-orang yang mendorong atau menginspirasikan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi pengikutnya untuk melakukan kekerasan.
Kesalahan pemerintah SBY yang utama adalah bukan karena tidak membubarkan Ahmadiyah, tetapi karena tidak mampu mengurus negeri morat-marit ini. Jadi mari bantu mereka yang menjadi korban kebijakan kenaikan tarif BBM. Mereka adalah misalnya para pengemudi angkutan umum, pekerja yang terus-menerus dikontrak, pengusaha kaki-lima yang diburu seperti musuh negara, atau masyarakat miskin di kota-kota besar yang hidupnya terombang-ambing para gubernur yang terus menerus ingin “membasmi” mereka. Jadi jangan membuang-buang waktu untuk bertengkar satu sama lain dengan menggunakan omong-kosong soal agama.
Jojo Rahardjo
Tuesday, May 20, 2008
BBM NAIK, LALU APA?
Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2328.html
Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun katanya negeri ini sudah direformasi.
gerombolan ini lewat... dan bikin macet rakyat.... Ingat BBM mahal, nyong.... (photo: Jojo R.)
Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada negeri ini sekarang dan di masa depan.
Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan bermuara pada kekacauan lagi.
Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu “maju kena, mundur kena” juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari gonjang-ganjing.
Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM ini diambil?
Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan pro rakyat
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk tidak akan menaikkan BBM.
Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang percuma setiap harinya di seantero jabodetabek.
Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama ini simpang siur alias misterius.
Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban terbesar APBN.
Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah.
Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut John S. Karamoy, Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas Association dan president director PT. Medco Energy International
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung kecil yang biasa digunakan di rumah tangga.
Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat masyarakat menjadi jelas.
Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat saja pada 14 Mei lalu
( http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif semacam ini: “kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk menyelamatkan APBN dan negeri ini”. Padahal tentu rakyat tidak mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini hampir separuh dari APBN.
Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?
Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon dalam pemilu 2004 lalu.
Jojo Rahardjo
Wacana seru kenaikan harga BBM sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak menjelang kejatuhan Suharto di tahun 1998 lalu. Kini pemerintah SBY-JK mengumumkan akan menaikkan harga BBM pada bulan Juni 2008. Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM atau dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah barangkali menggambarkan carut-marutnya pengelolaan negeri ini, meskipun katanya negeri ini sudah direformasi.
gerombolan ini lewat... dan bikin macet rakyat.... Ingat BBM mahal, nyong.... (photo: Jojo R.)
Contoh pahit akibat dari kenaikan BBM sudah kita alami pada akhir jaman Suharto dulu. Kenaikan BBM menjadi salah satu faktor yang menentukan dan mempengaruhi faktor lainnya dalam kekacauan yang mengiringi jatuhnya Suharto. Begitu juga ketika pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM pada tahun 2001. Kenaikan BBM sering disederhanakan menjadi soal populer atau tidak populer sebuah pemerintahan sehingga sering digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan sebagai justifikasi. Padahal kenaikan BBM seharusnya bisa dilihat penguasa sebagai kesempatan untuk menunjukkan tanggungjawab mereka pada negeri ini sekarang dan di masa depan.
Meski sudah lebih dari 10 tahun wacana seru kenaikan BBM berlangsung, tetapi rencana menaikkan BBM saat ini masih tetap menimbulkan gonjang-ganjing, kebingungan, kepanikan, keputusasaan, kemarahan, di semua lapisan masyarakat dan yang mungkin akan bermuara pada kekacauan lagi.
Di berbagai media, sudah banyak macam-macam ahli atau ekonom yang menyatakan pendapatnya mengenai kenaikan BBM. Nampaknya lebih banyak ekonom yang menyatakan BBM harus naik. Sekedar mengambil contoh, Faisal Basri adalah seorang yang setuju BBM harus naik. Sementara itu Rizal Ramli malah tidak setuju, meski di tahun 2001 lalu ketika ia menjadi menko perekonomian di pemerintahan Gus Dur, ia menaikkan BBM. Pendapat manakah yang benar? Bagaimanakan mengukur mana yang lebih sahih, sehingga layak dijadikan patokan? Saya tidak tahu, begitu juga masyarakat, karena bukan ahli atau ekonom. Apalagi sering juga wacana-wacana seperti itu ditunggangi kepentingan politik. Saya hanya tukang potret situasi saja. Tetapi saya mengira, dua-duanya memang benar, sehingga istilah yang dulu populer dikenakan pada Suharto ketika menaikkan BBM, yaitu “maju kena, mundur kena” juga cocok dikenakan pada SBY-JK yang meski di tahun 2005 lalu juga sudah menaikkan BBM, tetapi dapat selamat dari gonjang-ganjing.
Rakyat kurang mampu untuk mengukur kebijakan mana yang mana yang lebih sahih untuk diambil. Namun rakyat bisa merasakan di tiap keputusan yang diambil, apakah pemerintah peduli pada rakyat. Adakah strategi pro rakyat yang mengiringi ketika kebijakan menaikkan BBM ini diambil?
Beberapa argumen dari Rizal Ramli yang menolak kenaikan BBM sesungguhnya bisa digunakan SBY-JK untuk menjadi sebuah strategi yang mengiringi kebijakan kenaikan BBM supaya bisa menjadi kebijakan pro rakyat
(http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=876 ). Tanpa strategi ini, pemerintah SBY-JK akan terkesan tidak mau bekerja keras dan tentu saja tidak pro rakyat sebagaimana sudah dituduhkan sejak ingkar janji kampanye pemilu pada tahun 2005 untuk tidak akan menaikkan BBM.
Pemerintah harus serius menunjukkan pada rakyat langkah-langkah yang pro rakyat, seperti memberantas korupsi. Jangan lagi mengeluarkan pernyataan kontra-produktif seperti yang baru-baru ini SBY lontarkan terhadap cara kerja KPK yang baru saja menangkap basah seorang tersangka yang anggota DPR, Al-Amin Nasution dengan uang suap di tangannya. SBY mengkritik cara yang dilakukan KPK agar jangan menjebak katanya. Kritik ini sungguh kontra-produktif dengan gerakan pemberantasan korupsi yang cukup gencar dilakukan. Kritik ini membingungkan semua orang, mengapa menjebak seorang koruptor dinilai salah oleh SBY. Seorang yang bersih, tentu tidak dapat dijebak. Hanya koruptor yang bisa dijebak. Lagipula apakah Al-Amin dijebak? Tentu bukan, karena Al-Amin dikuntit berbulan-bulan lamanya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah SBY tidak serius memberantas korupsi? Padahal pemberantasan korupsi hampir mencapai sarang koruptor di masa ini, yaitu gedung DPR. Barangkali dengan diobrak-abriknya sarang koruptor di Senayan ini upaya pengembalian dana BLBI yang Ratusan Trilyun Rupiah bisa lebih lancar. Bahkan definisi korupsi mungkin perlu diperluas menjadi termasuk tidak kompeten dalam bekerja, sehingga pengelola kota-kota besar seperti gubernur Jakarta perlu dijerat hukuman ketika tidak becus mengelola infrastruktur jalan yang selalu rusak atau tidak becus menyediakan transportasi umum di ibukota negara. Harusnya mereka tahu, kondisi jalan yang hancur dan tidak tersedianya transportasi umum yang layak di kota-kota besar bisa mengakibatkan kemacetan lalu-lintas yang memboroskan BBM yang amat besar sehingga milyaran rupiah terbuang percuma setiap harinya di seantero jabodetabek.
Langkah-langkah pro rakyat lainnya adalah mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas. Juga mengumumkan kepada rakyat secara terbuka tentang data produksi Pertamina yang selama ini simpang siur alias misterius.
Jika subsidi BBM dikurangi, maka seharusnya pemerintah juga mengurangi subsidi untuk bank rekapitalisasi sebesar Rp.30 Trilyun, bagaimana pun caranya. Karena rekapitalisasi hanya dinikmati oleh orang-orang yang super kaya. Pemerintah juga harus berusaha untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri agar tidak menjadi beban terbesar APBN.
Juga harus melakukan efisiensi di semua sektor kegiatan, bahkan membuat protokol hemat energi. Lakukan efisiensi anggaran kementerian atau lembaga negara, serta BUMN seperti PLN hingga sekian puluh persen. Jangan lagi ada cara berpakaian para pejabat penyelenggara negara yang ditempeli benda-benda amat tidak penting seperti lencana mengkilat keemasan atau atribut-atribut mirip kepangkatan seperti di militer. Entah siapa yang memiliki ide konyol tolol seperti itu untuk mendandani para pejabat penyelenggara negara hingga seperti badut itu. Penghematan ini mungkin bisa menutup defisit APBN hingga puluhan Trilyun Rupiah.
Pemerintah juga harus aktif mengupayakan sumber-sumber energi alternatif. Bukan hanya NATO, no action talk only. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) harus menjadi program utama bukan iseng-iseng. Jangan cuma menghambur-hamburkan uang untuk sebuah konferensi perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 lalu. Seharusnya konferensi itu bisa menginspirasikan kita untuk membuat protokol sendiri untuk bangsa ini dalam melakukan penghematan energi dan dan mencegah global warming. Sayangnya setelah konferensi itu pemerintah hanya tidur. Tidak ada program yang nyata untuk konversi BBM ke BBG, padahal BBG kita melimpah dibanding BBM. Ada tersedia BBG untuk 40 tahun dibanding BBM yang cuma 10 tahun menurut John S. Karamoy, Direktur Indonesian Petroleum Association, Indonesian Gas Association dan president director PT. Medco Energy International
( http://www.indomedia.com/bpost/092000/24/serba/serba.htm ) Bahkan hingga menjelang subsidi BBM akan dicabut pun penggunaan BBG untuk kendaraan tetap tidak digalakkan. Konferensi itu nyaris tidak berbeda dengan kumpul-kumpul selebritis supaya mendapat coverage dari media cetak dan elektronik. Tidak lebih. Padahal seorang teknisi mesin industri di kota Bekasi baru-baru ini telah berhasil merubah mesin sepeda motornya yang semula mengkonsumsi bahar bakan bensin menjadi mengkonsumsi gas elpiji dengan menggunakan tabung kecil yang biasa digunakan di rumah tangga.
Pemerintah juga harus menjelaskan rencananya tentang dana subsidi BBM yang dicabut itu akan dialokasikan kemana. Apakah dana subsidi BBM yang menjadi sebesar 200 Trilyun Rupiah itu (karena kenaikkan harga minyak dunia) akan digunakan untuk membangun lapangan kerja? Untuk pendidikan? Untuk kesehatan? Untuk infrastruktur yang selalu hancur? Atau sebagian akan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya amburadul di tahun-tahun yang lalu? Memangnya berapa juta masyarakat miskin di Indonesia? Tidak jelas! Karena datanya belum lagi diperbaharui. Soal-soal seperti ini tidak akan jelas atau kabur dan membingungkan di masyarakat, kecuali pemerintah memang sungguh-sungguh mau membuat masyarakat menjadi jelas.
Sayangnya, meski tinggal hitungan minggu atau hari lagi menuju kenaikan BBM, pemerintah hingga saat ini belum mengumumkan kepada rakyat mengenai strategi mereka yang jelas dan gamblang atau meyakinkan dalam mengurangi atau bahkan mengatasi dampak dari kenaikan BBM ini. Memang pemerintah sudah mengumumkan secara singkat saja pada 14 Mei lalu
( http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/05/14/3062.html ), tentang upaya pemerintah sejauh ini untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Banyak yang bisa diperdebatkan dari argumen-argumen yang digunakan pemerintah dalam pengumuman itu. Bahkan Sejauh ini pemerintah hanya mengatakan bahwa hal-hal normatif semacam ini: “kenaikan BBM tidak terhindarkan lagi untuk menyelamatkan APBN dan negeri ini”. Padahal tentu rakyat tidak mengerti tentang berapa dan bagaimana hitungan APBN, apalagi mengapa APBN harus diselamatkan. Rakyat tentu tidak mengerti, bahwa sebenarnya ada pengeluaran negara yang lebih besar dan lebih mencekik rakyat di negeri ini selain untuk pengeluraran untuk subsidi BBM yaitu utang luar negeri yang disebabkan oleh dirampoknya dana BLBI oleh konglomerat hitam. Pembayaran hutang negara ini hampir separuh dari APBN.
Rakyat hanya bisa mengerti hal-hal sederhana yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya bagaimana mereka membeli sembako setelah kenaikan BBM? Bagaimana membayar listrik? Bagaimana membayar biaya transportasi? Apakah perusahaan tempat mereka bekerja sekarang akan dapat bertahan dan menaikkan gaji mereka? Atau apakah usaha jasa atau dagang yang sedang mereka jalan bisa terus hidup? Bagaimana membiayai kesehatan? Juga bagaimana membiayai pendidikan bagi anak-anak. Bukankah biaya sekolah bukan hanya yang dibayar setiap bulan tetapi juga termasuk buku, alat tulis, biaya dan alat-alat praktek, biaya wisata belajar, hingga ongkos transportasi ke sekolah dan pulang, atau makan dan minum yang menyehatkan, bahkan juga biaya bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Biaya-biaya ini diperlukan seorang siswa sekolah dari SD hingga SMA sekedar agar berjalan normal ketika BBM dinaikkan. Apakah itu masih akan berjalan seperti biasa? Atau akan mencekik mereka?
Mari kita lihat dalam hitungan hari-hari mendatang, apakah kita telah memilih manusia yang berakal budi atau hanya memilih baboon dalam pemilu 2004 lalu.
Jojo Rahardjo
Subscribe to:
Posts (Atom)