Siang ini, 9 November 2009, saya memaksakan diri untuk menulis Note untuk FB di bawah ini. Sesuatu yang seharusnya selalu saya lakukan ketika keinginan untuk menulis muncul, karena jika tidak, saya akan kehilangan momentum sebagaimana biasanya. Meski demikian, tulisan ini cuma renungan mengenai soal yang dalam beberapa minggu terakhir ini memenuhi benak semua orang di negeri ini.
Pagi tadi, saya baru saja mendengarkan Anies Baswedan (salah satu anggota Tim 8 yang ditugaskan untuk memberi rekomendasi pada soal Bibit & Chandra atau Cicak & Buaya) di dalam sebuah acara talkshow di sebuah TV swasta. Tidak seperti kebanyakan orang-orang lain, Anies di dalam acara talkshow itu memperlihatkan adanya optimisme tentang akhir (saya tidak menyebut penyelesaian) dari soal Cicak & Buaya.
Menurut Anies (tidak persis seperti berikut ini), sebagaimana demokratisasi yang tidak mungkin terjadi pada masa Suharto ternyata akhirnya datang juga sebuah momentum untuk melakukan demokratisasi, begitu juga pada soal penegakan hukum di Indonesia. Ya! gonjang-ganjing yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya soal kinerja penegakan hukum oleh institusi-institusi hukum di Indonesia bukan soal lain sebagaimana disebutkan oleh berbagai orang secara simpang-siur dan hiruk-pikuk. Kebetulan apa yang dilakukan oleh Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, terhadap Bibit & Chandra adalah sebuah momentum yang dimaksud Anies untuk memperbaiki institusi-institusi penegakan hukum di Indonesia (kepolisian dan kejaksaan). Nampaknya bagi Anies, soal Cicak & Buaya, meski dampaknya besar dan konyol, tetapi bukan soal besar dan rumit, karena akhir dari gonjang-ganjing penegakan hukum ini bisa menjadi mudah. Sayang, Anies masih belum memberikan bocoran mengenai rekomendasi yang nanti akan segera diberikan Tim 8 kepada pucuk pimpinan (setidaknya dianggap pimpinan) negeri ini.
Jika anda melihat status-status saya dalam beberapa minggu terakhir ini, isinya adalah sumpah-serapah saya yang berkaitan dengan soal di atas. Kemarahan itu muncul karena dipicu rasa frustasi saya melihat bagaimana hukum diterapkan pada Bibit & Chandra. Jika Bibit & Chandra yang diangkat sebagai pimpinan KPK berdasarkan undang-undang untuk memberantas korupsi, namun oleh Kapolri Bambang Hendarso Danuri mereka bisa dituduh (tanpa bukti yang cukup) telah menerima suap dan melakukan pemerasan, lalu bagaimana dengan saya dan berjuta-juta orang lain di negeri ini yang cuma orang biasa?
Selain kekuatiran pada soal kinerja Kapolri dan Jagung, saya pun kuatir dengan ke arah mana negeri ini terus bergerak. Yang mengerikan adalah, bahwa Kapolri dan Jagung tentu memiliki peranan dalam menentukan arah gerak negeri ini. Misalnya, jika Kapolri dan Jagung justru nampak menghambat pengungkapan adanya aliran dana illegal dari Bank Century untuk calon presiden SBY di saat pemilu yang baru lalu, maka bagaimana mungkin negeri ini bisa mendapatkan pemimpin-pemimpin yang baik? Bagaimana mungkin negeri ini bisa mendapatkan pemimpin yang baik jika modal untuk berkampanye didapat dari mencuri? Tanpa perintah sekali pun dan dari mana pun, Kapolri dan Jagung yang diangkat oleh presiden ini tentu akan merapatkan barisan untuk berkonspirasi membela kekonyolan. Tentu negeri ini akan semakin tersesat dari arah kemajuannya seperti yang diidam-idamkan oleh semua orang sejak ratusan tahun lalu.
Kasus Bibit & Chandra bagaimana pun justru memperjelas tentang mengapa KPK dibentuk di negeri ini, yaitu karena ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Tentu saja KPK bukan malaikat yang bersih dari dosa-dosa, namun Kapolri bukannya mendukung keputusan nasional dalam pembentukan KPK, Kapolri justru terobsesi (obsessed, a compulsive, often unreasonable idea or emotion) untuk menunjukkan bahwa KPK juga tidak mampu, tidak bersih, bahkan korup seperti kepolisian, meski dengan cara-cara yang tidak cerdas dan konyol juga celaka!.
Bagaimanapun dalam situasi yang aneh dan memilukan seperti sekarang ini dan dalam kerangka pemberantasan korupsi kita harus memilih atau berpihak, yaitu memilih atau berpihak pada KPK atau Kepolisian. Tentu negeri ini sebaiknya memilih, berpihak dan mendukung KPK, bukan kepolisian karena 2 alasan, yaitu: 1. Kepolisian dulu tidak mampu. 2. Sekarang kepolisian telah bekerja secara aneh dan konyol karena tidak punya cukup bukti untuk menuduh Bibit & Chandra menerima suap dan melakukan pemerasan.
Jojo Rahardjo
Showing posts with label kpk. Show all posts
Showing posts with label kpk. Show all posts
Monday, November 09, 2009
Thursday, June 25, 2009
PEMERINTAHAN DAN PILPRES
fdakfjadf asjdflkajf kajsdflkajf kasjflkajf askfjlaf
Labels:
banjir,
dki,
fauzi bowo,
gubernur,
infrastruktur,
jalan raya,
korupsi,
kpk,
megapolitan,
pemerintah,
sby
Wednesday, June 10, 2009
ANTASARI, POLITIK DAN POLISI
MediaKonsumen, Jumat, 29 Mei 2009
Antasari tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen?
Nampaknya banyak media lebih suka mengumbar motif pembunuhan ini adalah soal berebut perempuan dibanding motive yang lain. Mungkin karena tuntutan pasar. Meskipun Antasari sudah ditangkap, kepolisian tentu saja masih belum yakin dengan motive pembunuhan ini. Juga tentu saja bukti-bukti belum tersedia.
Lebih seru lagi kalau ternyata Antasari dijebak (atau lebih tepat dijerumuskan) ke dalam peristiwa pembunuhan ini karena urusan pemberantasan korupsi. Bisa jadi, Antasari dijerumuskan karena ada yang sakit hati karena telah menjadi korban Antasari atau karena sedang terancam oleh Antasari.
Antasari, bagaimanapun adalah seorang yang kontroversial. Antasari sebelum jadi ketua KPK pernah di Kejagung dan pernah bikin beberapa kegemparan yang bisa disebut juga sebagai tidak bersih.
Di tengah kontroversi itu, Antasari di KPK memberantas beberapa kasus korupsi (sebagian kecil saja) di Indonesia. Yang menarik, dulu, SBY entah kenapa pernah berkomentar aneh waktu KPK menangkap Amin Nasution. Komentarnya kira-kira begini: "memberantas korupsi jangan dengan cara menjebak". Komentar SBY ini terkesan asal bunyi dan terkesan nggak mendukung pemberantasan korupsi. Padahal ternyata kemudian terungkap Amin memang telah diburu dan dikuntit berbulan-bulan lamanya hingga tertangkap basah lagi jadi maling.
Antasari juga tidak diragukan lagi pernah berseteru hebat dengan baboon-baboon yang ada di gedung bundar saat kasus Artalita Suryani dan sejumlah jaksa agung muda “tertangkap” melakukan hubungan "terlalu intim". Artalita ini adalah kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI dan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan sedang makan suap waktu itu adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim (lihat tulisan saya sebelumnya di: http://jojor.blogspot.com/2008/06/kenaikan-bbm-dan-kejaksaan-agung.html ).
Saya jadi ingat seorang kriminolog Indonesia beberapa waktu yang lalu yang memberikan analisa tentang pembunuhan Nasrudin ini. Sayangnya saya lupa di mana saya baca itu. Dia bilang, di setiap negeri yang sedang menjelang peristiwa nasional seperti pemilu, sering terjadi kasus-kasus yang mengerikan seperti pembunuhan berlatar belakang politik. Nampaknya ada orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan yang dalam keadaan panik mudah sekali mengeluarkan watak psikopat-nya. Sigid Haryo (jika terbukti sebagai salah satu otak) adalah salah satu psikopat itu.
Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tecermin dari intensitasnya bermain golf dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. "Jadi, Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi," ujar Adrianus, Rabu (6/5), kepada Kompas.com ( http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/06/10012234/antasari.diduga.habisi.nasrudin.karena.terancam ).
Antasari pun mengendus hal ini dan merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang caddy muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, komisi antikorupsi yang dipimpinnya pun akan tercoreng.
Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. "AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main," ujarnya.
Tapi ingat! Ada hal yang lebih amat mengerikan dari peristiwa pembunuhan ini, yaitu terlibatnya seorang Kombes Polisi, mantan Kapolres Jakarta Selatan, WW. Jika perwira polisi ini memang betul menjadi kordinator lapangan dalam pembunuhan ini, maka di mana lagi rasa aman bisa diperoleh oleh orang biasa seperti saya? Mengapa seorang perwira polisi, mudah sekali untuk dijerumuskan atau dimanipulasi untuk melakukan sebuah perbuatan yang bisa menjadi bencana nasional yaitu hilangnya rasa aman dan kepastian hukum ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04195686/Kombes.Wiliardi.Merasa.Dijebak ).
Mari kita lihat kelanjutannya di media! Tapi saya ingatkan jangan berharap anda akan mendapatkan kebenarannya dalam waktu dekat ini atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Ini politik, bung!
Jojo Rahardjo
Antasari tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen?
Nampaknya banyak media lebih suka mengumbar motif pembunuhan ini adalah soal berebut perempuan dibanding motive yang lain. Mungkin karena tuntutan pasar. Meskipun Antasari sudah ditangkap, kepolisian tentu saja masih belum yakin dengan motive pembunuhan ini. Juga tentu saja bukti-bukti belum tersedia.
Lebih seru lagi kalau ternyata Antasari dijebak (atau lebih tepat dijerumuskan) ke dalam peristiwa pembunuhan ini karena urusan pemberantasan korupsi. Bisa jadi, Antasari dijerumuskan karena ada yang sakit hati karena telah menjadi korban Antasari atau karena sedang terancam oleh Antasari.
Di tengah kontroversi itu, Antasari di KPK memberantas beberapa kasus korupsi (sebagian kecil saja) di Indonesia. Yang menarik, dulu, SBY entah kenapa pernah berkomentar aneh waktu KPK menangkap Amin Nasution. Komentarnya kira-kira begini: "memberantas korupsi jangan dengan cara menjebak". Komentar SBY ini terkesan asal bunyi dan terkesan nggak mendukung pemberantasan korupsi. Padahal ternyata kemudian terungkap Amin memang telah diburu dan dikuntit berbulan-bulan lamanya hingga tertangkap basah lagi jadi maling.
Antasari juga tidak diragukan lagi pernah berseteru hebat dengan baboon-baboon yang ada di gedung bundar saat kasus Artalita Suryani dan sejumlah jaksa agung muda “tertangkap” melakukan hubungan "terlalu intim". Artalita ini adalah kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI dan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan sedang makan suap waktu itu adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim (lihat tulisan saya sebelumnya di: http://jojor.blogspot.com/2008/06/kenaikan-bbm-dan-kejaksaan-agung.html ).
Saya jadi ingat seorang kriminolog Indonesia beberapa waktu yang lalu yang memberikan analisa tentang pembunuhan Nasrudin ini. Sayangnya saya lupa di mana saya baca itu. Dia bilang, di setiap negeri yang sedang menjelang peristiwa nasional seperti pemilu, sering terjadi kasus-kasus yang mengerikan seperti pembunuhan berlatar belakang politik. Nampaknya ada orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan yang dalam keadaan panik mudah sekali mengeluarkan watak psikopat-nya. Sigid Haryo (jika terbukti sebagai salah satu otak) adalah salah satu psikopat itu.
Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tecermin dari intensitasnya bermain golf dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. "Jadi, Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi," ujar Adrianus, Rabu (6/5), kepada Kompas.com ( http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/06/10012234/antasari.diduga.habisi.nasrudin.karena.terancam ).
Antasari pun mengendus hal ini dan merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang caddy muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, komisi antikorupsi yang dipimpinnya pun akan tercoreng.
Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. "AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main," ujarnya.
Tapi ingat! Ada hal yang lebih amat mengerikan dari peristiwa pembunuhan ini, yaitu terlibatnya seorang Kombes Polisi, mantan Kapolres Jakarta Selatan, WW. Jika perwira polisi ini memang betul menjadi kordinator lapangan dalam pembunuhan ini, maka di mana lagi rasa aman bisa diperoleh oleh orang biasa seperti saya? Mengapa seorang perwira polisi, mudah sekali untuk dijerumuskan atau dimanipulasi untuk melakukan sebuah perbuatan yang bisa menjadi bencana nasional yaitu hilangnya rasa aman dan kepastian hukum ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04195686/Kombes.Wiliardi.Merasa.Dijebak ).
Mari kita lihat kelanjutannya di media! Tapi saya ingatkan jangan berharap anda akan mendapatkan kebenarannya dalam waktu dekat ini atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Ini politik, bung!
Jojo Rahardjo
Labels:
antasari,
blbi,
jaksa,
konsultan politik,
korupsi,
kpk,
nasrudin,
pembunuhan,
sby
Subscribe to:
Posts (Atom)