http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.03.00493523&channel=2&mn=158&idx=158
Kamis, 3 April 2008 00:49 WIB
Oleh Meuthia Ganie-Rochman
Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.
Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?
Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.
Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.
Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan sebelum permasalahannya diakui.
Inefisien
Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya, inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?
Apakah negara gagal? Apakah ”negara” itu: apakah pemerintah saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan peradilan. Apakah makna ”gagal”: bukankah tidak terjadi kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi pengunjung?
Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk. Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.
Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau menjatuhkan.
Keriuhan arena publik
Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian? Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD. Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.
Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua, dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan merusak moralitas ekonomi bangsa.
Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat hubungan baru (eksklusivisme), profesionalisme yang tidak berkembang, dan sebagainya.
Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur. Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).
Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.
Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas Indonesia
Thursday, April 17, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)