Friday, November 26, 2010
HARI GURU DAN KELAS KHUSUS
Entah sudah berapa tahun ini terjadi, namun saya baru menyadarinya 3 tahun lalu.
Tiga tahun lalu, Putri (sebut saja begitu), anak seorang teman saya yg baru saja lulus SMP, memasuki sebuah SMA swasta di Jakarta yang dikelola oleh sebuah yayasan dari satu angkatan di TNI. Melalui sebuah test yang diadakan sekolah itu, Putri ternyata tergolong anak cerdas dan dinilai mampu mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dan lebih sulit, sehingga ia ditawarkan untuk masuk ke kelas khusus di sekolah itu. Di kelas khusus itu, Putri dan teman-temannya akan memperoleh guru khusus, pelajaran khusus, cara belajar yang khusus, bahkan juga alat bantu khusus. Tidak itu saja, tetapi ia pun ditawarkan untuk mendapat potongan biaya sekolah hingga separuhnya. Tentu saja itu berita gembira bagi Putri dan keluarganya. Setelah hampir 3 tahun berlalu, ternyata test yang dilakukan sekolah itu cukup akurat, Putri berhasil terus berada di kelas khusus itu hingga di kelas 3.
Baguskah itu? Tentu bagi Putri dan teman-temannya yang di kelas khusus, privilege ini bukan masalah, bahkan bisa menjadi kebanggaan. Namun bagi teman-teman lain yang tidak di kelas khusus di sekolah itu, perbedaan perlakuan itu di sekolah yang sama tentu menjadi soal yang serius yang tidak mereka sadari. Sekolah dan orang tua seharusnya menjadi berkewajiban secara khusus berupaya untuk terus menerus memberikan kesadaran pada siswa yang berada di kelas biasa itu, bahwa masa depan mereka tidak ditentukan oleh kelas biasa atau kelas khusus. Itu penting untuk diingatkan, agar mereka tidak mengalami syndrome rendah diri karena berada di kelas biasa.
Nilai bagus di sekolah memang bukan ukuran untuk menilai orang apalagi di masa depannya. Sebagai contoh, saya lulus SMA di era tahun 80-an dan beberapa tahun terakhir ini bertemu lagi dengan beberapa teman-teman lama dari masa SMA. Ternyata mereka yang dulu tergolong memiliki nilai-nilai bagus (saya tidak menyebut pintar) di sekolah, sekarang hanya sedikit sekali yang “berhasil” dalam hidupnya. Justru teman-teman yang memiliki nilai biasa, malah bisa “berhasil” sekarang. Tentu ini bukan sebuah kesimpulan tentang hubungan antara nilai di sekolah dengan tingkat berhasilan hidup di masa depan. Namun daripada membebani anak atau siswa dengan target nilai di sekolah yang tinggi, lebih baik membekali mereka dengan apa yang bakal mereka hadapi di masa depan, karena menghadapi masadepan ternyata tidak diajarkan di sekolah dulu hingga sekarang.
Kemudian, pertengahan tahun ini saya terkejut mendengar seorang teman lain bercerita, bahwa ia baru saja mendaftarkan anaknya di sebuah SMP Negeri di Jakarta, namun ia harus merogoh dalam-dalam kantongnya karena ia harus membayar ke sekolah itu hampir 5 juta Rupiah. Padahal seharusnya bersekolah di sekolah negeri seharusnya gratis. Ternyata setelah ia bercerita lebih jauh lagi, anaknya telah melalui sebuat test yang diadakan sekolah itu (padahal sebuah sekolah negeri dilarang melakukan test masuk) dan hasil test itu menggolongkan anaknya sebagai “anak pintar”, sehingga perlu masuk ke kelas khusus sebagaimana Putri 3 tahun lalu. Namun bedanya, di sekolah ini ada tambahan biaya sekolah, karena Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan biaya bagi setiap anak, kecuali jika Sekolah mengadakan kegiatan atau program lain. Sehingga menurut sekolah ini, tentu diperlukan biaya tambahan untuk bisa menyelenggarakan kelas khusus yang katanya akan ada guru khusus, pelajaran khusus, metoda belajar khusus, bahkan hingga alat bantu khusus dan lain-lain yang khusus. Sayang sekolah itu nampaknya hanya sekedar mencari jalan untuk mengeruk uang dari siswa, karena nampaknya perlu sebuah audit keuangan terhadap program kelas khusus itu yang setelah hampir 6 bulan ini tidak menunjukkan hasil belajar yang menonjol. Contohnya pengajaran bahasa Inggris yang guru dan alat bantunya yang ternyata tidak khusus dan bahkan tidak menghasilkan prestasi yang menonjol.
Modus kelas khusus ini ternyata sudah marak di mana-mana, setidaknya di Jakarta saja. Padahal, selain modus ini adalah sebuah cara licin untuk mengeruk uang siswa, modus ini juga menghasilkan dampak yang tentu buruk bagi siswa lain di kelas biasa. Sayang pemerintah belum peduli dengan soal ini dan kebanyakan orang tua tidak cukup pintar untuk menghindari jebakan kelas khusus ini. Padahal juga, pemerintah sebenarnya tidak menghargai proses pendidikan di sekolah. Itu terlihat dari kebijakan Ujian Nasional, yang hanya menghargai 3 mata pelajaran saja. Mata pelajaran lain tidak berharga, apalagi proses belajarnya atau interaksi siswa dengan guru atau dengan siswa lainnya.
Mestinya orang tua belajar dari Seto Muljadi pakar mengenai anak yang tidak menyekolahkan anak-anaknya, tetapi memberikan program home schooling. Sayang Seto Muljadi tidak mau berperang dengan mitos yang sudah berurat-berakar di mana-mana, yaitu lembaga sekolah itu penting.
Selamat berhari guru! Semoga Indonesia tidak terus dipimpin oleh para sontoloyo baik yang di Istana maupun yang di Senayan atau di mana saja!
Jojo Rahardjo
Labels:
hari guru,
home schooling,
kelas khusus,
pendidikan,
seto muljadi,
sma,
smp,
test masuk,
ujian nasional
Subscribe to:
Posts (Atom)