Friday, December 08, 2006
ANCAMAN BANJIR; BELAJAR LAH HINGGA KE NEGERI SETAN BESAR
Bangsa Amerika dapat mencapai kehidupan yang seperti mereka nikmati sekarang ini bukan tanpa upaya keras seperti yang belum dilakukan di Indonesia. Dulu, kebejatan seperti di Indonesia juga merajalela di Amerika. Ada bajingan seperti Al Capone yang sulit dipenjara karena rajin menyuap pejabat pemerintah dan polisi. Sekarang bukannya tidak ada kasus seperti itu di Amerika, tetapi kontrol terus dilakukan terhadap pejabat pemerintah sehingga peluang untuk munculnya kasus itu semakin diperkecil.
Indonesia lebih bejat dari Amerika. Misalnya, minuman beralkohol tidak dapat dibeli serampangan di Amerika oleh remaja di bawah 18 tahun, sementara di Indonesia di samping bangunan sekolah ada penjual minuman beralkohol yang tidak kunjung mendekam di penjara untuk waktu yang lama. Orang banyak beranggapan di Amerika, sex adalah kegiatan yang bebas dilakukan, padahal pelacuran di Amerika dilarang dan tidak ada lokalisasi, sementara di Indonesia yang dipimpin orang-orang muslim menyediakan lokalisasi untuk rakyatnya yang mau melacur dan dilacuri.
Di Amerika anda bisa bermimpi dan dream come true. Erin Brokovich, wanita muda beranak 3 yang cuma lulusan SMA bermimpi mengganjar perusahaan energi raksasa di seluruh Amerika yang telah meracuni warga sebuah wilayah di sebuah kota kecil. Mimpi rakyat kecil Erin Brokovich ternyata bisa dicapai, tuntutan ganti ruginya, mewakili warga yang diracuni itu, menjadi ganti rugi terbesar dalam sejarah Amerika.
Ada beberapa kisah kepahlawanan di Amerika yang membuat kita bertanya apakah kita sesama muslim masih saling bersaudara jika kita tidak memiliki kegiatan-kegiatan yang menunjukkan bahwa kita bersaudara. Kita menunjukkan persaudaraan hanya jika sebuah kelompok muslim “dihantam” oleh kelompok bukan muslim. Sungguh menyedihkan!
Saya, beberapa tahun lalu menyaksikan sebuah film lepas di sebuah tv swasta tentang sebuah kota kecil di negeri setan besar yang warganya berlatih bertahun-tahun lamanya tanpa lelah dan bosan untuk menghadapi sebuah bencana yang tidak pernah diketahui besar dan macamnya, bahkan tidak terjadi (secepat yang mereka sangka).
Awalnya adalah, belasan warga kota itu yang menghabiskan akhir pekannya secara lebih bermanfaat, yaitu dengan berlatih menggunakan tali-temali, alat-alat pemadam kebakaran, P3K, alat komunikasi untuk menghadapi sebuah situasi darurat. Meski tidak pernah ada bencana besar selain mencari hewan peliharaan dan anak hilang karena tersesat, mereka terus berlatih tanpa bosan dan lelah, bahkan anggota kelompok itu semakin berpuluh-puluh jumlahnya.
Tahun-tahun berlalu tanpa sebuah bencana pun, namun mereka terus berlatih tanpa bosan hingga lebih dari 15 tahun. Kelompok sukarelawan ini kemudian memiliki kantor besar dan peralatan lengkap berkat dukungan seluruh warga kota serta para pemimpinnya (yang mereka pilih dan seleksi sendiri dengan hati-hati, tidak seperti di Indonesia yang memilih anjing buduk, di masa lalu, sebagai pemimpinnya).
Tiba-tiba pada suatu hari, bencana itu datang juga, meski bencana itu bukan untuk warga kota itu, karena bencana itu adalah jatuhnya sebuah pesawat penumpang berjumlah ratusan orang di sebuah tempat yang tak berpenduduk. Namun, berkat latihan bertahun-tahun dan peralatan lengkap, mereka berhasil menyelamatkan sebagian besar penumpang pesawat. Jika tidak maka nasib para penumpangnya akan seperti penumpang Lions Air, tewas karena tak sempat tertolong.
Perjuangan bertahun-tahun warga kota itu berlatih menghadapi bencana membuat kagum banyak orang. Pemerintah federal memberikan penghargaan tertinggi dan menjadikan kota itu sebagai kota contoh terbaik dalam menghadapi bencana. Sayang, nama kota itu saya tidak ingat.
Warga Jakarta, terutama di sekitar aliran Sungai Ciliwung, boleh meniru apa yang dilakukan warga kota itu. Dana untuk latihan dan peralatannya, tentu saja, tinggal minta kepada Pemda DKI, dan harus ada!
Sekarang, bencana banjir di Jakarta sedang mengancam. Apa yang pantas disiapkan oleh warga Jakarta tanpa atau dengan dukungan Gubernur Jakarta?
1. Penampungan korban banjir dengan mendirikan tenda-tenda atau ditempatkan di gedung-gedung yang bisa digunakan.
2. Makanan sehat dari dapur-dapur umum
3. Sanitasi agar tidak menimbulkan masalah baru.
4. Obat-obatan
5. Pakaian
Warga Jakarta sebaiknya jangan berpikir Gubernur cukup punya rasa persaudaraan sesama muslim untuk menyediakan 5 kebutuhan di atas itu. SBY juga sudah terbukti gagal beberapa kali di setiap bencana alam yang terjadi dalam menghimpun seluruh kekuatan bangsa. Jika ia memang memiliki sense of crisis, pasti sense itu belum turun ke bawah, misalnya ke Gubernur gila, Sutiyoso, apalagi ke para walikota dan lurahnya.
Kasus sampah di Bojong sudah cukup menggambarkan betapa gilanya Sutiyoso itu. Ketika negara-negara lain amat serius menangani masalah sampahnya, Sutiyoso cukup melemparkannya ke Bojong.
Thursday, December 07, 2006
MEGAPOLITAN, MEGALOPOLITAN, MEGAPOLONTOS, MEGAL-MEGAL ATAU “KETERPADUAN-WILAYAH”
Cara pekerjaan perbaikan atau peninggian jalan ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus sekarang ditutup separuh untuk ditinggikan hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja, akan bisa mengurangi ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Bukankah wilayah itu adalah wilayah kegiatan ekonomi yang amat penting, paling tidak di pulau Jawa ini, karena lalu-lintas barang datang dan pergi melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di Tanjung Priok dan di tempat-tempat lain di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan BusWay bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, beberapa tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” hukum atau kesantunan untuk tidak saling serobot.
Cara bekerja yang serampangan ini sungguh amat bertentangan dengan keinginan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan Jakarta. Kalau becak dulu ditertibkan, kakilima digusur, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Pintu IX dan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?
Pemeliharaan jalan ini sungguh menggambarkan bobroknya pengelolaan Jakarta oleh Pemerintah Daerah. Jakarta adalah kota yang jalannya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta tidak memiliki sistem pemeliharaan jalan yang memberi jaminan jalan hanya memiliki lubang minimal. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi bahkan lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Situasi ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.
Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit. Biasanya perbaikan jalan dilakukan dengan cara memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.
Saya pikir pemeliharaan jalan yang bukan jalan protokol akan lebih baik dibagi-bagi kepada tiap kecamatan setempat. Karena wilayahnya lebih sedikit, kecamatan dapat lebih baik memantau dan memberikan pekerjaan perbaikan kepada remaja atau pemuda yang menginginkan pekerjaaan sambilan atau pekerjaan ini diberikan kepada tuna karya di kecamatan itu. Dengan lubang yang masih kecil tentu tidak diperlukan peralatan-peralatan besar seperti mesin giling jalan dan lain-lainnya, cukup dengan mesin penumbuk aspal yang dapat dioperasikan dengan tangan oleh satu orang. Uang ratusan juta setiap bulannya dapat dicegah untuk masuk ke dalam kantung para kontraktor perbaikan jalan dan dialokasikan ke pembangunan sarana olah raga atau kegiatan produktif lainnya bagi para remaja atau hal-hal lainnya.
Situasi lalu-lintas atau jalan di Jakarta ini atau apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola jalan Jakarta ini membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud orang-orang yang sedang mencoba meluncurkan proyek Megapolitan. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin memikul proyek yang kelihatan (dari namanya) besar itu (megapolitan) jika mengelola jalan saja amat tidak efisien dan sekaligus buruk. Sepanjang pertama kali kata megapolitan itu menjadi wacana, saya belum melihat pemaparan megapolitan yang memuaskan hingga saya membaca presentasi Sarwono Kusumaatmadja dalam sebuah diskusi di Jakarta bulan April 2006 lalu.
Penggunaan kata “megapolitan” adalah salah kaprah, menurut Sarwono. Mungkin itu dibuat secara gampangan dengan meniru kata “metropolitan” yang disangka dari 2 buah kata “metro” dan “politan”. Sarwono yang salah satu tokoh yang mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Jakarta berikutnya ini juga mempertanyakan konsep megapolitan: “konsep apa yang ada dalam pemikiran Gubernur Sutiyoso?”
Lebih lanjut Sarwono menjelaskan: “Karena yang pernah terdengar sebelumnya adalah megalopolitan, yaitu salah satu gejala di sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa kota besar yang jauh dihubungkan melalui sistem transportasi terpadu dalam menunjang berbagai aktivitas warga masyarakat antarkota tersebut termasuk dengan kota-kota kecil yang berdekatan. Penghubung antarkota melalui jalur jalan bebas hambatan, jaringan rel kereta api bahkan kereta bawah tanah (subway) termasuk jalur udara. Dengan demikian akan membentuk satu kesatuan ekonomi antarwarga antarwilayah bersangkutan”.
Apa pun namanya megapolitan, megalopolitan, megapolontos, megal-megal atau “keterpaduan-wilayah”, yang penting adalah konsepnya apa, sebagaimana dipertanyakan Sarwono.
TRANSJAKARTA, BOGOTA, SUTIYOSO = BABOON
Sejak pertama kali ide transjakarta (bukan busway, karena busway sudah ada sejak sutiyoso belom dibikin oleh emak dan babenya) dilemparkan, sudah banyak yang bertanya mengapa meniru
Mengapa pertanyaan itu diajukan? Karena jauh lebih sederhana menyempurnakan busway yang sudah ada (kecuali dengan kesungguhan dan tekad yang besar untuk memberadabkan jalanan kita) daripada membangun jalur untuk transjakarta yang menciptakan masa transisi selama jalur itu dibangun selama bertahun-tahun.
Memang betul, nanti setelah transjakarta selesai semua, akan memberikan alternatif untuk public transportation di Jakarta. Tetapi berapa kerugian yang kita (warga) tanggung dalam masa transisi itu, belum lagi image
Memang amat gila, kalo negara tetangga kita nggak pake bus model transjakarta itu bisa sukses mengatur dan memberikan public transportation yang nyaman dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakatnya, tetapi kita malah memilih Bogota dan mengkacau-balaukan lalulintas yang udah kacau sebelumnya dengan transjakarta keparat....