Wednesday, March 14, 2007
MALAPETAKA TRANSPORTASI BANGSA YANG BEBAL
Sebuah pesawat Garuda terbakar kemarin pagi 7 Maret 2007, di bandara Adisutjipto Yogyakarta. Malapetaka udara, laut, kereta api yang terjadi akhir-akhir ini adalah potret lengkap kemalangan dunia transportasi bangsa ini. Rasa duka yang mendalam saya sampaikan pada para korban....
Mungkin sedikit yang masih ingat pada malapetaka terbakarnya pesawat Mandala di Medan pada September 2005 silam. Saat itu, pesawat Mandala yang terbakar itu ditangani secara seadanya, padahal Bandara Polonia Medan bukan Bandara yang kecil yang seharusnya memiliki Search and Rescue (SAR) yang memadai, sehingga mungkin jumlah korban dapat dikurangi secara signifikan. Kebakaran Mandala saat itu seharusnya menjadi tonggak besar peringatan tentang perlunya perbaikan yang fundamental pada dunia transportasi Indonesia serta pengembangan SAR di Bandara dan di pelabuhan laut Indonesia. Sayang, hingga kini tetap tidak nampak hasil perbaikan dalam dunia transportasi Indonesia dan SAR, meskipun Hatta Radjasa menyatakan sudah dan sedang dilakukan perbaikan dalam wawancara dengan sebuah TV Swasta kemarin pagi. Sebuah pernyataan yang kurang ajar!
Saya amat prihatin dengan perlengkapan SAR bandara Adisutjipto yang digunakan untuk memadamkan api dari sebuah pesawat jet hanya dengan satu selang air saja bukan dengan busa kimia. Api padam beberapa jam kemudian ternyata bukan karena dipadamkan, tetapi karena semua terbakar habis tidak bersisa. Begitu juga jumlah anggota team yang nampaknya sangat kurang. Itu pun saya belum menyebut kemampuan atau keahlian yang dimiliki SAR itu yang saya tidak tahu levelnya. Tentu yang salah bukan mereka, para anggota SAR itu, tetapi pemerintah yang tidak menempatkannya sebagai sebuah lembaga yang amat penting pada suatu situasi darurat.
Tulisan di bawah ini bukan tentang transportasi udara, laut atau kereta api, tetapi tentang infrastruktur transportasi darat atau kondisi jalan raya yang amburadul namun kurang dianggap sebagai sebuah kemalangan atau malapetaka oleh banyak orang. Mungkin karena tidak adanya drama berdarah-darah atau api yang menyala-nyala. Padahal sesungguhnya berita atau tulisan mengenai buruknya kondisi jalan raya, khususnya di sekitar wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, terutama Cilincing ke Cakung sudah sering muncul di berbagai media, bahkan di media-media besar dalam skala nasional. Meski tidak berdarah dan menyala, Bank Dunia dalam sebuah kajian mengenai pemulihan daya saing Indonesia menyebut, ekspor Indonesia bisa naik di atas 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara APEC. Artinya, jika pemerintah mampu mengelola jalan raya dari dan ke pelabuhan, maka pertumbuhannya bisa jauh di atas 18 persen. Angka 18 persen itu tentu besar artinya bagi bangsa ini. Yang lebih mengherankan lagi, saya tidak pernah mendengar menteri perekonomian menekan menteri perhubungan untuk soal jalan raya ini.
Meski rejim yang katanya korup sudah dijatuhkan, dan meski sudah digantikan dengan rejim yang katanya sudah direformasi, wilayah Tanjung Priok, terutama yang dari dan ke arah Cilincing dan Cakung (CaCing) nampaknya tidak akan lepas dari pemandangan kemacetan lalu-lintas karena rusaknya jalan raya yang terus menerus sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun. Beberapa bulan lalu, di kwartal ketiga tahun 2006, sebelum musim hujan datang, jalan-jalan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok ditinggikan. Peninggian jalan ini adalah untuk kesekian kalinya dalam 5 tahun terakhir ini. Sekarang, perbaikan jalan diteruskan hingga ke Cilincing.
Perbaikan itu bukan untuk memperbaiki kerusakan jalan yang ringan, namun kerusakan berat yang sebenarnya sudah rusak berat jauh sebelum musim hujan tiba. Perbaikan jalan di wilayah ini memang selalu dilakukan ketika jalan sudah rusak parah, bukan pada saat masih rusak ringan. Meski demikian Walikota Jakarta Utara baru-baru ini menyebut bahwa kerusakan jalan di Priok-Cilincing disebabkan oleh banjir atau musim hujan. Sayangnya, meski bermaksud memperbaiki, namun pekerjaan memperbaiki itu, sebagaimana selalu terjadi, tidak pernah dengan mempertimbangkan kenyamanan pengguna jalan atau mempertimbangkan kelancaran arus lalu-lintas. Padahal biasanya perbaikan jalan di sana bisa memakan waktu paling cepat 3 bulan dan sementara itu bagian lain dari jalan itu yang tidak diperbaiki sudah mengalami kerusakan, sehingga jalan di sekitar Pelabuhan – Cilincing – Cakung tidak akan pernah dalam keadaan baik.
Lalu-lintas yang selalu padat di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu ada bagian-bagian yang dipersempit karena pekerjaaan perbaikan atau peninggian jalan. Kendaraan harus berjalan melata, karena harus bergantian menggunakan jalan yang lebarnya tinggal hanya satu kendaraan saja. Jalan-jalan di sekitar Pelabuhan ini memang jalan yang rawan banjir pada setiap musim hujan. Barangkali Pemkot Jakarta ingin membuat jalan ini bebas banjir dengan meninggikannya. Bagaimanapun, peninggian jalan di sekitar Pelabuhan ini bukan solusi yang bijak, karena jika banjir datang kemana air akan pergi? Tentu saja ke wilayah di sekitar jalan itu, dan terutama wilayah perumahan di sekitar jalan itu yang dianggap mudah dan boleh saja “dibiadabi”.
Cara pekerjaan peninggian dan perbaikan jalan di wilayah Tanjung Priok ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus ditutup untuk ditinggikan atau diperbaiki separuhnya hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja dulu, mungkin tidak akan terlalu menghasilkan ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Perbaikan dan peninggian jalan ini biasanya dilakukan sambil tidur, bukan dilakukan dengan amat cepat agar tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas terlalu lama. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama dan satu-satunya di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan Bus Way bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, 4 tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini juga harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang terkesan amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” polisi atau aparat untuk membantu mengatur lalu-lintas agar tidak saling serobot.
Cara bekerja seperti ini sungguh amat bertentangan dengan harapan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan dan menegakkan hukum di Jakarta. Kalau becak ditertibkan, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?
Jakarta adalah kota yang jalan rayanya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Lalainya pemerintah ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.
Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.
Pemerintah tidak mungkin tidak mampu melakukan pemeliharaan jalan raya dengan baik, karena mereka yang duduk di pemerintahan pasti bukan sejenis baboon. Cara memelihara jalan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok itu adalah contoh cara memelihara jalan yang umum terjadi di semua wilayah di Jakarta yang bisa menjadi indikator dari pemerintahan yang bukan hanya kurang mampu berfungsi, tetapi juga tidak memiliki moral. Ini memang persoalan moral! Mungkin bukan karena para baboon itu memakan duit rakyat, tetapi karena secara moral mereka tidak peduli pada keselamatan orang lain, baik celaka atau kehilangan nyawa karena jalan rusak. Lebih jauh lagi, baboon itu pun juga tidak perduli dengan nasib bangsa ini jika negeri ini dipandang bukan tempat yang tepat untuk berinvestasi atau dipandang sebagai negeri dengan 200-an juta manusia bebal.
Jadi, Gubernur atau menteri apa pun yang akan datang seharusnya tidak hanya wajib memiliki leadership dan pintar, tetapi juga sekaligus memiliki moral. Sehingga Gubernur atau menteri ini bukan hanya bekerja untuk sebuah permainan politik atau untuk sebuah partai yang mengusungnya, tetapi juga bekerja untuk mempersiapkan masa depan bangsa ini, negeri ini dan bahkan peradaban manusia.
Jojo Rahardjo
KARTU KREDIT CITIBANK DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Belum lama ini saya menulis artikel tentang Kartu Kredit (KK) di MediaKonsumen ini dengan judul “Kartu Kredit, Gaya Hidup Modern dan Industri Penghisap Darah”. Tulisan itu tentang sejarah dan industri KK terutama di negara tempat lahirnya, Amerika. Di dalam artikel itu saya menyebut sebuah kasus penggelapan uang pemegang KK oleh perusahaan penerbit KK di Amerika pada tahun 1999. Di dalam artikel itu saya memperingatkan agar pemegang KK di Indonesia juga berhati-hati agar tidak menjadi korban perusahaan penerbit KK.
Untuk memenuhi permintaan seseorang yang saya kenal, di bawah ini adalah hasil penelusuran saya pada Lembar Penagihan KK Citibank milik orang itu. Menurut hasil penelusuran saya, Citibank melakukan apa yang sering disebut sebagai “credit card game”, yakni mendapatkan keuntungan dari ketidaktahuan pemegang KK pada apa yang disebut dan “disembunyikan” oleh Citibank sebagai “formula perhitungan bunga”. Akibatnya, Citibank tidak hanya mengenakan bunga pada transaksi dan pengambilan tunai yang anda lakukan tetapi juga mengenakan bunga pada pembayaran yang anda lakukan, juga meterai pada Lembar Penagihan, bahkan juga mengenakan bunga pada biaya pembayaran dan biaya pengambilan tunai. Jadi, misalnya anda menyetor uang ke Citibank sejumlah Rp2.000.000 maka anda dikenakan Biaya Pembayaran Rp5.000 ditambah bunga pada dua komponen tersebut (Pembayaran dan Biaya Pembayarannya), sehingga yang anda setorkan akan dikurangi hingga 3,5% dari Pembayaran yang Rp2.000.000 itu. Padahal tidak ada di agreement atau di mana pun tertulis bahwa Penyetoran yang anda lakukan akan dikenakan bunga (bahkan biaya pembayarannya juga dikenakan bunga).
Anda pemegang KK Citibank tentu bisa ikut menelusuri perhitungan bunga KK anda berdasarkan apa yang saya paparkan di bawah ini.
TERNYATA BUNGA DIKENAKAN SETIAP SAAT DAN PADA SEMUA KONDISI
Pada lembar disclaimer (di balik Lembar Penagihan) disebutkan bahwa: “bunga akan dikenakan bila anda membayar kurang dari Total Tagihan....” Tentu pernyataan ini bagi saya juga berarti semua transaksi tidak dikenakan bunga bila membayar Total Tagihan. Pernyataan ini dilanjutkan dengan ”atau membayar setelah jatuh tempo” yang tentu juga berarti semua transaksi tidak dikenakan bunga bila membayar sebelum jatuh tempo. Namun pernyataan ini malah membuat bingung saya, karena ternyata pada Lembar Penagihan semua transaksi dikenakan bunga, meskipun Pemegang KK membayar lunas dan sebelum jatuh tempo semua tagihan dari transaksinya.
Pernyataan di atas dilanjutkan dengan pernyataan ini: “Bunga dihitung atas saldo harian dimulai dari tanggal transaksi. Transaksi yang belum jatuh tempo tidak termasuk dalam komponen perhitungan bunga….” Pernyataan ini mencoba menjelaskan bagaimana perhitungan bunga yang dilakukan Citibank yang ternyata pada semua transaksi, meskipun Pemegang KK membayar lunas dan sebelum jatuh tempo semua tagihan dari transaksinya.
Cara perhitungan bunga Citibank dilengkapi dengan Agreement Pasal 4: “Bunga akan timbul jika pembayaran dilakukan secara mencicil. Bunga yang dibebankan akan dihitung dari saldo harian yang terhutang dimulai dari tanggal terjadinya transaksi dan saldo sejak dimulainya transaksi baru hingga pembayaran dilakukan secara penuh….”
Apa makna dari kata “mencicil” pada kalimat “pembayaran dilakukan secara mencicil,” jika pada disclaimer sudah disebut “membayar kurang dari Total Tagihan?” Pernyataan-pernyataan ini sama sekali tidak sesuai dengan fakta bahwa semua transaksi ternyata dikenakan bunga, meskipun Pemegang KK membayar lunas dan sebelum jatuh tempo semua tagihan dari transaksinya.
Nampaknya, Citibank memang menggunakan cara tertentu yang membuat saya (dan anda, pemegang KK Citibank yang lain) tidak mudah untuk mengerti tentang cara perhitungan bunga?
FORMULA PERHITUNGAN BUNGA CITIBANK
Oleh karena itu, seharusnya Citibank menyediakan informasi atau aturan tertulis lengkap yang ternyata tidak disediakannya, baik di disclaimer maupun agreement. Apa yang tidak disediakan oleh Citibank salah satunya adalah Formula Perhitungan Bunga agar pemegang KK bisa lebih mudah mengerti.
Citibank melalui email di akhir Januari 2007 (untuk menjawab pertanyaan pemegang KK) menjelaskan Formula Perhitungan Bunganya yang tidak pernah disebut di disclaimer maupun di agreement, yaitu:
….Sehubungan dengan pertanyaan Ibu mengenai perhitungan bunga, bersama
Ini kami sampaikan bahwa besarnya bunga adalah seperti tercantum pada
Lembar penagihan dan dihitung perbulan atas saldo harian dimulai dari tanggal
melakukan transaksi. Bunga akan ditagihkan pada lembar penagihan
berikutnya.
Adapun Formula Perhitungan Bunga tersebut adalah sebagai berikut:
Besarnya Transaksi x Lamanya Transaksi x 3.5% atau 4% x 12/365
Di dalam Formula Perhitungan Bunga di atas, tercantum komponen “Lamanya Transaksi” yang membuat semua transaksi menjadi dikenakan bunga, tanpa perduli atau bertolakbelakang dengan bunyi disclaimer yang saya sebutkan di atas, bahwa “bunga akan dikenakan bila anda membayar kurang dari Total Tagihan atau membayar setelah jatuh tempo....” Bahkan pembayaran (penyetoran ke Citibank) yang dilakukan juga dikenakan bunga yang menurut saya ini tidak boleh dilakukan Citibank.
Apakah ini bisa disebutkan sebagai “permainan” Citibank? Karena Formula Perhitungan Bunga ini hanya diketahui ketika ditanyakan ke Citibank. Citibank melalui email itu memang harus (terpaksa) memberikan jawaban kepada konsumennya, karena Citibank memang memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada konsumennya sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 4c, yaitu: “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
Namun Citibank nampaknya tidak ingin menyampaikan informasi mengenai Formula Perhitungan Bunga, kecuali jika terpaksa ketika ditanya oleh konsumennya. Situasi ini membuat konsumen menyangka bahwa konsumen bisa bebas bunga, karena hanya mendapatkan atau membaca informasi pada disclaimer bahwa “bunga akan dikenakan bila anda membayar kurang dari Total Tagihan atau membayar setelah jatuh tempo. Bunga dihitung atas saldo harian dimulai dari tanggal transaksi. Transaksi yang belum jatuh tempo tidak termasuk dalam komponen perhitungan bunga.” Konsumen pun juga akan mengira bisa bebas bunga ketika membaca Agreement Pasal 4 yang menggunakan sebuah kata yang tidak ada definisinya, yaitu kata ”mencicil”.
Jadi, pernyataan pada disclaimer dan agreement tersebut memang cuma untuk ”hiasan” saja, atau tidak membuat Pemegang KK bisa dibebaskan dari bunga meskipun Pemegang KK membayar lunas dan sebelum jatuh tempo semua tagihan dari transaksinya, karena ternyata di Lembar Penagihan, semua transaksi dikenakan bunga.
Bahkan menurut saya ada komponen yang seharusnya tidak dikenakan bunga, tetapi dikenakan bunga oleh Citibank, yaitu:
1. Pembayaran
2. Biaya Pembayaran melalui ATM BCA sebesar Rp5.000
3. Biaya meterai
Pembayaran (nomor 1) adalah bukan Transaksi atau bukan Penarikan Tunai, maka saya bertanya : “Di mana tertulis bahwa Pembayaran adalah termasuk Transaksi atau Penarikan Tunai sehingga bisa dikenakan bunga?” Jika Pembayaran adalah bukan Transaksi atau bukan Penarikan Tunai, maka pembayaran tidak bisa dikenakan bunga.
BUNGA YANG BERBUNGA, SEBUAH “PERMAINAN” CITIBANK YANG MENGERIKAN
Contoh di bawah ini adalah dari Lembar Penagihan pada bulan Oktober 2006. Pengambilan Tunai sebesar Rp1.500.000 dikenakan charge (dibebankan atau ditagih oleh Citibank) sebesar 4% yaitu Rp60.000. Dua komponen ini (Pengambilan Tunai dan Charge) langsung dikenakan bunga masing-masing adalah Rp30.000 dan Rp980, sehingga gara-gara mengambil tunai sebesar Rp1.500.000, maka pemegang KK dikenakan beban sebesar Rp60.000 + Rp30.000 + Rp980 = Rp90.980. Angka Rp90.980 itu berarti bebannya adalah 6% dari Rp1.500.000 (Pengambilan Tunai itu). Itu pun karena Pengambilan Tunai dilakukan pada tanggal 1 Oktober, sehingga periode berhutangnya adalah 15 hari ke tanggal penagihan, yaitu tanggal 15 Oktober. Jika periode berhutangnya 30 hari maka bebannya adalah 8%.
Penelusuran perhitungan tagihan itu bisa menjadi jelas hanya karena saya tahu mengenai Formula Perhitungan Bunga. Beban lebih di atas 4% itu tidak ditampilkan oleh Citibank di Lembar Penagihan, kecuali anda melakukan perhitungan dengan menggunakan formula tersebut. Padahal, Formula Perhitungan Bunga tidak disediakan pada disclaimer dan agreement. Pada disclaimer disebutkan bahwa biaya Pengambilan Tunai adalah 4% dari jumlah yang diambil, sehingga seolah-olah cuma 4% saja yang dibebankan kepada pemegang KK, padahal lebih dari 4% bahkan bisa hingga 8%.
Sedangkan Pembayaran atau penyetoran ke Citibank (yang seharusnya bukan transaksi atau bukan berhutang) juga dikenakan bunga. Demikian juga dengan Biaya Pembayarannya yang melalui ATM BCA sebesar Rp5.000. Sehingga ketika pemegang KK membayar sebesar Rp2.000.000 pada tanggal 18 September 2006, maka ia dikenakan beban Rp5.000 ditambah bunga dua komponen tersebut (Pembayaran dan Biaya Pembayarannya), yaitu Rp65.333 dan Rp163. Total dari dua bunga ini adalah Rp65.497 atau 3% dari Pembayaran yang Rp2.000.000 itu.
Pembebanan bunga terhadap Pembayaran ini amat menguntungkan Citibank, karena selain mendapatkan bunga dari Transaksi dan Pengambilan Tunai, ternyata Citibank juga bisa mendapatkan bunga dari setiap Pembayaran. Meski ini mungkin sudah dilakukan sejak lama dan menjadi soal yang “wajar”, namun pemegang KK merasa tertipu karena tidak ada pemberitahuan secara tertulis bahwa Pembayaran juga dikenakan bunga.
Pemegang KK yang Lembar Penagihannya saya telusuri ini telah mengirimkan email kepada Citibank untuk bertanya seputar perhitungan bunga dan menginginkan jawaban tertulis, namun Citibank tidak mau lagi untuk menjawab setelah tanggal 2 Februari 2007. Citibank mungkin sudah merasa cukup menjawab semua email sehingga tidak perlu melayani konsumennya yang masih merasa tidak nyaman.
Sehingga saya menyimpulkan:
1. Citibank tidak memiliki itikad baik dalam melayani konsumennya (UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 7 a).
2. Hak-hak sebagai konsumen diabaikan (UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 4 a,c,d,g).
3. Citibank tidak menggunakan formula yang standar atau fair dalam mengenakan bunga (UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 7 d).
4. Harus kembali memeriksa semua tagihan sejak pertama kali menjadi pemegang KK Citibank.
5. Pekerjaan memeriksa itu akan butuh waktu dan energi yang tidak sedikit
6. Konsumen tidak mendapatkan kenyamanan menjadi pemegang kartu kredit Citibank (UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 4 a)
7. Citibank harus dituntut ganti rugi oleh semua pemegang KK-nya (UU Perlindungan Konsumen 8/1999, Pasal 19 ayat 1,2,4).