Dimuat di http://www.mediakonsumen.com/Artikel429.html
Sebuah pesawat Garuda terbakar kemarin pagi 7 Maret 2007, di bandara Adisutjipto Yogyakarta. Malapetaka udara, laut, kereta api yang terjadi akhir-akhir ini adalah potret lengkap kemalangan dunia transportasi bangsa ini. Rasa duka yang mendalam saya sampaikan pada para korban....
Mungkin sedikit yang masih ingat pada malapetaka terbakarnya pesawat Mandala di Medan pada September 2005 silam. Saat itu, pesawat Mandala yang terbakar itu ditangani secara seadanya, padahal Bandara Polonia Medan bukan Bandara yang kecil yang seharusnya memiliki Search and Rescue (SAR) yang memadai, sehingga mungkin jumlah korban dapat dikurangi secara signifikan. Kebakaran Mandala saat itu seharusnya menjadi tonggak besar peringatan tentang perlunya perbaikan yang fundamental pada dunia transportasi Indonesia serta pengembangan SAR di Bandara dan di pelabuhan laut Indonesia. Sayang, hingga kini tetap tidak nampak hasil perbaikan dalam dunia transportasi Indonesia dan SAR, meskipun Hatta Radjasa menyatakan sudah dan sedang dilakukan perbaikan dalam wawancara dengan sebuah TV Swasta kemarin pagi. Sebuah pernyataan yang kurang ajar!
Saya amat prihatin dengan perlengkapan SAR bandara Adisutjipto yang digunakan untuk memadamkan api dari sebuah pesawat jet hanya dengan satu selang air saja bukan dengan busa kimia. Api padam beberapa jam kemudian ternyata bukan karena dipadamkan, tetapi karena semua terbakar habis tidak bersisa. Begitu juga jumlah anggota team yang nampaknya sangat kurang. Itu pun saya belum menyebut kemampuan atau keahlian yang dimiliki SAR itu yang saya tidak tahu levelnya. Tentu yang salah bukan mereka, para anggota SAR itu, tetapi pemerintah yang tidak menempatkannya sebagai sebuah lembaga yang amat penting pada suatu situasi darurat.
Tulisan di bawah ini bukan tentang transportasi udara, laut atau kereta api, tetapi tentang infrastruktur transportasi darat atau kondisi jalan raya yang amburadul namun kurang dianggap sebagai sebuah kemalangan atau malapetaka oleh banyak orang. Mungkin karena tidak adanya drama berdarah-darah atau api yang menyala-nyala. Padahal sesungguhnya berita atau tulisan mengenai buruknya kondisi jalan raya, khususnya di sekitar wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, terutama Cilincing ke Cakung sudah sering muncul di berbagai media, bahkan di media-media besar dalam skala nasional. Meski tidak berdarah dan menyala, Bank Dunia dalam sebuah kajian mengenai pemulihan daya saing Indonesia menyebut, ekspor Indonesia bisa naik di atas 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara APEC. Artinya, jika pemerintah mampu mengelola jalan raya dari dan ke pelabuhan, maka pertumbuhannya bisa jauh di atas 18 persen. Angka 18 persen itu tentu besar artinya bagi bangsa ini. Yang lebih mengherankan lagi, saya tidak pernah mendengar menteri perekonomian menekan menteri perhubungan untuk soal jalan raya ini.
Meski rejim yang katanya korup sudah dijatuhkan, dan meski sudah digantikan dengan rejim yang katanya sudah direformasi, wilayah Tanjung Priok, terutama yang dari dan ke arah Cilincing dan Cakung (CaCing) nampaknya tidak akan lepas dari pemandangan kemacetan lalu-lintas karena rusaknya jalan raya yang terus menerus sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun. Beberapa bulan lalu, di kwartal ketiga tahun 2006, sebelum musim hujan datang, jalan-jalan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok ditinggikan. Peninggian jalan ini adalah untuk kesekian kalinya dalam 5 tahun terakhir ini. Sekarang, perbaikan jalan diteruskan hingga ke Cilincing.
Perbaikan itu bukan untuk memperbaiki kerusakan jalan yang ringan, namun kerusakan berat yang sebenarnya sudah rusak berat jauh sebelum musim hujan tiba. Perbaikan jalan di wilayah ini memang selalu dilakukan ketika jalan sudah rusak parah, bukan pada saat masih rusak ringan. Meski demikian Walikota Jakarta Utara baru-baru ini menyebut bahwa kerusakan jalan di Priok-Cilincing disebabkan oleh banjir atau musim hujan. Sayangnya, meski bermaksud memperbaiki, namun pekerjaan memperbaiki itu, sebagaimana selalu terjadi, tidak pernah dengan mempertimbangkan kenyamanan pengguna jalan atau mempertimbangkan kelancaran arus lalu-lintas. Padahal biasanya perbaikan jalan di sana bisa memakan waktu paling cepat 3 bulan dan sementara itu bagian lain dari jalan itu yang tidak diperbaiki sudah mengalami kerusakan, sehingga jalan di sekitar Pelabuhan – Cilincing – Cakung tidak akan pernah dalam keadaan baik.
Lalu-lintas yang selalu padat di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok – Cilincing – Cakung selalu ada bagian-bagian yang dipersempit karena pekerjaaan perbaikan atau peninggian jalan. Kendaraan harus berjalan melata, karena harus bergantian menggunakan jalan yang lebarnya tinggal hanya satu kendaraan saja. Jalan-jalan di sekitar Pelabuhan ini memang jalan yang rawan banjir pada setiap musim hujan. Barangkali Pemkot Jakarta ingin membuat jalan ini bebas banjir dengan meninggikannya. Bagaimanapun, peninggian jalan di sekitar Pelabuhan ini bukan solusi yang bijak, karena jika banjir datang kemana air akan pergi? Tentu saja ke wilayah di sekitar jalan itu, dan terutama wilayah perumahan di sekitar jalan itu yang dianggap mudah dan boleh saja “dibiadabi”.
Cara pekerjaan peninggian dan perbaikan jalan di wilayah Tanjung Priok ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus ditutup untuk ditinggikan atau diperbaiki separuhnya hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja dulu, mungkin tidak akan terlalu menghasilkan ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Perbaikan dan peninggian jalan ini biasanya dilakukan sambil tidur, bukan dilakukan dengan amat cepat agar tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas terlalu lama. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama dan satu-satunya di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan Bus Way bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, 4 tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini juga harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang terkesan amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” polisi atau aparat untuk membantu mengatur lalu-lintas agar tidak saling serobot.
Cara bekerja seperti ini sungguh amat bertentangan dengan harapan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan dan menegakkan hukum di Jakarta. Kalau becak ditertibkan, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?
Jakarta adalah kota yang jalan rayanya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Lalainya pemerintah ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.
Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit pada saat muncul lubang baru. Biasanya mereka bahkan memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.
Pemerintah tidak mungkin tidak mampu melakukan pemeliharaan jalan raya dengan baik, karena mereka yang duduk di pemerintahan pasti bukan sejenis baboon. Cara memelihara jalan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok itu adalah contoh cara memelihara jalan yang umum terjadi di semua wilayah di Jakarta yang bisa menjadi indikator dari pemerintahan yang bukan hanya kurang mampu berfungsi, tetapi juga tidak memiliki moral. Ini memang persoalan moral! Mungkin bukan karena para baboon itu memakan duit rakyat, tetapi karena secara moral mereka tidak peduli pada keselamatan orang lain, baik celaka atau kehilangan nyawa karena jalan rusak. Lebih jauh lagi, baboon itu pun juga tidak perduli dengan nasib bangsa ini jika negeri ini dipandang bukan tempat yang tepat untuk berinvestasi atau dipandang sebagai negeri dengan 200-an juta manusia bebal.
Jadi, Gubernur atau menteri apa pun yang akan datang seharusnya tidak hanya wajib memiliki leadership dan pintar, tetapi juga sekaligus memiliki moral. Sehingga Gubernur atau menteri ini bukan hanya bekerja untuk sebuah permainan politik atau untuk sebuah partai yang mengusungnya, tetapi juga bekerja untuk mempersiapkan masa depan bangsa ini, negeri ini dan bahkan peradaban manusia.
Jojo Rahardjo
Wednesday, March 14, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Makin tajam aja tulisan-tulisan Jojo. Salam buat keluarga dari Beni dan Jennie di sini. Keep in touch, OK?
Jennie S. Bev
http://www.jenniesbev.com
http://www.jennieforindonesia.com
Post a Comment