Media Konsumen 30 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel549.html
Saya bukan pakar politik atau pakar tata-negara, tetapi saya seperti sebagian besar rakyat Indonesia, saya cuma rakyat jelata. Karena itu logika rakyat jelata lah yang digunakan ketika melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini antara Rokhmin Dahuri, Amien Rais dan SBY. Menurut logika rakyat jelata saya adalah ternyata semua pemimpin negeri ini mudah terjerumus menjadi maling! Pantas saja negeri ini terus-menerus salah urus!
Banyak yang mengira, akhirnya kita memiliki presiden yang serius mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun ternyata, SBY, presiden sekarang hanya seolah-olah cukup banyak kasus korupsi yang dibongkar dan di bawa ke pengadilan. Seolah-olah bekas pejabat yang dulunya nampak tidak bisa disentuh oleh hukum sekarang meronta-ronta berkelit membela diri. Seolah-olah bagi rakyat ada perubahan yang terjadi. Seolah-olah tidak ada lagi celah untuk sembunyi bagi setiap pelaku korupsi yang terjadi di masa lalu. Seolah-olah pemerintahan SBY mengintai setiap saat pelaku korupsi untuk dijebloskan, bahkan anggota KPU sekali pun juga ikut dijebloskan ke dalam penjara. Semua itu nampaknya memang cuma seolah-olah saja. Seolah-olah pemerintah melihat praktek korupsi sebagai dosa besar yang harus dicuci bersih dari bumi Indonesia, baik dilakukan di masa lalu maupun di masa sekarang.
Namun jika melihat kasus keluarga Suharto yang tidak disentuh dengan mengatasnamakan hukum dan jika melihat kasus BLBI yang merugikan negara ratusan trilyun rupiah, tidak nampak keseriusan SBY. Padahal pemerintahannya sudah berjalan 2.5 tahun. Bagi rakyat jelata seperti saya, jika ada itikad baik, yaitu itikad untuk memberikan rasa keadilan rakyat, maka hukum atau aturan yang ada bisa digunakan untuk mengembalikan harta kekayaan rakyat. Bukan sebaliknya, hukum atau aturan yang ada justru digunakan agar keluarga Suharto bisa menikmati hidupnya dengan aman dan tenteram.
Betapa pun sulitnya mengejar kasus keluarga Suharto atau uang BLBI ini, tidak terlihat strategi yang bisa memuaskan rakyat. Padahal mereka inilah yang membangkrutkan Indonesia. Kasus-kasus ini cukup membuat rakyat kehilangan rasa aman pada masa depan mereka.
Di tengah-tengah rasa ketidakadilan ini, tiba-tiba muncul pengakuan Amien Rais yang telah menerima uang dari Rokhmin Dahuri di tahun 2004 lalu untuk biaya kampanye pasangan capres. Amien juga menegaskan bahwa capres lainnya pun menerima uang dari Rohmin ini. Pengakuan ini tentu mengejutkan rakyat. Meskipun sekaligus melegakan, karena ada pemimpin yang berani jujur dan mau menerima konsekwensinya, namun ada hal lain yang sangat melukai hati rakyat, yaitu ternyata Amien pun ikut-ikutan “mengkorupsi” uang rakyat melalui DKP. Meski saya tolol soal aturan pemilu atau aturan tata negara, tentu tidak mungkin bisa seorang calon presiden menerima uang yang seharusnya untuk mengurus Kelautan dan Perikanan Indonesia bukan untuk mengurus kampanye pasangan capres Amien Rais.
Apa yang sedang dan akan terjadi pada negeri ini, jika semua orang ternyata mudah menjadi maling atau menjadi bagian dari praktek-praktek - yang tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai - korupsi, sebagaimana yang dilakukan oleh Amien Rais itu? Apa yang sudah merasuki pikiran Amien Rais sehingga ia tidak melihat keganjilan asal uang itu dan begitu entengnya tanpa sembunyi-sembunyi menerima uang - yang bagi saya yang rakyat jelata adalah - milik rakyat di sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang masih morat-marit itu? Apa yang terjadi pada KPU dan Panwaslu Pemilu 2004 sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal untuk mengawasi dana kampanye yang digunakan oleh para pasangan capres. Apa yang terjadi pada departemen-departemen pemerintah sehingga bisa membagi-bagikan uang rakyat ke mana mereka suka? Bagaimana tanggung-jawab presiden waktu itu jika ada menterinya yang menghambur-hamburkan uang rakyat ke tempat yang tidak semestinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang membuat saya pesimis dengan masa depan Indonesia....
Kemarin, Amien Rais setelah pertemuannya dengan SBY di Halim PK sudah menegaskan bahwa persoalan uang DKP yang dihambur-hamburkan untuk kampanye para pasangan capres 2004 lalu adalah persoalan hukum, bukan politik. Kalau begitu, rakyat kini menunggu, apakah uang DKP itu akan ditelusuri untuk melihat capres mana saja yang menerimanya dan apakah rakyat akan tetap disuguhi dagelan nggak lucu tentang bagaimana negeri ini dipimpin oleh para pemimpin yang penuh tenggang rasa dan tidak suka berkelahi? Kalau yang satu korupsi, daripada ribut-ribut di tengah rakyat miskin dan di tengah berbagai persoalan bangsa lainnya, maka berkorupsi lah berramai-ramai supaya “adil” dan supaya negeri ini tetap memiliki “pemimpin”, meski pemimpin korup seperti mereka.
Jojo Rahardjo
Wednesday, May 30, 2007
Tuesday, May 22, 2007
TEROWONGAN AIR SENILAI 16,3 TRILIUN UNTUK MENGATASI BANJIR DI JAKARTA
Media Konsumen 22 Mei 2007
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
http://www.mediakonsumen.com/Artikel527.html
Awal Maret 2007 lalu, Ketua Badan Regulator PAM DKI , Achmad Lanti mempresentasikan kepada Pemprov DKI Jakarta sebuah konsep mengatasi banjir di Jakarta dengan membangun sebuah terowongan air besar dan reservoir atau juga disebut Deep Tunnel Sewerage System (DTSS). Terowongan dan reservoir ini mampu menampung 30 juta kubik air atau akan sanggup menampung limpahan air banjir selama 18 jam.. Konsep ini dilemparkan agar menjadi wacana. Kemarin 21 Mei 2007, Ahcmad Lanti kembali memaparkan konsep ini di Balaikota Jakarta.
Achmad Lanti, memaparkan bila proses pembangunan dimulai pada 2008 maka dalam tujuh tahun proyek berbiaya Rp 16,3 triliun itu dapat diselesaikan sesuai harapan.... Proyek pembangunan terowongan multifungsi bawah tanah yang mampu digunakan untuk sejumlah keperluan perkotaan di Jakarta diharapkan dapat selesai pada 2014 dan menjadi salah satu infrastruktur pengendali banjir di ibukota. Terowongan bawah tanah tersebut, masih menurutnya, memiliki tiga fungsi yaitu dapat digunakan sebagai jaringan transportasi yaitu sebagai jalan tol bagi kendaraan, tempat pengolahan limbah dan saluran jaringan utilitas seperti kabel telepon dan listrik. (http://www.kompas.com/ver1/metropolitan/0705/21/194548.htm).
Konsep mengatasi banjir di Jakarta ini nampaknya berangkat dari pemikiran bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman melalui Ciliwung. Itu sebabnya terowongan air ini akan dimulai dari jalan MT Haryono (jembatan Kali Ciliwung) mengikuti sungai Ciliwung hingga Kanal Banjir Barat sepanjang 22 km.
Terowongan air ini rupanya juga menjadi bagian dari kebijakan untuk mengatasi banjir yang selalu menimpa Jakarta setiap tahun, seperti antara lain pembangunan dan pengelolaan Banjir Kanal Barat (BKB) dan Timur (BKT). Melakukan normalisasi kali Ciliwung, Cipinang dan lainnya, termasuk resettlement penduduk di bantaran kali, pengerukan sungai, pelebaran badan sungai. Pembuatan terowongan (sodetan) Kali Ciliwung – Cisadane. Menuntaskan kebijaksanaan penyimpanan air di wilayah Depok dan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya dengan membangun situ-situ. Melakukan koordinasi dengan beberapa pemda lain dan perguruan tinggi untuk memperbaiki daerah-daerah resapan air. Termasuk perencanaan serta pelaksanaan pembangunan regional untuk menegakkan kebijaksanaan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH), daerah resapan air, Waduk-waduk serta sistem drainase dalam kota.
Semua kebijakan mengenai banjir itu sudah bertahun-tahun dicanangkan dan “untungnya” sudah diuji pada 2 Februari 2007 lalu. Hasilnya amat mengejutkan semua orang. Karena banjir dari tahun ke tahun ternyata menjadi bertambah parah. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir, “terbukti” mendapat “keanggotaan” wilayah banjir. Bahkan meski masa banjir besar sudah lewat, kini hujan lebat kurang dari 1 jam saja sudah bisa menyerbu beberapa wilayah di Jabodetabek akhir-akhir ini.
Rencana besar Terowongan air dan BKB dan BKT saya kira tidak akan “menyentuh” banyak wilayah banjir di Jabodetabek. Sebagai contoh wilayah banjir yang bakal terabaikan adalah wilayah di mana saya tinggal – bintara - yang tentu saja ada banyak lagi wilayah seperti ini. Wilayah saya ini berada di perbatasan Jakarta dan Bekasi. Sebuah wilayah yang memerlukan kordinasi 2 pemerintahan daerah untuk bisa mengatasi banjir. Di sebelah Utara adalah Cakung, di sebelah barat ada Pondok Kopi dan Klender, di sebelah Timur adalah Kranji, Bekasi, dan di sebelah Selatan adalah Kalimalang. Wilayah ini tidak pernah tercatat mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Sebelumnya memang belum ada bangunan (perumahan) dan jalan-jalan raya di bangun di wilayah ini. Perumahan di wilayah ini adalah Duta Kranji, Mas Naga, Griya Bintara Indah, Bintara Loka Indah, Pondok Cipta, Prima Bintara, Harapan Indah Regency dan lain-lain.
Mengapa wilayah ini sekarang menjadi wilayah banjir? Tentu saja ini disebabkan oleh tidak adanya pengaturan saluran air dan resapan air yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat ketika sebuah rencana pembangunan wilayah dan perumahan diajukan. Sebagai contoh, di wilayah ini dulu ada situ yang sekarang ditimbun untuk menjadi perumahan, pertokoan dan jalan raya. Entah baboon mana yang memberi izin untuk mengubur situ itu. Bahkan di tengah ancaman banjir yang akan melanda setiap tahun di wilayah ini, Bekas situ yang sudah dikubur itu akan segera dibangun pertokoan atau mal pada tahun ini juga. Luar biasa....
Saya bukan ahli tata kota dan begitu juga warga lainnya di wilayah saya, tapi saya bisa merasakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan agar Banjir Kanal Barat dan Timur bisa berfungsi. Biaya akan membengkak karena harus ditambahkan untuk membangun kembali saluran-saluran air (dari wilayah yang jauh) untuk menuju ke Banjir Kanal Barat dan Timur. Padahal Banjir Kanal Barat dan Timur pun dikritik oleh beberapa ahli lingkungan karena tidak ramah lingkungan di bandingkan dengan membuat sumur resapan di tiap-tiap wilayah (terutama perumahan). Biayanya akan jauh lebih kecil sebagaimana yang saya baca atau saya lihat pemaparannya oleh ahli lingkungan hidup di media cetak dan elektronik.
Meski konsep Terowongan Air untuk mengatasi banjir Ciliwung bagus, tetapi saya berharap, untuk wilayah lain yang bukan dalam daerah aliran Ciliwung agar menggunakan konsep mengatasi banjir yang lebih praktis dan ramah lingkungan seperti sumur resapan tersebut di atas. Kita tentu harus berhati-hati dengan tiap sen uang rakyat yang dikeluarkan. Mengingat dananya yang amat besar, 16,3 trilyun, dan menjelang pemilu 2009, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar dananya tidak dijadikan target untuk digerogoti tikus-tikus wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi yang mau mencalon diri pada pemilu mendatang.
Pada situasi negeri kita yang seperti ini, lagi-lagi, kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi yang terbaik, bukan solusi yang mengandalkan uang yang besar. Dengan uang, tentu apa pun bisa dibikin dan oleh siapa saja, termasuk anak-anak....
Jojo Rahardjo
Labels:
banjir,
banjir kanal,
ciliwung,
dki,
dtss,
pam,
terowongan bawah tanah,
transportasi
Subscribe to:
Posts (Atom)