Tulisan ini penting untuk membiasakan konsumen Indonesia untuk “berpolemik” di media massa tentang aturan pemerintah yang “samar-samar” atau justru malah membingungkan. Melalui bea meterai pada lembar penagihan KK, perusahaan KK bisa menarik dana puluhan milyar rupiah per tahun untuk disetorkan kepada negara. Persoalannya adalah apakah negara memang bermaksud menarik itu dari masyarakat konsumen atau dari perusahaan KK? Persoalan kedua adalah apakah perusahaan KK dengan jujur menyetor semua dana yang dikumpulkannya itu?
Media Konsumen, 17 September 2007
Ada banyak permainan yang dijalankan oleh perusahaan Kartu Kredit (KK) untuk menjerat anda agar terus berada di dalam permainan mereka selama mungkin. Permainan ini sebagian legal alias tidak melanggar hukum dan sebagian lagi illegal. Kedua-duanya dapat merugikan anda dan dapat membuat anda menjadi penghutang sepanjang sisa hidup anda. Permainan ini tentu menguntungkan perusahaan KK. Anda bisa menghindari masuk ke dalam permainan ini, jika anda tahu kiatnya sebagaimana disarankan di banyak situs Internet tentang permainan KK atau dalam tulisan saya sebelumnya (http://www.mediakonsumen.com/Artikel350.html ). Biasanya di Internet kiat ini diberi judul “Winning the Credit Card Game.”
Apa pun yang bisa dilakukan untuk mengeruk keuntungan akan dilakukan oleh perusahaan KK, termasuk Citibank. Salah satu caranya adalah dengan membebankan bea meterai kepada konsumennya. Mengapa itu sebuah credit card game? Karena konsumennya tidak tahu, apakah bea meterai yang konsumen bayar (dengan maksud dibayarkan kepada Dirjen Pajak atau negara) melalui Citibank betul telah atau akan disalurkan oleh Citibank kepada negara? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Citibank, maka Citibank pun tidak mau menjawab pertanyaan ini atau menjawab dengan cara berbelit-belit dan membuat tidak nyaman konsumennya.
Soal bea meterai ini mencuat karena diawali oleh Hagus yang telah menjadi pemegang KK Citibank sejak tahun 1993 mempertanyakan bea meterai yang dibebankan pada setiap lembar penagihan (cari tulisan-tulisan Pak Hagus dengan fasilitas “Cari” yang ada di situs http://www.mediakonsumen.com/ ini). Bahkan pada beberapa lembar penagihan ada 2 bea meterai yang harus dibayar oleh Pak Hagus. Pak Hagus mempertanyakan beban bea meterai pada konsumen karena tidak ditemukan dasar hukumnya.
Memang ada sebuah pasal yang berbunyi seperti ini: MENGHIMBAU KEPADA PENERBIT DOKUMEN UNTUK SEGERA MENGENAKAN BEA METERAI ATAS DOKUMEN YANG DITERBITKAN. Himbauan itu tertulis dalam dalam SE Dirjen Pajak no 13 th 2001. Kata menghimbau dalam bahasa Indonesia berarti menganjurkan, tidak memaksa, menyarankan, tidak mewajibkan. Memang kalimat yang digunakan dalam pasal Dirjen Pajak ini kurang tegas dalam maksudnya dan bisa ditafsirkan atau dipelintir artinya. Jika peraturan itu menggunakan kata “mewajibkan” atau “mengharuskan”, tentu penafsirannya akan berbeda dan menjadi lebih tegas.
Meski bukan hanya Citibank yang menafsirkan pasal itu sebagai alasan untuk membebankan konsumennya dengan bea meterai atas dokumen (lembar penagihan) yang diterbitkan, namun itu bukan berarti Citibank bisa memaksakan konsumennya untuk membayar bea meterai dan tidak mau mengembalikannya ketika diminta oleh konsumennya.
Ini memang sebuah wacana publik tentang bea meterai yang dibebankan sebuah perusahaan kepada konsumen. Ini pembelajaran kepada masyarakat konsumen Indonesia agar tidak gampang menerima “pemelintiran” kebijakan Pemerintah oleh perusahaan swasta atau asing untuk mengeruk atau mengumpulkan dan memanfaatkan dana yang jumlahnya bisa Puluhan Milyar Rupiah per tahunnya untuk tujuan yang tidak diketahui oleh konsumennya.
Berdasarkan pada PPRI no 24/2000 dan SE Dirjen Pajak no 13/2001 itu, Pak Hagus berpendapat bahwa pemegang KK tidak diwajibkan untuk membayar bea meterai itu. Jika bukan pemegang KK yang diwajibkan untuk membayar bea meterai itu, maka tentu pembuat dokumen yang mendapat kewajiban itu. Oleh karena itu Pak Hagus mengajukan keberatan dan meminta pengembalian bea meterai itu yang sudah dikenakan sejak tahun 2000 itu. Keberatan itu diajukan dan dilakukan berulang-kali hingga membuat Pak Hagus kesal dan merasa amat tidak nyaman, meski pun akhirnya Citibank mulai mengembalikan sebagian kecil dari bea meterai yang telah ditagih Citibank pada periode bulan Juni 2005 hingga Oktober 2006. Itu pun Citibank tidak mengembalikan semua bea meterai yang sudah dibebankan kepada Pak Hagus. Bahkan Citibank telah secara sepihak memberikan laporan kepada Bank Indonesia, bahwa Pak Hagus memiliki tunggakan kepada Citibank sebesar sekian juta. Namun anehnya, Citibank tidak pernah menagih apalagi mengejar Pak Hagus untuk mendapatkan tunggakan itu.
Banyak ekses yang timbul atau terjadi dari proses pengajuan keberatan bea meterai yang dilakukan oleh Pak Hagus ini. Satu yang menonjol dan amat mengganggu rasa nyaman Pak Hagus adalah Citibank pernah menggunakan cara-cara yang menyinggung sara, yaitu Citibank pernah mempertanyakan apa agama Pak Hagus? Apakah Pak Hagus Muslim atau Nasrani? Rekaman pembicaraan itu masih disimpan oleh Pak Hagus. Karena Pak Hagus tidak menjawab pertanyaan Citibank itu, maka tidak diketahui apakah maksud dari pertanyaan itu. Apakah jika Pak Hagus menjawab bahwa ia menganut salah satu agama, itu akan mempengaruhi kualitas atau bentuk respon Citibank terhadap Pak Hagus? Meski didesak terus tentang maksud dari pertanyaan itu, Citibank hingga kini (pertemuan di Citibank Tower, 14 September) menolak menjawabnya. Cepat atau lambat, Pak Hagus akan memperkarakannya melalui jalur hukum.
Ekses yang lain adalah berbelit-belitnya Citibank dalam merespon Pak Hagus. Jika sebagian kecil bea meterai telah dikembalikan kepada Pak Hagus, mengapa tidak semua bea meterai yang pernah dibebankan kepada Pak Hagus dikembalikan? Bahkan ketika Pak Hagus, saya dan Pak Abdul Haris (yang juga pemegang KK Citibank) datang pada 14 September ke kantor pusat Citibank di Citibank Tower pun, Citibank yang diwakili oleh Hotman Simbolon dan Amalia Hutomo terus berputar-putar dan berbelit-belit dalam merespon permintaan Pak Hagus. Padahal Pak Hagus dan saya adalah pemegang KK Citibank sejak tahun 1993. Sedangkan untuk merespon permintaan saya dan Pak Abdul Haris, Citibank mencoba menolak dengan cara meminta kami untuk mengajukan permintaan ini secara tertulis. Ini sebuah langkah arogan Citibank yang menggambarkan betapa tidak pentingnya konsumen di mata Citibank. Atau ini hanya langkah salah dari 2 orang wakil Ctiibank, yaitu Hotman dan Amalia? Tentu banyak cara untuk meminta pengembalian bea meterai ini dan kami memilih memintanya secara terbuka di media massa dan atau melalui proses hukum yang ada.
Citibank pun menolak (tentu dengan cara berbelit-belit) permintaan Pak Hagus untuk memberikan bukti kepada Pak Hagus bahwa bea meterai yang telah dibayarkan kepada negara melalui Citibank memang telah dibayarkan oleh Citibank kepada negara. Penolakan ini tentu menjadi indikasi adanya kebusukan di Citibank. Jika tidak, tentu tidak akan sulit bagi Citibank untuk memberikan bukti itu, mengingat permintaan Pak Hagus itu adalah hak konsumen atas informasi yang seharusnya bisa dianggap permintaan yang mewakili seluruh konsumen Citibank.
Karena itu perlu adanya upaya pembuktian mengenai apakah Citibank telah menyetorkan bea meterai yang telah dibebankan kepada konsumennya kepada negara. Upaya ini seharusnya ini tidak sulit jika dilakukan di Dirjen Pajak, mengingat konsumen memiliki hak untuk mengetahui apakah Dirjen Pajak telah menerima uangnya atau tidak, betapa pun kecilnya itu.
Sekali lagi, ini memang baru sebuah wacana publik. Namun jika anda ingin bergabung dalam upaya mempersoalkan pembebanan bea meterai oleh Citibank kepada konsumennya, silahkan kunjungi situs Yahoo Groups: http://groups.yahoo.com/group/classactionforbetterindonesia . Mari bersama-sama mendiskusikan dan mempersoalkan ini dengan YLKI atau lembaga-lembaga lain yang memiliki kapasitas yang cocok. Mungkin saja kita bisa menyelamatkan uang puluhan milyar pertahun yang diduga telah “dirampok” oleh Citibank dari konsumennya. Jika “tuduhan” atau dugaan ini salah, tentu Citibank bisa menggunakan hak jawabnya di media ini dengan memberikan bukti-bukti yang menyakinkan konsumennya.
Jojo Rahardjo
Apa pun yang bisa dilakukan untuk mengeruk keuntungan akan dilakukan oleh perusahaan KK, termasuk Citibank. Salah satu caranya adalah dengan membebankan bea meterai kepada konsumennya. Mengapa itu sebuah credit card game? Karena konsumennya tidak tahu, apakah bea meterai yang konsumen bayar (dengan maksud dibayarkan kepada Dirjen Pajak atau negara) melalui Citibank betul telah atau akan disalurkan oleh Citibank kepada negara? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Citibank, maka Citibank pun tidak mau menjawab pertanyaan ini atau menjawab dengan cara berbelit-belit dan membuat tidak nyaman konsumennya.
Soal bea meterai ini mencuat karena diawali oleh Hagus yang telah menjadi pemegang KK Citibank sejak tahun 1993 mempertanyakan bea meterai yang dibebankan pada setiap lembar penagihan (cari tulisan-tulisan Pak Hagus dengan fasilitas “Cari” yang ada di situs http://www.mediakonsumen.com/ ini). Bahkan pada beberapa lembar penagihan ada 2 bea meterai yang harus dibayar oleh Pak Hagus. Pak Hagus mempertanyakan beban bea meterai pada konsumen karena tidak ditemukan dasar hukumnya.
Memang ada sebuah pasal yang berbunyi seperti ini: MENGHIMBAU KEPADA PENERBIT DOKUMEN UNTUK SEGERA MENGENAKAN BEA METERAI ATAS DOKUMEN YANG DITERBITKAN. Himbauan itu tertulis dalam dalam SE Dirjen Pajak no 13 th 2001. Kata menghimbau dalam bahasa Indonesia berarti menganjurkan, tidak memaksa, menyarankan, tidak mewajibkan. Memang kalimat yang digunakan dalam pasal Dirjen Pajak ini kurang tegas dalam maksudnya dan bisa ditafsirkan atau dipelintir artinya. Jika peraturan itu menggunakan kata “mewajibkan” atau “mengharuskan”, tentu penafsirannya akan berbeda dan menjadi lebih tegas.
Meski bukan hanya Citibank yang menafsirkan pasal itu sebagai alasan untuk membebankan konsumennya dengan bea meterai atas dokumen (lembar penagihan) yang diterbitkan, namun itu bukan berarti Citibank bisa memaksakan konsumennya untuk membayar bea meterai dan tidak mau mengembalikannya ketika diminta oleh konsumennya.
Ini memang sebuah wacana publik tentang bea meterai yang dibebankan sebuah perusahaan kepada konsumen. Ini pembelajaran kepada masyarakat konsumen Indonesia agar tidak gampang menerima “pemelintiran” kebijakan Pemerintah oleh perusahaan swasta atau asing untuk mengeruk atau mengumpulkan dan memanfaatkan dana yang jumlahnya bisa Puluhan Milyar Rupiah per tahunnya untuk tujuan yang tidak diketahui oleh konsumennya.
Berdasarkan pada PPRI no 24/2000 dan SE Dirjen Pajak no 13/2001 itu, Pak Hagus berpendapat bahwa pemegang KK tidak diwajibkan untuk membayar bea meterai itu. Jika bukan pemegang KK yang diwajibkan untuk membayar bea meterai itu, maka tentu pembuat dokumen yang mendapat kewajiban itu. Oleh karena itu Pak Hagus mengajukan keberatan dan meminta pengembalian bea meterai itu yang sudah dikenakan sejak tahun 2000 itu. Keberatan itu diajukan dan dilakukan berulang-kali hingga membuat Pak Hagus kesal dan merasa amat tidak nyaman, meski pun akhirnya Citibank mulai mengembalikan sebagian kecil dari bea meterai yang telah ditagih Citibank pada periode bulan Juni 2005 hingga Oktober 2006. Itu pun Citibank tidak mengembalikan semua bea meterai yang sudah dibebankan kepada Pak Hagus. Bahkan Citibank telah secara sepihak memberikan laporan kepada Bank Indonesia, bahwa Pak Hagus memiliki tunggakan kepada Citibank sebesar sekian juta. Namun anehnya, Citibank tidak pernah menagih apalagi mengejar Pak Hagus untuk mendapatkan tunggakan itu.
Banyak ekses yang timbul atau terjadi dari proses pengajuan keberatan bea meterai yang dilakukan oleh Pak Hagus ini. Satu yang menonjol dan amat mengganggu rasa nyaman Pak Hagus adalah Citibank pernah menggunakan cara-cara yang menyinggung sara, yaitu Citibank pernah mempertanyakan apa agama Pak Hagus? Apakah Pak Hagus Muslim atau Nasrani? Rekaman pembicaraan itu masih disimpan oleh Pak Hagus. Karena Pak Hagus tidak menjawab pertanyaan Citibank itu, maka tidak diketahui apakah maksud dari pertanyaan itu. Apakah jika Pak Hagus menjawab bahwa ia menganut salah satu agama, itu akan mempengaruhi kualitas atau bentuk respon Citibank terhadap Pak Hagus? Meski didesak terus tentang maksud dari pertanyaan itu, Citibank hingga kini (pertemuan di Citibank Tower, 14 September) menolak menjawabnya. Cepat atau lambat, Pak Hagus akan memperkarakannya melalui jalur hukum.
Ekses yang lain adalah berbelit-belitnya Citibank dalam merespon Pak Hagus. Jika sebagian kecil bea meterai telah dikembalikan kepada Pak Hagus, mengapa tidak semua bea meterai yang pernah dibebankan kepada Pak Hagus dikembalikan? Bahkan ketika Pak Hagus, saya dan Pak Abdul Haris (yang juga pemegang KK Citibank) datang pada 14 September ke kantor pusat Citibank di Citibank Tower pun, Citibank yang diwakili oleh Hotman Simbolon dan Amalia Hutomo terus berputar-putar dan berbelit-belit dalam merespon permintaan Pak Hagus. Padahal Pak Hagus dan saya adalah pemegang KK Citibank sejak tahun 1993. Sedangkan untuk merespon permintaan saya dan Pak Abdul Haris, Citibank mencoba menolak dengan cara meminta kami untuk mengajukan permintaan ini secara tertulis. Ini sebuah langkah arogan Citibank yang menggambarkan betapa tidak pentingnya konsumen di mata Citibank. Atau ini hanya langkah salah dari 2 orang wakil Ctiibank, yaitu Hotman dan Amalia? Tentu banyak cara untuk meminta pengembalian bea meterai ini dan kami memilih memintanya secara terbuka di media massa dan atau melalui proses hukum yang ada.
Citibank pun menolak (tentu dengan cara berbelit-belit) permintaan Pak Hagus untuk memberikan bukti kepada Pak Hagus bahwa bea meterai yang telah dibayarkan kepada negara melalui Citibank memang telah dibayarkan oleh Citibank kepada negara. Penolakan ini tentu menjadi indikasi adanya kebusukan di Citibank. Jika tidak, tentu tidak akan sulit bagi Citibank untuk memberikan bukti itu, mengingat permintaan Pak Hagus itu adalah hak konsumen atas informasi yang seharusnya bisa dianggap permintaan yang mewakili seluruh konsumen Citibank.
Karena itu perlu adanya upaya pembuktian mengenai apakah Citibank telah menyetorkan bea meterai yang telah dibebankan kepada konsumennya kepada negara. Upaya ini seharusnya ini tidak sulit jika dilakukan di Dirjen Pajak, mengingat konsumen memiliki hak untuk mengetahui apakah Dirjen Pajak telah menerima uangnya atau tidak, betapa pun kecilnya itu.
Sekali lagi, ini memang baru sebuah wacana publik. Namun jika anda ingin bergabung dalam upaya mempersoalkan pembebanan bea meterai oleh Citibank kepada konsumennya, silahkan kunjungi situs Yahoo Groups: http://groups.yahoo.com/group/classactionforbetterindonesia . Mari bersama-sama mendiskusikan dan mempersoalkan ini dengan YLKI atau lembaga-lembaga lain yang memiliki kapasitas yang cocok. Mungkin saja kita bisa menyelamatkan uang puluhan milyar pertahun yang diduga telah “dirampok” oleh Citibank dari konsumennya. Jika “tuduhan” atau dugaan ini salah, tentu Citibank bisa menggunakan hak jawabnya di media ini dengan memberikan bukti-bukti yang menyakinkan konsumennya.
Jojo Rahardjo
31 comments:
zDNFYQ The best blog you have!
S1EBPq Please write anything else!
Thanks to author.
Hello all!
actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.
Nice Article.
Hello all!
Magnific!
Magnific!
Please write anything else!
Magnific!
JcGuJf write more, thanks.
Thanks to author.
Wonderful blog.
Wonderful blog.
Good job!
Nice Article.
Hello all!
Please write anything else!
Hello all!
Wonderful blog.
Wonderful blog.
actually, that's brilliant. Thank you. I'm going to pass that on to a couple of people.
Wonderful blog.
Wonderful blog.
When there's a will, I want to be in it.
Give me ambiguity or give me something else.
Energizer Bunny Arrested! Charged with battery.
What is a free gift ? Aren't all gifts free?
Build a watch in 179 easy steps - by C. Forsberg.
Build a watch in 179 easy steps - by C. Forsberg.
Post a Comment