Di sebuah pagi, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang baru saja selesai bersahur, Ali ibn Abi Thalib ditebas kepalanya di sebuah mesjid di tahun ke-40 Hijriah ketika sedang melakukan shalat shubuh. Ali ibn Abu Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad dan Khalifah atau pemimpin ummat Islam yang ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad beberapa tahun sebelumnya. Penebas kepala Ali itu bernama Abdurrahman ibn Muljam, seorang yang dikenal amat rajin beribadah siang dan malam, bahkan hapal Al-Quran. Kerajinannya dalam beribadah melebihi kebanyakan orang. Jidatnya menghitam karena terlalu banyak sujud. Ibn Muljam ini bukan orang baru di lingkungan Nabi Muhammad, bahkan ia adalah salah satu staf di pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Siapa pun yang mengenal ibn Muljam tidak akan ragu untuk menyebutnya sebagai orang yang bakal menghuni surga. Namun demikian sejarah juga mencatat, meski Ibn Muljam ini seorang yang rajin beribadah, tetapi ia adalah seorang yang dangkal dalam memahami Islam.
Ibn Muljam yakin berada di jalan Allah SWT ketika mengeksekusi Ali. Pembunuhan ini bisa disebut sebagai kasus terorisme pertama yang dilakukan oleh seorang muslim (saya tidak menyebut semua muslim itu teroris). Ibn Muljam bahkan terus meyakini memegang “kebenaran” hingga saat dihukum mati. “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Begitu teriak Ibn Muljam (Tiar Anwar Bachtiar, http://persis.or.id/?p=895 ).
Ibn Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena Ali dianggap telah berkhianat dari hukum Allah setelah Ali berdamai dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (muslim juga) yang selama ini meradang. Mu’awiyah dan beberapa sahabat Nabi Muhammad sebelumnya menuntut kepada Ali untuk menuntaskan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah sebelum Ali). Pembunuhan Utsman ini didalangi oleh kelompok Khawarij (semacam organisasi politik garis keras). Khawarij ini juga telah memicu beberapa perang antar kelompok muslim sendiri dan Ibn Muljam adalah salah satu anggotanya yang kemudian direkrut untuk menjadi eksekutor pembunuhan Ali.
Kesholehan Ibn Muljam amat tidak diragukan lagi. Begitu juga para pelaku bom bunuh diri di Indonesia atau teroris di seluruh dunia. Mereka dikenal santun dan murah hati. Namun kedangkalan pikirannya mampu menghapus segala kesholehannya dan menggantikannya dengan perbuatan setan untuk mencederai dan membunuhi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak tahu apa-apa, bahkan juga orang-orang yang sebenarnya ikut memerangi kejahatan. Para teroris ini sering memilih tempat umum, di mana terdapat lebih banyak anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tidak berdosa lainnya dibanding musuh-musuh mereka. Para Khawarij modern ini sebenarnya para pengecut yang kerjanya merekrut para remaja atau orang-orang muda yang tentu juga dangkal pikirannya untuk dengan gampang direkrut menjadi “pengantin” atau pengebom bunuh diri, sementara itu para perekrut ini tidak mau ikut menjadi pengebom bunuh diri, bahkan beberapa di antara mereka mati bersembunyi di kamar mandi saat polisi menyerbu mereka.
Jadi buat orang-orang yang gampang bersumpah dengan nama Allah, berhati-hatilah, karena bagi saya atau orang-orang seperti saya, mereka lebih mirip dengan orang yang sedang kerasukan setan, dibanding orang religius yang sedang mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang saya maksud adalah pejabat negara yang bersumpah dengan nama Allah karena sedang dicurigai atau dituduh melakukan kejahatan terhadap negeri ini. Mereka juga sekaligus berkoar-koar, bahwa mereka lebih memiliki “kebenaran” dibanding siapa pun. Padahal bukan sumpah yang diharapkan keluar dari moncong mereka, karena mereka sesungguhnya pejabat negara yang dituntut sepanjang waktu untuk terbuka dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka juga dituntut untuk tidak arogan atau merasa sebagai orang yang tepat di tempatnya, karena bukan ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu agama yang mereka pelajari dan praktekkan bertahun-tahun yang menjadi ukuran baik atau benarnya apa yang mereka kerjakan, tapi moral yang berkembang di masyarakat lah yang menjadi ukuran.
Terorisme yang dilakukan oleh para Khawarij dulu dan Khawarij modern itu adalah hanya sebuah contoh ekstrim tentang bagaimana kesholehan atau perbuatan baik yang sudah dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, bukan satu-satunya ukuran untuk menilai satu kejahatan yang diduga dilakukannya.
Di bawah ini adalah contoh ucapan para pejabat negara yang ingin terlihat religius.
"Di segala zaman, Tuhan selalu pada pihak kebenaran," kata Wakil Presiden Boediono (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/04/10045551/Boediono.Tuhan.Selalu.Berpihak.pada.Kebenaran ).
Presiden Yudhoyono: "Kebenaran dan keadilan akan datang. Barangkali terlambat, tapi Insya Allah akan datang karena itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa" (http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38829&Itemid=1122 ).
"Demi Allah saya bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi petunjuk pada saya," demikian kata Sri Mulyani saat disumpah Ketua Pansus Century Idrus Marham (http://www.kabarbisnis.com/keuangan/nasional/288700-Sri_Mulyani_bersumpah__Demi_ALLAH_.html ).
Sekali lagi, “kebenaran”, entah apa pun artinya itu, ternyata tidak terletak pada orang-orang yang nampak religius, tapi terletak entah di mana….
Jojo Rahardjo
No comments:
Post a Comment