Saya kecewa dengan Asuransi Jaya Proteksi. Klaim penggantian kaca jendela depan yang saya ajukan hari Senin siang 25 Oktober 2010 baru selesai hari ini, Sabtu 30 Oktober 2010 (No. Polis 02.01.10.018050).
Mungkin saya tidak keberatan jika saya diberitahu sejak awal, bahwa proses penggantian kaca yang begitu sederhana itu bisa memakan waktu 5 hari lebih. Namun tidak ada informasi mengenai itu, sehingga saya harus menghubungi berkali-kali cabang Jaya Proteksi yang di Kelapa Gading Boulevard dan bengkel Top Motor (rekanan Jaya Proteksi) di Sunter Kemayoran. Bahkan saya sudah mengirim 2 fax supaya saya menjadi jelas tentang kapan kendaraan saya ditangani. Kaca jendela adalah penting sekali pada sebuah kendaraan, sehingga saya berharap supaya bisa cepat ditangani. Sayang sekali, ternyata Jaya Proteksi ternyata tidak menerapkan standar penanganan klaim yang baik.
Kekecewaan saya semakin besar, karena pihak bengkel juga tidak terlihat mau kooperatif. Jika saya telpon, mereka seperti terganggu, padahal itu hak saya untuk menanyakan kapan kaca jendela saya akan tersedia, begitu juga kapan kaca film akan dipasang.
Saya sungguh tidak mengerti, bagaimana sebuah kordinasi begitu amat kacaunya (antara Jaya Proteksi, bengkel, dan supplier) untuk memasang sebuah kaca jendela dengan kaca filmnya? Klaim sudah saya ajukan hari Senin siang, dan hari Senin itu juga saya ke bengkel untuk memberikan surat (SPK?) dari Jaya Proteksi. Setelah menelpon berkali-kali, kaca jendela dipasang hari Kamis, sedangkan kaca film baru terpasang pada hari ini, Sabtu. Itu pun berkat komunikasi saya dengan pihak supplier (Ibu Nana, Toko Maju Mandiri kebetulan adalah supplier yang baik).
Selain merasa tidak nyaman, saya pun kehilangan banyak waktu, karena harus terus berkomunikasi dengan Jaya Proteksi dan Bengkel sepanjang hari Selasa hingga Jumat. Karena saya merasa dirugikan, maka saya harus mengingatkan orang-orang di berbagai media agar mempertimbangkan apa yang saya alami ketika memutuskan membeli asuransi kendaraan, terutama Jaya Proteksi.
Saturday, October 30, 2010
Thursday, October 21, 2010
INFRASTRUKTUR DAN KORUPSI
Pagi ini kendaraan saya kembali tersungkur di sebuah lubang yang dalam. Suaranya keras sekali, braak! Lubang itu berada di jalan raya Cilincing menuju Cakung. Ini bukan yang pertama kalinya kendaraan saya tersungkur di lubang. Banyak lubang menganga di sepanjang jalan Cilincing-Cakung dan arah sebaliknya. Lubang ini juga membahayakan kendaraan roda dua. Sudah tak terhitung berita mengenai kecelakaan kendaraan roda yang menewaskan pengendaranya di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Bahkan jalan ini adalah jalur transportasi barang dari pelabuhan Tanjung Priok menuju jalan tol untuk menuju Jawa Barat, Tengah dan Timur. Artinya ini jalur yang penting untuk sebuah kegiatan ekonomi di pulau Jawa. Gilanya, lubang itu tidak hanya berada di jalan biasa, tetapi juga tidak terkecuali di jalan tol bebas hambatan Jakarta Outer Ring Road (JORR) TanjungPriok-PondokIndah-Bintaro. Padahal Toll JORR itu tidak gratis, malah selalu naik, meski sudah terlalu mahal. Lubang-lubang ini selain mengganggu kenyamanan, juga membahayakan truk-truk yang membawa beban sangat berat.
Saya sudah menulis beberapa tulisan mengenai ini. Begitu juga sudah tak terhitung orang yang menulis soal ini atau sudah tak terhitung media yang menjadikan ini sebagai tajuk utama atau laporan utama, baik di media cetak maupun elektronik. Namun ternyata demokrasi atau kebebasan berekspresi sekalipun tidak menjadikan infrastruktur di negeri ini menjadi lebih baik.
Andai saja, negeri ini memiliki presiden yang membenci korupsi dengan amat sangat, tentu lubang di jalan ini tidak akan ada. Kondisi infrastruktur yang tidak memadai ini, tentu disebabkan oleh korupsi yang berurat-berakar di negeri ini. Bagaimana mungkin presiden mau dan bisa memberantas korupsi , jika biaya kampanyenya berasal dari korupsi? Karena korupsi pasti saling kait mengkait. Jika yang di atas korupsi, maka yang di bawahnya pasti terkena cipratannya. Jika yang di bawah korupsi, maka yang di atas harus mendapat upeti. Korupsi itu pasti berjamaah, hingga mereka pun saling dukung-mendukung dan saling melindungi antar sesama koruptor. Begitu juga presiden yang lahir dari hasil korupsi, pasti pendukungnya adalah koruptor. Sebaliknya, mana mungkin presiden memberantas koruptor yang menjadi teman pendukungnya yang koruptor juga.
Saya jadi teringat pada Susno Duadji ketika menjabat sebagai Kapolda Jabar beberapa tahun lalu. Meski banyak yang pesimis ketika ia meminta anak buahnya untuk menandatangani kontrak untuk tidak korupsi, namun saya melihatnya sebagai sebuah terobosan atau sebuah cara yang praktis namun sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi. Langkah Susno ini waktu itu, pasti membuatnya berada pada posisi sulit untuk melakukan korupsi, begitu juga anak buahnya.
Pemberantasan korupsi memang tidak bisa hanya dengan diam saja, menunggu atau mengandalkan sistem hukum yang ada, karena korupsi adalah sebuah perilaku yang berawal dari watak orang yang tersesat (dalam memandang kehidupan ini) yang saling menular hingga ukuran moral pun berubah di negeri ini. Seorang pemimpin dengan situasi seperti ini dituntut untuk mampu memberikan sangsi sosial dan sangsi moral kepada anak buahnya agar menjadi sistem anti korupsi yang tidak tertulis. Salah satu caranya adalah dengan berkoar-koar kepada anak buahnya bahwa korupsi adalah sebuah perbuatan yang sangsinya adalah pemecatan tanpa menunggu proses hukum. Langkah Susno ini tentu membuat orang terus mengukur tindakannya. Susno tentu bukan orang suci atau orang yang bersih dari segala kesalahan, namun sejarah akan mencatat, bahwa ia adalah salah satu orang yang mencoba memberantas korupsi secara sungguh-sungguh di negeri ini, tidak seperti presiden negeri ini yang personalitynya lebih mirip seorang banci.
Jadi kapan infrastruktur di Indonesi menjadi baik? Mana gua tau!
EAT PRAY LOVE, bukan The Stranger, bukan Last Tango in Paris, bukan pula The War of the Roses
Film ini tidak dibuka dengan pemandangan pantai atau tempat-tempat wisata dimana turis mancanegara banyak berkeliaran, tapi dibuka dengan pemandangan sawah-sawah di desa Ubud, sebuah tempat di pulau Dewata, Bali. ELizabeth Gilbert (Julia Roberts) nampak mengayuh sepeda di sebuah jalan kecil yang membelah sawah-sawah itu. Kemudian Julia Robert berhenti di depan sebuah rumah khas Bali dan memarkir sepedanya. Rumah itu berada di sebuah jalan kecil yang sepi dan bentuk pagar batu rumah itu sangat khas Bali, dengan gapura kecil dan undak-undakan. Di adegan ini saya menarik nafas panjang. Tiba-tiba saya juga ingin berada di sana, berada di suasana spiritual yang dulu pernah saya rasakan beberapa tahun yang lalu, berjalan di jalan-jalan kecil yang jauh dari keramaian wisatawan. Saya ingin lagi menatapi bagian pagar batu rumah-rumah Bali itu. Saya bahkan ingin menatapi undak-undakannya, menatapi kekhasannya. Saya suka detil pagar rumah orang Bali. Pagar batu itu membuat saya juga ingin lagi menatapi orang-orang Bali melakukan ritualnya di pagi hari.
Saya harus tegaskan, saya suka bagian awal dari film ini. Ini film kedua tentang penulis yang saya tonton di tahun 2010, setelah Ghost Writter. Meski demikian film ini bukan tentang profesi menulis, tetapi tentang "perjalanan spiritual" seorang penulis Amerika. Setelah ternganga dengan pemandangan desa Bali di bagian awal, saya kemudian berharap film ini akan terus bernuansa spiritual Bali seperti ini, bukan bernuansa Bali yang hiruk pikuk dengan wisatawan dari seluruh dunia yg bertelanjang baju di jalan-jalan Kuta. Namun, film ini lebih dari separuhnya bersetting di beberapa tempat di dunia, yaitu Amerika, Italy, India dan Bali. Bali menjadi bagian awal dan akhir film ini. Dua jempol saya berikan buat film ini karena bagus menyajikan pemandangan di Italy, India dan Bali. The scenery is breathtaking, karena mampu menonjolkan apa yang memang menjadi ciri khas kota-kota itu, misalnya pemandangan khas kota-kota di India yang kumuh namun melahirkan spiritualisme universal dan pemandangan gerakan tangan khas orang-orang Italy ketika berbicara.
Namun sayang menurut saya film ini gagal menggambarkan keterasingan Liz dari dunia yg seharusnya bisa menjadi miliknya. Film yang diangkat dari sebuah buku memoir (2006) berjudul sama oleh dan tentang ELizabeth Gilbert, bahkan ber-happy-ending. Sebuah ending yang klise (mungkin di memoirnya memang begitu). Liz di Bali digambarkan menemukan apa yang dicari dalam hidupnya, yaitu "balance". Namun nampaknya film ini memang hanya untuk memenuhi kerinduan penonton pada Julia Roberts ketika bermain di Pretty Woman, sedangkan saya berharap menonton Julia Roberts ketika bermain di Erin Brokovich.
Saya belum membaca memoirnya, namun sebaiknya film ini juga menonjolkan tentang keterasingan Liz yang tidak dapat dijelaskan. Mungkin untuk itu diperlukan seorang sutradara khusus. Ini memang bukan film untuk yang menyukai "spritualisme yang dalam" atau film yang penuh adegan konflik kejiwaan atau dialog-dialog spiritual.
Saya membayangkan film ini bisa lebih baik untuk saya jika film ini bisa menorehkan luka pada penontonnya. Luka yang membuat penonton tidak berhenti merenung-renung tentang makna hidupnya, namun kemudian di bagian akhir tidak juga menemukan apa yang dicarinya. Saya tentu berharap ini film tentang The Stranger (novel oleh Albert Camus, 1942) dalam versi popnya atau film seperti Last Tango in Paris (Marlon Brando, 1972). Bahkan sejauh yang saya ingat The War of the Roses (Michael Douglas, Kathleen Turner, and Danny DeVito, 1981) jauh lebih baik menggambarkan keterasingan istri terhadap suaminya.
Jojo Rahardjo
Wednesday, October 06, 2010
PLANET BUMI TERANCAM PETERNAKAN
Beberapa tahun terakhir ini, melalui Internet saya menemukan beberapa ajakan untuk menjadi vegetarian dalam rangka menyelamatkan planet Bumi ini, baik melalui email, blog, situs berita, maupun dari social networking. Awalnya tidak begitu saya pedulikan, namun akhirnya saya penasaran, apa hubungannya “menjadi vegetarian” dengan keselamatan planet Bumi, begitu saya bertanya-tanya. Di bawah ini adalah sebuah ringkasan dari berbagai tulisan mengenai itu.
Setelah sedikit Googling, saya cukup terkejut dengan apa yang telah dicapai umat manusia dalam mencukupi kebutuhan protein di dalam makanannya, terutama daging dari ternak hewan dan unggas. Jika dahulu kala manusia makan daging ternak hanya dari hewan dan unggas yang ada di sekitarnya, sekarang hewan dan unggas dipelihara di sebuah tempat yang tidak lagi mirip dengan peternakan hewan dan unggas, tetapi lebih mirip sebuah pabrik besar di mana hewan dan unggas dihasilkan, kemudian daging ternak ini dikirim berjuta-juta kilometer jauhnya melintasi lautan atau benua untuk dikonsumsi. Di pabrik itu tingkat kematian ternak sangat kecil, meski bukan berarti ternak itu sehat. Hewan dan unggas itu mendapat suntikan aneka obat atau hormon agar tetap hidup dan tumbuh amat cepat untuk dapat segera dipotong.
Yang juga mengejutkan adalah, jika dahulu kala hewan hanya makan dari tumbuhan yang tersedia di sekitarnya, sekarang jutaan hektar hutan di seluruh dunia yang seharusnya menjadi paru-paru dunia ditebang untuk dijadikan pertanian atau perkebunan yang hasil panennya diperuntukan bagi makanan ternak di berbagai belahan dunia yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah manusia yang mengkonsumsinya. Ternak yg jumlahnya milyaran ini tentu harus diberi makan. Silahkan bayangkan berapa luas pertanian atau perkebunan di planet Bumi ini yang harus disediakan untuk memberi makan ternak ini. Contohnya adalah, di Amerika Selatan, 400 juta hektar tanaman kedelai digunakan sebagai pakan hewan ternak, padahal seluruh manusia di planet Bumi ini hanya memerlukan 25 juta hektar saja untuk mendapatkan pasokan protein nabati. Penggunaan 1 hektar lahan yang hasilnya untuk untuk peternakan hanya menghasilkan 20 pon protein hewani, sedangkan jika kita menanam kedelai pada lahan yang sama besar maka dapat menghasilkan 356 pon protein nabati. Peternakan juga menguras secara besar-besaran sumber air kita yang berharga dan semakin tipis. Peternakan menggunakan 1.200 galon air hanya untuk menghasilkan 1 porsi daging sapi sedangkan 1 porsi makanan para vegetarian hanya membutuhkan 98 galon air.
METANA LEBIH BERBAHAYA DARIPADA CO2
Watch Magazine menyatakan bahwa peternakan saat ini menjadi penyebab terbesar global warming, setidaknya sebesar 51 persen. Penulisnya, Dr. Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang.
Mereka berdua menghitung emisi industri ternak dari awal ke akhir mulai dari memproduksi pupuk, menanam tanaman pangan untuk hewan ternak sampai pemeliharaan, penjagalan, pengolahan, pendinginan, dan pengangkutan produk-produk hewani. Hasilnya, mereka menemukan bahwa industri peternakan menghasilkan 9 persen emisi karbon dioksida, 37 persen emisi metana, dan 67 persen emisi dinitrogen oksida. Tulisan ini juga menyatakan bahwa metana memiliki efek global warming 23 kali lebih besar daripada efek CO2 (karbon dioksida), sedangkan dinitrogen oksida memiliki efek global warming 296 kali lebih besar daripada karbon dioksida.
Dr. Kirk Smith dari Universitas Kalifornia, Berkley, AS bahkan telah mengatakan, bahwa jika dunia beralih ke ekonomi nol-karbon hari ini, planet ini tetap akan memanas hingga ke tingkat yang berbahaya. Selain itu, teknologi ramah lingkungan untuk menciptakan ekonomi nol-karbon saat ini masih sangat sedikit dan belum diterapkan secara luas. Dalam presentasinya kepada Dewan Sumber Daya Udara AS dari negara bagian California yang berjudul “Karbon pada Steroid, Kisah yang Tak Diungkapkan tentang Metana, Perubahan Iklim, dan Kesehatan”, Dr. Smith mengusulkan bahwa walaupun penanganan emisi karbon dioksida penting untuk jangka panjang, tetapi lebih penting lagi untuk mengurangi emisi metana dengan segera.
25 Tahun yang lalu, di pertemuan pertama yang diadakan di Rio pada KTT Bumi tentang Perubahan Iklim dinyatakan, bahwa CO2 adalah emisi yang menyebabkan global warming. Tentu itu masih benar hingga sekarang, bahkan emisi karbon bisa bertahan lama. Namun riset yang diterbitkan dalam Journal Science edisi Oktober 2009 menemukan bahwa ternyata metana menjadi penyebab global warming yang lebih besar dari yang diperhitungkan sebelumnya, karena CO2 dari bahan bakar fosil berinteraksi dengan aerosol atau partikel kecil di udara sehingga juga menghasilkan efek pendinginan.
Noam Mohr, dosen bidang fisika di Universitas New York, AS menjelaskan proses ini. Berdasarkan sejarah, semua sumber karbon dioksida juga mengeluarkan aerosol atau partikel kabut yang selama ini mendinginkan Bumi. Dan Dr. James Hansen yang dipandang sebagai pencetus teori global warming menunjukkan bahwa dua jenis emisi ini kurang lebih saling menetralisir. Jadi pada kenyataannya, kita tidak begitu mengalami efek global warming karena karbon dioksida selama ini. Jadi ketika kita membakar bahan bakar fosil, kita menghasilkan karbon dioksida yang memanaskan planet dan sekaligus aerosol yang mendinginkan planet. Dan jika kita menghitungnya maka efeknya menjadi sekitar nol. Jadi global warming yang terjadi sekarang disebabkan oleh sumber yang lain, yaitu metana.
Ternak memang bukan mobil, kendaraan atau sebuah pabrik yang menghasilkan polusi udara atau CO2, namun ternak sekarang menjadi ancaman teratas bagi planet Bumi atau lingkungan hidup manusia. Gara-gara industri peternakan di seluruh dunia, hewan ternak dibuat beranak-pinak sangat cepat sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap lingkungan, hutan dan hingga iklim di Planet Bumi ini. Gas buangan dan pupuk dari kotoran ternak menghasilkan lebih dari sepertiga gas metana di atmosfir yang kontribusinya terhadap global warming 20 kali lebih cepat daripada kardondioksida yang dihasilkan oleh seluruh mesin-mesin di seluruh dunia yang berbahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara).
Bukan hanya itu, ternyata industri peternakan telah mengorbankan persediaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui kembali. Seekor hewan di sebuah peternakan ternyata membutuhkan banyak sekali air. Dibutuhkan 2500 gallon air untuk menghasilkan hanya 1 pon daging hewan ternak. Padahal kita hanya membutuhkan 29 gallon air untuk menghasilkan 1 pon tomat, dan 39 gallon air untuk 1 pon roti tawar.
Di Amerika, setengah dari penggunaan air dan 80% persen tanah pertanian di Amerika Serikat dimanfaatkan untuk kebutuhan industri peternakan. Hampir semua perkebunan kacang kedelai dan separuh lebih hasil biji-bijian dunia digunakan untuk menjadi makanan ternak. Padahal ada 1 milyar penduduk yang menderita kelaparan dan kekurangan gizi, serta 24 ribu anak-anak yang meninggal setiap hari karena kekurangan gizi dan kelaparan.
Simak juga ini: Planet bumi sebenarnya menyimpan metana beku dalam jumlah yang sangat besar yang disebut dengan methane hydrates atau methane clathrates. Methane hydrates banyak ditemukan di Kutub Utara dan Kutub Selatan, dimana suhu permukaan air kurang dari 0 derajat Celcius, atau dasar laut pada kedalaman lebih dari 300 meter dimana temperatur air ada di kisaran 2 derajat Celcius. Methane hydrates juga ditemukan di danau-danau yang dalam seperti danau Baikal di Siberia.
Global warming yang sekarang sedang terjadi telah membuat suhu es di Kutub Utara dan Kutub Selatan menjadi semakin panas, sehingga metana beku yang tersimpan dalam lapisan es di kedua kutub tersebut juga ikut terlepaskan ke atmosfer. Padahal metana ini adalah emisi yang paling berperan menyebabkan global warming. Para ilmuwan memperkirakan bahwa Antartika menyimpan kurang lebih 400 miliar ton metana beku. Gas ini sekarang dilepaskan sedikit demi sedikit ke atmosfer seiring dengan semakin banyaknya bagian-bagian es di Antartika yang runtuh. Bayangkan, betapa mengerikannya keadaan ini! Bila Antartika kehilangan seluruh lapisan esnya, maka 400 miliar ton metana tersebut akan terlepas ke atmosfer dan semakin memanaskan planet Bumi!
Ini belum termasuk metana beku yang tersimpan di dasar laut yang juga terancam mencair karena makin panasnya suhu lautan akibat pemanasan global. Sekali terpicu, global warming ini tidak akan bisa dihentikan lagi. Gambaran ini adalah sebuah gambaran baru tentang kiamat di planet Bumi!
Sekarang para vegetarian aktif mengkampanyekan hal-hal berikut ini:
1 porsi DAGING SAPI membutuhkan lebih dari 1.200 galon air1 porsi DAGING AYAM membutuhkan 330 galon air1 hidangan VEGAN komplit dengan tahu, tempe (protein nabati), beras, dan sayur-mayur hanya membutuhkan 98 galon air
Dr. Mark Serreze, ilmuwan periset senior di Pusat Data Salju dan Es Nasional Amerika Serikat, dan Dr. Olav Orheim pimpinan Sekretariat Norwegia untuk Tahun Kutub Internasional menyatakan ada kemungkinan bahwa es di Laut Kutub Utara akan mencair di akhir musim panas 2012.
Anda boleh menyebut tulisan ini sebagai fantasi atau paranoid, namun tulisan ini adalah true science. Anda bisa mempelajarinya dengan melakukan sedikit Googling.
Dari berbagai sumber, antara lain:
http://suprememastertv.com/ina/SOS/
http://www.pemanasanglobal.net/faq/solusi-untuk-planet-dari-maha-guru-ching-hai.htm
http://bayivegetarian.com/?p=467http%3A%2F%2Fwww.kabarindonesia.com%2Fberita.php%3Fpil%3D4&jd=Menjadi+Vegan%2C+Solusi+Utama+Pemanasan+Global&dn=20100430201110
Labels:
bumi,
co2,
global warming,
metana,
pemanasan global,
peternakan,
planet,
sapi,
ternak,
unggas,
vegarian
Subscribe to:
Posts (Atom)