Saya politikus? Ha..ha..ha.. saya lebih suka disebut sastrawan mbeling yang memotret situasi di sekitar saya dalam bentuk tulisan....
Welcome to my blog, anyway!

Search This Blog

Tuesday, October 26, 2004

INDUSTRI TELEVISI KITA DAN INUL

Kontroversi Inul, dulu pernah panjang di media massa. Sebenarnya saya tidak ingin terlibat di dalam kontroversi goyangan Inul dan Anisa. Namun saya gatal untuk ikut nimbrung menggambarkan profile dari penonton televisi menurut hasil berbagai survey. Hasil survey ini menjelaskan tentang mengapa tayangan Inul bisa mengangkat TV rating akhir-akhir ini dan membuat kontroversi yang panjang.

Hampir di seluruh dunia, profile penonton televisi, jika dilihat dari pendidikannya, adalah paling banyak dengan pendidikan di bawah tingkat menengah atas, menurut sebuah survey yang sudah dibukukan: “Broadcasting in Amerika”. Begitu juga menurut survey AC Nielsen terhadap penonton televisi di Indonesia, makin rendah tingkat pendidikannya, makin tinggi jam menonton televisinya. Hal ini mungkin bisa dipahami seperti ini, dengan pendidikan yang tinggi orang lebih menyukai mengisi waktunya untuk kegiatan lain seperti, membaca atau menulis. Juga dengan pendidikan yang lebih tinggi, tingkat kelas ekonominya pun bertambah, sehingga orang-orang ini memiliki pilihan dalam melakukan kegiatan yang lain dibanding menonton televisi (televisi swasta yang gratis tanpa bayar), misalnya melakukan kegiatan ke luar rumah, surfing di Internet, atau menonton Pay TV (seperti televisi Satelite dengan membayar) atau mengerjakan kegiatan lain seperti yang bersifat hobby.

Profile penonton televisi seperti itu memang bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun profilenya seperti yang digambarkan di atas. Profile penonton seperti ini terlihat dari kwalitas tayangan serial drama baik lokal maupun asing yang tidak mungkin disukai oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Film lepasnya lebih banyak film action yang ceritanya menghina intelektual penontonnya, yang penting ada gedebak-gedubuk, dar-der-dor, dan bum.

Inul dan Anisa adalah komoditi yang giat dijual oleh televisi kita akhir-akhir ini, sebagaimana gosip, tayangan misteri atau horor, sebagaimana sebelumnya televisi kita sukses dengan serial Asia seperti Meteor Garden. Televisi kita sekarang adalah sebuah industri di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya berlomba-lomba untuk memperoleh untung. Jika di satu stasiun televisi sukes dengan satu jenis tayangan, maka stasiun yang lain akan segera menggelar tayangan “me too” (saya juga). Setelah beberapa stasiun sukses menggelar goyangan Inul, maka apa yang dilakukan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI), yang membela Inul beberapa hari yang lalu, adalah sebuah “reaksi bertahan” yang normal dari sebuah industri, karena Inul rencananya akan dimanfaatkan untuk berperan dalam sebuah sinetron. Jika pamor Inul “dibunuh” oleh Haji Oma Irama, tentu anda dapat membayangkan apa jadinya Sinetron yang dibintangi oleh Inul tersebut…. Jadi ini semuanya adalah dalam kerangka industri televisi yang terganggu oleh Haji Oma Irama.

Industri televisi ini memang luar biasa berhasil membuat Inul menjadi kontroversi sehingga bahkan orang-orang politik juga dilibatkan. Anda tentu juga dapat membayangkan apa yang sebenarnya bisa dicapai di kancah politik. Inul akan diupayakan untuk menjadi simbol seorang rakyat kecil yang diperkosa hak-hak berkreasi atau berkeseniannya. Atau bagaimana Inul (dan orang-orang politik di belakangnya) dapat menarik simpati rakyat banyak yang merupakan penonton terbanyak televisi swasta kita.

No comments: