Friday, December 08, 2006
ANCAMAN BANJIR; BELAJAR LAH HINGGA KE NEGERI SETAN BESAR
Bangsa Amerika dapat mencapai kehidupan yang seperti mereka nikmati sekarang ini bukan tanpa upaya keras seperti yang belum dilakukan di Indonesia. Dulu, kebejatan seperti di Indonesia juga merajalela di Amerika. Ada bajingan seperti Al Capone yang sulit dipenjara karena rajin menyuap pejabat pemerintah dan polisi. Sekarang bukannya tidak ada kasus seperti itu di Amerika, tetapi kontrol terus dilakukan terhadap pejabat pemerintah sehingga peluang untuk munculnya kasus itu semakin diperkecil.
Indonesia lebih bejat dari Amerika. Misalnya, minuman beralkohol tidak dapat dibeli serampangan di Amerika oleh remaja di bawah 18 tahun, sementara di Indonesia di samping bangunan sekolah ada penjual minuman beralkohol yang tidak kunjung mendekam di penjara untuk waktu yang lama. Orang banyak beranggapan di Amerika, sex adalah kegiatan yang bebas dilakukan, padahal pelacuran di Amerika dilarang dan tidak ada lokalisasi, sementara di Indonesia yang dipimpin orang-orang muslim menyediakan lokalisasi untuk rakyatnya yang mau melacur dan dilacuri.
Di Amerika anda bisa bermimpi dan dream come true. Erin Brokovich, wanita muda beranak 3 yang cuma lulusan SMA bermimpi mengganjar perusahaan energi raksasa di seluruh Amerika yang telah meracuni warga sebuah wilayah di sebuah kota kecil. Mimpi rakyat kecil Erin Brokovich ternyata bisa dicapai, tuntutan ganti ruginya, mewakili warga yang diracuni itu, menjadi ganti rugi terbesar dalam sejarah Amerika.
Ada beberapa kisah kepahlawanan di Amerika yang membuat kita bertanya apakah kita sesama muslim masih saling bersaudara jika kita tidak memiliki kegiatan-kegiatan yang menunjukkan bahwa kita bersaudara. Kita menunjukkan persaudaraan hanya jika sebuah kelompok muslim “dihantam” oleh kelompok bukan muslim. Sungguh menyedihkan!
Saya, beberapa tahun lalu menyaksikan sebuah film lepas di sebuah tv swasta tentang sebuah kota kecil di negeri setan besar yang warganya berlatih bertahun-tahun lamanya tanpa lelah dan bosan untuk menghadapi sebuah bencana yang tidak pernah diketahui besar dan macamnya, bahkan tidak terjadi (secepat yang mereka sangka).
Awalnya adalah, belasan warga kota itu yang menghabiskan akhir pekannya secara lebih bermanfaat, yaitu dengan berlatih menggunakan tali-temali, alat-alat pemadam kebakaran, P3K, alat komunikasi untuk menghadapi sebuah situasi darurat. Meski tidak pernah ada bencana besar selain mencari hewan peliharaan dan anak hilang karena tersesat, mereka terus berlatih tanpa bosan dan lelah, bahkan anggota kelompok itu semakin berpuluh-puluh jumlahnya.
Tahun-tahun berlalu tanpa sebuah bencana pun, namun mereka terus berlatih tanpa bosan hingga lebih dari 15 tahun. Kelompok sukarelawan ini kemudian memiliki kantor besar dan peralatan lengkap berkat dukungan seluruh warga kota serta para pemimpinnya (yang mereka pilih dan seleksi sendiri dengan hati-hati, tidak seperti di Indonesia yang memilih anjing buduk, di masa lalu, sebagai pemimpinnya).
Tiba-tiba pada suatu hari, bencana itu datang juga, meski bencana itu bukan untuk warga kota itu, karena bencana itu adalah jatuhnya sebuah pesawat penumpang berjumlah ratusan orang di sebuah tempat yang tak berpenduduk. Namun, berkat latihan bertahun-tahun dan peralatan lengkap, mereka berhasil menyelamatkan sebagian besar penumpang pesawat. Jika tidak maka nasib para penumpangnya akan seperti penumpang Lions Air, tewas karena tak sempat tertolong.
Perjuangan bertahun-tahun warga kota itu berlatih menghadapi bencana membuat kagum banyak orang. Pemerintah federal memberikan penghargaan tertinggi dan menjadikan kota itu sebagai kota contoh terbaik dalam menghadapi bencana. Sayang, nama kota itu saya tidak ingat.
Warga Jakarta, terutama di sekitar aliran Sungai Ciliwung, boleh meniru apa yang dilakukan warga kota itu. Dana untuk latihan dan peralatannya, tentu saja, tinggal minta kepada Pemda DKI, dan harus ada!
Sekarang, bencana banjir di Jakarta sedang mengancam. Apa yang pantas disiapkan oleh warga Jakarta tanpa atau dengan dukungan Gubernur Jakarta?
1. Penampungan korban banjir dengan mendirikan tenda-tenda atau ditempatkan di gedung-gedung yang bisa digunakan.
2. Makanan sehat dari dapur-dapur umum
3. Sanitasi agar tidak menimbulkan masalah baru.
4. Obat-obatan
5. Pakaian
Warga Jakarta sebaiknya jangan berpikir Gubernur cukup punya rasa persaudaraan sesama muslim untuk menyediakan 5 kebutuhan di atas itu. SBY juga sudah terbukti gagal beberapa kali di setiap bencana alam yang terjadi dalam menghimpun seluruh kekuatan bangsa. Jika ia memang memiliki sense of crisis, pasti sense itu belum turun ke bawah, misalnya ke Gubernur gila, Sutiyoso, apalagi ke para walikota dan lurahnya.
Kasus sampah di Bojong sudah cukup menggambarkan betapa gilanya Sutiyoso itu. Ketika negara-negara lain amat serius menangani masalah sampahnya, Sutiyoso cukup melemparkannya ke Bojong.
Thursday, December 07, 2006
MEGAPOLITAN, MEGALOPOLITAN, MEGAPOLONTOS, MEGAL-MEGAL ATAU “KETERPADUAN-WILAYAH”
Cara pekerjaan perbaikan atau peninggian jalan ini sungguh membuat banyak orang menggelengkan kepala. Jalan yang biasanya dapat dilalui oleh 3 kendaraan sekaligus sekarang ditutup separuh untuk ditinggikan hingga hanya satu kendaraan saja yang bisa melaluinya. Padahal kalau dikerjakan hanya sepertiganya saja, akan bisa mengurangi ketidaknyamanan pengguna jalan karena selama pekerjaan berlangsung dua kendaraan tetap bisa melalui jalan itu. Bukankah wilayah itu adalah wilayah kegiatan ekonomi yang amat penting, paling tidak di pulau Jawa ini, karena lalu-lintas barang datang dan pergi melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Cara bekerja seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di Tanjung Priok dan di tempat-tempat lain di Jakarta, bahkan di jalan Sudirman sekali pun ketika pembangunan BusWay bisa menghasilkan kemacetan yang menggila. Meski Tanjung Priok adalah daerah lalu-lintas ekonomi yang penting, beberapa tahun yang lalu pengguna jalan di Tanjung Priok ini harus pasrah dengan perbaikan Jembatan Kresek yang amat lambat dan serampangan. Ketidaknyamanan berlalu-lintas di Tanjung Priok ini selalu diperparah dengan “tidak hadirnya” hukum atau kesantunan untuk tidak saling serobot.
Cara bekerja yang serampangan ini sungguh amat bertentangan dengan keinginan semua orang (termasuk Gubernur Jakarta yang cuma omong kosong) untuk menertibkan Jakarta. Kalau becak dulu ditertibkan, kakilima digusur, rumah digusur, mengapa pekerjaan perbaikan jalan bisa serampangan? Mengapa pelanggaran tanda larangan parkir di depan Pertamina Tanjung Priok bisa selalu terjadi tiap hari? Mengapa tanda larangan parkir itu dipasang, kalau hukum tidak bisa ditegakkan? Juga mengapa lampu lalu-lintas di depan Pintu IX dan Terminal Peti Kemas dipasang kalau tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan bahkan oleh Polisi yang bertugas di sana tidak ingin menegakkannya?
Pemeliharaan jalan ini sungguh menggambarkan bobroknya pengelolaan Jakarta oleh Pemerintah Daerah. Jakarta adalah kota yang jalannya selalu dihiasi dengan lubang. Jakarta tidak memiliki sistem pemeliharaan jalan yang memberi jaminan jalan hanya memiliki lubang minimal. Jakarta bukan hanya memiliki lubang tetapi bahkan lubangnya siap mencelakai dan membunuh pengguna jalan terutama pengguna sepeda motor. Namun pernahkah ada yang protes atau menuntut pemerintah jika menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini? Situasi ini sedemikian buruknya hingga masyarakat menganggap kondisi buruk jalan bukan hal yang penting untuk dipikirkan, bahkan bila menjadi korban dari buruknya kondisi jalan ini.
Bagaimana sistem yang digunakan pemerintah dalam memelihara jalan di Jakarta? Tidak sulit memahaminya karena begitu terlihat jelas di jalanan. Mereka akan menunggu hingga kondisi begitu rusak (dan korban berjatuhan) agar pekerjaan dapat dilakukan sekaligus bukan sedikit-sedikit. Biasanya perbaikan jalan dilakukan dengan cara memberikan satu lapisan aspal baru setebal hingga 20cm di atas seluruh permukaan jalan, rusak atau tidak rusak sehingga jalan semakin tahun semakin tinggi hingga trotoir harus disesuaikan (diperbaiki) lagi dengan ketinggian jalan. Bisa anda bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan dengan cara perbaikan ini. Dan pada saat pekerjaan perbaikan dilakukan mereka tidak akan perduli apakah pada saat musim hujan atau tidak, padahal jika saat musim hujan perbaikan jalan akan memakan waktu yang lebih lama yang artinya ketidaknyamanan yang lebih panjang bagi pengguna jalan.
Saya pikir pemeliharaan jalan yang bukan jalan protokol akan lebih baik dibagi-bagi kepada tiap kecamatan setempat. Karena wilayahnya lebih sedikit, kecamatan dapat lebih baik memantau dan memberikan pekerjaan perbaikan kepada remaja atau pemuda yang menginginkan pekerjaaan sambilan atau pekerjaan ini diberikan kepada tuna karya di kecamatan itu. Dengan lubang yang masih kecil tentu tidak diperlukan peralatan-peralatan besar seperti mesin giling jalan dan lain-lainnya, cukup dengan mesin penumbuk aspal yang dapat dioperasikan dengan tangan oleh satu orang. Uang ratusan juta setiap bulannya dapat dicegah untuk masuk ke dalam kantung para kontraktor perbaikan jalan dan dialokasikan ke pembangunan sarana olah raga atau kegiatan produktif lainnya bagi para remaja atau hal-hal lainnya.
Situasi lalu-lintas atau jalan di Jakarta ini atau apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola jalan Jakarta ini membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud orang-orang yang sedang mencoba meluncurkan proyek Megapolitan. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin memikul proyek yang kelihatan (dari namanya) besar itu (megapolitan) jika mengelola jalan saja amat tidak efisien dan sekaligus buruk. Sepanjang pertama kali kata megapolitan itu menjadi wacana, saya belum melihat pemaparan megapolitan yang memuaskan hingga saya membaca presentasi Sarwono Kusumaatmadja dalam sebuah diskusi di Jakarta bulan April 2006 lalu.
Penggunaan kata “megapolitan” adalah salah kaprah, menurut Sarwono. Mungkin itu dibuat secara gampangan dengan meniru kata “metropolitan” yang disangka dari 2 buah kata “metro” dan “politan”. Sarwono yang salah satu tokoh yang mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Jakarta berikutnya ini juga mempertanyakan konsep megapolitan: “konsep apa yang ada dalam pemikiran Gubernur Sutiyoso?”
Lebih lanjut Sarwono menjelaskan: “Karena yang pernah terdengar sebelumnya adalah megalopolitan, yaitu salah satu gejala di sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa kota besar yang jauh dihubungkan melalui sistem transportasi terpadu dalam menunjang berbagai aktivitas warga masyarakat antarkota tersebut termasuk dengan kota-kota kecil yang berdekatan. Penghubung antarkota melalui jalur jalan bebas hambatan, jaringan rel kereta api bahkan kereta bawah tanah (subway) termasuk jalur udara. Dengan demikian akan membentuk satu kesatuan ekonomi antarwarga antarwilayah bersangkutan”.
Apa pun namanya megapolitan, megalopolitan, megapolontos, megal-megal atau “keterpaduan-wilayah”, yang penting adalah konsepnya apa, sebagaimana dipertanyakan Sarwono.
TRANSJAKARTA, BOGOTA, SUTIYOSO = BABOON
Sejak pertama kali ide transjakarta (bukan busway, karena busway sudah ada sejak sutiyoso belom dibikin oleh emak dan babenya) dilemparkan, sudah banyak yang bertanya mengapa meniru
Mengapa pertanyaan itu diajukan? Karena jauh lebih sederhana menyempurnakan busway yang sudah ada (kecuali dengan kesungguhan dan tekad yang besar untuk memberadabkan jalanan kita) daripada membangun jalur untuk transjakarta yang menciptakan masa transisi selama jalur itu dibangun selama bertahun-tahun.
Memang betul, nanti setelah transjakarta selesai semua, akan memberikan alternatif untuk public transportation di Jakarta. Tetapi berapa kerugian yang kita (warga) tanggung dalam masa transisi itu, belum lagi image
Memang amat gila, kalo negara tetangga kita nggak pake bus model transjakarta itu bisa sukses mengatur dan memberikan public transportation yang nyaman dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakatnya, tetapi kita malah memilih Bogota dan mengkacau-balaukan lalulintas yang udah kacau sebelumnya dengan transjakarta keparat....
Thursday, July 27, 2006
TIPS SAAT GEMPA; MENURUT DOUG COPP, METRO TV, DAN AMERICAN RED CROSS
Tips yang diberikan Doug Copp kelihatannya masuk akal dan bisa diterapkan. Misalnya berbaring di samping tempat tidur (bukan di bawah tempat tidur) atau merunduk di samping meja ketika gempa terjadi bisa mengurangi resiko terhimpit atau tertindih tempat tidur yang dijatuhi langit-langit kamar. Berbaring di samping tempat tidur mungkin juga tertimpa potongan-potongan langit-langit, namun ada ruang kosong berbentuk segitiga yang tidak terlalu menghimpit orang yang berbaring di sana. Segitiga kosong ini juga terbentuk di samping meja, sofa, lemari dan lain-lain.
Tips dari Doug Copp ini boleh dibilang menentang tips menghadapi gempa yang sudah diterapkan di banyak tempat di seluruh dunia, terutama Jepang yang memang gempa sering terjadi di sana.
Tetapi Rocky Lopes, PhD, Manager, Community Disaster Education, American Red Cross National Headquarters menyatakan bahwa tips Doug Copp ini tidak tepat. Tips Doug Copp tidak bisa diterapkan di Amerika karena standar bangunan berbeda dengan di negeri lain (Turkey). Bahkan Kimberly Shoaf, Public Healt Expert dari UCLA menyebut di Knight Ridder Newspapers, November 2004, bahwa beberapa tips dari Doug Copp bisa membahayakan, seperti keluar dari mobil dan berbaring di sampingnya.
Seperti Doug Copp menyebut sendiri, teorinya ini memang berdasarkan percobaannya membuat gempa buatan pada sebuah sekolah dan rumah dengan menggunakan 20 mannequins di Turkey tahun 1996. 10 mannequins yang menerapkan teori lama "drop, cover and hold on" (yang berlaku dan sudah diterapkan dimana-mana sejak lama) ternyata tidak selamat. Sedangkan 10 mannequins lainnya bisa selamat karena menerapkan teori Doug Copp, "Triangle of Life".
Mantan deputy director of the California Office of Emergency Services, Mark Ghilarducci, bahkan mempertanyakan klaim Doug Copp, bahwa dirinya seorang "disaster expert", karena meragukan.
The Red Cross tetap konsisten dengan tipsnya di http://www.disastereducation.org/guide.html . Salah satunya misalnya adalah tetap tinggal di atas tempat tidur ketika gempa terjadi, karena berbaring di lantai di samping tempat tidur lebih memiliki resiko terluka. Tips yang selama ini sudah diterapkan adalah tips yang paling sederhana, andal, dan paling mudah diajarkan, terutama kepada anak-anak.
Meski demikian American Red Cross, sebagai organisasi yang berbasis di Amerika tidak merekomendasikan untuk mengaplikasikan tipsnya di negeri lain. Mengidentifikasi area berbahaya dalam sebuah bangunan atau rumah adalah amat penting bagi semua individu, meski pada saat panik seringkali sulit untuk mengingatnya. Sehingga juga amat penting untuk memiliki tips sendiri yang dibuat oleh organisasi SAR di tiap-tiap kota atau negara.
Jojo Rahardjo
http://www2.bpaonline.org/Emergencyprep/arc-on-doug-copp.html
American Red Cross response to "Triangle of Life" by Doug Copp Sent from Rocky Lopes, PhD Manager, Community Disaster Education American Red Cross National Headquarters Recently it has been brought to my attention that an email from Doug Copp, titled "Triangle of Life," is making its rounds again on the Internet. "Drop, Cover, and Hold On" is CORRECT, accurate, and APPROPRIATE for use in the United States for Earthquake safety. Mr. Copp's assertions in his message that everyone is always crushed if they get under something is incorrect.
Recently, the American Red Cross became aware of a challenge to the earthquake safety advice "Drop, Cover, and Hold On." This is according to information from Mr. Doug Copp, the Rescue Chief and Disaster Manager of American Rescue Team International (a private company not affiliated with the U.S. Government or other agency.) He says that going underneath objects during an earthquake [as in children being told to get under their desks at school] is very dangerous, and fatal should the building collapse in a strong earthquake. He also states that "everyone who gets under a doorway when a building collapses is killed." He further states that "if you are in bed when an earthquake happens, to roll out of bed next to it," and he also says that "If an earthquake happens while you are watching television and you cannot easily escape by getting out the door or window, then lie down and curl up in the fetal position next to a sofa, or large chair." These recommendations are inaccurate for application in the United States and inconsistent with information developed through earthquake research. Mr. Copp based his statements on observations of damage to buildings after an earthquake in Turkey. It is like "apples and oranges" to compare building construction standards, techniques, engineering principles, and construction materials between Turkey and the United States.
We at the American Red Cross have studied the research on the topic of earthquake safety for many years. We have benefited from extensive research done by the California Office of Emergency Services, California Seismic Safety Commission, professional and academic research organizations, and emergency management agencies, who have also studied the recommendation to "drop, cover, and hold on!" during the shaking of an earthquake. Personally, I have also benefited from those who preceded me in doing earthquake education in California since the Field Act was passed in 1933.
What the claims made by Mr. Copp of ARTI, Inc., does not seem to distinguish is that the recommendation to "drop, cover, and hold on!" is a U.S.-based recommendation based on U.S. Building Codes and construction standards. Much research in the United States has confirmed that "Drop, Cover, and Hold On!" has saved lives in the United States. Engineering researchers have demonstrated that very few buildings collapse or "pancake" in the U.S. as they might do in other countries. Using a web site to show one picture of one U.S. building that had a partial collapse after a major quake in an area with thousands of buildings that did not collapse during the same quake is inappropriate and misleading.
According to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), which collects data on injuries and deaths from all reportable causes in the U.S., as well as data from three University-based studies performed after the Loma Prieta (September, 1989) and Northridge (January, 1994) earthquakes in California, the following data are indicated: Loma Prieta: 63 deaths, approximately 3,700 people were injured. Most injuries happened as a result of the collapse of the Cypress Street section of I-880 in Oakland. Northridge: 57 deaths, 1,500 serious injuries. Most injuries were from falls caused by people trying to get out of their homes, or serious cuts and broken bones when people ran, barefooted, over broken glass (the earthquake happened in the early morning on a federal holiday when many people were still in bed.) There were millions of people in each of these earthquake-affected areas, and of those millions, many of them reported to have "dropped, covered, and held on" during the shaking of the earthquake. We contend that "Drop, Cover, and Hold On" indeed SAVED lives, not killed people. Because the research continues to demonstrate that, in the U.S., "Drop, Cover, and Hold On!" works, the American Red Cross remains behind that recommendation. It is the simplest, reliable, and easiest method to teach people, including children. The American Red Cross has not recommended use of a doorway for earthquake protection for more than a decade. The problem is that many doorways are not built into the structural integrity of a building, and may not offer protection. Also, simply put, doorways are not suitable for more than one person at a time.
The Red Cross, remaining consistent with the information published in "Talking About Disaster: Guide for Standard Messages," (visit http://www.disastereducation.org/guide.html ) states that if you are in bed when an earthquake happens, remain there. Rolling out of bed may lead to being injured by debris on the floor next to the bed. If you have done a good job of earthquake mitigation (that is, removing pictures or mirrors that could fall on a bed; anchoring tall bedroom furniture to wall studs, and the like), then you are safer to stay in bed rather than roll out of it during the shaking of an earthquake.
Also, the Red Cross strongly advises not try to move (that is, escape) during the shaking of an earthquake. The more and the longer distance that someone tries to move, the more likely they are to become injured by falling or flying debris, or by tripping, falling, or getting cut by damaged floors, walls, and items in the path of escape. Identifying potential "void areas" and planning on using them for earthquake protection is more difficult to teach, and hard to remember for people who are not educated in earthquake engineering principles. The Red Cross is not saying that identifying potential voids is wrong or inappropriate. What we are saying is that "Drop, Cover, and Hold On!" is NOT wrong -- in the United States. The American Red Cross, being a U.S.-based organization, does not extend its recommendations to apply in other countries. What works here may not work elsewhere, so there is no dispute that the "void identification method" or the "Triangle of Life" may indeed be the best thing to teach in other countries where the risk of building collapse, even in moderate earthquakes, is great.
http://urbanlegends.about.com/library/bl_triangle_of_life.htm
'Triangle of Life' Earthquake Survival Measures
Netlore Archive: Doug Copp's emailed advice on earthquake survival tactics entitled 'Triangle of Life' is disputed by search-and-rescue experts from the American Red Cross and elsewhere
Description: Email flier Circulating since: Aug. 2004 (this version) Status: Inaccurate Analysis: See below
Email example contributed by Marc G., 25 August 2004: EXTRACT FROM DOUG COPP'S ARTICLE ON THE "TRIANGLE OF LIFE", Edited by Larry Linn for MAA Safety Committee brief on 4/13/04.
My name is Doug Copp. I am the Rescue Chief and Disaster Manager of the American Rescue Team International (ARTI), the world's most experienced rescue team. The information in this article will save lives in an earthquake.
I have crawled inside 875 collapsed buildings, worked with rescue teams from 60 countries, founded rescue teams in several countries, and I am a member of many rescue teams from many countries. I was the United Nations expert in Disaster Mitigation (UNX051 -UNIENET) for two years. I have worked at every major disaster in the world since 1985, except for simultaneous disasters.
In 1996 we made a film which proved my survival methodology to be correct. The Turkish Federal Government, City of Istanbul, University of Istanbul, Case Productions and ARTI cooperated to film this practical, scientific test. We collapsed a school and a home with 20 mannequins inside. Ten mannequins did "duck and cover," and ten mannequins I used in my "triangle of life" survival method. After the simulated earthquake collapse we crawled through the rubble and entered the building to film and document the results. The film, in which I practiced my survival techniques under directly observable, scientific conditions, relevant to building collapse, showed there would have been zero percent survival for those doing duck and cover. There would likely have been 100 percent survivability for people using my method of the "triangle of life." This film has been seen by millions of viewers on television in Turkey and the rest of Europe, and it was seen in the USA, Canada and Latin America on the TV program Real TV.
The first building I ever crawled inside of was a school in Mexico City during the 1985 earthquake. Every child was under their desk. Every child was crushed to the thickness of their bones. They could have survived by lying down next to their desks in the aisles. It was obscene, unnecessary and I wondered why the children were not in the aisles. I didn't at the time know that the children were told to hide under something.
Simply stated, when buildings collapse, the weight of the ceilings falling upon the objects or furniture inside crushes these objects, leaving a space or void next to them. This space is what I call the "triangle of life". The larger the object, the stronger, the less it will compact. The less the object compacts, the larger the void, the greater the probability that the person who is using this void for safety will not be injured. The next time you watch collapsed buildings, on television, count the "triangles" you see formed. They are everywhere. It is the most common shape, you will see, in a collapsed building. They are everywhere. I trained the Fire Department of Trujillo (population 750,000) in how to survive, take care of their families, and to rescue others in earthquakes.
The chief of rescue in the Trujillo Fire Department is a professor at Trujillo University. He accompanied me everywhere. He gave personal testimony: "My name is Roberto Rosales. I am Chief of Rescue in Trujillo. When I was 11 years old, I was trapped inside of a collapsed building. My entrapment occurred during the earthquake of 1972 that killed 70,000 people. I survived in the "triangle of life" that existed next to my brother's motorcycle. My friends who got under the bed and under desks were crushed to death [he gives more details, names, addresses etc.]...I am the living example of the "triangle of life". My dead friends are the example of "duck and cover".
TIPS DOUG COPP PROVIDES:
1) Everyone who simply "ducks and covers" WHEN BUILDINGS COLLAPSE is crushed to death -- Every time, without exception. People who get under objects, like desks or cars, are always crushed.
2) Cats, dogs and babies all naturally often curl up in the fetal position. You should too in an earthquake. It is a natural safety/survival instinct. You can survive in a smaller void. Get next to an object, next to a sofa, next to a large bulky object that will compress slightly but leave a void next to it.
3) Wooden buildings are the safest type of construction to be in during an earthquake. The reason is simple: the wood is flexible and moves with the force of the earthquake. If the wooden building does collapse, large survival voids are created. Also, the wooden building has less concentrated, crushing weight. Brick buildings will break into individual bricks. Bricks will cause many injuries but less squashed bodies than concrete slabs.
4) If you are in bed during the night and an earthquake occurs, simply roll off the bed. A safe void will exist around the bed. Hotels can achieve a much greater survival rate in earthquakes, simply by posting a sign on the back of the door of every room, telling occupants to lie down on the floor, next to the bottom of the bed during an earthquake.
5) If an earthquake happens while you are watching television and you cannot easily escape by getting out the door or window, then lie down and curl up in the fetal position next to a sofa, or large chair.
6) Everybody who gets under a doorway when buildings collapse is killed. How? If you stand under a doorway and the doorjamb falls forward or backward you will be crushed by the ceiling above. If the door jam falls sideways you will be cut in half by the doorway. In either case, you will be killed!
7) Never go to the stairs. The stairs have a different "moment of frequency" (they swing separately from the main part of the building). The stairs and remainder of the building continuously bump into each other until structural failure of the stairs takes place. The people who get on stairs before they fail are chopped up by the stair treads. They are horribly mutilated. Even if the building doesn't collapse, stay away from the stairs. The stairs are a likely part of the building to be damaged. Even if the stairs are not collapsed by the earthquake, they may collapse later when overloaded by screaming, fleeing people. They should always be checked for safety, even when the rest of the building is not damaged.
8) Get Near the Outer Walls Of Buildings Or Outside Of Them If Possible - It is much better to be near the outside of the building rather than the interior. The farther inside you are from the outside perimeter of the building the greater the probability that your escape route will be blocked;
9) People inside of their vehicles are crushed when the road above falls in an earthquake and crushes their vehicles; which is exactly what happened with the slabs between the decks of the Nimitz Freeway. The victims of the San Francisco earthquake all stayed inside of their vehicles. They were all killed. They could have easily survived by getting out and sitting or lying next to their vehicles, says the author. Everyone killed would have survived if they had been able to get out of their cars and sit or lie next to them. All the crushed cars had voids 3 feet high next to them, except for the cars that had columns fall directly across them.
10) I discovered, while crawling inside of collapsed newspaper offices and other offices with a lot of paper, that paper does not compact. Large voids are found surrounding stacks of paper.
Comments: The American Red Cross took the unusual step of contacting me directly to refute the above text, which a representative of the group politely characterized as "incorrect."
According to Red Cross community disaster education manager Ricky Lopes, author Doug Copp's earthquake survival suggestions don't apply in the United States because they're based on observations made in Turkey, where engineering and construction standards are different. "Much research in the United States has confirmed that 'Drop, Cover, and Hold On!' has saved lives in the United States," writes Lopes. "Engineering researchers have demonstrated that very few buildings collapse or 'pancake' in the U.S. as they might do in other countries."
Other experts concur, even to the point of suggesting that some of Copp's advice could endanger people's lives rather than save them. "Some of the things he recommends are absolutely dangerous, like getting out of your car and lying down next to the car," UCLA public health expert Kimberley Shoaf told Knight Ridder Newspapers in November 2004. A former deputy director of the California Office of Emergency Services, Mark Ghilarducci, agreed that "duck, cover and hold on" remains the best overall strategy for survival during an earthquake.
I should also point out that although Mr. Copp has proclaimed himself a disaster expert, his credentials are in question.
Friday, April 21, 2006
MILIS & BLOG; FENOMENA BARU DI DUNIA MEDIA
Dulu ketika Internet pertama kali masuk ke Indonesia, ada sebuah milis yang amat terkenal, Indonesia-L, yang dikelola oleh John McDougal. Milis ini adalah kelompok diskusi mengenai Indonesia. Di milis ini banyak tulisan kritis yang dibuat oleh orang-orang yang bersebrangan dengan Pemerintahan Soeharto waktu itu. Ada yang menggunakan nama samaran ada juga yang terang-terangan menyebut jatidirinya, seperti George Aditjondro. Sekarang milis seperti itu tidak lagi laku, karena hampir semua media bisa menulis atau menampilkan apa saja.
Saat ini hampir semua yang memiliki akses Internet adalah anggota sebuah milis, bahkan ada yang anggota dari beberapa milis sekaligus.
Sedangkan Blog adalah kependekan dari Weblog. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997 untuk menyebut website pribadi yang selalu diupdate secara teratur. Website ini juga berisi link ke website lain yang dianggap menarik dan diberi komentar-komentar. Namun kemudian arti Blog berkembang menjadi “catatan pemikiran” seseorang di Internet. Blog bisa disebut juga sebagai Diary Online yang berada di Internet.
Sejarah Blog mungkin dimulai pada Agustus 1999 di sebuah perusahaan Silicon Valley bernama Pyra Lab yang meluncurkan layanan Blogger.com. Layanannya memungkinkan siapapun yang meski hanya memiliki pengetahuan minim tentang HTML dapat membuat Blog secara gampang dan gratis. Sebulan sebelumnya pada bulan Juli 1999, Pitas juga telah meluncurkan layanan membuat Blog gratis. Namun Blogger.com lah yang telah membuat Blog menjadi booming. Setelah itu banyak bermunculan provider Blog lainnya bermunculan, hingga sejak saat itu Blog kian hari kian bertambah dan masing-masing memiliki fokusnya sendiri. Ada yang tentang hal-hal yang spesifik ada juga tentang hal-hal yang umum dan bercampur-baur. Ada yang tentang menjadi orang tua yang baik, hobi menonton film, topik politik, kesehatan, sex, olahraga, buku komik dan macam-macam lagi.
Seorang penulis Blog, Rabecca Blood menulis bahwa setelah ia membuat Blog-nya ada dua efek samping yang terjadi yang tidak ia perkirakan sebelumnya. Pertama ia menemukan kembali minatnya semenjak ia mulai membuat Blog. Dan hal kedua yang lebih penting, ia mulai lebih menghargai cara pandangnya sendiri. Ketika setiap harinya ia mengupdate Blog-nya ia mulai mempertimbangkan opini dan ide-idenya dengan lebih hati-hati dan ia mulai merasakan bahwa perspektifnya adalah unik dan penting untuk disuarakan.
Blog umumnya menerima komentar atau masukan terhadap tulisan yang tersaji di sebuah Blog. Oleh karena itu Blog bersifat interaktif dan membentuk komunitas yang saling me-link-kan Blog mereka masing-masing. Sifat interaktif ini adalah salah satu faktor yang membuat sebuah Blog cepat populer. Blog tidak seperti media konvensional yang bersifat satu arah melainkan sebuah media di mana suara semua orang mendapat tempat, walau belum tentu berharga. Blog adalah kebalikan dari media konvensional yang bersifat top-down, membosankan dan arogan. Blog adalah perkembangan lebih lanjut dari media massa ke media komunitas yang interaktif. Sebuah Blog akan mendapat sorotan ketika berisi tulisan-tulisan yang sedang aktual dan bagus. Sorotan akan berhenti jika Blog itu tidak lagi berisi tulisan aktual dan bagus.
Blog nampaknya tidak akan menggantikan fungsi media cetak dan media elektronik lainnya, tetapi Blog akan menjadi sebuah media baru yang bakal digandrungi oleh sebagian kecil pengguna Internet. Sebagaimana media lainnya, ada Blog yang isinya bisa dipercaya, ada juga yang berisi sampah. Ada yang penuh moral ada yang penuh pornografi. Ada yang tentang hal-hal yang spesifik ada juga tentang hal-hal yang umum dan bercampur-baur.
Belum lama ini beberapa Blog, seperti Blog Priyadi dan Blog Anti Anne Ahira juga blog saya sendiri http://jojor.blogspot.com/ , http://antianneahira.blogspot.com/ , http://priyadi.net/archives/2004/09/10/anne-ahira-bukanlah-pahlawan membongkar modus “pengeruk uang masyarakat” melalui Internet oleh seseorang atau sekolompok orang yang menyebut dirinya atau kelompoknya dengan nama Anne Ahira.
Setelah hampir 2 tahun beroperasi, akhirnya kegiatan Anne Ahira ditutup pada bulan Agustus 2005 dengan alasan yang kurang masuk akal. Padahal sebagaimana kegiatan MLM, apalagi di Internet, ada masa jenuh, yaitu masa untuk menutup bisnis, di mana bau busuk semakin tercium oleh masyarakat dan tidak ada lagi orang yang bisa diajak bergabung, dan terutama pengelola MLM sudah memperoleh untung dan kebanyakan anggotanya buntung….
Sebuah Koran besar seperti Kompas dan beberapa radio swasta bahkan telah ditunggangi Anne Ahira untuk dijadikan tempat berpromosi untuk mengeruk uang dari calon korban-korbannya. Akibat “ditungganginya” Kompas oleh Anne Ahira, muncul kritikan pedas dari beberapa Blog dan milis untuk Kompas sebagai menyajikan wawancara tanpa daya kritis. Sayangnya serangan balik Kompas justru menambah hilangnya kredibilitas Kompas dengan membuat tulisan yang amat dangkal dengan mengatakan bahwa penulis di Internet (di milis atau Blog) sebagai monyet nakal yang seenaknya mempermainkan orang (baca tulisan Benny Chandra di http://bennychandra.com/2005/05/03/cara-kompas-menghadapi-kritik atau tulisan Priyadi di http://priyadi.net/archives/2005/05/03/satria-kepencet-whistleblower-anonimitas-dan-kompas/ ).
Dalam tulisan Kompas yang berjudul “Tendangan Milis”, disebutkan milis sebagai sebuah media di Internet (termasuk Blog) sebagai media yang tidak kredibel dalam menganalisis persoalan yang sedang dihadapi. Padahal Milis dan Blog terbukti kredibel dalam menganalisis masalah Anne Ahira pada bulan Agustus 2005. Mestinya Kompas tidak membiarkan ada wartawannya yang tidak bisa atau tidak mampu analitis dalam melihat media baru (milis dan Blog) di Internet. Bukankah tidak semua media cetak juga bisa disebut kredibel atau tidak semua media elektronik bisa disebut kredibel. Tetapi ada yang kredibel, bukan?
Kompas menyebut sebab tidak kredibelnya media Internet sebagai ditulis oleh orang yang anonim. Padahal media cetak pun sering anonim. Lihat contoh skandal WaterGate di Amerika yang memanfaatkan sumber yang anonim. Jadi tentu bukan anonim atau tidaknya sebuah media menjadi kredibel, tetapi isinya….
Kasus Anne Ahira adalah satu contoh, bagaimana media baru di Internet (blog dan milis) memiliki fungsi di masyarakat. Pengguna Internet di Indonesia tergolong kecil jika dibandingkan dengan pengguna Internet di negara-negara lainnya. Bayangkan jika akses Internet sudah seperti kemampuan memiliki telepon selular di kota-kota besar, apakah peran Milis dan Blog akan lebih besar lagi untuk menjadi media alternatif ?