Media Konsumen, 19 April 2007
Tidak banyak yang tahu dari mana berasal judul kumpulan surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ternyata di dalam surat-suratnya, Kartini sering menulis kata-kata itu berulang-ulang yang terinspirasi dari Minadz zhulumaati ilan Nur yang berarti Dari Gelap Kepada Cahaya (al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 257). Begitu pun E.C. Abendanon yang mengumpulkan, mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu yang kemudian diberi judul “Door Duisternis tot Licht” tentu saja tidak mengetahui bahwa judul itu berasal dari al-Qur'an (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).
Kartini bukan pejuang pergerakan wanita semata. Kartini adalah pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya. Ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya.
Kartini wafat dalam usia yang sangat muda, yaitu usia 25 tahun, sebelum usai pencariannya dan perjuangannya. Namun dalam usia yang singkat itu ia telah menorehkan jejak perjuangan yang panjang dan dalam. Perjuangan mencari “cahaya” amat melelahkannya, namun membuahkan hasil.
Dalam usianya begitu muda ia bahkan telah dapat menginspirasikan sebuah pekerjaan besar bagi umat Islam di tanah Jawa waktu itu, yaitu terjemahan atau intepretasi kandungan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa yang belum ada waktu itu kepada seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad Soleh bin Umar (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001). Berkat pertemuannya dengan Kartini, Kiai Soleh tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid ke I yang terdiri dari (hanya) 13 juz yang kemudian diberikannya sebagai hadiah pernikahan Kartini. Bayangkan sebuah hadiah perkawinannya adalah sebuah karya besar bagi sebuah komunitas besar manusia.. Sayang Kiai Soleh wafat sebelum menyelesaikan pekerjaan besar itu.
Sungguh menakjubkan, ternyata Kartini juga mempersoalkan persoalan mendasar umat Islam hampir di mana-mana hingga sekarang bahwa jika menjadi Muslim tidak perlu menguasai bahasa Arab. Cukup lah para ulama saja yang menguasai bahasa Arab, sehingga banyak Muslim yang tidak mengerti apa yang diucapkannya (dalam bahasa Arab) setiap hari. Lebih jauh lagi, hingga kini banyak Muslim yang tersesat karena selalu dan sering bertanya-tanya “apa hukum-nya mengenai sesuatu hal di dalam kehidupan sehari-harinya?”
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899,
Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan “home schooling” melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang. Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.
Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”. Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.”
Kartini pun tidak sekedar menulis tentang nasionalisme atau kesetiakawanan itu, tetapi juga mempraktekkannya dengan memberikan atau mengalihkan beasiswa ke Belanda yang seharusnya ia nikmati kepada seorang pemuda dari tanah Sumatra, yaitu Agus Salim. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Bahkan, ia pun menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan “orang Indonesia” lain yang tergambar dalam sebuah surat di tahun 1902 kepada Stella Zeehandelaar, tentang rencana Kartini: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."
105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda di tahun 1911, beberapa tahun setelah kematian Kartini di tahun 1904, dengan judul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini terbit di kota besar seperti Den Haag, Semarang atau Surabaya dan menjadi salah satu inspirasi bagi pemikir kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane lah yang pertama kali menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” di tahun 1922 sehingga buku ini bisa dibaca banyak orang dan menjadi lebih populer. Kemudian Pramoedya Ananta Toer dari tahun 1956 hingga 1961 mencoba menggali sejarah tokoh ini dan menjadi biografi Kartini yang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Seharusnya buku ini akan ditulis dalam 4 jilid. Namun Pemerintah Orde Baru yang ganas menuduhnya PKI, dan memusnahkan jilid ke 3 dan ke 4.
Kartini memang kalah bahkan mati muda. Kartini memang dipingit. Kartini memang menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme. Kartini memang cuma sekedar menjadi pemikir yang penulis bukan pembuat aksi. Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya yang ia tulis dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa.
Kartini hidup dalam masa kebijakan Tanam Paksa karena kebangkrutan Pemerintah Belanda akibat Perang Diponegoro. Yohannes Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan Tanam Paksa sekitar tahun 1835. Karena kebijakan itu, rakyat pribumi diwajibkan menanam seperlima dari ladangnya untuk menananm tanaman perdanganan dunia yang menempatkan Belanda pada peringkat teratas, yaitu tanaman nila, rempah, tebu, kopi, tembakau, kayu manis dan lada. Rakyat juga diwajibkan dalam setahun memberikan waktu bekerja untuk pemerintah penjajahan selama 66 hari secara suka rela.
Para operator Tanam Paksa adalah orang Belanda dibantu oleh kaki tangannya dari elite priyayi Pribumi yang bisa disebut sebagai para raja kecil, seperti ayah Kartini sendiri yang Bupati Jepara. Atas nama atau dengan mengusung nama Pemerintahan Negara, para raja kecil ini banyak yang berlaku keji dan korup kepada bangsanya sendiri. Perilaku ini ternyata sudah terbangun semasa Kartini hidup dan menjadi watak bangsa Indonesia hingga sekarang. Belanda dengan licik mempertahankan dan melindungi kekuasaan para raja kecil ini agar bisa terus menjadi kaki tangan dalam merampok hak-hak dan kemakmuran rakyat. Pendidikan hanya diberikan seperlunya saja, yaitu hanya kepada elite priyayi pribumi saja dan hanya laki-laki saja agar tradisi feodal yang tidak mencerdaskan bisa terus dilestarikan. Belanda yang menempatkan pusat pemerintahan Hindia Belanda di tanah Jawa sengaja melestarikan tradisi feodalisme Jawa itu agar aktivitas penjajahan bisa mulus berjalan. Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba memberontak dengan menggambarkan situasi feodalisme itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”
Posisi Belanda sekarang ini digantikan dengan negara-negara super power dan bahkan juga negara-negara tetangga (padahal negara kecil). Mereka sibuk menyedot dan mengangkuti kekayaan alam Indonesia mulai dari hutan, emas, minyak hingga pasir tanpa peduli pada global issues mengenai climate change atau global warming. Kesempatan rakyat untuk memberdayakan hidupnya dipangkas lewat berbagai kebijakan keji. Lihat misalnya kebijakan yang membuat Internet Murah menjadi sebuah mimpi di siang bolong (http://jojor.blogspot.com/2007/01/copy-paste-dari-internet.html), padahal Internet banyak diharapkan dapat mengakselerasi tingkat pendidikan atau pengetahuan. Sementara itu, Wakil Rakyat, para elite priyayi jaman modern ini gemar mangap menikmati berbagai suap dan tunjangan, seperti mesin cuci, laptop, studi banding dan lain-lain tanpa harus kerja membela rakyat. Watak korup dan keji itu juga menjadi selempang yang mengkilat pada para pejabat masa kini. Mereka tak pernah sibuk membela atau mengusung rakyat, tetapi sibuk tanpa takut dan malu sedikit pun untuk menjadi centeng, pelindung para bajingan. Mereka juga sibuk mencetak setan-setan berseragam coklat muda di IPDN (http://jojor.blogspot.com/2007/04/jejak-setan-di-ipdn.html) .
Ternyata kolonialisme di jaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini. Perempuan pun tak pernah dianggap utuh sebagai manusia. Apalagi perempuan miskin, yang karena tiadanya kesempatan untuk merubah nasib, akan menjadi manusia nista yang boleh dikirim oleh setan pengirim TKW ke kandang monster gila di luar negeri untuk dianiaya, diperkosa dan dibunuh. Jika tetap tinggal di negeri ini, mereka akan mencucurkan keringat darahnya di pabrik-pabrik busuk dan pengap, bukan menjalani salah satu tugas mulianya, yaitu mengasuh anak-anaknya agar-agar anak-anaknya tumbuh sehat dan menjadi calon warga terhormat dunia yang lebih baik. Sedangkan para laki-laki petani yang bercocok tanam di negeri ini dijerumuskan untuk menjadi pecundang yang tolol dan selalu miskin. Para priyayi lebih suka mereka menjadi robot dungu di kawasan-kawasan industri. Ini ‘kan jaman industri, kata mereka.
Sekali lagi, sejak jaman Kartini hingga sekarang, situasi itu lah yang kita hadapi dari hari ke hari. Lebih dari 100 tahun kemudian! Para pengusaha, yang jelmaan baru para penjajah, terus menguasai para raja-raja kecil di pemerintahan meski rakyat menjerit tersapu lumpur panas atau tersapu banjir bandang misalnya. Para penjajah pun dengan “kagum” terus menyeringai memandangi rakyat yang menjerit-jerit karena tempatnya mencari makan digusur tanpa diberi jalan keluar. Sementara itu penjajah di negeri seberang bertambah jaya dan makmur, sambil terus memberikan kita mainan perang-perangan melawan teroris atau mainan kebencian antar agama.
Jadi, jangan menyebut diri anda sebagai manusia Indonesia modern atau manusia Indonesia yang maju ketika ada perempuan di negeri ini yang sudah memperoleh kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya atau berkarier setinggi-tingginya atau menjadi pengusaha besar atau bahkan menjadi presiden perempuan di Indonesia, jika situasi penjajahan yang digambarkan oleh Kartini belum berubah....
Jojo Rahardjo
Tidak banyak yang tahu dari mana berasal judul kumpulan surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ternyata di dalam surat-suratnya, Kartini sering menulis kata-kata itu berulang-ulang yang terinspirasi dari Minadz zhulumaati ilan Nur yang berarti Dari Gelap Kepada Cahaya (al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 257). Begitu pun E.C. Abendanon yang mengumpulkan, mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu yang kemudian diberi judul “Door Duisternis tot Licht” tentu saja tidak mengetahui bahwa judul itu berasal dari al-Qur'an (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).
Kartini bukan pejuang pergerakan wanita semata. Kartini adalah pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya. Ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya.
Kartini wafat dalam usia yang sangat muda, yaitu usia 25 tahun, sebelum usai pencariannya dan perjuangannya. Namun dalam usia yang singkat itu ia telah menorehkan jejak perjuangan yang panjang dan dalam. Perjuangan mencari “cahaya” amat melelahkannya, namun membuahkan hasil.
Dalam usianya begitu muda ia bahkan telah dapat menginspirasikan sebuah pekerjaan besar bagi umat Islam di tanah Jawa waktu itu, yaitu terjemahan atau intepretasi kandungan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa yang belum ada waktu itu kepada seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad Soleh bin Umar (Ida S. Widayanti, Majalah Suara Hidayatullah : April 2001). Berkat pertemuannya dengan Kartini, Kiai Soleh tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid ke I yang terdiri dari (hanya) 13 juz yang kemudian diberikannya sebagai hadiah pernikahan Kartini. Bayangkan sebuah hadiah perkawinannya adalah sebuah karya besar bagi sebuah komunitas besar manusia.. Sayang Kiai Soleh wafat sebelum menyelesaikan pekerjaan besar itu.
Sungguh menakjubkan, ternyata Kartini juga mempersoalkan persoalan mendasar umat Islam hampir di mana-mana hingga sekarang bahwa jika menjadi Muslim tidak perlu menguasai bahasa Arab. Cukup lah para ulama saja yang menguasai bahasa Arab, sehingga banyak Muslim yang tidak mengerti apa yang diucapkannya (dalam bahasa Arab) setiap hari. Lebih jauh lagi, hingga kini banyak Muslim yang tersesat karena selalu dan sering bertanya-tanya “apa hukum-nya mengenai sesuatu hal di dalam kehidupan sehari-harinya?”
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899,
Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan “home schooling” melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang. Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.
Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”. Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.”
Kartini pun tidak sekedar menulis tentang nasionalisme atau kesetiakawanan itu, tetapi juga mempraktekkannya dengan memberikan atau mengalihkan beasiswa ke Belanda yang seharusnya ia nikmati kepada seorang pemuda dari tanah Sumatra, yaitu Agus Salim. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Bahkan, ia pun menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan “orang Indonesia” lain yang tergambar dalam sebuah surat di tahun 1902 kepada Stella Zeehandelaar, tentang rencana Kartini: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."
105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda di tahun 1911, beberapa tahun setelah kematian Kartini di tahun 1904, dengan judul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini terbit di kota besar seperti Den Haag, Semarang atau Surabaya dan menjadi salah satu inspirasi bagi pemikir kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane lah yang pertama kali menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Melayu menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” di tahun 1922 sehingga buku ini bisa dibaca banyak orang dan menjadi lebih populer. Kemudian Pramoedya Ananta Toer dari tahun 1956 hingga 1961 mencoba menggali sejarah tokoh ini dan menjadi biografi Kartini yang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Seharusnya buku ini akan ditulis dalam 4 jilid. Namun Pemerintah Orde Baru yang ganas menuduhnya PKI, dan memusnahkan jilid ke 3 dan ke 4.
Kartini memang kalah bahkan mati muda. Kartini memang dipingit. Kartini memang menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme. Kartini memang cuma sekedar menjadi pemikir yang penulis bukan pembuat aksi. Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya yang ia tulis dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa.
Kartini hidup dalam masa kebijakan Tanam Paksa karena kebangkrutan Pemerintah Belanda akibat Perang Diponegoro. Yohannes Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan Tanam Paksa sekitar tahun 1835. Karena kebijakan itu, rakyat pribumi diwajibkan menanam seperlima dari ladangnya untuk menananm tanaman perdanganan dunia yang menempatkan Belanda pada peringkat teratas, yaitu tanaman nila, rempah, tebu, kopi, tembakau, kayu manis dan lada. Rakyat juga diwajibkan dalam setahun memberikan waktu bekerja untuk pemerintah penjajahan selama 66 hari secara suka rela.
Para operator Tanam Paksa adalah orang Belanda dibantu oleh kaki tangannya dari elite priyayi Pribumi yang bisa disebut sebagai para raja kecil, seperti ayah Kartini sendiri yang Bupati Jepara. Atas nama atau dengan mengusung nama Pemerintahan Negara, para raja kecil ini banyak yang berlaku keji dan korup kepada bangsanya sendiri. Perilaku ini ternyata sudah terbangun semasa Kartini hidup dan menjadi watak bangsa Indonesia hingga sekarang. Belanda dengan licik mempertahankan dan melindungi kekuasaan para raja kecil ini agar bisa terus menjadi kaki tangan dalam merampok hak-hak dan kemakmuran rakyat. Pendidikan hanya diberikan seperlunya saja, yaitu hanya kepada elite priyayi pribumi saja dan hanya laki-laki saja agar tradisi feodal yang tidak mencerdaskan bisa terus dilestarikan. Belanda yang menempatkan pusat pemerintahan Hindia Belanda di tanah Jawa sengaja melestarikan tradisi feodalisme Jawa itu agar aktivitas penjajahan bisa mulus berjalan. Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba memberontak dengan menggambarkan situasi feodalisme itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”
Posisi Belanda sekarang ini digantikan dengan negara-negara super power dan bahkan juga negara-negara tetangga (padahal negara kecil). Mereka sibuk menyedot dan mengangkuti kekayaan alam Indonesia mulai dari hutan, emas, minyak hingga pasir tanpa peduli pada global issues mengenai climate change atau global warming. Kesempatan rakyat untuk memberdayakan hidupnya dipangkas lewat berbagai kebijakan keji. Lihat misalnya kebijakan yang membuat Internet Murah menjadi sebuah mimpi di siang bolong (http://jojor.blogspot.com/2007/01/copy-paste-dari-internet.html), padahal Internet banyak diharapkan dapat mengakselerasi tingkat pendidikan atau pengetahuan. Sementara itu, Wakil Rakyat, para elite priyayi jaman modern ini gemar mangap menikmati berbagai suap dan tunjangan, seperti mesin cuci, laptop, studi banding dan lain-lain tanpa harus kerja membela rakyat. Watak korup dan keji itu juga menjadi selempang yang mengkilat pada para pejabat masa kini. Mereka tak pernah sibuk membela atau mengusung rakyat, tetapi sibuk tanpa takut dan malu sedikit pun untuk menjadi centeng, pelindung para bajingan. Mereka juga sibuk mencetak setan-setan berseragam coklat muda di IPDN (http://jojor.blogspot.com/2007/04/jejak-setan-di-ipdn.html) .
Ternyata kolonialisme di jaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini. Perempuan pun tak pernah dianggap utuh sebagai manusia. Apalagi perempuan miskin, yang karena tiadanya kesempatan untuk merubah nasib, akan menjadi manusia nista yang boleh dikirim oleh setan pengirim TKW ke kandang monster gila di luar negeri untuk dianiaya, diperkosa dan dibunuh. Jika tetap tinggal di negeri ini, mereka akan mencucurkan keringat darahnya di pabrik-pabrik busuk dan pengap, bukan menjalani salah satu tugas mulianya, yaitu mengasuh anak-anaknya agar-agar anak-anaknya tumbuh sehat dan menjadi calon warga terhormat dunia yang lebih baik. Sedangkan para laki-laki petani yang bercocok tanam di negeri ini dijerumuskan untuk menjadi pecundang yang tolol dan selalu miskin. Para priyayi lebih suka mereka menjadi robot dungu di kawasan-kawasan industri. Ini ‘kan jaman industri, kata mereka.
Sekali lagi, sejak jaman Kartini hingga sekarang, situasi itu lah yang kita hadapi dari hari ke hari. Lebih dari 100 tahun kemudian! Para pengusaha, yang jelmaan baru para penjajah, terus menguasai para raja-raja kecil di pemerintahan meski rakyat menjerit tersapu lumpur panas atau tersapu banjir bandang misalnya. Para penjajah pun dengan “kagum” terus menyeringai memandangi rakyat yang menjerit-jerit karena tempatnya mencari makan digusur tanpa diberi jalan keluar. Sementara itu penjajah di negeri seberang bertambah jaya dan makmur, sambil terus memberikan kita mainan perang-perangan melawan teroris atau mainan kebencian antar agama.
Jadi, jangan menyebut diri anda sebagai manusia Indonesia modern atau manusia Indonesia yang maju ketika ada perempuan di negeri ini yang sudah memperoleh kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya atau berkarier setinggi-tingginya atau menjadi pengusaha besar atau bahkan menjadi presiden perempuan di Indonesia, jika situasi penjajahan yang digambarkan oleh Kartini belum berubah....
Jojo Rahardjo