MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2785.html
Meski Penerimaan Siswa Baru (PSB) SMA di Jakarta sudah lewat, namun laporan di bawah ini masih relevan untuk menyambut datangnya Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli nanti.
Hari Senin, 30 Juni 2008, jam 09:00, saya datang ke SMA 68, di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat untuk mengantarkan seorang keponakan saya baru saja lulus SMP di luar Jakarta. Ia ingin bersekolah di satu SMA Negeri di Jakarta. Sebagaimana disyaratkan oleh Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta (Dinas Dikmenti) di dalam websitenya, http://www.dikmentidki.psb-online.or.id/ , calon siswa dari luar Jakarta harus melakukan proses pra-pendaftaran terlebih dahulu di beberapa sekolah yang ditentukan. Untuk keponakan saya, pra-pendaftaran dilakukan di SMA 68 di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.
Di dekat pintu masuk saya diberikan nomor urut oleh panitia PSB. Setelah itu saya melihat beberapa kerumunan orang yang jumlahnya kira-kira beberapa ratus orang. Karena saya tidak melihat petunjuk mengenai langkah-langkah proses pra-pendaftaran selanjutnya, terpaksa saya bertanya sana-sini mengenai di mana saya bisa mendapatkan formulir untuk saya isi. Itu kekisruhan pertama.
Ketika mencari dimana letak formulir disediakan, ternyata sedang terjadi keributan antara orangtua para calon siswa dengan panitia PSB. Mereka sedang protes kepada panitia, karena panitia menolak Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang mereka bawa. Panitia menetapkan SKHUN yang harus diberikan adalah yang dikeluarkan oleh Dinas Dikmenti, padahal Dinas Dikmenti tidak atau belum mengeluarkan SKHUN kepada siswa SMP di luar Jakarta yang baru lulus. Hanya siswa lulusan SMP Jakarta saja yang sudah menerima SKHUN dari Dinas Dikmenti. Di luar Jakarta, pihak sekolah lah yang mengeluarkan SKHUN. Memang aneh, jika Dinas Dikmenti membuat jadwal pra-pendaftaran pada tanggal 30 Juni, 1, 2 dan 3 Juli, serta mensyaratkan adanya SKHUN, tetapi ternyata pihak Dinas Dikmenti belum mengeluarkan atau mengirimkan SKHUN kepada siswa-siswa yang akan mendaftar ke SMA. Para orang tua siswa ini bersikeras agar panitia mau menerima SKHUN yang dikeluarkan dari sekolah yang mereka bawa. Jika SKHUN dari Diknas belum mereka terima, itu bukan salah para siswa. Apalagi, di dalam petunjuk pendaftaran dari Dinas Dikmenti tidak disebutkan SKHUN adalah dari Dinas Dikmenti. Apakah mereka harus pulang ke kota-kota asal mereka, atau pergi beramai-ramai ke Dinas Dikmenti untuk meminta SKHUN? Suasana jadi lebih panas, karena pihak panitia PSB di SMA 68 itu harus bertanya lebih dahulu ke Dinas Dikmenti. Pukul 10:00 lewat akhirnya Dinas Dikmenti memperbolehkan proses pra-pendaftaran dilanjutkan tanpa SKHUN dari Dinas Dikmenti.
Proses PSB SMA di Jakarta sudah beberapa tahun terakhir ini menggunakan online system. Biasanya istilah online system digunakan untuk menunjukkan terpadunya sebuah sistem dengan memanfaatkan jaringan komputer, sehingga data yang sudah disimpan dan ‘data baru’ yang akan diproses berlangsung terpadu. Proses terpadu itu membuat sistem ini juga disebut realtime karena proses berlangsung seketika dan hasilnya dapat diakses seketika dan dari komputer mana saja dalam jaringan itu.
Namun anehnya pada PSB online ini, proses pra-pendaftaran (sekali lagi, proses pra-pendaftaran ini hanya untuk siswa lulusan SMP dari luar Jakarta) harus dengan menunjukkan SKHUN, padahal bukankah data siswa lulusan SMP (termasuk data SKHUN) sudah ada di Dinas Dikmenti? Nampaknya panitia PSB memasukkan kembali (mengetik lagi) data yang ada pada SKHUN yang diterimanya pada saat proses pra-pendaftaran ke komputer, lalu mengirim data itu ke pusat…. Setelah itu baru diproses. Itu namanya kerja dua kali dan tidak online yang sebenarnya dan buang-buang waktu juga tenaga.
Menurut saya, seharusnya pra-pendaftaran atau pendaftaran sekali pun hanya dengan menggunakan Nomor Ujian Nasional, karena nomor ujian ini sudah ada di Dinas Dikmenti. Jadi dengan memasukkan nomor ujian, panitia PSB bisa melihat semua informasi calon siswa, termasuk nilai NEM dan nilai-nilai 4 mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional, sehingga proses pendaftaran bisa dilakukan secara online dalam arti sebenarnya. Bukankah sebagaimana yang disebut oleh Dikmenti sendiri proses seleksi siswa dalam PSB ini berdasarkan nilai-nilai Ujian Nasional yang dimiliki oleh calon siswa dan sudah disimpan oleh Dikmenti? Dengan begitu tidak perlu ada proses memasukkan kembali data siswa.
Kekisruhan cara kerja panitia PSB bertambah setelah nomor urut yang diterima pada saat pertama kali datang menjadi tidak berlaku. Ini terjadi setelah ribut-ribut soal SKHUN seperti yang sudah disebutkan di atas. Akhirnya saya baru bisa menyelesaikan proses pra-pendaftaran itu pada jam 15:00, hanya untuk mendapatkan nomor registrasi pra-pendaftaran. Luar biasa online!
Kekisruhan seputar SKHUN ini ternyata terjadi juga di tempat pra-pendaftaran lain, yaitu di SMA 54, Jatinegara, Jakarta Timur. Anehnya, dua sekolah yang saya sebutkan ini adalah dua sekolah yang terkenal dengan kualitasnya yang baik. Nampaknya kekisruhan ini terjadi di semua tempat pra-pendaftaran. Di dua tempat ini tidak ada informasi mengenai langkah-langkah pra-pendaftaran yang diletakkan pada tempat yang mudah terbaca. Begitu juga informasi-informasi penting yang harus diketahui oleh para pendaftar. Akibatnya banyak orang berkerumun di depan loket atau di depan meja panitia, karena takut ketinggalan informasi. Kerumunan ini menyulitkan para pendaftar yang baru datang untuk mendekati panitia. Suasana ini mirip di pasar ayam tradisional.
Untungnya kekisruhan tidak terjadi pada saat proses pendaftaran tanggal 4,5 dan 7 Juli, meski nampaknya juga ada proses pengetikan data siswa kembali (dua kali kerja). Proses pendaftaran berlangsung cukup cepat dan hasilnya langsung muncul di jaringan komputer Dikmenti DKI yang bisa diakses melalui Internet.
Saya prihatin, karena keponakan saya pada usianya yang masih dini harus menyaksikan dan mengalami sebuah sistem pendaftaran sekolah yang lagi-lagi masih amburadul, padahal katanya pendaftaran yang online dan realtime. Menurut website Dinas Dikmenti, sistem online dan realtime ini dibuat dengan bekerja sama dengan Telkom Solution.
Saya sarankan agar di tahun depan proses pendaftaran PSB menggunakan sistem yang online dan realtime yang sesungguhnya. Jika prosesnya online, tentu proses pendaftaran bisa dilakukan melalui website Dinas Dikmenti dan dengan menggunakan satu identifikasi saja, yaitu Nomor Ujian Nasional misalnya. Proses pendaftaran tidak harus atau tidak perlu dengan mendatangi tempat pendaftaran. Dengan begitu para calon siswa SMA ini sudah diajarkan bagaimana menggunakan energi dan waktunya secara efisien dan sekaligus terbiasa dengan apa yang disebut atau dinamakan online yang sesungguhnya.
Meski Penerimaan Siswa Baru (PSB) SMA di Jakarta sudah lewat, namun laporan di bawah ini masih relevan untuk menyambut datangnya Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli nanti.
Hari Senin, 30 Juni 2008, jam 09:00, saya datang ke SMA 68, di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat untuk mengantarkan seorang keponakan saya baru saja lulus SMP di luar Jakarta. Ia ingin bersekolah di satu SMA Negeri di Jakarta. Sebagaimana disyaratkan oleh Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta (Dinas Dikmenti) di dalam websitenya, http://www.dikmentidki.psb-online.or.id/ , calon siswa dari luar Jakarta harus melakukan proses pra-pendaftaran terlebih dahulu di beberapa sekolah yang ditentukan. Untuk keponakan saya, pra-pendaftaran dilakukan di SMA 68 di jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.
Di dekat pintu masuk saya diberikan nomor urut oleh panitia PSB. Setelah itu saya melihat beberapa kerumunan orang yang jumlahnya kira-kira beberapa ratus orang. Karena saya tidak melihat petunjuk mengenai langkah-langkah proses pra-pendaftaran selanjutnya, terpaksa saya bertanya sana-sini mengenai di mana saya bisa mendapatkan formulir untuk saya isi. Itu kekisruhan pertama.
Ketika mencari dimana letak formulir disediakan, ternyata sedang terjadi keributan antara orangtua para calon siswa dengan panitia PSB. Mereka sedang protes kepada panitia, karena panitia menolak Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang mereka bawa. Panitia menetapkan SKHUN yang harus diberikan adalah yang dikeluarkan oleh Dinas Dikmenti, padahal Dinas Dikmenti tidak atau belum mengeluarkan SKHUN kepada siswa SMP di luar Jakarta yang baru lulus. Hanya siswa lulusan SMP Jakarta saja yang sudah menerima SKHUN dari Dinas Dikmenti. Di luar Jakarta, pihak sekolah lah yang mengeluarkan SKHUN. Memang aneh, jika Dinas Dikmenti membuat jadwal pra-pendaftaran pada tanggal 30 Juni, 1, 2 dan 3 Juli, serta mensyaratkan adanya SKHUN, tetapi ternyata pihak Dinas Dikmenti belum mengeluarkan atau mengirimkan SKHUN kepada siswa-siswa yang akan mendaftar ke SMA. Para orang tua siswa ini bersikeras agar panitia mau menerima SKHUN yang dikeluarkan dari sekolah yang mereka bawa. Jika SKHUN dari Diknas belum mereka terima, itu bukan salah para siswa. Apalagi, di dalam petunjuk pendaftaran dari Dinas Dikmenti tidak disebutkan SKHUN adalah dari Dinas Dikmenti. Apakah mereka harus pulang ke kota-kota asal mereka, atau pergi beramai-ramai ke Dinas Dikmenti untuk meminta SKHUN? Suasana jadi lebih panas, karena pihak panitia PSB di SMA 68 itu harus bertanya lebih dahulu ke Dinas Dikmenti. Pukul 10:00 lewat akhirnya Dinas Dikmenti memperbolehkan proses pra-pendaftaran dilanjutkan tanpa SKHUN dari Dinas Dikmenti.
Proses PSB SMA di Jakarta sudah beberapa tahun terakhir ini menggunakan online system. Biasanya istilah online system digunakan untuk menunjukkan terpadunya sebuah sistem dengan memanfaatkan jaringan komputer, sehingga data yang sudah disimpan dan ‘data baru’ yang akan diproses berlangsung terpadu. Proses terpadu itu membuat sistem ini juga disebut realtime karena proses berlangsung seketika dan hasilnya dapat diakses seketika dan dari komputer mana saja dalam jaringan itu.
Namun anehnya pada PSB online ini, proses pra-pendaftaran (sekali lagi, proses pra-pendaftaran ini hanya untuk siswa lulusan SMP dari luar Jakarta) harus dengan menunjukkan SKHUN, padahal bukankah data siswa lulusan SMP (termasuk data SKHUN) sudah ada di Dinas Dikmenti? Nampaknya panitia PSB memasukkan kembali (mengetik lagi) data yang ada pada SKHUN yang diterimanya pada saat proses pra-pendaftaran ke komputer, lalu mengirim data itu ke pusat…. Setelah itu baru diproses. Itu namanya kerja dua kali dan tidak online yang sebenarnya dan buang-buang waktu juga tenaga.
Menurut saya, seharusnya pra-pendaftaran atau pendaftaran sekali pun hanya dengan menggunakan Nomor Ujian Nasional, karena nomor ujian ini sudah ada di Dinas Dikmenti. Jadi dengan memasukkan nomor ujian, panitia PSB bisa melihat semua informasi calon siswa, termasuk nilai NEM dan nilai-nilai 4 mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional, sehingga proses pendaftaran bisa dilakukan secara online dalam arti sebenarnya. Bukankah sebagaimana yang disebut oleh Dikmenti sendiri proses seleksi siswa dalam PSB ini berdasarkan nilai-nilai Ujian Nasional yang dimiliki oleh calon siswa dan sudah disimpan oleh Dikmenti? Dengan begitu tidak perlu ada proses memasukkan kembali data siswa.
Kekisruhan cara kerja panitia PSB bertambah setelah nomor urut yang diterima pada saat pertama kali datang menjadi tidak berlaku. Ini terjadi setelah ribut-ribut soal SKHUN seperti yang sudah disebutkan di atas. Akhirnya saya baru bisa menyelesaikan proses pra-pendaftaran itu pada jam 15:00, hanya untuk mendapatkan nomor registrasi pra-pendaftaran. Luar biasa online!
Kekisruhan seputar SKHUN ini ternyata terjadi juga di tempat pra-pendaftaran lain, yaitu di SMA 54, Jatinegara, Jakarta Timur. Anehnya, dua sekolah yang saya sebutkan ini adalah dua sekolah yang terkenal dengan kualitasnya yang baik. Nampaknya kekisruhan ini terjadi di semua tempat pra-pendaftaran. Di dua tempat ini tidak ada informasi mengenai langkah-langkah pra-pendaftaran yang diletakkan pada tempat yang mudah terbaca. Begitu juga informasi-informasi penting yang harus diketahui oleh para pendaftar. Akibatnya banyak orang berkerumun di depan loket atau di depan meja panitia, karena takut ketinggalan informasi. Kerumunan ini menyulitkan para pendaftar yang baru datang untuk mendekati panitia. Suasana ini mirip di pasar ayam tradisional.
Untungnya kekisruhan tidak terjadi pada saat proses pendaftaran tanggal 4,5 dan 7 Juli, meski nampaknya juga ada proses pengetikan data siswa kembali (dua kali kerja). Proses pendaftaran berlangsung cukup cepat dan hasilnya langsung muncul di jaringan komputer Dikmenti DKI yang bisa diakses melalui Internet.
Saya prihatin, karena keponakan saya pada usianya yang masih dini harus menyaksikan dan mengalami sebuah sistem pendaftaran sekolah yang lagi-lagi masih amburadul, padahal katanya pendaftaran yang online dan realtime. Menurut website Dinas Dikmenti, sistem online dan realtime ini dibuat dengan bekerja sama dengan Telkom Solution.
Saya sarankan agar di tahun depan proses pendaftaran PSB menggunakan sistem yang online dan realtime yang sesungguhnya. Jika prosesnya online, tentu proses pendaftaran bisa dilakukan melalui website Dinas Dikmenti dan dengan menggunakan satu identifikasi saja, yaitu Nomor Ujian Nasional misalnya. Proses pendaftaran tidak harus atau tidak perlu dengan mendatangi tempat pendaftaran. Dengan begitu para calon siswa SMA ini sudah diajarkan bagaimana menggunakan energi dan waktunya secara efisien dan sekaligus terbiasa dengan apa yang disebut atau dinamakan online yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment