Siang ini, 9 November 2009, saya memaksakan diri untuk menulis Note untuk FB di bawah ini. Sesuatu yang seharusnya selalu saya lakukan ketika keinginan untuk menulis muncul, karena jika tidak, saya akan kehilangan momentum sebagaimana biasanya. Meski demikian, tulisan ini cuma renungan mengenai soal yang dalam beberapa minggu terakhir ini memenuhi benak semua orang di negeri ini.
Pagi tadi, saya baru saja mendengarkan Anies Baswedan (salah satu anggota Tim 8 yang ditugaskan untuk memberi rekomendasi pada soal Bibit & Chandra atau Cicak & Buaya) di dalam sebuah acara talkshow di sebuah TV swasta. Tidak seperti kebanyakan orang-orang lain, Anies di dalam acara talkshow itu memperlihatkan adanya optimisme tentang akhir (saya tidak menyebut penyelesaian) dari soal Cicak & Buaya.
Menurut Anies (tidak persis seperti berikut ini), sebagaimana demokratisasi yang tidak mungkin terjadi pada masa Suharto ternyata akhirnya datang juga sebuah momentum untuk melakukan demokratisasi, begitu juga pada soal penegakan hukum di Indonesia. Ya! gonjang-ganjing yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya soal kinerja penegakan hukum oleh institusi-institusi hukum di Indonesia bukan soal lain sebagaimana disebutkan oleh berbagai orang secara simpang-siur dan hiruk-pikuk. Kebetulan apa yang dilakukan oleh Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, terhadap Bibit & Chandra adalah sebuah momentum yang dimaksud Anies untuk memperbaiki institusi-institusi penegakan hukum di Indonesia (kepolisian dan kejaksaan). Nampaknya bagi Anies, soal Cicak & Buaya, meski dampaknya besar dan konyol, tetapi bukan soal besar dan rumit, karena akhir dari gonjang-ganjing penegakan hukum ini bisa menjadi mudah. Sayang, Anies masih belum memberikan bocoran mengenai rekomendasi yang nanti akan segera diberikan Tim 8 kepada pucuk pimpinan (setidaknya dianggap pimpinan) negeri ini.
Jika anda melihat status-status saya dalam beberapa minggu terakhir ini, isinya adalah sumpah-serapah saya yang berkaitan dengan soal di atas. Kemarahan itu muncul karena dipicu rasa frustasi saya melihat bagaimana hukum diterapkan pada Bibit & Chandra. Jika Bibit & Chandra yang diangkat sebagai pimpinan KPK berdasarkan undang-undang untuk memberantas korupsi, namun oleh Kapolri Bambang Hendarso Danuri mereka bisa dituduh (tanpa bukti yang cukup) telah menerima suap dan melakukan pemerasan, lalu bagaimana dengan saya dan berjuta-juta orang lain di negeri ini yang cuma orang biasa?
Selain kekuatiran pada soal kinerja Kapolri dan Jagung, saya pun kuatir dengan ke arah mana negeri ini terus bergerak. Yang mengerikan adalah, bahwa Kapolri dan Jagung tentu memiliki peranan dalam menentukan arah gerak negeri ini. Misalnya, jika Kapolri dan Jagung justru nampak menghambat pengungkapan adanya aliran dana illegal dari Bank Century untuk calon presiden SBY di saat pemilu yang baru lalu, maka bagaimana mungkin negeri ini bisa mendapatkan pemimpin-pemimpin yang baik? Bagaimana mungkin negeri ini bisa mendapatkan pemimpin yang baik jika modal untuk berkampanye didapat dari mencuri? Tanpa perintah sekali pun dan dari mana pun, Kapolri dan Jagung yang diangkat oleh presiden ini tentu akan merapatkan barisan untuk berkonspirasi membela kekonyolan. Tentu negeri ini akan semakin tersesat dari arah kemajuannya seperti yang diidam-idamkan oleh semua orang sejak ratusan tahun lalu.
Kasus Bibit & Chandra bagaimana pun justru memperjelas tentang mengapa KPK dibentuk di negeri ini, yaitu karena ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Tentu saja KPK bukan malaikat yang bersih dari dosa-dosa, namun Kapolri bukannya mendukung keputusan nasional dalam pembentukan KPK, Kapolri justru terobsesi (obsessed, a compulsive, often unreasonable idea or emotion) untuk menunjukkan bahwa KPK juga tidak mampu, tidak bersih, bahkan korup seperti kepolisian, meski dengan cara-cara yang tidak cerdas dan konyol juga celaka!.
Bagaimanapun dalam situasi yang aneh dan memilukan seperti sekarang ini dan dalam kerangka pemberantasan korupsi kita harus memilih atau berpihak, yaitu memilih atau berpihak pada KPK atau Kepolisian. Tentu negeri ini sebaiknya memilih, berpihak dan mendukung KPK, bukan kepolisian karena 2 alasan, yaitu: 1. Kepolisian dulu tidak mampu. 2. Sekarang kepolisian telah bekerja secara aneh dan konyol karena tidak punya cukup bukti untuk menuduh Bibit & Chandra menerima suap dan melakukan pemerasan.
Jojo Rahardjo
Monday, November 09, 2009
Sunday, November 01, 2009
JILBAB
http://www.facebook.com/notes.php?id=1359602806#/note.php?note_id=188023594702
Yesterday at 2:15am
Baru-baru ini ada beberapa status dan note teman saya di FB ini adalah mengenai jilbab dan saya ikut mengomentarinya. Komentar yang saya buat itu sekarang saya tulis kembali untuk menjadi sebuah note di FB ini. Meski ini urusan yang exclusive di kalangan muslim, namun ini juga sebuah urusan yang mungkin muncul di kalangan pemeluk agama lain, yakni urusan berbeda penafsiran terhadap suatu aturan dalam agama yang dikira dari Tuhan. Saya pasang di FB ini, karena saya jamin note ini nggak mengganggu harmoni antar umat agama lain, nggak seperti beberapa note atau status lain yang muncul di FB ini yang kadang nggak mempertimbangkan soal harmoni ini. Saya juga memasang note ini, karena saya juga haus untuk terus belajar.
Beberapa teman menulis di note dan statusnya, bahwa jilbab sudah jelas di dalam AlQuran adalah apa yang diperintahkan atau yang diinginkan oleh Allah SWT kepada para muslimah. Teman-teman yang yakin ini kemudian menjadi heran dengan seorang ahli tafsir AlQuran asal Indonesia, yakni Quraisy Shihab, yang menafsirkan aturan jilbab dari AlQuran, bahwa jilbab itu tidak wajib bagi muslimah.
Padahal setahu saya, Quraisy Shihab itu adalah seorang ahli tafsir Alquran yang diakui di seluruh dunia. Jika kita mau open minded sedikit aja, tentu kurang tepat untuk membandingkan hasil kerja seorang ahli tafsir AlQuran dengan sekelompok ulama yang membuat ijma tentang jilbab. Bahkan juga kurang tepat untuk mengkait-kaitkannya dengan siapa Quraisy Shihab dulu pernah berguru atau belajar. Kapasitas untuk menilai seorang ahli tafsir AlQuran seharusnya berada pada orang yang berkaliber sama dengan Quraisy Shihab. Sehingga anda yang tidak memiliki pengetahuan sejarah Islam yang cukup, tentu jangan terburu-buru menilai Quraisy Shihab, misalnya sebagai orang jahat. Apalagi jika anda tidak memiliki pengetahuan-pengetahuan lain yang berkaitan dengan Islam.
Kebanyakan aturan-aturan dalam agama, sering diyakini berasal dari Tuhan. Demikian juga jilbab diyakini menjadi kehendak Allah SWT. Namun kata siapa? Kata Allah SWT? Tentu bukan, karena tentu kata orang yang menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan jilbab itu dan apa yang tercatat dalam sejarah Islam (misalnya AlHadits), baik itu seorang ahli tafsir, seperti Quraisy Shihab, maupun sekelompok ulama.
Sebenarnya, jika kita betul-betul menyimak apa yang dikatakan oleh Quraisy mengenai jilbab, nampak bagaimana sebuah aturan atau ajaran didefinisikan atau bagaimana sebuah tafsir dibuat. Quraisy tentu bisa mempertahankan 'disertasi' mengenai jilbab ini jika ia mau atau ia bisa mempertanggungjawabkan metode dan hasil tafsirnya. Sebaiknya kita mengundang para ulama, kalau bisa dari seluruh dunia untuk memutuskan persoalan jilbab ini agar persoalan ini menjadi jelas.
Jika anda yakin jilbab itu adalah kehendak Allah SWT, tentu itu baik sekali. Tetapi jika anda yakin jika jilbab itu menjadi keharusan bagi semua perempuan muslim, tentu anda berlebihan.
Mengerti bahasa Arab saja belum cukup untuk memahami ayat-ayat AlQuran, apalagi jika kita hanya mengerti arti, terjemah atau tafsir ayat-ayat AlQuran hanya dari bahasa Indonesia yang terdapat pada AlQuran yang kita baca. Karena awam, banyak yang mengira tafsir, terjemah atau arti yang ditulis itu adalah dari Allah SWT. Padahal itu adalah sebuah hasil dari upaya umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad SAW untuk memahami setiap ayat-ayat AlQuran.
Saya sama sekali bukan anti jilbab, karena saya menghargai perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab untuk memagari dirinya dari maksiat. Sebagaimana Quraisy Shihab, istri saya berjilbab. Jilbab membuat saya dan istri merasa nyaman sebagai sebuah life style, yaitu life sytle hidup sehat.
Perdebatan mengenai jilbab tentu sangat baik untuk semakin menemukan arti, terjemah dan tafsir yang tepat atau semakin mendekati apa yang Allah SWT inginkan. Mungkin saja perdebatan ini akan segera berakhir atau bahkan masih memerlukan waktu ratusan tahun lagi....
Yesterday at 2:15am
Baru-baru ini ada beberapa status dan note teman saya di FB ini adalah mengenai jilbab dan saya ikut mengomentarinya. Komentar yang saya buat itu sekarang saya tulis kembali untuk menjadi sebuah note di FB ini. Meski ini urusan yang exclusive di kalangan muslim, namun ini juga sebuah urusan yang mungkin muncul di kalangan pemeluk agama lain, yakni urusan berbeda penafsiran terhadap suatu aturan dalam agama yang dikira dari Tuhan. Saya pasang di FB ini, karena saya jamin note ini nggak mengganggu harmoni antar umat agama lain, nggak seperti beberapa note atau status lain yang muncul di FB ini yang kadang nggak mempertimbangkan soal harmoni ini. Saya juga memasang note ini, karena saya juga haus untuk terus belajar.
Beberapa teman menulis di note dan statusnya, bahwa jilbab sudah jelas di dalam AlQuran adalah apa yang diperintahkan atau yang diinginkan oleh Allah SWT kepada para muslimah. Teman-teman yang yakin ini kemudian menjadi heran dengan seorang ahli tafsir AlQuran asal Indonesia, yakni Quraisy Shihab, yang menafsirkan aturan jilbab dari AlQuran, bahwa jilbab itu tidak wajib bagi muslimah.
Padahal setahu saya, Quraisy Shihab itu adalah seorang ahli tafsir Alquran yang diakui di seluruh dunia. Jika kita mau open minded sedikit aja, tentu kurang tepat untuk membandingkan hasil kerja seorang ahli tafsir AlQuran dengan sekelompok ulama yang membuat ijma tentang jilbab. Bahkan juga kurang tepat untuk mengkait-kaitkannya dengan siapa Quraisy Shihab dulu pernah berguru atau belajar. Kapasitas untuk menilai seorang ahli tafsir AlQuran seharusnya berada pada orang yang berkaliber sama dengan Quraisy Shihab. Sehingga anda yang tidak memiliki pengetahuan sejarah Islam yang cukup, tentu jangan terburu-buru menilai Quraisy Shihab, misalnya sebagai orang jahat. Apalagi jika anda tidak memiliki pengetahuan-pengetahuan lain yang berkaitan dengan Islam.
Kebanyakan aturan-aturan dalam agama, sering diyakini berasal dari Tuhan. Demikian juga jilbab diyakini menjadi kehendak Allah SWT. Namun kata siapa? Kata Allah SWT? Tentu bukan, karena tentu kata orang yang menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan jilbab itu dan apa yang tercatat dalam sejarah Islam (misalnya AlHadits), baik itu seorang ahli tafsir, seperti Quraisy Shihab, maupun sekelompok ulama.
Sebenarnya, jika kita betul-betul menyimak apa yang dikatakan oleh Quraisy mengenai jilbab, nampak bagaimana sebuah aturan atau ajaran didefinisikan atau bagaimana sebuah tafsir dibuat. Quraisy tentu bisa mempertahankan 'disertasi' mengenai jilbab ini jika ia mau atau ia bisa mempertanggungjawabkan metode dan hasil tafsirnya. Sebaiknya kita mengundang para ulama, kalau bisa dari seluruh dunia untuk memutuskan persoalan jilbab ini agar persoalan ini menjadi jelas.
Jika anda yakin jilbab itu adalah kehendak Allah SWT, tentu itu baik sekali. Tetapi jika anda yakin jika jilbab itu menjadi keharusan bagi semua perempuan muslim, tentu anda berlebihan.
Mengerti bahasa Arab saja belum cukup untuk memahami ayat-ayat AlQuran, apalagi jika kita hanya mengerti arti, terjemah atau tafsir ayat-ayat AlQuran hanya dari bahasa Indonesia yang terdapat pada AlQuran yang kita baca. Karena awam, banyak yang mengira tafsir, terjemah atau arti yang ditulis itu adalah dari Allah SWT. Padahal itu adalah sebuah hasil dari upaya umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad SAW untuk memahami setiap ayat-ayat AlQuran.
Saya sama sekali bukan anti jilbab, karena saya menghargai perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab untuk memagari dirinya dari maksiat. Sebagaimana Quraisy Shihab, istri saya berjilbab. Jilbab membuat saya dan istri merasa nyaman sebagai sebuah life style, yaitu life sytle hidup sehat.
Perdebatan mengenai jilbab tentu sangat baik untuk semakin menemukan arti, terjemah dan tafsir yang tepat atau semakin mendekati apa yang Allah SWT inginkan. Mungkin saja perdebatan ini akan segera berakhir atau bahkan masih memerlukan waktu ratusan tahun lagi....
DJOHAN EFFENDI DAN KELOMPOK STUDI PROKLAMASI
http://www.facebook.com/note.php?note_id=171151704702
Thursday, October 8, 2009 at 11:31pm
Jika anda dulu mulai kuliah di permulaan tahun 80-an mungkin anda pernah mendengar nama Kelompok Studi Proklamasi yang dibentuk pada tahun 1983. Begitu juga judul sebuah buku "Pergolakan Pemikiran Islam" (1981) dan tentu juga nama Djohan Effendi sang editor buku itu yang isinya diambil dari catatan harian Ahmad Wahib (http://pohonkatakata.blogs pot.com/2007/09/pergolakan -pemikiran-islam-catatan.h tml ). Tiga nama itu populer di awal tahun 80-an dan semua saling berkaitan. Meski sudah samar, namun yang saya ingat adalah semua bermula dari diskusi-diskusi mahasiswa dari berbagai universitas di mesjid-mesjid yang kemudian difasilitasi oleh Pak Djohan untuk lebih serius berdiskusi mengenai apa saja di rumahnya di jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Kelompok diskusi pada masa itu adalah sebuah bentuk gerakan mahasiswa yang masih bisa dilakukan di dalam masa pemerintahan represif, Suharto.
Tentu siapa yang bisa menolak tawaran seorang editor buku yang mewakili semua kegelisahan anak muda masa itu pada spiritualisme modern. Pak Djohan bahkan mengarahkan anggota Kelompok Studi Proklamasi (KSP, begitu kelompok diskusi ini dinamai), untuk menjadi penulis. Maka di tahun-tahun awal kuliah itu dengan bantuan LSM dari Amerika, The Asia Foundation, KSP menerbitkan beberapa buku dan beberapa anggota KSP pun menjadi penulis artikel di beberapa media cetak nasional. Maka kemudian beberapa kelompok diskusi lainnya pun mengikuti jejak KSP.
Empat tahun kemudian, karena perbedaan visi dan arah perjuangan, 3 anggota KSP, Denny JA, Jonminofri Nazir, Jojo Rahardjo membentuk Kelompok Studi Indonesia yang juga menerbitkan beberapa buku.
Di akhir tahun 80-an, gerakan kelompok diskusi bukan meredup, tetapi merubah arah gerakannya, karena sebagian diserap oleh LSM dalama dan luar negeri dan sebagian lagi melanjutkan studi formal ke jenjang yang lebih tinggi di dalam dan luar negeri. Sebagian lagi membaktikan ilmu dan dirinya di sektor swasta. Semua akhirnya di masa ini boleh disebut sibuk dengan dirinya sendiri, meski kadang masih bertemu dalam kegiatan-kegiatan intelektual yang ada. Saya sendiri, sibuk di proyek-proyek PBB, seperti FAO, UNDP, ILO, dan bahkan sebuah proyek USAID hingga tahun 1992. Jonminofri Nazir mengasah kemampuan jurnalisnya di beberapa media cetak terkenal di Indonesia, dan sekarang memiliki perusahaan multimedia. Sementara Denny JA mengejar Master dan Doctor-nya di Amerika.
Sekarang Denny JA sudah disebut oleh sebuah media cetak sebagai "King Maker". Ia memang sebagai orang paling menentukan jalannya pemerintahan di pusat hingga ke pelosok Indonesia. Mengapa? Denny sejak beberapa tahun terakhir ini memiliki perusahaan konsultan politik yang telah banyak membantu partai politik, calon-calon presiden, gubernur, walikota hingga bupati untuk berhasil memenangkan pemilihan. .
Tanggal 6 dan 7 Oktober lalu, kita berkumpul lagi, untuk menghadiri peluncuran buku terbaru Pak Djohan sekaligus memberi selamat pada ulangtahunnya yang ke-70. Meski tidak semua anggota KSP hadir lengkap, namun kita berencana untuk berkumpul dalam waktu dekat ini. Secara umum kita masih sama. Itulah yang membuat saya optimis, bahwa semua masih bisa bersinergi lagi untuk mengejar kebaikan-kebaikan yang masih tertinggal di negeri ini.
Insya Allah.
Thursday, October 8, 2009 at 11:31pm
Jika anda dulu mulai kuliah di permulaan tahun 80-an mungkin anda pernah mendengar nama Kelompok Studi Proklamasi yang dibentuk pada tahun 1983. Begitu juga judul sebuah buku "Pergolakan Pemikiran Islam" (1981) dan tentu juga nama Djohan Effendi sang editor buku itu yang isinya diambil dari catatan harian Ahmad Wahib (http://pohonkatakata.blogs
Tentu siapa yang bisa menolak tawaran seorang editor buku yang mewakili semua kegelisahan anak muda masa itu pada spiritualisme modern. Pak Djohan bahkan mengarahkan anggota Kelompok Studi Proklamasi (KSP, begitu kelompok diskusi ini dinamai), untuk menjadi penulis. Maka di tahun-tahun awal kuliah itu dengan bantuan LSM dari Amerika, The Asia Foundation, KSP menerbitkan beberapa buku dan beberapa anggota KSP pun menjadi penulis artikel di beberapa media cetak nasional. Maka kemudian beberapa kelompok diskusi lainnya pun mengikuti jejak KSP.
Empat tahun kemudian, karena perbedaan visi dan arah perjuangan, 3 anggota KSP, Denny JA, Jonminofri Nazir, Jojo Rahardjo membentuk Kelompok Studi Indonesia yang juga menerbitkan beberapa buku.
Di akhir tahun 80-an, gerakan kelompok diskusi bukan meredup, tetapi merubah arah gerakannya, karena sebagian diserap oleh LSM dalama dan luar negeri dan sebagian lagi melanjutkan studi formal ke jenjang yang lebih tinggi di dalam dan luar negeri. Sebagian lagi membaktikan ilmu dan dirinya di sektor swasta. Semua akhirnya di masa ini boleh disebut sibuk dengan dirinya sendiri, meski kadang masih bertemu dalam kegiatan-kegiatan intelektual yang ada. Saya sendiri, sibuk di proyek-proyek PBB, seperti FAO, UNDP, ILO, dan bahkan sebuah proyek USAID hingga tahun 1992. Jonminofri Nazir mengasah kemampuan jurnalisnya di beberapa media cetak terkenal di Indonesia, dan sekarang memiliki perusahaan multimedia. Sementara Denny JA mengejar Master dan Doctor-nya di Amerika.
Sekarang Denny JA sudah disebut oleh sebuah media cetak sebagai "King Maker". Ia memang sebagai orang paling menentukan jalannya pemerintahan di pusat hingga ke pelosok Indonesia. Mengapa? Denny sejak beberapa tahun terakhir ini memiliki perusahaan konsultan politik yang telah banyak membantu partai politik, calon-calon presiden, gubernur, walikota hingga bupati untuk berhasil memenangkan pemilihan. .
Tanggal 6 dan 7 Oktober lalu, kita berkumpul lagi, untuk menghadiri peluncuran buku terbaru Pak Djohan sekaligus memberi selamat pada ulangtahunnya yang ke-70. Meski tidak semua anggota KSP hadir lengkap, namun kita berencana untuk berkumpul dalam waktu dekat ini. Secara umum kita masih sama. Itulah yang membuat saya optimis, bahwa semua masih bisa bersinergi lagi untuk mengejar kebaikan-kebaikan yang masih tertinggal di negeri ini.
Insya Allah.
GEMPA LAGI, TERLAMBAT LAGI DAN BEGO LAGI
http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=168765204702
Monday, October 5, 2009 at 11:41pm
Saya baru saja melihat bagian akhir dari sebuah wawancara sebuah stasiun TV dengan Imam Prasojo. Sepotong saja, memang. Antara lain Imam mengkritik soal ‘mapping’ yang tidak dilakukan oleh pengurus negeri ini pada ‘menit-menit’ pertama terjadinya bencana alam. Akibatnya tidak bisa disusun langkah-langkah penanganan bencana berdasarkan skala prioritas. Bantuan berupa sukarelawan, peralatan, makanan, minuman, obat-obatan menjadi bertumpuk di titik-titik tertentu. Bayangkan, upaya pengadaan air bersih dan alat-alat telekomunikasi (satelit) baru dikerjakan satelah 4 hari bencana oleh orang-orang dari negeri lain. Bahkan hingga hari ke-5, menurut laporan media TV (yang juga baru bergerak ke pelosok) sebagian besar wilayah bencana belum disentuh oleh bantuan yang seharusnya prioritas utama, seperti air minum, makanan dan obat-obatan. Memangnya kita harus berharap pada siapa lagi untuk memberikan bantuan seperti itu jika terjadi bencana alam dengan skala besar seperti ini, kalau bukan pada pemimpin yang sudah kita pilih?
Ada ungkapan terkenal, yaitu: “hanya keledai yang terperosok dua kali pada lobang yang sama”. Jika SBY adalah orang yang paling diharapkan di negeri untuk memimpin bala bantuan ke wilayah bencana, maka ia adalah keledai! Bahkan kesalahan yang dibuatnya lebih dari dua kali sejak bencana alam Aceh, gempa Jogya, gempa TasikMalaya dan gempa Sumatera Barat.
Mungkin orang menilai saya sebagai orang yang cuma bisa mencaci dan menyebut keburukan pemimpin di negeri ini. Mudah-mudahan tidak begitu, karena saya cuma berusaha memberi kritik dan saran agar negeri ini bisa lebih baik diurus oleh pemimpin yang ada sekarang atau yang sudah kita pilih sekarang ini dan oleh pemimpin yang akan kita pilih nanti, meski kadang dengan bahasa yang kasar dan mencaci. Bagi saya diam adalah sebuah dosa, ketika saya tahu ada langkah yang seharusnya diambil oleh pengurus negeri ini namun tidak diambil. Kebanyakan orang mungkin malas memikirkan apakah pengurus negeri ini sudah mengambil langkah yang benar atau tidak. Sehingga nampak bagi mereka apa yang dilakukan pengurus negeri ini sudah benar. Lihat saja bagaimana jalan raya di kota-kota besar dikelola. Meski jalan selalu berlubang atau lampu lalu-lintas banyak yang mati, tetapi kebanyakan orang tidak merasa itu sebuah kesalahan dalam pengelolaan jalan raya. Mungkin juga mereka berpikir bagaimana mungkin menilai kwalitas kerja penanganan bencana alam itu hanya dari media saja. Padahal menurut saya, jika setelah 2 hari bantuan belum datang, berarti ada yang salah dengan SOP-nya, atau bahkan nggak punya SOP? Padahal paling tidak sudah terjadi 3 kali bencana gempa bumi besar di negeri ini dalam 5 tahun terakhir ini. Kemana aja lu, jenderal?
Saya sudah menulis ‘cacian’ saya beberapa hari setelah bencana gempa dan tsunami Aceh di akhir tahun 2004 lalu (saat itu SBY baru terpilih menjadi presiden negeri ini). Meski pun belum pernah ada bencana alam sebesar Aceh di Indonesia, namun kisah-kisah bencana alam di negeri-negeri lain bukan soal yang asing lagi. Ini berkat teknologi media, terutama elektronik. Dalam dua hari setelah bencana, terlihat ada langkah yang kurang tepat jika dibandingkan penanganan bencana di negeri lain yang saya lihat melalui media televisi. Saya kira penanganan yang benar pada sebuah bencana alam bukan soal apakah negeri itu modern atau tidak, kaya atau tidak, berpengalaman dalam soal bencana atau tidak, tetapi ini adalah soal moral. Kalau lu nggak punya moral, maka lu pikir menyerahkan pusat komando upaya penanganan bencana pada orang yang sedang ditimpa bencana adalah sebuah langkah yang baik atau benar. Padahal orang yang tidak ditimpa bencana akan jauh lebih baik dan bisa melakukan upaya yang maksimal. Itu yang disebut tidak mampu mengelola resources yang ada.
Saya yakin atau saya tidak ragu untuk mengatakan, bahwa mengurus soal bencana alam adalah ‘gampang’, karena ini soal yang kelihatan. Apalagi pada saat terjadi bencana alam, sebagian besar orang bersatu untuk membantu korban dengan berbagai cara. Seharusnya menangani bencana alam jauh lebih mudah daripada menangani bencana sosial, ekonomi atau pun politik. Jadi kalau menangani bencana alam saja sudah morat-marit, bagaimana menangani bencana yang lain yang ‘kurang kelihatan’?
Sebaiknya nama negeri ini diganti saja dulu menjadi Negeri Morat-marit, hingga nanti kita memilih pemimpin baru yang lebih bermoral.
Monday, October 5, 2009 at 11:41pm
Saya baru saja melihat bagian akhir dari sebuah wawancara sebuah stasiun TV dengan Imam Prasojo. Sepotong saja, memang. Antara lain Imam mengkritik soal ‘mapping’ yang tidak dilakukan oleh pengurus negeri ini pada ‘menit-menit’ pertama terjadinya bencana alam. Akibatnya tidak bisa disusun langkah-langkah penanganan bencana berdasarkan skala prioritas. Bantuan berupa sukarelawan, peralatan, makanan, minuman, obat-obatan menjadi bertumpuk di titik-titik tertentu. Bayangkan, upaya pengadaan air bersih dan alat-alat telekomunikasi (satelit) baru dikerjakan satelah 4 hari bencana oleh orang-orang dari negeri lain. Bahkan hingga hari ke-5, menurut laporan media TV (yang juga baru bergerak ke pelosok) sebagian besar wilayah bencana belum disentuh oleh bantuan yang seharusnya prioritas utama, seperti air minum, makanan dan obat-obatan. Memangnya kita harus berharap pada siapa lagi untuk memberikan bantuan seperti itu jika terjadi bencana alam dengan skala besar seperti ini, kalau bukan pada pemimpin yang sudah kita pilih?
Ada ungkapan terkenal, yaitu: “hanya keledai yang terperosok dua kali pada lobang yang sama”. Jika SBY adalah orang yang paling diharapkan di negeri untuk memimpin bala bantuan ke wilayah bencana, maka ia adalah keledai! Bahkan kesalahan yang dibuatnya lebih dari dua kali sejak bencana alam Aceh, gempa Jogya, gempa TasikMalaya dan gempa Sumatera Barat.
Mungkin orang menilai saya sebagai orang yang cuma bisa mencaci dan menyebut keburukan pemimpin di negeri ini. Mudah-mudahan tidak begitu, karena saya cuma berusaha memberi kritik dan saran agar negeri ini bisa lebih baik diurus oleh pemimpin yang ada sekarang atau yang sudah kita pilih sekarang ini dan oleh pemimpin yang akan kita pilih nanti, meski kadang dengan bahasa yang kasar dan mencaci. Bagi saya diam adalah sebuah dosa, ketika saya tahu ada langkah yang seharusnya diambil oleh pengurus negeri ini namun tidak diambil. Kebanyakan orang mungkin malas memikirkan apakah pengurus negeri ini sudah mengambil langkah yang benar atau tidak. Sehingga nampak bagi mereka apa yang dilakukan pengurus negeri ini sudah benar. Lihat saja bagaimana jalan raya di kota-kota besar dikelola. Meski jalan selalu berlubang atau lampu lalu-lintas banyak yang mati, tetapi kebanyakan orang tidak merasa itu sebuah kesalahan dalam pengelolaan jalan raya. Mungkin juga mereka berpikir bagaimana mungkin menilai kwalitas kerja penanganan bencana alam itu hanya dari media saja. Padahal menurut saya, jika setelah 2 hari bantuan belum datang, berarti ada yang salah dengan SOP-nya, atau bahkan nggak punya SOP? Padahal paling tidak sudah terjadi 3 kali bencana gempa bumi besar di negeri ini dalam 5 tahun terakhir ini. Kemana aja lu, jenderal?
Saya sudah menulis ‘cacian’ saya beberapa hari setelah bencana gempa dan tsunami Aceh di akhir tahun 2004 lalu (saat itu SBY baru terpilih menjadi presiden negeri ini). Meski pun belum pernah ada bencana alam sebesar Aceh di Indonesia, namun kisah-kisah bencana alam di negeri-negeri lain bukan soal yang asing lagi. Ini berkat teknologi media, terutama elektronik. Dalam dua hari setelah bencana, terlihat ada langkah yang kurang tepat jika dibandingkan penanganan bencana di negeri lain yang saya lihat melalui media televisi. Saya kira penanganan yang benar pada sebuah bencana alam bukan soal apakah negeri itu modern atau tidak, kaya atau tidak, berpengalaman dalam soal bencana atau tidak, tetapi ini adalah soal moral. Kalau lu nggak punya moral, maka lu pikir menyerahkan pusat komando upaya penanganan bencana pada orang yang sedang ditimpa bencana adalah sebuah langkah yang baik atau benar. Padahal orang yang tidak ditimpa bencana akan jauh lebih baik dan bisa melakukan upaya yang maksimal. Itu yang disebut tidak mampu mengelola resources yang ada.
Saya yakin atau saya tidak ragu untuk mengatakan, bahwa mengurus soal bencana alam adalah ‘gampang’, karena ini soal yang kelihatan. Apalagi pada saat terjadi bencana alam, sebagian besar orang bersatu untuk membantu korban dengan berbagai cara. Seharusnya menangani bencana alam jauh lebih mudah daripada menangani bencana sosial, ekonomi atau pun politik. Jadi kalau menangani bencana alam saja sudah morat-marit, bagaimana menangani bencana yang lain yang ‘kurang kelihatan’?
Sebaiknya nama negeri ini diganti saja dulu menjadi Negeri Morat-marit, hingga nanti kita memilih pemimpin baru yang lebih bermoral.
JAMES ADAM LAHREN DAN BATIK
http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=165856559702
Saturday, October 3, 2009 at 2:45am
Saya punya pengalaman menarik mengenai batik.
Tahun 2000 ketika saya bekerja di sebuah proyek Asian Development Bank (ADB), saya memberi hadiah khusus, sepotong baju batik kepada seorang teman saya yang berulang tahun. Teman saya ini baru datang ke Indonesia dari Amerika untuk menggantikan team leader yang lama dari Belanda. Nama team leader baru ini, James Adam Lahren, berumur 65 tahun. Mengapa saya memberinya hadiah khusus? Itu karena Jim (begitu ia minta dipanggil) sejak hari pertama datang ke kantor itu adalah seorang teman yang khusus. Ini memang harus saya ceritakan terlebih dahulu sebelum saya bercerita tentang hadiah baju batik yang saya berikan pada Jim.
Akhirnya ia datang juga…. Begitu gumam beberapa orang di kantor, ketika pagi itu, kira-kira jam 9-an, Jim muncul di pintu kantor. Ia memang terlambat beberapa minggu untuk datang ke Indonesia. Bertampang bule (pasti). Jas dan dasinya nampak mahal, Italian style, gitu. Begitu juga sepatu kulit warna coklatnya. Sedikit gemuk, namun nampak seperti baru berumur 50-an akhir. Wajahnya nampak muram, tanpa senyum, gayanya seperti acting Robert DeNiro di film Cape Fear. Ini cocok dengan gambaran beberapa orang yang mengatakan Jim baru saja kehilangan anak laki-lakinya yang berumur sekitar 16 tahun dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Saya berpikir, team leader baru ini nampaknya bakal nggak enak. Duka di keluarganya dibawa-bawa ke kantor. Ia nampak sombong dan tidak punya sense of humor.
Segera, boss saya (yang orang Indonesia) mengumpulkan semua staff di meeting room untuk berkenalan dengan Jim. Perkenalan dibuka oleh boss saya, kemudian giliran Jim mengenalkan dirinya dengan bercerita background pendidikannya dan pengalaman kerja yang kebanyakan di negeri-negeri Muslim, di negeri-negeri konflik dan di negeri-negeri miskin, seperti negeri-negeri Muslim di Afrika dan di Asia, seperti Pakistan (mantan CIA, barangkali). Oleh karena itu (ia berusaha meyakinkan semua orang) tidaklah mengherankan jika Jim yang non-Muslim bisa memimpin proyek ADB ini yang ditujukan untuk meng-upgrade sekolah-sekolah Islam tingkat SMA (Aliyah) di Indonesia. Entah mengapa, Jim lebih banyak bercerita tentang pengalaman bekerjanya di negeri-negeri miskin dan berkonflik. Ini sedikit membuat saya lega, karena ini mungkin caranya untuk merendah. Di sebuah kisahnya, ia menceritakan pengalaman bekerjanya di sebuah negeri di Afrika tentang bagaimana sederhananya peralatan yang tersedia waktu itu. Ia menyebut tidak ada mesin tik apalagi komputer. Report terpaksa ditulis dengan pensil dan di atas kertas bekas. Itu pengalamannya yang paling ekstrim, katanya.
Kemudian setelah selesai bercerita tentang pengalaman kerjanya, perkenalan dilanjutkan dengan staff yang lain. Setelah itu Jim bertanya, “by the way, where is my office”? tanyanya. “Right there”, boss saya menunjuk ruangan di sebelah meeting room yang dipisahkan dengan dinding kaca. Segera Jim bangkit dari tempat duduknya dan melongok ke ruangan yang akan menjadi ruangannya. “Why there is no computer?” Tanya Jim. Entah setan mana yang menggerakkan mulut saya, tiba-tiba saya yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat: “I thought, you used to work with pencil and paper....” Jawab saya. Ya ampun, kenapa saya sinis begini. “Who said that?” Tanya Jim sambil memandang berkeliling semua staff. Mati lah gua! “I said that, Mr. Lahren,” kata saya dengan berat. Jim menatap mata saya, lalu bertanya “What is your name again?” Mampus, kata saya dalam hati. “Jojo, Sir. Jojo Rahardjo,” jawab saya lagi dengan berat. Masih dengan muka serius dan nampak marah, Jim berkata lagi: “Right after this, come to my office,” telunjuknya diarahkan ke muka saya dan kemudian ke arah ruangan di sebelah. Semua mata yang ada di ruangan itu menatap saya. Semuanya seperti berkata: “Lu sih…”
Untuk mempersingkat cerita, akhirnya saya menghadap Jim di ruangannya. Namun Jim cuma bertanya, beberapa soal yang tidak terlalu penting dan bertanya di mana saya biasanya makan siang. Lalu ia meminta saya untuk menemaninya makan siang di restoran di dalam hotel Borobudur yang letaknya bersebelahan dengan kantor saya. Hari itu adalah hari pertama ia berkantor, dan orang pertama yang diajaknya makan siang cuma saya. Aneh. Mungkin ini caranya untuk memarahi saya dengan bebas, bahkan mungkin akan memaki-maki saya nanti.
Saat makan siang ia banyak mengoceh mengenai banyak hal yang membuat saya terheran-heran, kapan saya akan dimarahin. “You are not gonna mad at me, aren’t you?” Tanya saya hati-hati mengungkit soal tadi pagi. “Why”? Tanya Jim. “You know what, Jojo", mukanya berubah serius. "I thought, I’m going to be bored to death, here, in Jakarta, but thank God, I have a nutty guy, here, you, Jojo! Ha..ha..ha..ha..ha...." Ia terbahak-bahak. Sialan, rupanya Jim lebih gila dari gue. Dari tadi gue takut dimarahin ternyata ia lagi ngerjain gue….
Memang terbukti, ia memang teman yang “gila”. Nyaris setiap Jumat malam, ia dan saya keluyuran listen to the live music di berbagai tempat di Jakarta. Di usianya yang hampir uzur, ia masih mampu “gentayangan” hingga jam 3 pagi. Meski begitu, Jim adalah bridge antara culture saya yang Asian Moslem dengan American culture yang secular-nya setengah-setengah.
Kembali ke baju Batik.
Beberapa bulan setelah “perkenalan gila” itu, Jim berulang tahun. Saya ingat kebanyakan orang asing yang bekerja di Indonesia selalu bangga dengan baju Batik yang dimilikinya, baik itu pemberian orang, maupun baju batik yang dibelinya sendiri (sebelumnya saya pernah bekerja di beberapa proyek FAO, ILO, UNDP, USAID sejak tahun 1988). Maka itu saya tidak ragu lagi untuk menghadiahi Jim sepotong baju Batik. Agar menarik perhatian orang, sengaja saya memutuskan untuk memberinya yang dominan warna merah. Dengan sedikit konsultasi dengan seorang teman yang mendalami Batik untuk mendapatkan patern yang tepat, maka saya beli sepotong baju Batik di sebuah toko khusus Batik di jalan Raden Saleh. Saya ingat harganya cukup mahal bagi saya, yaitu sekitar 25% dari gaji saya waktu itu.
Meski sudah melakukan riset kecil, saya tetap merasa tidak yakin dengan hadiah itu. Saya ingin, Jim merasa bangga dengan baju Batik berwarna merah itu. Saya pun meminta tolong kepada beberapa orang teman untuk membantu saya dengan bertanya kepada Jim tentang baju Batik yang diikenakannya, bahkan memujinya. Mereka berpura-pura, seolah-olah tidak tahu bahwa baju batik itu pemberian saya. Nampaknya trick itu berhasil. Matanya berbinar-binar, ketika ditanya tentang baju Batik itu, apalagi ketika dipuji.
Jim nampaknya tidak pernah memiliki baju batik yang lain. Jim selalu mengenakan baju Batik berwarna merah itu hingga bertahun-tahun kemudian. Nampaknya ia begitu bangga dengan baju Batik itu. Mungkin baju Batik pemberian saya itu memang baju Batik yang bagus atau cocok untuknya. Bahkan di tahun 2008 lalu, saat terakhir kalinya ia ke Indonesia sebelum ia ‘rest in peace’ karena kanker prostat, ia nampak mengenakan baju Batik warna merah itu sekali lagi dan untuk terakhir kalinya.
May God bless you and your Batik, Jim!
Saturday, October 3, 2009 at 2:45am
Saya punya pengalaman menarik mengenai batik.
Tahun 2000 ketika saya bekerja di sebuah proyek Asian Development Bank (ADB), saya memberi hadiah khusus, sepotong baju batik kepada seorang teman saya yang berulang tahun. Teman saya ini baru datang ke Indonesia dari Amerika untuk menggantikan team leader yang lama dari Belanda. Nama team leader baru ini, James Adam Lahren, berumur 65 tahun. Mengapa saya memberinya hadiah khusus? Itu karena Jim (begitu ia minta dipanggil) sejak hari pertama datang ke kantor itu adalah seorang teman yang khusus. Ini memang harus saya ceritakan terlebih dahulu sebelum saya bercerita tentang hadiah baju batik yang saya berikan pada Jim.
Akhirnya ia datang juga…. Begitu gumam beberapa orang di kantor, ketika pagi itu, kira-kira jam 9-an, Jim muncul di pintu kantor. Ia memang terlambat beberapa minggu untuk datang ke Indonesia. Bertampang bule (pasti). Jas dan dasinya nampak mahal, Italian style, gitu. Begitu juga sepatu kulit warna coklatnya. Sedikit gemuk, namun nampak seperti baru berumur 50-an akhir. Wajahnya nampak muram, tanpa senyum, gayanya seperti acting Robert DeNiro di film Cape Fear. Ini cocok dengan gambaran beberapa orang yang mengatakan Jim baru saja kehilangan anak laki-lakinya yang berumur sekitar 16 tahun dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Saya berpikir, team leader baru ini nampaknya bakal nggak enak. Duka di keluarganya dibawa-bawa ke kantor. Ia nampak sombong dan tidak punya sense of humor.
Segera, boss saya (yang orang Indonesia) mengumpulkan semua staff di meeting room untuk berkenalan dengan Jim. Perkenalan dibuka oleh boss saya, kemudian giliran Jim mengenalkan dirinya dengan bercerita background pendidikannya dan pengalaman kerja yang kebanyakan di negeri-negeri Muslim, di negeri-negeri konflik dan di negeri-negeri miskin, seperti negeri-negeri Muslim di Afrika dan di Asia, seperti Pakistan (mantan CIA, barangkali). Oleh karena itu (ia berusaha meyakinkan semua orang) tidaklah mengherankan jika Jim yang non-Muslim bisa memimpin proyek ADB ini yang ditujukan untuk meng-upgrade sekolah-sekolah Islam tingkat SMA (Aliyah) di Indonesia. Entah mengapa, Jim lebih banyak bercerita tentang pengalaman bekerjanya di negeri-negeri miskin dan berkonflik. Ini sedikit membuat saya lega, karena ini mungkin caranya untuk merendah. Di sebuah kisahnya, ia menceritakan pengalaman bekerjanya di sebuah negeri di Afrika tentang bagaimana sederhananya peralatan yang tersedia waktu itu. Ia menyebut tidak ada mesin tik apalagi komputer. Report terpaksa ditulis dengan pensil dan di atas kertas bekas. Itu pengalamannya yang paling ekstrim, katanya.
Kemudian setelah selesai bercerita tentang pengalaman kerjanya, perkenalan dilanjutkan dengan staff yang lain. Setelah itu Jim bertanya, “by the way, where is my office”? tanyanya. “Right there”, boss saya menunjuk ruangan di sebelah meeting room yang dipisahkan dengan dinding kaca. Segera Jim bangkit dari tempat duduknya dan melongok ke ruangan yang akan menjadi ruangannya. “Why there is no computer?” Tanya Jim. Entah setan mana yang menggerakkan mulut saya, tiba-tiba saya yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat: “I thought, you used to work with pencil and paper....” Jawab saya. Ya ampun, kenapa saya sinis begini. “Who said that?” Tanya Jim sambil memandang berkeliling semua staff. Mati lah gua! “I said that, Mr. Lahren,” kata saya dengan berat. Jim menatap mata saya, lalu bertanya “What is your name again?” Mampus, kata saya dalam hati. “Jojo, Sir. Jojo Rahardjo,” jawab saya lagi dengan berat. Masih dengan muka serius dan nampak marah, Jim berkata lagi: “Right after this, come to my office,” telunjuknya diarahkan ke muka saya dan kemudian ke arah ruangan di sebelah. Semua mata yang ada di ruangan itu menatap saya. Semuanya seperti berkata: “Lu sih…”
Untuk mempersingkat cerita, akhirnya saya menghadap Jim di ruangannya. Namun Jim cuma bertanya, beberapa soal yang tidak terlalu penting dan bertanya di mana saya biasanya makan siang. Lalu ia meminta saya untuk menemaninya makan siang di restoran di dalam hotel Borobudur yang letaknya bersebelahan dengan kantor saya. Hari itu adalah hari pertama ia berkantor, dan orang pertama yang diajaknya makan siang cuma saya. Aneh. Mungkin ini caranya untuk memarahi saya dengan bebas, bahkan mungkin akan memaki-maki saya nanti.
Saat makan siang ia banyak mengoceh mengenai banyak hal yang membuat saya terheran-heran, kapan saya akan dimarahin. “You are not gonna mad at me, aren’t you?” Tanya saya hati-hati mengungkit soal tadi pagi. “Why”? Tanya Jim. “You know what, Jojo", mukanya berubah serius. "I thought, I’m going to be bored to death, here, in Jakarta, but thank God, I have a nutty guy, here, you, Jojo! Ha..ha..ha..ha..ha...." Ia terbahak-bahak. Sialan, rupanya Jim lebih gila dari gue. Dari tadi gue takut dimarahin ternyata ia lagi ngerjain gue….
Memang terbukti, ia memang teman yang “gila”. Nyaris setiap Jumat malam, ia dan saya keluyuran listen to the live music di berbagai tempat di Jakarta. Di usianya yang hampir uzur, ia masih mampu “gentayangan” hingga jam 3 pagi. Meski begitu, Jim adalah bridge antara culture saya yang Asian Moslem dengan American culture yang secular-nya setengah-setengah.
Kembali ke baju Batik.
Beberapa bulan setelah “perkenalan gila” itu, Jim berulang tahun. Saya ingat kebanyakan orang asing yang bekerja di Indonesia selalu bangga dengan baju Batik yang dimilikinya, baik itu pemberian orang, maupun baju batik yang dibelinya sendiri (sebelumnya saya pernah bekerja di beberapa proyek FAO, ILO, UNDP, USAID sejak tahun 1988). Maka itu saya tidak ragu lagi untuk menghadiahi Jim sepotong baju Batik. Agar menarik perhatian orang, sengaja saya memutuskan untuk memberinya yang dominan warna merah. Dengan sedikit konsultasi dengan seorang teman yang mendalami Batik untuk mendapatkan patern yang tepat, maka saya beli sepotong baju Batik di sebuah toko khusus Batik di jalan Raden Saleh. Saya ingat harganya cukup mahal bagi saya, yaitu sekitar 25% dari gaji saya waktu itu.
Meski sudah melakukan riset kecil, saya tetap merasa tidak yakin dengan hadiah itu. Saya ingin, Jim merasa bangga dengan baju Batik berwarna merah itu. Saya pun meminta tolong kepada beberapa orang teman untuk membantu saya dengan bertanya kepada Jim tentang baju Batik yang diikenakannya, bahkan memujinya. Mereka berpura-pura, seolah-olah tidak tahu bahwa baju batik itu pemberian saya. Nampaknya trick itu berhasil. Matanya berbinar-binar, ketika ditanya tentang baju Batik itu, apalagi ketika dipuji.
Jim nampaknya tidak pernah memiliki baju batik yang lain. Jim selalu mengenakan baju Batik berwarna merah itu hingga bertahun-tahun kemudian. Nampaknya ia begitu bangga dengan baju Batik itu. Mungkin baju Batik pemberian saya itu memang baju Batik yang bagus atau cocok untuknya. Bahkan di tahun 2008 lalu, saat terakhir kalinya ia ke Indonesia sebelum ia ‘rest in peace’ karena kanker prostat, ia nampak mengenakan baju Batik warna merah itu sekali lagi dan untuk terakhir kalinya.
May God bless you and your Batik, Jim!
STATUS FB
http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=161875089702
Sunday, September 27, 2009 at 5:32pm | Edit Note | Delete
Teman saya, Jennie Siat Bev, seorang intelektual Indonesia yang bermukim di Amerika, baru-baru ini menulis dalam status FB-nya begini: “akan mengurangi update status karena sangat mudah untuk dibukukan tanpa izin. Sampai kapan pelanggaran HAKI di Indonesia berlangsung kalau apapun yang kita utarakan ke publik langsung dianggap "public domain"?” Ia amat kecewa dengan perilaku tidak menghargai karya dan hak cipta orang lain. Tentu saya bisa juga merasakan kekecewaannya, karena salah satu tulisan saya di tahun-tahun akhir 90-an pernah digunakan oleh seorang penulis (saat itu ia masih penulis pemula) tanpa menyebut sumbernya. Hampir semua tulisan saya ditulis berdasarkan riset yang serius, karena saya tidak ingin tulisan saya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, saya amat kecewa dan marah, ketika ada orang menulis buku dengan menggunakan tulisan saya dan membuatnya seolah-olah ditulis oleh penulis itu. Bahkan saya lebih kecewa lagi, karena hingga kini ia bertahan dengan alasan yang seenaknya.Sunday, September 27, 2009 at 5:32pm | Edit Note | Delete
Jennie S. Bev adalah seorang intelektual yang produktif menulis. Sudah lebih dari 900 artikel dan 80 electronic and print books ditulisnya, sehingga status-statusnya pun isinya pasti tidak sembarangan. Meski Jennie tidak menyebutkan dengan jelas di mana statusnya digunakan oleh para pembajak itu, namun saya kira, status yang ditulis Jennie bisa mendongkrak nilai intelektual para pembajak itu jika digunakan sebagai status FB pula. Semoga mereka mendapat kecelakaan intelektual !
Di luar soal Jennie dan soal pembajakan karya cipta, saya ingin sedikit mengoceh secara ringan tentang status di FB.
Saya menggunakan FB hanya pada saat luang. Itu pun jika saya bersentuhan dengan komputer dan tentu saja dengan akses Internet yang masih tergolong sulit (untuk connect) atau lambat, karena saya tidak mampu membeli mobile broadband Internet. Itu sebabnya kadang saya tidak ber-FB hingga berhari-hari. Saya, tentu saja bisa ‘mengganti-ganti’ status saya melalui mobile phone saya, namun saya tidak menyukai menulis dengan susah payah melalui keypad telpon saya yang tidak “qwerty”.
Sebagaimana di dunia nyata, status FB pun bisa menggambarkan penulisnya. Memang, menulis status bisa dipengaruhi oleh mood, sehingga tidak boleh pula sembarangan menilai orang dari status FB-nya. Itu sebabnya saya berusaha untuk membatasi isi status saya hanya mengenai pengelolaan negeri ini. Saya rela kehilangan teman di FB, karena saya cenderung bersikap negatif terhadap pengelola negeri ini. Saya juga lebih rela disebut sebagai tukang protes, tukang komplain dan lain-lain yang jelek-jelek dibanding saya menulis status tentang diri saya sendiri atau tentang orang-orang di ring 1 atau 2 di sekitar saya, atau juga menulis tentang sedang berada di mana saya.
Setiap hari, saya (begitu juga berjuta-juta orang lain) harus menjalani hidup di Jakarta yang dikelola oleh para baboon geblek. Mereka dipilih karena bisa membayar perusahaan konsultan politik, misalnya LSI, agar bisa mendongkrak mereka menjadi pejabat publik, padahal kwalitas mereka sebagai pemimpin dan sebagai manusia cuma baboon geblek doang. Setiap hari itu lah saya mengeluh, dan saya pikir itu harus saya tuangkan ke dalam status FB saya dengan harapan, meski amat tipis, akhirnya bisa membangun kesadaran bahwa negeri ini telah “salah urus”. Itu cuma salah satu dari langkah-langkah kecil yang bisa saya lakukan di waktu luang melalui FB.
Salah satu contoh bagaimana “salah urus”yang sudah dianggap soal yang normal adalah, rusaknya atau matinya begitu banyaknya traffic light di Jakarta. Ini seharusnya menjadi soal besar bagi warga Jakarta, karena ini menggambarkan adanya korupsi di negeri ini dan dibiarkan. Mengapa dibiarkan? Tentu karena ada begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa diselesaikan, sehingga korupsi trafffic light menjadi soal yang terlihat kecil dan normal. Kasus korupsi di mana-mana bukan soal sistem, tetapi soal kepemimpinan. Dengan kata lain, kita masih belum menemukan pemimpin yang nggak geblek dan nggak berkwalitas baboon.
Labels:
baboon,
fb,
hak cipta,
haki,
intelektual,
jennie s. bev,
korupsi,
status fb
PERBUATAN SETAN TERKUTUK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG 'SALEH'
http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=122315109702
Friday, July 17, 2009 at 11:06pm
Akal sehat kita sebenarnya bekerja amat sederhana
Akal sehat kita akan bertanya: Nabi mana yang akan melakukan atau memberikan pembenaran pada kekerasan massive seperti yang baru saja terjadi di Mega Kuningan?
Ketika bom Bali dan berbagai bom lain di Indonesia beberapa tahun lalu meledak, kita menyebutnya sebagai perbuatan setan terkutuk dan bukan sebuah cara berperang suci dari sebuah agama besar, meski kemudian pelakunya mengaku bertujuan untuk membela sebuah agama besar.
Sekali lagi, nabi manapun jika masih hidup tidak akan melakukan itu dan tidak akan memberi pembenaran pada apa yang sudah dilakukan setan terkutuk itu. Namun persoalan menjadi rumit, ketika profile pelaku diungkap. Pelaku menjalani hidup yang tergolong penuh 'kesalehan' atau tidak terjebak pada keduniawian. Hanya satu cara berpikir mereka yang berbeda dan terus-menerus dihidupkan sepanjang waktu yaitu mereka menganggap selalu dalam situasi perang. Mereka selalu menganggap dalam situasi dianiaya oleh pihak-pihak yang lebih besar dan lebih berkuasa atau lebih merajalela. Namun secara umum mereka adalah orang yang baik.
Lalu bagaimana mereka bisa terjebak pada cara berpikir mengenai cara berperang melawan musuh mereka dengan cara melakukan kekerasan massive secara acak seperti yang sudah sering mereka lakukan? Bagaimana mungkin seorang yang menginginkan dunia yang saleh dan menjalani kehidupan 'saleh' bisa menjadikan orang-orang tidak berdosa, orang-orang tidak tahu apa-apa, orang-orang dari golongan mereka sendiri, anak-anak dan wanita, bahkan dalam jumlah yang tidak terbayangkan banyaknya sebagai 'sasaran antara' ?
Tentu, ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu jiwa bisa menjawab pertanyaan di atas. Namun pasti tidak memuaskan kita, karena ilmu-ilmu itu belum atau tidak digunakan secara maksimal untuk mencegah orang-orang dari terjangkiti cara berpikir setan terkutuk itu.
Bisakah agama menjadi jawaban atau solusi? Bukankah cara berpikir para pelaku itu berakar dari agama? Lalu mengapa agama bisa memberikan inspirasi pada cara berpikir setan terkutuk? Begitu kuatkah setan terkutuk dibanding ajaran agama?
Akhirnya....
Berbagai agama selalu mengingatkan manusia untuk menghindari atau membentengi diri dari setan. Barangkali setan yang dimaksud agama adalah cara berpikir seperti yang telah menjangkiti pelaku bom itu. Sehingga pekerjaan besar bangsa ini adalah bagaimana membinasakan setan atau cara berpikir yang menjangkiti para pelaku bom itu.
Jojo Rahardjo
Friday, July 17, 2009 at 11:06pm
Akal sehat kita sebenarnya bekerja amat sederhana
Akal sehat kita akan bertanya: Nabi mana yang akan melakukan atau memberikan pembenaran pada kekerasan massive seperti yang baru saja terjadi di Mega Kuningan?
Ketika bom Bali dan berbagai bom lain di Indonesia beberapa tahun lalu meledak, kita menyebutnya sebagai perbuatan setan terkutuk dan bukan sebuah cara berperang suci dari sebuah agama besar, meski kemudian pelakunya mengaku bertujuan untuk membela sebuah agama besar.
Sekali lagi, nabi manapun jika masih hidup tidak akan melakukan itu dan tidak akan memberi pembenaran pada apa yang sudah dilakukan setan terkutuk itu. Namun persoalan menjadi rumit, ketika profile pelaku diungkap. Pelaku menjalani hidup yang tergolong penuh 'kesalehan' atau tidak terjebak pada keduniawian. Hanya satu cara berpikir mereka yang berbeda dan terus-menerus dihidupkan sepanjang waktu yaitu mereka menganggap selalu dalam situasi perang. Mereka selalu menganggap dalam situasi dianiaya oleh pihak-pihak yang lebih besar dan lebih berkuasa atau lebih merajalela. Namun secara umum mereka adalah orang yang baik.
Lalu bagaimana mereka bisa terjebak pada cara berpikir mengenai cara berperang melawan musuh mereka dengan cara melakukan kekerasan massive secara acak seperti yang sudah sering mereka lakukan? Bagaimana mungkin seorang yang menginginkan dunia yang saleh dan menjalani kehidupan 'saleh' bisa menjadikan orang-orang tidak berdosa, orang-orang tidak tahu apa-apa, orang-orang dari golongan mereka sendiri, anak-anak dan wanita, bahkan dalam jumlah yang tidak terbayangkan banyaknya sebagai 'sasaran antara' ?
Tentu, ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu jiwa bisa menjawab pertanyaan di atas. Namun pasti tidak memuaskan kita, karena ilmu-ilmu itu belum atau tidak digunakan secara maksimal untuk mencegah orang-orang dari terjangkiti cara berpikir setan terkutuk itu.
Bisakah agama menjadi jawaban atau solusi? Bukankah cara berpikir para pelaku itu berakar dari agama? Lalu mengapa agama bisa memberikan inspirasi pada cara berpikir setan terkutuk? Begitu kuatkah setan terkutuk dibanding ajaran agama?
Akhirnya....
Berbagai agama selalu mengingatkan manusia untuk menghindari atau membentengi diri dari setan. Barangkali setan yang dimaksud agama adalah cara berpikir seperti yang telah menjangkiti pelaku bom itu. Sehingga pekerjaan besar bangsa ini adalah bagaimana membinasakan setan atau cara berpikir yang menjangkiti para pelaku bom itu.
Jojo Rahardjo
Subscribe to:
Posts (Atom)